Chereads / My Eternal Journey / Chapter 8 - Penuh Semangat

Chapter 8 - Penuh Semangat

Hari ini adalah hari pertama aku melatih Jack. Rasanya aneh—melatih orang lain, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku teringat pada masa lalu, saat aku sendiri dilatih oleh guruku. Latihan itu begitu berat, penuh dengan tantangan yang hampir membuatku menyerah. Namun, guruku selalu menyesuaikan latihan dengan kemampuanku. Itulah yang membuatku bertahan. Jack... dia pekerja keras, aku yakin dia mampu. Tetapi aku harus memberikan pelatihan yang cukup keras agar dia berkembang, tentu dengan tetap menyesuaikannya dengan potensinya. 

"Apa yang harus aku lakukan dulu?" tanya Jack, semangat membara terpancar dari matanya. 

"Pertama-tama, kau akan belajar sihir," jawabku dengan tenang. 

"Sihir? Kenapa sihir?" katanya bingung.

"Kau harus belajar memanfaatkan sihir yang ada dalam dirimu untuk bertarung. Jangan anggap enteng kekuatan itu," jawabku. "Untuk itu, kita akan mulai di perpustakaan." 

 

Kami berjalan menuju perpustakaan kerajaan. Tempat ini luar biasa megah, penuh rak-rak menjulang yang dipenuhi buku tebal. Sihir tak bisa dipelajari hanya dengan praktik; dasar-dasarnya harus dipahami terlebih dahulu. Aku memilihkan dua buku untuk Jack: satu tentang teori sihir, satu lagi sejarah penggunaan sihir. 

"Bacalah buku ini dulu," kataku, menyerahkan buku pertama. "Ketika kau selesai, lanjutkan dengan buku sejarah ini. Kau harus memahami bagaimana sihir digunakan oleh mereka yang datang sebelum kita." 

Jack memandangi buku-buku itu dengan wajah tak percaya. 

"Tebal sekali," gumamnya. "Tapi kenapa aku harus belajar sihir? Bukankah aku seharusnya melatih kekuatan fisikku?" 

"Kekuatan fisik saja tidak cukup. Setiap manusia memiliki sedikit energi sihir di dalam tubuhnya, meski hanya sekitar sepuluh persen. Jika kau bisa memanfaatkannya, kau mungkin menjadi tak terkalahkan," jawabku serius. 

"Tak terkalahkan? Bukankah itu terlalu berlebihan?" tanyanya skeptis. 

"Tidak. Ivan sang Pahlawan adalah buktinya. Dia mampu menggunakan sihirnya dengan sangat efektif, hingga orang-orang di Upperworld menyegani kekuatannya. Dia bahkan disebut sebagai manusia terkuat pada masanya." 

 

Jack menelan ludah, kagum mendengar cerita itu. 

"Tapi... apa aku benar-benar harus membaca ini?" tanya Jack, ragu sambil memandangi tebalnya buku di tangannya.

 

"Buku ini tidak hanya menjelaskan apa itu sihir, tetapi juga segala hal yang dapat kau lakukan dengannya," jawabku dengan yakin. "Tenang saja, aku akan berada di perpustakaan ini jika kau membutuhkan bantuan."

"Baiklah, aku akan mencoba membaca ini," katanya dengan nada lebih yakin. 

 

Aku meninggalkan Jack di sana, agar dia bisa belajar tanpa gangguan. Di sisi lain, aku memutuskan memanfaatkan waktu ini untuk mencari referensi bagi diriku sendiri. Negara Elf adalah gudangnya pengetahuan tentang sihir. Tidak mungkin aku melewatkan kesempatan ini. 

Namun, ketika aku sedang asyik membaca, aku merasakan sesuatu. Perasaan aneh, seperti ada yang memanggilku. Aku menutup bukuku dan bergegas keluar. Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan Quenya.

"Kebetulan sekali," kataku. "Bisakah kau menemani Jack sebentar? Dia di perpustakaan." 

"Kenapa aku harus—" 

"Hanya sebentar," potongku sebelum dia bisa mengelak. Lalu aku bergegas pergi, mengikuti perasaan aneh itu. 

Perasaan ini sungguh aneh, membuat hatiku gelisah tapi tanpa ancaman. Entah kenapa, seolah ada sesuatu yang memanggilku, memaksaku untuk mengikuti ke mana arahnya. Aku terus melangkah, menelusuri jalan yang membawaku semakin jauh dari keramaian.

Langkah-langkahku membawaku ke sebuah gang sempit yang tampak sunyi dan hampir terlupakan. Aku berhenti sejenak, memandangi lorong yang gelap dan penuh bayangan, merasa ragu sejenak. Tapi dorongan aneh itu tidak membiarkanku berpaling.

"Baiklah," gumamku pelan, mengambil napas dalam-dalam. "Aku akan memasukinya."

 

Sementara itu...

 

Buku ini terlalu panjang. Aku tidak yakin bisa menyelesaikannya, apalagi harus membaca dua buku. Tapi, jika Tuan Albert berkata aku harus mempelajarinya, maka aku akan melakukannya. Aku tidak boleh terus menjadi beban baginya. Aku harus berusaha lebih keras.

 Saat aku sibuk bergulat dengan halaman demi halaman, Quenya tiba-tiba muncul, berjalan ringan ke arahku.

"Kau tampak santai sekali," kataku dengan nada setengah bercanda, mencoba mengalihkan kebosanan.

"Memang," jawabnya singkat, senyumnya tipis seperti biasanya.

Aku melanjutkan membaca, sementara dia duduk di dekatku, menatap tanpa banyak bicara. Apa dia tidak bosan melihatku membaca? Ah, mungkin aku bisa memanfaatkan ini. Dia elf, dan jelas pengguna sihir. Pendapatnya mungkin bisa membantu.

"Bagaimana caramu menggunakan sihir?" tanyaku, mencoba membuka percakapan.

Quenya menoleh, sedikit terkejut. "Meski kau bertanya, aku tidak bisa menjelaskannya. Sama saja seperti bagaimana kau bisa mengayunkan pedangmu dengan mudah," jawabnya santai.

"Kalau begitu, apa yang kau pikirkan saat menggunakan sihir?" tanyaku lagi, mencoba menggali lebih dalam.

Dia mengangkat bahu. "Apa maksudmu?"

"Menurut buku ini, sihir itu sama saja dengan imajinasi. Tapi aku tidak terlalu paham maksudnya," jawabku, menggaruk kepala.

Quenya tersenyum kecil, seakan mengingat sesuatu. "Ah, itu. Sejujurnya, aku juga tidak mengerti pernyataan itu pada awalnya. Tapi ketika aku menggunakan sihir, aku hanya membayangkan sihir itu mengalir dari tubuhku ke panahku. Itu saja."

"Jadi begitu," gumamku.

 

Kalimatnya menyadarkanku. Tidak ada batasan dalam penggunaan sihir. Semua bergantung pada penggunanya. Misalnya, jika aku menggunakan sihir api dan membayangkan di tanganku ada seekor anjing, maka api yang terbentuk mungkin akan menyerupai anjing. Itu pemahamanku sejauh ini.

"Terima kasih, Quenya," kataku, tulus.

Dia mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi. Ternyata, sihir tidak serumit yang kubayangkan sebelumnya. Aku harus menyelesaikan buku ini, memahaminya dengan baik, lalu akhirnya mempraktikkannya bersama Tuan Albert. Rasanya semangatku kembali menyala!

 

Kembali ke Albert

 

Entah kenapa, langkahku terasa begitu berat, seolah udara di sekitarku menekan tubuh ini. Meski begitu, rasa penasaran menuntunku untuk terus maju. Gang-gang sempit yang aku masuki semakin gelap dan sunyi, namun perasaan aneh ini memaksaku untuk terus berjalan. Semakin dekat aku ke sumbernya, semakin berat rasanya, seperti ada kekuatan yang menarikku ke depan sekaligus mendorongku untuk berhenti.

Akhirnya, aku tiba di tempat yang menjadi asal perasaan itu. Anehnya, begitu sampai, perasaan berat itu tiba-tiba lenyap. Di depanku berdiri sebuah pintu tua, usang, dan hampir tersembunyi di antara bayang-bayang dinding. Tanpa berpikir panjang, aku membuka pintu tersebut.

 

Di dalamnya, aku menemukan seorang elf tua dengan jubah kusam dan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya yang redup tapi tajam menyambutku dengan senyuman samar.

"Selamat datang," katanya dengan suara serak, namun terdengar penuh teka-teki.

"Siapa kau?" tanyaku, berjaga-jaga.

"Aneh sekali," gumamnya. "Semua orang seharusnya tahu siapa aku. Aku adalah seorang peramal."

"Peramal?" ulangku, merasa waspada. "Kedengarannya mencurigakan."

Dia hanya tertawa kecil, suara tawanya bergema lembut di dalam ruangan kecil itu. "Bolehkan aku meramal masa depanmu?" tanyanya, masih dengan nada penuh misteri.

"Coba saja," jawabku, mencoba menutupi rasa skeptisku.

 

Elf itu mulai merapalkan sesuatu. Entah itu mantra atau sekadar gumaman tak jelas, aku tidak tahu. Namun, udara di sekitar kami terasa berubah, seperti ada sesuatu yang tidak terlihat namun nyata. Setelah beberapa saat, dia berhenti dan menatapku.

 

"Menarik sekali," katanya sambil tersenyum kecil, seperti sedang menilai sesuatu yang hanya dia yang bisa melihatnya.

Aku tetap diam, menunggu dia berbicara lebih lanjut.

 

"Kau sedang dalam perjalanan ke utara, bukan? Lebih tepatnya, ke Zelim," ujarnya dengan nada datar, namun kata-katanya menusuk.

Aku tertegun. Dia benar, tapi bagaimana dia bisa tahu?

 

Wajahnya menjadi lebih serius. "Jika kau tidak bergerak cepat, kematian akan datang," katanya, disertai tawa kecil yang justru membuat suasana semakin mencekam.

Aku mendengus pelan. "Aku meragukannya. Ramalan tidak nyata, apalagi jika datang dari seorang elf," kataku, mencoba terdengar tegas.

"Siapa bilang ini ramalan?" balasnya tajam. "Ini adalah takdir."

Kata-katanya membuatku diam sejenak. Wajahnya berubah dingin, tanpa emosi. "Terserah kau percaya atau tidak. Jika tidak puas, pergilah," tambahnya sambil menunjuk pintu.

Aku meninggalkan tempat itu, merasa campur aduk. Bagaimana dia bisa tahu tujuan kami? Dan lebih dari itu, bagaimana mungkin dia seakan memanggilku untuk menemuinya? Ketika aku memutuskan untuk kembali dan memeriksa peramal itu lagi, pintu yang tadi kulewati sudah menghilang, seolah tidak pernah ada.

 

Aku menghela napas panjang dan memutuskan kembali ke perpustakaan untuk memeriksa Jack. Ketika aku tiba, dia masih serius membaca, ditemani Quenya yang tampaknya asyik memperhatikan dari samping.

 

Aku tidak boleh membiarkan diriku teralihkan oleh ramalan atau "takdir" yang aneh itu. Tugasku sekarang adalah melatih Jack hingga dia menjadi lebih kuat. Lagi pula, ramalan, terutama dari elf, adalah sesuatu yang paling tidak dapat dipercayai.

 

"Bagaimana? Sudah paham?" tanyaku. 

"Sedikit, tapi ada hal yang belum sepenuhnya kumengerti," jawab Jack. 

"Baiklah. Kita akan keluar untuk mencoba mempraktikkannya. Quenya, kau ikut. Kau akan menilai hasilnya," kataku. 

 

Tanpa banyak bicara, Quenya mengikuti kami keluar. 

"Baiklah, kita mulai dari sini," kataku, menghadap Jack yang terlihat penuh semangat. "Pertama-tama, aku ingin kau menjelaskan apa yang sudah kau pelajari."

"Baik, Tuan," jawab Jack dengan mantap.

 

Dia mulai menjelaskan pemahamannya tentang sihir. Dari apa yang ia baca, sihir adalah tentang imajinasi. Dia menggambarkan konsep tersebut dengan cukup baik, meskipun aku merasa ada ruang untuk pengembangan.

 

"Lumayan, cara berpikirmu sudah cukup baik," kataku, menilai usahanya. "Tapi kau masih kurang luas dalam imajinasimu. Ingat, jika sihir adalah imajinasi, itu berarti tidak ada batasan. Segalanya mungkin jika kau mampu membayangkannya."

 

Jack tersenyum percaya diri. "Kalau begitu, mari kita coba praktekkan. Aku akan mencoba mengalirkan sihir ke pedangku."

 

Dia mulai mengaliri energi sihir ke pedangnya, menciptakan lapisan pelindung yang tampak kokoh. Itu pencapaian yang cukup bagus untuk pemula, tetapi dia lupa satu hal penting.

"Baiklah, aku akan maju!" teriak Jack sambil mengayunkan pedangnya ke arahku.

 

Aku mengamati tekniknya dengan saksama. Pedangnya memang tampak kuat dan tidak mudah patah, tetapi ia menggunakan terlalu banyak energi sihir, membuat lapisannya tidak bertahan lama. Dengan mudah, aku menangkap pedangnya dan menghancurkan lapisan pelindung itu.

"Jack, kau lupa satu hal," tegurku. "Tujuan pedang adalah untuk membelah, bukan memukul."

"Tapi... kupikir itu sudah cukup bagus," katanya, terdengar sedikit kecewa.

"Sudah kubilang, kau harus berpikir lebih luas. Benar, pedangmu bisa memukul serangan sihir, tapi apa gunanya jika pedangmu menjadi tumpul? Kau adalah petarung jarak dekat, Jack. Coba pikirkan lagi apa yang bisa kau lakukan dengan kemampuanmu," kataku, menantangnya.

 

Jack terdiam sejenak, merenung. Aku menoleh ke Quenya, yang mengamati kami dari samping.

"Apa pendapatmu?" tanyaku.

"Sihirnya terlihat kasar, tapi tidak stabil," jawab Quenya dengan lugas

"Benar," kataku. "Aku meminta bantuanmu karena Jack tidak bisa merasakan energi sihir, apalagi melihatnya."

"Begitu ya. Itu memang aneh," gumamnya.

 

Setelah berpikir cukup lama, Jack akhirnya mendapatkan ide. Wajahnya menyiratkan keyakinan.

 

"Aku paham!" serunya. "Karena ini sihir pelindung, seharusnya aku melapisi tameng. Tapi, karena aku tidak memiliki tameng, aku bisa melapisi pakaianku!"

 

Tanpa ragu, dia mulai mempraktekkannya. Lapisan sihir menyelimuti pakaiannya, memberikan perlindungan menyeluruh.

"Bagus! Ayo kita uji apakah itu efektif," kataku.

 

Tanpa basa-basi, aku memukul Jack dengan keras, membuatnya terlempar jauh. Lapisan sihirnya hancur, tetapi aku melihat kilatan keberhasilan dalam usahanya.

"Apa kau tidak berlebihan?" tanya Quenya, berlari menghampiri Jack.

Aku mengikuti mereka, memastikan Jack baik-baik saja. "Jadi, bagaimana perasaanmu?" tanyaku.

Jack terdiam sejenak sebelum menjawab, "Luar biasa. Meski lapisan sihirnya hancur, aku sama sekali tidak merasakan sakit dari pukulanmu, Tuan."

"Benarkah?" Quenya tampak terkejut.

"Kau juga meminimalkan penggunaan energimu. Itu sangat bagus," kataku, memuji kemajuannya. "Kau ingat, serangan apapun yang diberikan pada sihir pelindung tidak akan berdampak selama tidak langsung mengenai tubuhmu."

 

Jack terdiam lagi, wajahnya menunjukkan ia sedang memikirkan sesuatu yang penting. Kemudian, ia mulai melapisi seluruh tubuhnya dengan sihir pelindung. Quenya terlihat sangat terkejut.

"Bagaimana kau melakukannya?" tanyanya.

"Sihir adalah bayangan pengguna," jawab Jack. "Aku membayangkan tubuhku sendiri sebagai objeknya, menggantikan objek lain. Dengan begitu, aku tidak perlu mengalirkan energi sihir ke luar tubuhku."

Aku tersenyum. "Bagus sekali. Kau menggunakan tubuhmu sebagai objek, yang mengurangi kebutuhan energimu untuk mengalirkan sihir ke benda lain. Ini adalah sihir baru. Kita harus mencobanya."

"Ya, mohon bantuannya," jawab Jack, penuh semangat.

 

Aku tidak menyangka latihan ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Jack menunjukkan potensi yang sangat besar, dan aku semakin bersemangat untuk melatihnya. Aku tak sabar melihat seberapa jauh dia bisa berkembang.