Kael berdiri di persimpangan lorong, menatap dua jalur yang terbentang di hadapannya. Di sisi kiri, sebuah jalan yang lebih pendek tetapi dipenuhi kabut beracun yang mengandung gas mematikan. Di sisi kanan, jalan yang jauh lebih panjang, dengan kolam-kolam kecil berisi cairan berwarna kehijauan yang berkilauan di bawah cahaya redup.
Kael mengepalkan tangannya. Ia tahu bahwa tubuhnya telah diperkuat oleh ramuan anti-racun yang ia konsumsi sebelum masuk ke menara. Gas beracun mungkin tidak akan membunuhnya, tetapi racun cair adalah ancaman lain. Dari aroma menyengat yang tercium di udara, ia bisa menebak efeknya—cukup kuat untuk melarutkan tulang dalam hitungan detik.
"Aku seorang tabib, bukan seorang petarung. Jika aku memaksakan diri lewat jalur pendek, aku hanya akan mencari mati," pikirnya.
Tanpa ragu, Kael melangkah ke jalur panjang, memilih keselamatan dibanding kecepatan.
---
Keanehan Seorang Tabib
Saat menyusuri lorong yang panjang dan sunyi, Kael segera menyadari bahwa tempat ini bukan hanya sebuah ujian, melainkan ladang emas bagi seorang tabib.
Di sepanjang perjalanan, ia menemukan berbagai jenis tanaman beracun dan herbal langka yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ada lumut hitam yang tampak seperti arang, tetapi mengeluarkan aroma manis. Ada bunga merah tua yang kelopaknya berdenyut seperti jantung yang masih hidup. Ada juga sulur berwarna biru keperakan yang tampak seperti saraf yang menjalar di dinding gua.
Kael berhenti setiap kali menemukan sesuatu yang menarik. Tangannya dengan terampil mengambil sampel, mencatat warna, tekstur, dan aroma. Ia menuliskan semua informasi dalam buku catatannya, bahkan menguji sedikit ekstrak dari beberapa tumbuhan pada jarum peraknya untuk melihat reaksi kimianya.
"Menarik… Jika bunga ini dicampurkan dengan akar pahit itu, mungkin bisa menjadi penawar bagi racun saraf..." gumamnya sambil menuliskan analisisnya.
Waktu berjalan tanpa ia sadari. Awalnya, ia berpikir hanya akan menghabiskan sehari di lorong ini. Namun, kebiasaannya dalam meneliti setiap tanaman membuatnya semakin lama terjebak dalam eksplorasi.
Di hari ketiga, ia menyadari bahwa dinding-dinding lorong dipenuhi dengan jamur bercahaya yang tampaknya memiliki efek anestesi. Ia menghabiskan setengah hari untuk menguji dosisnya dan mencatat potensi penggunaannya dalam pengobatan.
Di hari kelima, ia menemukan seekor serangga aneh dengan cangkang kristal yang memakan lumut beracun. "Jika serangga ini bisa bertahan hidup, berarti ada kemungkinan lumut ini bisa diolah menjadi sesuatu yang tidak mematikan..." pikirnya, semakin tertarik untuk bereksperimen.
Hari demi hari berlalu.
Di hari ketujuh, ia menemukan pohon kecil dengan buah keunguan yang mengeluarkan uap segar. Saat ia menggigitnya sedikit, rasa pahit menyengat lidahnya, tetapi tiba-tiba pikirannya terasa lebih jernih. Matanya melebar, tubuhnya terasa lebih ringan.
"Ini... meningkatkan fokus?"
Jantungnya berdebar pelan saat tubuhnya merespons dengan lebih baik. Pengalaman ini bukanlah hal baru. Sejak memasuki lorong beracun pertama, ia telah menyadari bahwa indranya mengalami peningkatan. Namun, buah ini memperkuat efeknya, membuatnya merasa lebih terkendali.
Namun, efek ini juga membuatnya semakin terobsesi dengan penelitian.
Di hari kesepuluh, Kael akhirnya menyadari bahwa ia sudah terlalu lama di dalam lorong ini.
"Seharusnya aku sudah sampai ke ujung sejak berhari-hari lalu..." katanya sambil tertawa kecil.
Namun, ketika ia melihat buku catatannya yang kini penuh dengan sketsa dan catatan penelitian, ia tidak menyesali keputusannya.
"Kalau aku bisa keluar dari sini hidup-hidup, pengetahuan ini akan sangat berguna."
Dengan tekad baru, ia melanjutkan perjalanannya, kali ini dengan langkah yang lebih cepat. Ujian lorong ini mungkin telah memperlambatnya, tetapi juga telah memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga—pemahaman baru tentang dunia di dalam menara.
Kael tahu, perjalanannya baru saja dimulai.