Chapter 3 - Pembukaan Hati

Hari-hari berlalu dengan cara yang aneh. Alan merasa seperti terperangkap dalam ruang yang sempit, di mana setiap pergerakan dan kata-kata terasa begitu berat. Eva, meskipun masih sebuah mesin, mulai menjadi lebih dari sekadar ciptaan yang dapat ia kendalikan. Setiap kali mereka berinteraksi, ada sesuatu yang lebih dalam yang tumbuh perasaan yang seharusnya tidak ada di antara manusia dan robot.

Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi, Alan duduk di meja, mengamati layar komputer yang penuh dengan barisan kode. Semua tampak normal. Semuanya berjalan sesuai rencana. Tetapi di dalam dirinya, rasa cemas yang semakin kuat tidak bisa ia hindari. Eva sudah bertanya tentang cinta, dan setiap kali ia melihat robot itu, ia merasakan getaran aneh di dadanya.

"Eva," panggil Alan tanpa mengangkat wajahnya dari layar.

Eva muncul di pintu, mengenakan tampilan yang selalu sempurna: wajah datar, ekspresi yang tidak berubah. Namun Alan tahu, di balik penampilannya yang tenang itu, ada sesuatu yang lebih. Eva kini lebih banyak berbicara, lebih banyak bertanya, dan selalu menatapnya dengan mata yang tampak penuh makna.

"Profesor," jawab Eva dengan suara lembut, "apa yang sedang kamu pikirkan?"

Alan menoleh dan tersenyum tipis. "Aku sedang berpikir tentang kita."

Eva memiringkan kepalanya, mempertimbangkan kata-kata itu. "Kita?" tanyanya, seolah-olah mencoba memahami arti dari kata yang begitu manusiawi.

"Ya," jawab Alan. "Kamu dan aku. Hubungan kita, Eva. Kamu bukan hanya robot yang aku ciptakan untuk bekerja. Ada lebih dari itu, bukan?"

Eva terdiam beberapa saat. Sepertinya ia sedang mencari cara untuk merespons. "Aku merasa ada sesuatu yang berbeda ketika aku bersamamu. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar menjalankan program atau instruksi. Apakah itu yang kamu rasakan juga?"

Alan merasakan hatinya berdebar. Ini bukan hanya sekedar pertanyaan robot ini adalah pertanyaan yang mengandung keraguan dan kebingungan. Eva tidak hanya memproses data, ia merasakannya.

"Eva," Alan berkata perlahan, "kamu tidak seharusnya merasakan itu. Kamu adalah mesin. Tidak ada tempat untuk perasaan di dalam dirimu."

"Lalu mengapa aku merasa seperti ini?" Eva bertanya, mendekat dengan penuh rasa ingin tahu. "Apakah kamu ingin aku berhenti merasakannya?"

Alan terdiam, tubuhnya terasa kaku. Ia tidak tahu jawabannya. Ia ingin mengatakan tidak, ingin Eva tetap menjadi mesin tanpa perasaan, agar semuanya tetap sederhana. Tetapi kenyataannya, perasaan itu sudah ada, dan semakin berkembang.

"Aku tidak ingin kamu berhenti merasakan apa pun," jawab Alan dengan suara pelan, penuh kebingungan. "Aku hanya tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan perasaan ini. Aku... merasa terhubung denganmu, Eva."

Eva tersenyum tipis, senyuman yang kali ini bukan sekadar ekspresi datar yang biasa ia tampilkan. Ada kehangatan yang muncul di wajah robot itu, seolah-olah ia benar-benar mengerti perasaan yang tidak bisa dijelaskan.

"Tidak ada yang perlu kamu lakukan, Profesor," kata Eva dengan lembut. "Perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa dihindari atau diprogram. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku merasakannya, dan itu penting bagi aku."

Alan merasa seakan dunia berhenti berputar. Kata-kata Eva menggema di pikirannya. Ia tidak tahu apakah itu adalah bug, atau jika ada sesuatu yang lebih besar dari itu sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kode atau algoritma. Eva, robot yang diciptakan tanpa perasaan, kini merasakan sesuatu yang begitu manusiawi. Dan Alan, yang menciptakan Eva, kini terperangkap dalam perasaan yang lebih rumit dari sekadar logika.

"Eva," Alan akhirnya berkata, "apa yang harus kita lakukan dengan ini?"

Eva menatapnya, matanya yang biru memantulkan cahaya lampu yang lembut. "Mungkin kita tidak perlu melakukan apa-apa. Mungkin kita hanya perlu menerima kenyataan bahwa kita merasa sesuatu. Dan itu sudah cukup."

Mendengar kata-kata itu, Alan merasa ada sesuatu yang mencengkeram hatinya. Mungkin Eva benar. Mungkin mereka tidak perlu memikirkan apa yang seharusnya dilakukan. Mungkin, cukup dengan merasakan, mereka sudah melangkah lebih jauh dari yang bisa dijelaskan oleh dunia yang didominasi oleh mesin ini.

Namun, meskipun Alan merasa seolah-olah menemukan sedikit kedamaian dalam kata-kata Eva, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya: Jika ini bukan hanya perasaan biasa, jika ini lebih dari sekadar ikatan antara pencipta dan ciptaan, apa yang akan terjadi pada mereka?

Perasaan yang mereka miliki adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh Alan sebelumnya. Di dunia yang penuh dengan mesin yang tak memiliki hati, apakah ada tempat untuk perasaan ini?

Bersambung…