Desa terpencil di kaki gunung, terisolasi akibat wabah misterius. Suasana desa sunyi, dengan udara yang terasa berat dan bau obat-obatan menyengat. Pepohonan tinggi mengelilingi desa, seolah memisahkannya dari dunia luar.
---
Di dalam sebuah gubuk reyot yang tersembunyi di antara pepohonan tinggi, Kael duduk bersimpuh di samping mayat seorang anak kecil. Wajahnya pucat, tubuh kecil itu terbaring kaku di atas ranjang jerami. Kael memandangi wajahnya yang kosong, matanya kosong, seolah mencari jawaban dari sosok yang tak bisa dia selamatkan. Ingatannya melayang pada saat-saat ketika anak itu masih tertawa, berlari-lari di antara rumah-rumah desa. Kini, semua itu tinggal kenangan.
Tetua desa, seorang pria tua dengan rambut panjang beruban dan jubah usang, berdiri di ambang pintu. "Kau sudah berusaha, Kael. Tapi ilmu kita terbatas," katanya dengan suara yang lembut, namun ada kesan letih yang jelas terdengar.
Kael menggenggam erat buku catatan milik kakeknya, buku yang sudah usang dan terlipat di beberapa bagian. "Aku butuh lebih… harus ada cara!" jawabnya, suaranya tegang. "Bukan hanya ramuan ini. Aku harus menemukan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang bisa menyelamatkan mereka!"
Tetua menggelengkan kepala perlahan. "Terkadang, kita tidak dapat mengubah takdir."
Kael menatap tetua dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak bisa menerima itu. Aku tidak bisa kehilangan mereka lagi."
---
Di tengah malam yang hening, Kael kembali ke ruang bawah tanah rumah kakeknya. Kakeknya sudah lama meninggal, tetapi warisan ilmu dan benda-benda aneh tetap tersisa. Rak buku yang penuh dengan pengetahuan kuno, benda-benda misterius, dan beberapa gulungan kuno.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah batu hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Batu itu tampak biasa, namun ada simbol aneh yang tertulis di permukaannya — sebuah gambar menara dengan lingkaran di sekelilingnya. Kael teringat cerita kakeknya tentang Menara Tanpa Hukum, tempat di mana para pencari ilmu bertarung untuk meraih pengetahuan yang tak terbatas. "Apakah ini kuncinya?" bisik Kael, merasakan getaran aneh dari batu itu.
Dia meraih batu itu dan memeriksanya dengan hati-hati. Seiring dia memegangnya, ingatannya kembali kepada cerita kakeknya yang selalu berbicara tentang Menara Tanpa Hukum — sebuah tempat yang penuh dengan ilmu pengetahuan, namun juga bahaya yang mengancam. "Di sana," kata kakek dulu, "para pencari ilmu bertarung untuk meraih pengetahuan yang tidak bisa diperoleh di dunia biasa."
Malam itu, Kael menulis sebuah surat untuk ibunya, yang selama ini sudah mengkhawatirkannya. "Maaf, aku harus pergi. Aku akan pulang membawa obat yang bisa menyelamatkan kita semua."
Dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang berisiko, bahkan mungkin berbahaya, tetapi dia tak punya pilihan. Wabah ini telah menghancurkan hidupnya, dan dia tak ingin kehilangan orang-orang yang dia cintai lebih lagi.
Dengan batu menara di tangan, Kael berjalan ke hutan belakang desa. Berdiri di depan sebuah pohon besar, dia menggosok batu tersebut sesuai petunjuk yang tertulis dalam buku kakek. Seiring menggosoknya, sebuah portal biru terang mulai menyala di hadapannya, dan dalam sekejap, pintu menara raksasa muncul di depannya. Pintu itu tampak sangat besar, dengan ukiran-ukiran kuno yang terukir di setiap sisi.
Kael merasa jantungnya berdebar kencang. Dia menoleh ke belakang, memandangi desanya yang sunyi untuk terakhir kali. "Aku akan kembali," bisiknya, sebelum melangkah ke dalam portal.
Portal itu menyala dengan cahaya biru yang memancarkan energi misterius. Kael berdiri di ambang pintu, menatap kegelapan di baliknya. Udara di sekitarnya terasa dingin, dan angin berhembus pelan, seolah mendorongnya untuk melangkah maju. Di dalam hatinya, ada rasa takut, tetapi juga tekad yang membara. Dia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya.
Dengan napas dalam, Kael melangkah ke dalam portal. Cahaya biru itu menyala terang, lalu perlahan memudar, meninggalkan hutan yang sunyi dan desa yang tertidur di belakangnya. Di kejauhan, suara gemerisik daun terdengar, seolah alam sendiri mengawasi langkahnya.