Sudah tiga hari berlalu sejak kami berhasil keluar dari Deathland, dan perjalanan ini tampaknya masih jauh dari selesai. Luka Jack belum sembuh sepenuhnya, dan demi mempercepat perjalanan, aku memutuskan untuk menumpang gerobak seorang pedagang tua yang kebetulan menuju desa Giov. Jack tertidur pulas di sampingku, wajahnya pucat tapi tenang—sepertinya kelelahan telah mengalahkan rasa sakit yang dia rasakan.
Deathland memang tidak seburuk yang dulu dikisahkan, tapi tetap saja tempat itu adalah mimpi buruk. Seperti badai yang datang tanpa peringatan, tempat itu masih bisa mencabik-cabik ketenangan siapa pun yang memasukinya.
"Sepertinya akan hujan," suara berat pedagang itu memecah keheningan.
"Parahkah?" tanyaku, menatap awan gelap yang mulai berkumpul di kejauhan.
"Tidak," jawabnya singkat, sambil menarik mantelnya lebih rapat.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Giov, desa terkenal yang berada di bawah perlindungan Raja Hilbert. Di sini, ras-ras yang biasanya saling bermusuhan—manusia, elf, bahkan demon—hidup berdampingan. Semua ini berkat kebijakan Raja Hilbert, seorang pemimpin dari elf barat yang bijaksana. Tapi tentu saja, kedamaian seperti ini jarang bertahan lama.
"Apakah kau tidak lelah?" tanya pedagang itu, matanya melirik ke arahku. "Temanmu saja kelihatan sangat kelelahan."
"Ya, kami baru saja keluar dari Deathland," jawabku, mencoba menyembunyikan keletihan yang mulai menyergap.
"Deathland, ya…" Dia menggumam, matanya menyipit.
"Apa benar Quinzland memburuk?" tanyaku, memecah jeda.
Pedagang itu hanya terdiam, tapi sikapnya sudah cukup menjadi jawaban. Aku mendesah pelan. Jadi, desas-desus itu benar. Quinzland—tempat yang dulu menjadi jalur utama menuju selatan—sekarang menjadi wilayah yang mustahil dilewati.
"Raja Hilbert memang mencoba menciptakan perdamaian, tapi tidak semua orang sepakat," ujar pedagang itu akhirnya. "Demon masih dipandang rendah oleh sebagian besar manusia selatan."
Aku mengangguk pelan. Entah apa yang membuat kebencian itu begitu mendalam. Ironisnya, wilayah selatan dulunya adalah tanah milik para demon sebelum manusia merebutnya.
"Bagaimana denganmu?" tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Dia terdiam, seolah-olah pertanyaanku adalah beban berat. Lalu, dia berkata, "Bagiku, baik dan jahat hanyalah cara pandang. Aku pernah bertemu demon yang menyelamatkanku, dan dia adalah demon yang baik. Tapi, aku juga pernah bertemu demon yang melukaiku, dan dia adalah demon yang jahat. Hal yang sama berlaku untuk manusia."
Tak ada yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk. Kurasa, apa yang dikatakannya memang benar. Aku tak bisa begitu saja menyebut Jack sebagai orang baik jika ia tak pernah membantuku sejauh ini. Sama seperti aku tak bisa menyebut semua demon sebagai makhluk jahat hanya karena aku belum bertemu dengan yang berbuat baik. Kebaikan dan keburukan adalah sisi yang saling melengkapi, selalu hadir dalam setiap jiwa, tanpa kecuali.
Mereka—manusia, elf, dwarf, bahkan demon—adalah campuran dari keduanya. Setiap tindakan, setiap pilihan, melukiskan warna berbeda yang membuat kita lebih dari sekadar hitam atau putih. Kita semua hanyalah potret yang terus berubah, diwarnai oleh apa yang telah kita lakukan dan apa yang kita pilih untuk menjadi.
"Jadi, kenapa kau tidak istirahat?" tanya pedagang itu tiba-tiba. "Kau sendiri terlihat seperti bisa pingsan kapan saja."
"Jika aku tidur, aku akan bermimpi," kataku singkat. Sebenarnya, aku belum tidur semenjak keluar dari Deathland.
"Mimpi buruk, ya?" Dia mengangguk paham, tapi matanya tidak berhenti mengamatiku. "Kadang, mimpi buruk dan kenangan indah sama-sama sulit dihadapi. Yang buruk menyakitkan, dan yang indah… membuatmu rindu akan sesuatu yang sudah berlalu."
"Apa kau memiliki keduanya?" tanyaku, suaraku lebih serius dari yang kumaksudkan.
"Tentu saja," jawab pedagang itu tanpa ragu, tetapi ada kilatan kesedihan di matanya. "Aku seorang pedagang, nak. Hidupku penuh dengan kenangan—baik yang manis maupun yang pahit."
Dia terdiam sejenak, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat. "Tapi tetap saja," lanjutnya, suaranya sedikit melembut, "baik buruknya kenangan itu tidak mengubah nilainya. Semua yang pernah kualami—entah itu kebahagiaan atau kesedihan—adalah bagian dari diriku. Aku tidak bisa menghindari hal buruk, seperti halnya aku tidak bisa mempertahankan hal-hal indah selamanya. Aku hanya seorang dwarf biasa yang berdagang, tapi aku tahu satu hal, kenangan itu berharga, karena aku sudah melewatinya. Itulah yang membuatku jadi seperti sekarang."
Aku terdiam, memikirkan kata-katanya. "Kurasa kau benar," ujarku akhirnya.
Bagiku, kata-katanya seperti cahaya di tengah gelapnya pikiranku. Meskipun itu buruk, rasa sakit yang pernah kita alami tidak boleh dilupakan. Dan meskipun itu indah, kita tidak bisa menggenggamnya selamanya. Tapi itu bukan alasan untuk melupakannya. Semua kenangan—baik dan buruk—adalah pelajaran yang tak ternilai, yang membentuk siapa kita di setiap langkah perjalanan hidup.
Malam itu, ketika akhirnya aku memberanikan diri untuk tidur, aku bermimpi tentang seorang pria. Dia terlihat sangat mirip denganku. Pria itu meninggalkanku dan ibuku di masa lalu yang penuh kesulitan, dan aku yakin dia adalah ayahku.
Ketika aku terbangun, gerobak kami telah berhenti di depan desa Giov. Jack dan aku segera berpisah; dia pergi mengobati lukanya, sementara aku mencari penginapan.
Giov adalah desa yang luar biasa. Elf, manusia, dwarf, demon, bahkan naga terlihat hidup berdampingan tanpa memedulikan ras mereka. Tapi di balik pemandangan damai ini, aku bertanya-tanya Berapa lama kedamaian ini akan bertahan? Dan siapa yang akan menghancurkannya?
Setelah selesai menyewa tempat penginapan, aku duduk di luar, menikmati langit senja yang perlahan gelap, sembari menunggu Jack selesai mengobati lukanya. Hawa sejuk dan damai di tempat ini begitu berbeda dari perjalanan penuh bahaya yang baru saja kami lewati. Namun, di tengah ketenangan itu, pikiranku tetap melayang ke tempat-tempat lain.
Seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku. Seorang nenek tua dengan tubuh yang rapuh namun tatapannya penuh kebijaksanaan. "Kau seorang petualang?" tanyanya dengan suara serak namun ramah.
"Ya," jawabku singkat. "Hanya beristirahat di sini sebentar."
Kami terdiam beberapa saat. Aku menikmati keheningan, sementara dia sepertinya sedang mencari kata-kata yang tepat.
"Tempat ini begitu damai," ujarnya akhirnya, pandangannya terarah pada sekelompok anak kecil dari berbagai ras yang bermain bersama. "Kuharap, seperti ini selamanya."
"Ya," kataku, menimpali. "Raja Hilbert telah melakukan hal yang baik."
Nenek itu mengangguk perlahan. "Benar. Banyak ras yang sampai saat ini saling membenci, tapi di sini, kami belajar untuk saling mendukung."
Aku hanya mendengarkan. Kata-katanya membawa perasaan nostalgia yang aneh—seakan aku pernah mengalami masa-masa yang ia gambarkan, namun entah kapan dan di mana.
"Ketika aku kecil," lanjutnya, "kakekku sering bercerita tentang semua ras yang bersatu untuk mengakhiri perang besar." Ia tersenyum samar, lalu menambahkan, "Tapi sekarang..."
"Perang merenggut segalanya," potongku pelan. "Namun anehnya, kita tetap melakukannya, seakan itu bagian dari diri kita."
Nenek itu menatapku lama sebelum akhirnya mengangguk. "Benar. Bahkan Raja Hilbert, dengan segala kebaikannya, tetap memilih berperang ketika situasi memaksanya." Ia memiringkan kepala. "Bagaimana menurutmu tentang itu?"
Aku terdiam, mencoba menemukan jawaban. Dari semua kenangan masa laluku, yang selalu terpatri dengan jelas hanyalah bayang-bayang perang.
"Temanku yang hidup sangat lama pernah berkata bahwa dia ada di sana, ketika perang itu berlangsung," kataku akhirnya. "Menurutnya, itu sangat mengerikan. Tapi meski begitu, dia tetap melanjutkannya."
"Begitu ya," gumam nenek itu pelan. "Apa temanku yang kau maksud adalah... *Si Abadi*?"
Aku menatapnya, bingung. "Maksudmu?"
"Semua orang di sini mengenal cerita *Si Abadi*. Kakekku sering menceritakannya—tentang seseorang yang hidup lebih lama dari semua makhluk, yang katanya ikut mengakhiri perang besar itu."
Aku menggeleng samar. "Bukan, kurasa bukan dia. Temanku hanya membantu mengakhirinya, bukan sosok utama dalam cerita itu."
Namun nenek itu tampaknya tak sepenuhnya yakin. "Kalau diperhatikan, kau mirip dengan deskripsi *Si Abadi* itu. Sangat mirip."
Aku terkekeh kecil, mencoba mengabaikan pikirannya. "Itu kebetulan saja. Lagipula, dari mana kau tahu bagaimana wajahnya?"
"Di desa ini, ada patung yang didirikan untuk menghormatinya," jawab nenek itu sambil menunjuk ke arah alun-alun. "Sosok yang melindungi Giov dan leluhur Raja Hilbert."
Kata-katanya membuatku terdiam. Aku memang tak ingat pernah melindungi tempat ini, tapi sesuatu tentang cerita itu terasa begitu akrab—seperti ingatan lama yang samar.
"Dunia ini sangat luas," gumamku. "Mungkin hanya kebetulan."
Nenek itu tertawa kecil. "Luas, ya. Dunia ini terus berkembang, sementara kita manusia hanya meninggalkan sedikit yang bisa diingat oleh generasi selanjutnya."
"Meski begitu," kataku pelan, "aku percaya pada mereka yang masih berjuang. Pada mereka yang mencoba mengubah dunia, meski hanya sedikit."
Percakapan kami terputus oleh suara langkah tergesa-gesa. Jack berlari ke arahku dengan napas terengah-engah.
"TUAN!" teriaknya, wajahnya pucat namun matanya penuh kegelisahan.
Nenek itu menoleh padaku dengan senyum kecil. "Apa dia salah satu dari mereka? Orang-orang yang kau percayai untuk mengubah dunia?"
Aku menatap Jack dan tersenyum tipis. "Ya. Mungkin dia akan menjadi salah satunya."
Jack tiba di hadapanku, masih terengah-engah. "Tu-tuan, aku... aku melihat anakmu!"
Perkataannya membuatku terpaku. "Apa maksudmu? Jangan bicara sembarangan, Jack," jawabku sambil tertawa kecil, mencoba meredakan suasana.
"Tapi aku serius!" serunya, matanya menatapku tanpa keraguan. "Dia sangat mirip denganmu."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Kalau begitu, tunjukkan aku orang itu."
Jack mengangguk penuh semangat, lalu mengajakku pergi. Sebelum meninggalkan nenek itu, aku bertanya, "Ngomong-ngomong, siapa pendiri desa ini?"
Nenek itu tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab, "Elric."
Nama itu membuatku terdiam sejenak. "Terima kasih," kataku pelan.
Saat kami berjalan menjauh, pikiranku dipenuhi oleh ingatan lama. Elric... Sudah lama sekali. Entah bagaimana, ia tetap memastikan dunia mengenalku, meski aku tak pernah meminta.
Jack membimbingku ke arah seorang pria muda yang ia sebut mirip denganku. Saat aku melihatnya, aku terdiam. Jack benar. Wajah pria itu sangat menyerupai wajahku—hanya warna rambutnya yang berbeda. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba memastikan bahwa ini bukan ilusi. Tapi aku tak pernah ingat memiliki anak. Siapa dia sebenarnya?
"Tuanku, lihatlah," kata Jack penuh semangat. "Aku benar, kan?"
Aku hanya terdiam, rasa terkejut membuat kata-kataku tertahan.
"Kurasa kau harus menyapa anakmu, Tuan," lanjut Jack sambil tersenyum kecil.
"Sudah kubilang, aku tak punya anak," jawabku tegas, mencoba menegakkan kenyataan yang kupercaya.
"Tapi bagaimana kau menjelaskan ini?" Jack menatapku serius, seolah ia tak percaya dengan penyangkalanku.
Aku mengalihkan pandangan, menatap pria itu lagi. Semua hal tentangnya—tatapan matanya, garis rahangnya, caranya berdiri—mengguncang hatiku. Apakah mungkin...? Aku berusaha mencari jawaban dalam ingatanku yang terasa seperti labirin tanpa akhir.
"Aku akan bertanya langsung kepadanya," kata Jack, siap melangkah mendekati pria itu.
"Tunggu, Jack." Aku mengangkat tanganku, menghentikannya. "Tidak perlu. Aku telah ingat."
Jack menatapku penuh harap. "Jadi, benar dia adalah..."
"TIDAK!" potongku tajam. "Dia bukan anakku. Dia adalah... keturunan ayahku."
Jack terkejut mendengar jawabanku. Raut wajahnya berubah bingung, hampir tak percaya.
"Tuan," katanya pelan, "aku tahu kau berbohong kepadaku."
"Aku tidak berbohong," jawabku dengan suara berat. "Aku ingat sekarang."
"Maksudmu?" Jack menatapku dengan penuh tanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kenangan yang lama terkubur. "Aku sempat bertemu kembali dengan ayahku di masa lalu. Saat itu, ia sudah menikah lagi dan memiliki anak."
Jack terdiam, mendengarkan kisah yang mulai kubuka.
"Ketika aku kecil, aku tidak pernah bertemu ayahku. Ia meninggalkan kami begitu saja, dan aku hanya memiliki ingatan samar tentangnya. Pertama kali aku bertemu dengannya lagi adalah setelah aku mendapatkan keabadian. Saat itu, aku sangat marah kepadanya karena telah meninggalkan kami."
Jack tetap diam, matanya memandangku dengan penuh perhatian.
"Namun, ia menjelaskan sesuatu yang tidak pernah kuketahui. Saat penyerangan terjadi, ayahku kembali ke rumah kami. Ia berpikir kami semua telah mati. Ayahku melarikan diri dengan rasa bersalah yang tak pernah hilang," lanjutku dengan suara yang mulai bergetar.
Aku berhenti sejenak, mengingat bagaimana aku melepaskan kemarahanku pada pria itu. "Aku mengungkapkan kepadanya bahwa aku abadi. Dia kemudian mengenalkanku kepada seseorang yang memiliki nasib serupa untuk melatihku mengendalikan kemampuan ini. Setelah itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi... sampai aku mendengar kabar kematiannya."
Jack tampak terpukul dengan ceritaku. Ia menatapku, lalu bertanya dengan hati-hati, "Apa kau masih marah kepada ayahmu?"
Aku menggeleng pelan, menatap tanah. "Tidak. Sekarang aku hanya menyesal. Aku seharusnya menyelesaikan semua itu dengannya. Tapi waktu itu, aku terlalu dikuasai oleh amarah."
Kami terdiam dalam keheningan yang berat. Dari kejauhan, seseorang memanggil pria muda itu. "Gilbert!"
Aku tersentak mendengar nama itu. Seolah ada sesuatu yang terkunci dalam pikiranku perlahan terbuka. Nama itu terasa akrab, namun aku tak yakin dari mana aku pernah mendengarnya. Anehnya, aku merasa nama itu pernah disematkan padaku di suatu waktu.
"Dunia ini memang sangat luas," gumamku sambil tersenyum samar. "Hal seperti ini bisa saja terjadi."
Jack menatapku, mencoba membaca pikiranku, namun ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
"Ayo, kita kembali ke penginapan," kataku akhirnya.
Kami meninggalkan tempat itu dan berjalan perlahan menuju penginapan. Malam itu, pikiranku terus bergumul dengan kenangan dan pertanyaan baru. Apakah dunia ini benar-benar sebesar itu, ataukah aku yang terlalu lama mencoba melupakan?