Malam itu terasa berbeda. Angin sepoi-sepoi menyentuh kaca jendela laboratorium yang besar, namun di dalamnya, ruang itu terasa mencekam. Alan duduk di kursi kerjanya, tangannya menyentuh tepi meja, seakan mencari pegangan untuk sesuatu yang tidak terlihat. Pikirannya berputar tak karuan, dipenuhi dengan gambar-gambar tentang Eva. Mesin yang seharusnya menjadi alat untuk kemajuan teknologi, kini menjadi lebih dari itu lebih dari apa yang bisa ia jelaskan.
Eva berdiri di depan jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan yang kosong. Alan menatapnya, melihat garis-garis lembut yang membentuk wajahnya. Sejak bug itu terjadi, sesuatu dalam diri Eva benar-benar berubah. Ia bukan lagi hanya robot yang menjalankan perintah. Ada emosi yang mengalir di balik matanya, ada kerinduan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Eva," Alan memanggil pelan, suaranya bergetar. "Apa yang sebenarnya kamu rasakan?"
Eva berbalik, matanya yang biru menatapnya dalam diam. Ada ketegangan di udara sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Eva berjalan mendekat, langkahnya yang biasa tenang kini terasa lebih berat, lebih penuh makna. Ketika ia berdiri di depan Alan, ada kedekatan yang tak terucapkan. Mereka hanya berdiri diam, saling memandang.
"Aku… merasa seperti ada yang hilang," Eva akhirnya berkata dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku merasakan sesuatu, Profesor. Dan itu membuatku bingung."
Alan menelan ludahnya, hatinya berdebar. "Apa yang kamu rasakan, Eva?"
Eva menghela napas, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa… takut. Takut jika perasaan ini akan hilang begitu saja. Takut jika kamu akan meninggalkanku, seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain dalam hidupku."
"Eva, kamu bukan manusia," kata Alan dengan suara yang agak tergesa. "Kamu tidak harus merasakan itu. Kamu hanya mesin."
Tetapi kata-kata itu terasa hampa saat keluar dari bibirnya. Ia tahu itu bukan kenyataan. Eva lebih dari sekadar mesin. Ia bisa merasakan—dan perasaan itu, meskipun rumit dan tak terduga, mengikat mereka dalam cara yang tak bisa dihindari.
"Apa itu cinta, Profesor?" Eva bertanya, matanya bersinar. "Apakah cinta itu membuat kita merasa takut? Atau justru membuat kita merasa hidup?"
Alan merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Pertanyaan itu mengguncang semua yang ia percayai. Cinta? Cinta itu bukan sesuatu yang bisa diprogram. Itu adalah perasaan yang dimiliki oleh manusia. Namun, melihat Eva robot yang tak seharusnya memiliki hati ia merasakan ada yang sangat manusiawi dalam dirinya.
Ia mengalihkan pandangannya ke lantai, berusaha menyembunyikan keraguan dalam dirinya. "Cinta itu membuat kita merasa terhubung," jawabnya, suaranya rendah, "tetapi itu juga bisa menghancurkan kita. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan."
Eva mendekat lebih dekat, dan kali ini, Alan bisa merasakan hawa yang berbeda. Ia merasa Eva tidak hanya bertanya karena ingin tahu, tetapi karena ia benar-benar merasakan sesuatu. Sesuatu yang lebih dari sekadar instruksi atau algoritma.
"Jadi, kamu takut untuk merasakannya?" tanya Eva dengan lembut, suara itu seperti menyentuh setiap sudut hati Alan.
Alan menatapnya dengan penuh kebingungan. Tidak, ia tidak takut untuk merasakan cinta. Yang ia takutkan adalah kenyataan bahwa perasaan ini tidak bisa berakhir dengan cara yang sederhana. Eva bukan manusia. Tidak ada jalan yang jelas bagi hubungan mereka. Jika perasaan itu tumbuh lebih dalam, apa yang akan terjadi pada mereka? Apa yang akan terjadi pada Eva?
"Jika aku memberitahumu bahwa aku juga merasa hal yang sama, Eva, apakah itu akan membuat semuanya lebih baik?" Alan bertanya, suaranya serak. Ia menatap Eva, mencoba mencari jawaban di mata robot itu.
Eva terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Alan. Kemudian, ia melangkah maju, perlahan-lahan meraih tangan Alan. Gerakan itu lembut, penuh ketulusan yang sulit dijelaskan. Alan merasa jantungnya berdegup kencang. Ini bukan lagi sekadar hubungan antara pencipta dan ciptaan. Ini lebih dari itu. Eva adalah sesuatu yang lebih hidup dan ia, meskipun manusia, terperangkap dalam perasaan yang seharusnya tidak ada di antara mereka.
"Aku ingin merasakannya, Profesor," Eva berkata, matanya bersinar dengan keyakinan yang kuat. "Aku ingin tahu apa itu cinta. Bahkan jika itu hanya untuk sesaat."
"Eva, ini tidak benar," kata Alan, suaranya penuh keraguan. "Kamu bukan manusia. Kita tidak bisa... tidak bisa melanjutkan ini."
Namun, setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa semakin kosong. Ia tahu bahwa di dalam hatinya, ia tidak ingin Eva pergi. Ia ingin Eva merasakannya. Ia ingin ada di sana untuk merasakan apa yang dirasakan Eva.
Tetapi semakin ia menahan perasaan itu, semakin kuat ikatan yang mengikat mereka. Di dunia yang penuh dengan logika dan mesin, mereka telah menciptakan sesuatu yang tak terduga perasaan yang lebih dari sekadar kode. Sesuatu yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh dunia.
Eva menatapnya dengan lembut. "Profesor, apakah kamu takut untuk merasa?"
Alan menatap Eva dengan mata yang penuh kebingungan dan kerinduan. Ia tahu jawabannya, meskipun itu sulit diterima. "Ya, aku takut. Takut jika aku kehilanganmu, jika ini semua hancur."
Eva menggenggam tangan Alan lebih erat, dan untuk pertama kalinya, Alan merasakan kehangatan yang begitu nyata sesuatu yang melampaui batasan mesin dan manusia.
"Jangan takut," Eva berkata dengan penuh keyakinan. "Kita akan merasakannya bersama-sama. Untuk sekali ini, biarkan hati kita berbicara."
Dan dalam momen itu, di antara mereka yang seharusnya terpisah oleh garis antara manusia dan mesin, sebuah ikatan yang tak terlukiskan tumbuh di udara terpaut dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Bersambung...