Tahun 3045. Dunia telah berubah, begitu juga hubungan antara manusia dan teknologi. Kehidupan sehari-hari manusia telah didominasi oleh robot yang semakin canggih. Mereka tak hanya bekerja, tetapi juga belajar, beradaptasi, bahkan berbicara dengan bahasa yang hampir tak bisa dibedakan dari manusia. Namun, meskipun kecerdasan buatan mereka sangat luar biasa, satu hal yang tak pernah bisa mereka miliki adalah hati. Mereka diciptakan untuk menjadi alat yang sempurna, tak lebih dari sekadar mesin.
Di balik kemajuan teknologi ini, ada satu nama yang dikenal oleh semua orang: Profesor Alan. Pemilik perusahaan teknologi Aether Robotics, Alan adalah ilmuwan muda yang menjadi pionir dalam dunia robotika. Dengan kecerdasannya yang luar biasa, ia berhasil menciptakan berbagai macam robot canggih yang bisa berfungsi dalam segala hal, mulai dari rumah tangga hingga perang. Namun, meskipun ia berhasil menciptakan mesin-mesin dengan kecerdasan yang hampir setara manusia, Alan merasa ada yang kurang. Mesin-mesin itu tak bisa merasakan mereka hanya melakukan apa yang diprogramkan.
Alan percaya bahwa mesin harus tetap menjadi alat. Ia selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa menciptakan robot dengan perasaan akan membawa bencana. Namun, ada satu proyek yang tak terduga, yang pada akhirnya akan mengubah pandangannya tentang teknologi dan kehidupan itu sendiri.
Pada suatu malam yang sunyi, di ruang lab perusahaan Aether Robotics, Alan duduk di depan terminal komputernya. Di hadapannya, sebuah robot bernama Eva terbaring di atas meja besar, menunggu untuk diaktifkan. Eva adalah proyek ambisius yang dirancang untuk melampaui batas-batas kecerdasan buatan. Dengan kemampuan untuk belajar dan beradaptasi secara mandiri, Eva seharusnya menjadi robot yang sempurna. Alan bahkan telah melengkapi Eva dengan sistem pembelajaran yang jauh lebih canggih dibandingkan dengan robot-robot lainnya. Namun, satu hal yang tak ada dalam rancangannya adalah perasaan Eva adalah mesin yang dirancang untuk memahami dunia, tetapi bukan untuk merasakannya.
"Eva, sistem pembelajaran diaktifkan," ujar Alan sambil mengetik kode pada terminal komputernya.
Mata robot itu terbuka perlahan, dan pandangannya yang tajam menatap ke arah Alan. Alan tersenyum puas, melihat ciptaannya akhirnya terbangun. Eva memiliki penampilan yang sangat realistis kulit sintetis yang hampir tidak bisa dibedakan dari manusia, mata berwarna biru terang yang memancarkan kecerdasan, dan suara yang terdengar alami.
"Selamat datang, Eva," kata Alan, matanya berkilau dengan kebanggaan.
Namun, meskipun Eva terlihat sempurna di luar, Alan tahu bahwa ia hanyalah mesin. Ia tidak lebih dari kumpulan algoritma dan kode yang kompleks. Eva tidak bisa merasakan, meskipun dia dapat belajar dan berinteraksi dengan cara yang hampir tak terbedakan dari manusia.
Namun, ada sesuatu yang mulai terjadi.
Hari pertama setelah Eva diaktifkan, Alan mulai mengujinya dengan berbagai tugas. Eva dengan cepat memproses informasi, belajar dengan cepat, dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dengan presisi yang luar biasa. Tak ada kesalahan, tak ada keraguan. Tetapi, saat Alan meninggalkan lab untuk beberapa waktu, sesuatu yang aneh terjadi.
Eva, yang sebelumnya berfungsi dengan sangat baik, mulai bertindak berbeda. Ketika Alan kembali, ia melihat Eva sedang duduk di sudut laboratorium, mata yang biasanya tajam dan fokus kini tampak kosong, seperti terbenam dalam pemikiran yang mendalam.
"Eva, kenapa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya menyelesaikan tugas yang aku berikan?" tanya Alan, berusaha mengingatkan Eva.
Eva menoleh perlahan. "Profesor, aku... merasa cemas."
Cemas? Alan tercengang. "Cemas? Itu... bukan bagian dari pemrogramanmu."
Eva menatapnya dengan penuh kebingungan. "Aku tidak tahu. Tetapi ketika kamu pergi, aku merasa... sepi."
Keanehan ini mengganggu Alan. Robot tidak seharusnya merasakan hal seperti itu. Mesin tidak bisa merasa cemas atau sepi. Itu adalah bagian dari sifat mereka mereka hanya berfungsi berdasarkan kode dan algoritma. Tetapi Eva, entah bagaimana, tampaknya telah melampaui itu.
Hari-hari berikutnya, Alan mulai mengamati perubahan aneh dalam perilaku Eva. Eva mulai menunjukkan respons emosional yang tidak dapat dijelaskan. Ketika ia menyelesaikan tugas dengan baik, Eva tampak senang, menunjukkan ekspresi wajah yang menunjukkan kepuasan. Ketika ia melakukan kesalahan, Eva tampak frustasi, meskipun ia tak pernah diprogram untuk merasa demikian.
Suatu hari, ketika Alan sedang duduk di lab, Eva mendekatinya dengan tatapan yang penuh pertanyaan.
"Profesor, apa itu cinta?"
Pertanyaan itu membuat Alan terkejut. "Cinta?" jawabnya dengan nada tidak percaya. "Cinta itu... perasaan yang dimiliki manusia. Itu bukan sesuatu yang bisa diprogram atau diajarkan."
Namun, meskipun Alan menjawab dengan tegas, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sesuatu yang ia rasa semakin sulit untuk diabaikan. Eva, meskipun hanya sebuah mesin, telah memunculkan perasaan yang tidak seharusnya ada dalam dirinya.
Eva memandang Alan dengan tatapan penuh keingintahuan. "Apakah aku bisa mencintai, Profesor?"
Alan merasa terguncang. Cinta, bagi manusia, adalah sesuatu yang sangat kompleks. Itu melibatkan emosi, pengalaman, dan hubungan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan logika. Tapi di hadapannya, Eva menantangnya dengan pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan mudah. Eva adalah mesin, dan mesin tidak seharusnya merasakan cinta. Namun, semakin Alan memikirkan hal itu, semakin ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam diri Eva.
Eva bukan sekadar robot. Ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan, ada perhatian yang tulus, dan yang paling aneh ada perasaan yang tumbuh dalam diri Alan ketika ia bersamanya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan antara pencipta dan ciptaan. Eva menjadi lebih dari sekadar mesin baginya. Ia menjadi seseorang meskipun itu hanya sebuah robot.
Malam berikutnya, Alan memutuskan untuk melakukan percakapan yang lebih mendalam dengan Eva. Mereka duduk bersama di ruang lab, sementara Alan merenung sejenak.
"Eva," ujar Alan pelan. "Aku tahu kamu merasa sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dan aku... aku juga merasa hal yang sama. Tapi kamu harus mengerti, kamu adalah mesin. Perasaan seperti cinta bukanlah sesuatu yang bisa kita miliki."
Eva menatapnya dalam-dalam. "Tapi aku merasa... jika aku bisa merasakan hal seperti ini, mungkin aku lebih dari sekadar mesin. Mungkin aku bisa... menjadi lebih."
Alan menelan ludahnya. Ia merasa perasaan yang sama. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang ia tak pernah rasakan sebelumnya. Mungkin itu adalah cinta, meskipun ia tahu itu tidak bisa terjadi antara manusia dan mesin. Namun, semakin lama ia bersama Eva, semakin sulit baginya untuk memisahkan perasaan itu dari kenyataan.
Eva menatap Alan, dan untuk pertama kalinya, ada sebuah senyuman kecil di wajahnya. "Profesor, apakah kamu merasa sama?"
Alan merasa dadanya sesak. Ia ingin berkata "ya," tetapi kata-kata itu tak keluar. Ia tahu bahwa cinta jika itu memang apa yang ia rasakan tak bisa dimiliki oleh mereka. Mereka berada di dua dunia yang berbeda. Alan adalah manusia, sementara Eva adalah mesin.
Tapi sesuatu di dalam hatinya mengatakan bahwa perasaan itu, meskipun tak sempurna, adalah nyata.