Aku menerima tawaran Quenya untuk menemani kami menuju Kerajaan Elf. Meski alasannya tetap misterius, aku tidak melihat ancaman dalam dirinya. Dia tidak tampak seperti orang jahat.
"Apa yang kau lakukan pada mayat Neo?" tanya Quenya tiba-tiba saat kami berjalan.
"Aku sudah mengurusnya," jawabku singkat, menjaga nada tetap datar.
"Baiklah," katanya dengan nada ragu. "Tapi kau tahu, kematian Neo akan segera diketahui. Jika orang-orang tahu kau yang membunuhnya, kau akan menjadi buronan."
"Itu bukan masalah besar," balasku sambil melangkah santai.
"Ya sudah, kalau begitu beristirahatlah untuk sekarang," katanya sebelum pergi tanpa menunggu jawaban.
Aku masuk ke penginapan untuk memeriksa kondisi Jack. Dia masih terbaring, tetapi tampak lebih baik, meski belum sadar. Sihir yang digunakan Neo terus berputar dalam pikiranku. Sihir itu adalah sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bahkan Neo sendiri harus membayar mahal untuk menggunakannya—tulang tangannya hancur seperti debu.
Namun, yang lebih menggangguku adalah apa yang dikatakan Neo sebelum mati. Dia akan membunuhmu, dan kau akan membunuhnya. Kata-kata itu terus menghantuiku. Rasa lemah yang aneh juga mengusik pikiranku. Kekuatanku melemah, dan aku tidak tahu alasannya. Neo seharusnya bukan ancaman bagiku, tapi aku hampir kalah karenanya.
Aku mencoba tidur, tapi bayang-bayang pikiran itu terus menghantui.
---
"Belum tidur?" sebuah suara lembut memecah lamunanku.
Aku menoleh. Itu adalah suara seorang wanita—seseorang dari masa laluku.
"Belum," jawabku, mataku menerawang jauh. "Aku tidak bisa tidur."
"Kenapa?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Aku menghela napas panjang. "Maafkan aku, karena harus meninggalkanmu sendirian di sini."
"Tidak apa-apa," katanya lembut. "Kau pergi berperang untuk melindungiku, kan? Itu membuatku senang."
"Terima kasih, Amelia," gumamku, suara itu terdengar asing di bibirku.
---
Aku terbangun dengan keringat dingin. Mimpi itu terlalu nyata. "Amelia... maafkan aku," gumamku. Kamar terasa sunyi, hanya suara napasku dan detak jantung yang terdengar.
Keluar dari kamar, aku mencari udara segar. Suasana di luar penginapan sangat ramai. Orang-orang tampak bersiap untuk menyambut Raja Hilbert dan Raja Ragnar yang akan segera tiba. Quenya menghampiriku, wajahnya terlihat lega.
"Bagaimana keadaan Jack?" tanyanya.
"Lebih baik, tapi dia belum sadar," jawabku.
"Tentu saja. Dia tidak mungkin pulih dalam satu hari," katanya dengan santai.
Tiba-tiba, bunyi terompet terdengar. Raja Ragnar, penguasa bangsa Dwarf, tiba dengan penuh keagungan. Tak lama kemudian, Raja Hilbert dari bangsa Elf juga tiba. Kedua raja disambut hangat oleh rakyat yang tampak begitu bersemangat.
"Elf dan Dwarf, ya?" gumamku sambil tersenyum kecil.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Quenya, mendengar gumamanku.
"Tidak, tidak ada," kataku cepat.
Melihat perdamaian ini adalah pemandangan yang luar biasa. Elf dan Dwarf telah lama berseteru. Kini, mereka berdamai.
Kami berjalan mendekat, bergabung dengan kerumunan untuk menyaksikan acara perdamaian yang digelar. Tarian, musik, dan perayaan lainnya memeriahkan suasana. Namun, inti dari semua ini adalah momen bersejarah ketika kedua raja akhirnya berjabat tangan—sebuah simbol yang menandakan akhir dari perseteruan panjang antara bangsa Elf dan Dwarf. Sorak-sorai rakyat memenuhi udara, menandai kebahagiaan kolektif atas perdamaian ini.
Ketika acara berakhir, Quenya menoleh padaku. "Ayo ikut denganku," katanya tanpa basa-basi.
Aku mengerutkan kening, menatapnya curiga. "Apa kau gila?" bisikku tajam.
Dia tidak menjawab. Langkahnya mantap menuju ke arah kedua raja yang masih berdiri di panggung. Aku tak punya pilihan selain mengikutinya. Saat kami tiba, dia membungkukkan badan dengan hormat sebelum memperkenalkanku. Dari sikapnya, aku langsung tahu dia lebih dari sekadar prajurit biasa.
Raja Hilbert menatapku dengan senyum tipis. "Akhirnya kita bertemu, Albert si Abadi."
"Jadi, Aliando telah memberitahumu tentangku?" tanyaku, menjaga nada tetap netral.
"Benar. Ayahku sering menceritakan kisah-kisah tentangmu," katanya, nadanya tenang namun penuh rasa hormat.
Aku mengangguk singkat. "Baiklah, ini akan cepat. Aku ingin meminta izin untuk memasuki kerajaanmu."
"Itu bukan masalah, asalkan kau bersedia menceritakan sedikit tentang dirimu," balas Raja Hilbert.
"Dengan senang hati," jawabku tanpa ragu.
Sebelum kami melanjutkan, Raja Ragnar, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Jadi ini dia, Albert si Abadi."
Aku mendesah kecil, menatapnya. "Tak perlu formal seperti itu, Ragnar."
"Hahaha! Lama tidak bertemu, Tuan Albert," katanya sambil tertawa lepas.
"Kalian saling kenal?" tanya Raja Hilbert, terlihat terkejut.
"Begitulah," jawabku singkat.
"Tidak hanya itu," potong Ragnar. "Tuan Albert adalah pahlawan bagi bangsa kami. Dia membantu kami keluar dari masa-masa sulit, memastikan bangsa Dwarf tidak kehabisan bahan mentah, dan banyak lagi!"
Aku hanya tersenyum tipis. "Seperti biasa, kau tetap ceria, Ragnar."
Tawa Ragnar menggema, memecah suasana formal di sekeliling kami.
Raja Hilbert tampak merenung sejenak sebelum berkata, "Aku tidak menyangka hal ini. Tapi yang lebih mengejutkan, cucuku berhasil menemukanmu di sini."
"Cucu?" Aku menoleh, terkejut.
"Apa Quenya tidak memberitahumu?" tanyanya.
"Tidak, tidak sama sekali," jawabku.
Jadi, Quenya adalah cucu Raja Hilbert. Itu menjelaskan keberaniannya untuk langsung memperkenalkanku kepada sang raja.
Aku mengalihkan pandangan ke arah kedua raja. "Tapi tetap saja, melihat Elf dan Dwarf bersatu adalah pemandangan yang luar biasa."
Ragnar mengangguk. "Ya, setelah dipikir-pikir, apa gunanya kita saling membenci?"
"Benar," tambah Hilbert.
Aku tersenyum kecil. "Yah, semoga ini menjadi awal dari kedamaian yang lebih besar hingga akhirnya dunia benar-benar damai. Jika tidak ada yang memulai, maka kita lah yang harus memulainya."
Kami terus berbicara cukup lama. Rasanya menyenangkan berbagi pandangan dengan dua pemimpin yang memiliki umur panjang seperti diriku.
---
Setelah perbincangan itu, aku kembali menemui Quenya. Dia baru saja kembali dari menjenguk Jack.
"Tampaknya kau bersenang-senang," katanya.
"Bagaimana keadaan Jack?" tanyaku.
"Dia sudah sadar. Dia ingin sekali melihat acara tadi, tapi aku melarangnya. Dia harus beristirahat," jawab Quenya.
"Bagus," jawabku singkat.
"Apa yang Raja Hilbert katakan padamu?" tanya Quenya lagi.
"Aku masih terkejut mengetahui kau adalah cucunya," jawabku jujur.
"Memangnya aku belum mengatakannya?" katanya sambil tersenyum kecil.
"Tidak, kau belum," balasku.
Quenya mengangguk kecil. "Aku belum pernah melihatnya tertawa seperti itu sebelumnya. Dia tampak seperti bertemu teman lama."
"Dia pasti senang dengan perdamaian ini," jawabku.
"Tentu saja," katanya singkat.
Aku mengangguk. "Aku akan menjenguk Jack. Sampai nanti."
Quenya hanya tersenyum kecil dan membiarkanku pergi.
---
Aku memasuki kamar Jack dan menemukannya duduk di tempat tidur, memandangi jendela dengan tatapan kosong.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku.
"Sudah lebih baik, Tuan," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Aku duduk di kursi di sebelahnya. "Kau tampak senang."
"Tentu saja, Tuan. Melihat perdamaian seperti ini membuatku senang," katanya, matanya masih memandang keluar.
Aku tersenyum kecil. "Istirahatlah lebih banyak. Kita tidak sedang terburu-buru."
"Tuan..." Suaranya berubah serius. "Apa aku berguna?"
Aku mengangkat alis, menatapnya. "Apa maksudmu?"
"Aku sudah terluka dua kali, dan aku selalu merepotkanmu." Nada suaranya penuh rasa bersalah.
Aku terdiam sesaat sebelum menjawab. "Memang benar, kau masih lemah. Tapi itulah yang akan kita perbaiki."
Jack mengangkat wajahnya, matanya menyiratkan harapan.
"Kau pasti akan menjadi lebih kuat, Jack. Jadi semangatlah," kataku tegas.
Dia tersenyum kecil.
Aku menceritakan semua yang terjadi hari ini, termasuk rencana perjalanan kami selanjutnya bersama Raja Hilbert menuju Kerajaan Elf. Mendengar itu, Jack tampak lebih bersemangat.
Namun, saat meninggalkannya untuk beristirahat, pikiranku kembali ke masa lalu. Apakah aku sudah melakukan hal yang benar? Apakah melatih Jack adalah keputusan yang bijak? Amelia... jika kau ada di sini, apakah kau akan memaafkanku?
---
Setelah beberapa hari, kami akhirnya siap untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi, aku mengucapkan salam perpisahan kepada Ragnar.
Kami meninggalkan kota dengan penuh semangat, membawa harapan baru menuju kedamaian yang lebih besar.