Aku terbangun dalam kegelapan. Reruntuhan itu tampak samar, diselimuti kabut pagi yang dingin. Aku mendengarnya—suara hujan yang jatuh pelan di luar, mengiringi ketenangan yang kurasakan. Namun, ketenangan ini hanya sesaat, karena dalam sekejap, kenangan tentang malam itu menghantui pikiran—pertempuran yang berakhir dengan kegagalan, dan kawan seperjuanganku yang kini tak ada lagi. Semua perjuangan itu, semua harapan, berakhir dalam kesia-siaan. Hanya aku yang tersisa.
Tetapi entah kenapa, di dalam hati, aku merasa bahwa ini baru permulaan.
"Akhirnya bangun juga, Tuan Albert," sebuah suara memecah kesunyian. Aku menoleh, mendapati Jack, muridku yang setia, berdiri di ambang reruntuhan.
"Sudah terlalu siang, Jack. Pencarian kita semalam benar-benar melelahkan. Sepertinya kita takkan menemukan apa-apa," jawabku, menyandarkan tubuhku yang lelah ke tembok.
Jack tampak tidak tergoyahkan. "Aku rasa kita sudah dekat, Tuan. Aku menemukan sesuatu yang penting."
Aku menatapnya dengan skeptis. "Sesuatu yang penting? Apa yang kau temukan?"
Jack mengeluarkan sebuah gulungan kulit yang usang. "Tulisan kuno. Mungkin ini petunjuk yang kita cari." Dengan penuh harapan, dia menyerahkannya padaku.
Aku membuka gulungan itu perlahan, membaca dengan hati-hati tulisan yang tertera. Bahasa kuno dari bangsa High Elf, sebuah kelompok yang berasal dari Upper World. Namun, setelah beberapa saat, aku menyimpulkan, "Ini bukan yang kita cari, Jack. Ini tentang kolam ajaib, bukan tentang jalan menuju Underworld atau Upper World."
Jack tampak kecewa, wajahnya menunjukkan tanda-tanda keputusasaan. "Ah, Tuan... Aku kira kita hampir menemukannya."
Aku mendesah, menatap tulisan itu sekali lagi. "Ini mungkin lebih sulit dari yang kita bayangkan, Jack. Jalan menuju kedua dunia itu sudah dihancurkan sejak perang berakhir 500 tahun lalu. Bahkan jika kita menemukannya, mereka yang tinggal di sana tidak akan membiarkan kita begitu saja."
Jack terdiam, jelas dia marah dengan kenyataan ini, tapi aku tahu dia harus mengerti. Tidak semua perjuangan bisa dimenangkan. Kami kembali berjalan menuju kota, di mana Jack masih menunjukkan kegelisahan yang mendalam.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara gaduh. Sesuatu yang besar dan mengerikan tampak bergerak menuju kami. Sebuah naga—dengan nafas berbau alkohol, tampaknya mabuk.
"Tuan, naga itu berbahaya!" Jack berseru.
Aku menggelengkan kepala. "Lupakan, kita akan melewatinya. Jangan terlibat."
Namun, terlambat. Naga itu melesat ke arah kami dengan kecepatan yang tak terduga. Sebelum aku bisa bereaksi, tubuhku sudah terpental ke udara, terlempar ke tanah. Rasanya seperti dunia berputar dengan kecepatan luar biasa.
"TUAN!" Jack berteriak panik.
Aku mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan tenaga. Naga itu sudah bersiap untuk serangan berikutnya. Tak mungkin aku bisa menghindar begitu saja. Dengan cepat, aku mengucapkan mantra, mencoba meredakan kemarahannya, tapi gagal. Sebagai gantinya, aku memukul naga itu keras-keras, membuatnya terjatuh pingsan.
Setelah beberapa detik yang mencekam, kami mendengar suara tawa, keras dan menantang. Dari balik bayang-bayang, seseorang muncul, seorang pria yang tampaknya tidak terpengaruh dengan kekacauan yang baru saja terjadi.
"Hahahaha... Ternyata benar. Sayang sekali, Albert, kita akan bertemu lagi," katanya sambil tertawa. Dengan gerakan cepat, ia menghilang dalam sebuah kabut asap yang memudar begitu saja.
"Apa yang baru saja terjadi?" tanya Jack, bingung.
"Aku tidak tahu," jawabku pelan, mengusap wajahku yang terasa lelah. "Tapi sepertinya, ini bukan pertemuan terakhir kita."
Kami melanjutkan perjalanan ke kota, namun sesampainya di sana, kami disambut dengan pemandangan yang tidak asing. Pembakaran. Bangsa Demon, yang sudah lama menjadi musuh, kini terbakar di tiang penyiksaan. Meskipun perang telah lama berakhir, dunia ini belum pulih sepenuhnya. Perang yang berlangsung selama 5000 tahun meninggalkan bekas yang sulit dihapuskan.
"Padahal perang sudah lama berakhir, tapi kenapa masih saja seperti ini?" gumam Jack, melihat dengan marah.
"Jangan terlalu banyak melihat. Kalau kita terlibat, masalahnya akan semakin rumit," kataku, menatapnya dengan serius.
Kami berjalan melewati kerumunan, menuju bar yang familiar. Di sana, kami akan beristirahat dan merencanakan perjalanan selanjutnya.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan?" tanya Jack sambil menyeruput minuman di tangannya.
"Itu terserah padamu, Jack. Jika kau ingin pergi, pergilah. Aku tak akan menghalangimu," jawabku, sambil memikirkan rencana yang sudah lama aku pertimbangkan.
"Tuan!" Jack terdengar marah. "Kau harusnya tidak berkata begitu. Kita masih punya tujuan, bukan?"
Aku tersenyum tipis, menyadari apa yang akan datang. "Ya, kita akan menuju utara."
"Utara? Itu terlalu jauh!"
"Di utara ada kerajaan Zelim, dan kita akan bertemu dengan Raja di sana."
"Raja? Aku tidak tahu kau punya kenalan seorang raja," jawab Jack dengan nada heran.
"Perjalanan ini akan panjang dan berbahaya. Kau harus siap, Jack," jawabku sambil mengatur langkah, berpikir tentang segala rintangan yang menunggu di depan.
---
Pada malam hari, saat aku berjalan sendirian di luar penginapan, pikiranku kembali melayang pada seseorang yang sempat muncul—pria yang membawa naga mabuk itu. Wajahnya terasa begitu akrab, tapi aku tak bisa mengingatnya dengan jelas. Suatu saat nanti, aku yakin semuanya akan terungkap.
Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan dinginnya udara malam. Tak peduli berapa lama waktu yang akan berlalu, perjalanan kami akan terus berlanjut. Tidak ada yang bisa menghentikan kami, karena di dalam diriku ada sebuah rahasia yang tak banyak orang tahu—aku abadi. Dan meski dunia ini tampak penuh kegelapan, aku tahu aku akan terus bertahan, apapun yang terjadi.
Pagi datang dengan cepat, dan Jack sudah menungguku di luar. "Tuan, kita siap berangkat?"
Aku mengangguk pelan, melangkah menuju takdir yang tak bisa kuhindari. Perjalanan panjang menanti, dan aku tak tahu apa yang akan kami temui. Namun, satu hal yang pasti—kami akan menghadapinya bersama.