Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

"Menantang Takdir di Menara Tanpa Hukum"

🇦🇴fblues_eyes
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.2k
Views
Synopsis
Sinopsis "Menantang Takdir di Menara Tanpa Hukum" Kael tumbuh sebagai seorang tabib muda berbakat, mewarisi ilmu dari kakeknya yang legendaris. Namun, ketika wabah misterius melanda desanya, ia menghadapi kenyataan pahit—kemampuannya tidak cukup untuk menyelamatkan semua orang. Teringat cerita lama sang kakek tentang Menara Tanpa Hukum, tempat di mana ia pertama kali belajar pengobatan, Kael memutuskan untuk menaiki menara demi mencari ilmu yang lebih tinggi. Namun, menara bukanlah tempat bagi orang yang lemah. Di dalamnya, hanya mereka yang kuat yang bisa bertahan. Dalam masa tutorial, Kael mendapatkan Kitab Petir, sebuah teknik bela diri yang menjadi dasar kekuatannya. Tapi saat ia mencari guru kakeknya, ia justru menemukan kenyataan yang lebih kejam—tabib sudah tidak lagi dibutuhkan di menara. Sebagai gantinya, para Heler, orang-orang yang mampu menyembuhkan luka dengan mana, telah menggantikan peran tabib. Ilmu tabib dianggap usang dan tidak efisien, perlahan menghilang dari sejarah menara. Kael menghadapi dilema besar: haruskah ia menyerah dan mengikuti sistem yang ada, atau tetap berpegang teguh pada ilmu yang diwariskan kakeknya? Dengan catatan lama kakeknya sebagai petunjuk, Kael memulai perjalanan mendaki menara, mencari sisa-sisa ilmu tabib yang telah terkubur. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan para Heler yang menganggapnya remeh, sekutu yang meragukan pilihannya, serta musuh yang ingin menghapus tabib dari sejarah. Di dunia di mana kekuatan menentukan segalanya, bisakah seorang tabib bertahan? Ataukah Kael akan menemukan cara mengubah takdir dan membuktikan bahwa tabib masih memiliki tempat di dalam menara? Perjalanan Kael baru saja dimulai, dan ia bertekad untuk mendobrak batasan yang telah ditetapkan oleh dunia.
VIEW MORE

Chapter 1 - bab 1: Batu Penunjuk Pembuka Dimensi

Desa terpencil di kaki gunung, terisolasi akibat wabah misterius. Suasana desa sunyi, dengan udara yang terasa berat dan bau obat-obatan menyengat. Pepohonan tinggi mengelilingi desa, seolah memisahkannya dari dunia luar.

---

Di dalam sebuah gubuk reyot yang tersembunyi di antara pepohonan tinggi, Kael duduk bersimpuh di samping mayat seorang anak kecil. Wajahnya pucat, tubuh kecil itu terbaring kaku di atas ranjang jerami. Kael memandangi wajahnya yang kosong, matanya kosong, seolah mencari jawaban dari sosok yang tak bisa dia selamatkan. Ingatannya melayang pada saat-saat ketika anak itu masih tertawa, berlari-lari di antara rumah-rumah desa. Kini, semua itu tinggal kenangan.

Tetua desa, seorang pria tua dengan rambut panjang beruban dan jubah usang, berdiri di ambang pintu. "Kau sudah berusaha, Kael. Tapi ilmu kita terbatas," katanya dengan suara yang lembut, namun ada kesan letih yang jelas terdengar.

Kael menggenggam erat buku catatan milik kakeknya, buku yang sudah usang dan terlipat di beberapa bagian. "Aku butuh lebih… harus ada cara!" jawabnya, suaranya tegang. "Bukan hanya ramuan ini. Aku harus menemukan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang bisa menyelamatkan mereka!"

Tetua menggelengkan kepala perlahan. "Terkadang, kita tidak dapat mengubah takdir."

Kael menatap tetua dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak bisa menerima itu. Aku tidak bisa kehilangan mereka lagi."

---

Di tengah malam yang hening, Kael kembali ke ruang bawah tanah rumah kakeknya. Kakeknya sudah lama meninggal, tetapi warisan ilmu dan benda-benda aneh tetap tersisa. Rak buku yang penuh dengan pengetahuan kuno, benda-benda misterius, dan beberapa gulungan kuno.

Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah batu hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Batu itu tampak biasa, namun ada simbol aneh yang tertulis di permukaannya — sebuah gambar menara dengan lingkaran di sekelilingnya. Kael teringat cerita kakeknya tentang Menara Tanpa Hukum, tempat di mana para pencari ilmu bertarung untuk meraih pengetahuan yang tak terbatas. "Apakah ini kuncinya?" bisik Kael, merasakan getaran aneh dari batu itu.

Dia meraih batu itu dan memeriksanya dengan hati-hati. Seiring dia memegangnya, ingatannya kembali kepada cerita kakeknya yang selalu berbicara tentang Menara Tanpa Hukum — sebuah tempat yang penuh dengan ilmu pengetahuan, namun juga bahaya yang mengancam. "Di sana," kata kakek dulu, "para pencari ilmu bertarung untuk meraih pengetahuan yang tidak bisa diperoleh di dunia biasa."

Malam itu, Kael menulis sebuah surat untuk ibunya, yang selama ini sudah mengkhawatirkannya. "Maaf, aku harus pergi. Aku akan pulang membawa obat yang bisa menyelamatkan kita semua."

Dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang berisiko, bahkan mungkin berbahaya, tetapi dia tak punya pilihan. Wabah ini telah menghancurkan hidupnya, dan dia tak ingin kehilangan orang-orang yang dia cintai lebih lagi.

Dengan batu menara di tangan, Kael berjalan ke hutan belakang desa. Berdiri di depan sebuah pohon besar, dia menggosok batu tersebut sesuai petunjuk yang tertulis dalam buku kakek. Seiring menggosoknya, sebuah portal biru terang mulai menyala di hadapannya, dan dalam sekejap, pintu menara raksasa muncul di depannya. Pintu itu tampak sangat besar, dengan ukiran-ukiran kuno yang terukir di setiap sisi.

Kael merasa jantungnya berdebar kencang. Dia menoleh ke belakang, memandangi desanya yang sunyi untuk terakhir kali. "Aku akan kembali," bisiknya, sebelum melangkah ke dalam portal.

Portal itu menyala dengan cahaya biru yang memancarkan energi misterius. Kael berdiri di ambang pintu, menatap kegelapan di baliknya. Udara di sekitarnya terasa dingin, dan angin berhembus pelan, seolah mendorongnya untuk melangkah maju. Di dalam hatinya, ada rasa takut, tetapi juga tekad yang membara. Dia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya.

Dengan napas dalam, Kael melangkah ke dalam portal. Cahaya biru itu menyala terang, lalu perlahan memudar, meninggalkan hutan yang sunyi dan desa yang tertidur di belakangnya. Di kejauhan, suara gemerisik daun terdengar, seolah alam sendiri mengawasi langkahnya.