Chereads / My Eternal Journey / Chapter 9 - Keresahan

Chapter 9 - Keresahan

Aku melanjutkan pelatihan Jack. Dia semakin mahir dalam menggunakan sihir, tetapi masalah yang muncul adalah ketidakstabilan energinya. Hal ini akan menjadi kendala besar jika tidak segera diperbaiki. Sayangnya, Jack tidak dapat merasakan energi sihir, yang membuatnya kesulitan memahami stabilitas sihirnya.

"Jack, kita sudahi latihan hari ini," kataku.

"Tapi aku masih sanggup," jawabnya dengan nada penuh semangat.

"Kau mimisan," kataku sambil menunjuk hidungnya.

Jack tampak terkejut. Dia bahkan tidak sadar bahwa energi sihirnya hampir habis. Ini bisa menjadi masalah besar jika terus dibiarkan.

"Padahal aku tidak merasa lelah sama sekali," jawabnya sambil mengusap hidungnya.

"Sihirmu hampir habis. Untuk saat ini, istirahat saja dulu," kataku.

Aku meninggalkan Jack dan pergi menuju penginapan untuk beristirahat. Namun, pikiranku terus dipenuhi oleh kata-kata dari peramal itu. Meskipun aku tidak percaya pada ramalan, fakta bahwa dia menggiringku ke tempatnya membuatnya sangat mencurigakan.

Sesampainya di penginapan, aku melihat Quenya sedang menunggu di depan.

"Jack ada di tempat latihan jika kau mencarinya," kataku.

"Bukan itu, ada yang ingin kubicarakan denganmu," jawab Quenya sambil mengajakku menuju sebuah bar.

"Untuk cucu seorang raja, bar itu agak…," kataku sambil bercanda.

"Diamlah," jawab Quenya singkat.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku sambil duduk.

Quenya meneguk minumannya sebelum berkata, "Bagaimana perkembangan pelatihan Jack?"

"Bagus, hanya saja dia belum bisa menstabilkan sihirnya," jawabku.

"Begitu ya," katanya sambil melanjutkan makannya, tanpa berkata lebih lanjut.

"Aku tidak yakin itu saja yang ingin kau katakan," ujarku.

"Sebentar lagi kapal menuju ke utara akan berangkat," katanya akhirnya.

"Kapan tepatnya?" tanyaku.

"Kurang dari enam hari," jawabnya.

Perjalanan ke utara memang sulit, dan kapal yang menuju ke sana sangat terbatas. Biasanya hanya tiga atau empat kapal yang berangkat dalam setahun. Tapi kali ini, aku mempertimbangkan untuk melewatkannya karena Jack masih belum cukup kuat.

"Terima kasih untuk informasinya, tapi kami tidak akan ikut," kataku.

"Ini adalah kapal terakhir," katanya. "Setelah ini, kalian harus menunggu hingga enam tahun."

Aku terdiam, mencoba mencerna perkataannya.

"Kondisi laut saat ini sangat buruk. Biasanya hanya memakan waktu dua tahun, tapi kali ini lebih lama," jelasnya.

"Begitu ya," kataku singkat.

"Tapi baguslah kalau kalian tidak jadi berangkat," katanya lagi.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Kondisinya sedang tidak aman. Lagi pula, kau bisa melatih Jack lebih lama," jawabnya.

Quenya benar, aku punya waktu lebih banyak untuk melatih Jack. Tapi enam tahun, apa itu tidak terlalu lama? Perkataan peramal itu terus terngiang di pikiranku: "Jika tidak cepat, maka akan ada yang mati." Ramalan itu membuatku resah.

"Maafkan aku, Quenya, tapi sepertinya kami akan berangkat," kataku akhirnya.

"M-maksudmu?" Quenya tampak kaget. "Apa aku kurang jelas mengatakannya?"

"Jadi, kau sedang membujukku agar tidak berangkat?" tanyaku.

"Memangnya kenapa harus berangkat?" tanya Quenya dengan nada marah.

"Bukan hal yang perlu kau ketahui," jawabku dingin.

"Selama enam tahun, kau bisa melatih Jack untuk menstabilkan sihirnya," katanya mencoba meyakinkanku.

"Itu bisa dilanjutkan selama perjalanan," jawabku.

"Kapan kau akan melanjutkannya? Apa ketika dia berlumuran darah kau baru akan melakukannya?" tanyanya tajam.

"Ya, jika itu yang ingin kau dengar," kataku tegas.

Quenya terdiam. Aku tahu dia tidak setuju, tetapi aku tidak punya pilihan lain.

"Bagaimana jika kukatakan bahwa aku tahu cara menstabilkan sihir Jack?" tanyanya.

"Percuma," jawabku singkat.

"Kenapa kau begitu keras kepala?" katanya marah.

Percakapan kami berakhir tanpa kesepakatan. Aku meninggalkan Quenya dan kembali ke penginapan. Malam itu, aku bermimpi aneh. Aku melihat orang-orang melambaikan tangan dari kejauhan, di antara mereka ada wajah orang tuaku dan istriku. Aku juga melihat Jack berjalan menuju mereka, tetapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku terbangun dengan perasaan berat di dada. Firasat buruk ini semakin menguatkan keputusanku untuk segera berangkat.

Keesokan paginya, aku menemui Jack di tempat latihan.

"Apa kau di sini semalaman?" tanyaku.

"Aku baru sampai," jawabnya.

"Aku sudah mendengarnya dari Quenya," katanya.

"Begitu ya. Jadi, apa jawabanmu?" tanyaku.

"Tentu saja sama sepertimu, Tuan Albert," jawab Jack penuh semangat.

Aku tersenyum. "Kalau begitu, kita lanjutkan latihannya."

Waktu berlalu, dan hari keberangkatan tiba. Di pelabuhan, Quenya dan Aliando datang untuk mengucapkan perpisahan.

"Jaga dirimu, Aliando," kataku.

"Hmph, seharusnya aku yang mengatakan itu," jawabnya dengan nada datar.

Aku menghampiri Quenya. "Kau masih bisa membujuknya."

"Tidak, aku sudah tahu alasannya. Jadi, kumohon berhati-hatilah," katanya pelan.

"Begitu. Sampaikan salamku kepada Raja Hilbert," kataku.

Kapal pun berangkat menuju utara. Aku menemui kapten untuk menanyakan perjalanan.

"Ngomong-ngomong, berapa lama perjalanan ini?" tanyaku pada kapten kapal.

"Mungkin sekitar satu tahun," jawabnya sambil mengangkat bahu.

"Lama sekali," gumam Jack, tampak sedikit putus asa.

Kapten terkekeh mendengar keluhan Jack. "Ya, begitulah. Apa kau pernah dengar tentang Labirin Laut?" tanyanya sambil menatap kami.

"Ya," jawabku singkat.

Kapten melanjutkan, "Dulu, labirin itu memiliki penunjuk jalan yang jelas, tapi entah bagaimana, labirin itu tiba-tiba berubah. Polanya terus berubah-ubah, membuat navigasi jadi mimpi buruk."

"Apa hanya itu halangan yang harus kita hadapi?" tanyaku, mencoba memahami apa yang akan kami hadapi.

Kapten menggeleng pelan. "Oh, tentu saja tidak. Selain labirin yang membingungkan, ada monster laut yang suka muncul secara tiba-tiba. Dan jangan lupakan bajak laut—mereka akan mengambil setiap kesempatan untuk menyerang kapal seperti ini."

Jack menelan ludah, terlihat sedikit gugup. Namun, aku hanya tersenyum tipis. "Sepertinya perjalanan ini tidak akan membosankan," kataku, mencoba meredakan ketegangan.

Jadi itu alasannya. Namun, alasan tersebut masih belum menjelaskan mengapa pelayaran selanjutnya membutuhkan waktu hingga enam tahun.

"Ngomong-ngomong, apa itu labirin laut?" tanya Jack penasaran.

"Sebuah labirin yang berada di lautan," jawabku santai.

"Aku juga tahu itu," balas Jack dengan nada mengejek.

Aku menghela napas sambil memutar mata, lalu mencoba menjelaskan. "Labirin itu sebenarnya tidak pernah ada di lautan, tapi entah kenapa berpindah tempat ke sini."

"Maksudmu?" tanya Jack, kini serius.

"Labirin itu awalnya diciptakan oleh para iblis di daerah kekuasaan mereka, lebih tepatnya di selatan. Tujuannya adalah untuk membingungkan dan menjebak lawan. Tapi, sekitar 300 tahun lalu, labirin itu tiba-tiba berpindah ke sini, ke lautan. Labirin itu sangat besar, bahkan terbagi menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah bagian yang akan kita lewati, Begitu sih yang kudengar," salah satu awak kapal menjelaskan dengan lebih rinci

"Apa itu benar, Tuan?" tanya Jack padaku, suaranya sedikit ragu.

Aku mengangguk pelan. "Kurang lebih seperti itu."

Pikiran kami semua terasa berat membayangkan tantangan yang ada. Labirin itu sendiri sudah sangat berbahaya. Bagaimana dengan ancaman lain yang mungkin belum disebutkan?

"Kira-kira, berapa lama sampai kita tiba di labirin itu?" tanyaku kepada kapten kapal.

"Mungkin sekitar empat bulan," jawabnya sambil menatap jauh ke arah cakrawala.

Jadi memang, labirin itu akan menjadi bagian paling menyulitkan dari perjalanan kami.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami sampai di Labirin Laut. Labirin itu sangat besar, seakan-akan menyentuh langit dan dalam hingga ke dasar laut. Aku hanya bisa membayangkan ancaman apa yang menanti kami di dalamnya.