Aku melihat seorang wanita menggenggam erat tanganku, dan kami berlari secepat mungkin seolah ada sesuatu yang mengejar. Tapi tiba-tiba, wanita itu mendorongku menjauh. Ketika aku menoleh ke belakang, batu besar jatuh menimpanya, menguburnya dari pandanganku.
Chapter 1: Perjalanan
Aku terbangun di tengah malam, berkeringat dingin akibat mimpi buruk itu. Di seberang perapian kecil, Jack duduk, pandangannya terpaku pada api. Kami sedang beristirahat di tengah hutan, melanjutkan perjalanan yang seakan tak berujung.
"Jack, kau belum tidur?" tanyaku, menggosok-gosokkan tangan untuk mengusir hawa dingin.
Dia mengangguk tipis, "Aku terbangun. Kau tadi mengigau sangat keras," jawabnya, suara lembut tetapi terdengar sedikit geli.
"Maafkan aku, Jack."
Perjalanan kami masih panjang, tetapi akhir-akhir ini mimpi-mimpi aneh terus menghantuiku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi setiap malam aku kembali ke mimpi-mimpi itu, pada bayangan masa lalu yang tak pernah kurasakan dengan jelas.
"Tuan Albert, kau abadi, bukan?" Jack tiba-tiba bertanya dengan suara rendah.
Aku mengangguk pelan. "Ya," jawabku, tanpa ekspresi.
Jack adalah satu-satunya yang tahu rahasiaku ini. Tidak banyak yang mengetahui kehidupan abadi seperti milikku, dan Jack... yah, ia sudah cukup mempercayai perjalanan ini untuk mengikutiku.
"Menurutku, Kau adalah orang yang luar biasa," katanya, lalu tersenyum, meskipun ada sesuatu di matanya yang tampak ragu. "Kadang-kadang aku bertanya-tanya kenapa aku memutuskan mengikutimu. Dan... alasannya, ya, aku ingin belajar darimu."
Aku mendengarkan dengan tenang, tetapi aku tak terlalu mengenalnya. Dia mungkin punya alasan lain, tetapi aku yakin keinginannya untuk memahami dunia ini juga cukup kuat.
Jack melanjutkan, "Dan kurasa... kurasa bukan adil kalau kau menyuruhku pergi begitu saja." Dia berkata dengan sedikit kelakar, lalu tertawa kecil.
Aku hanya mengangguk, membiarkannya bicara. Tujuan awal kami adalah Upper World, tempat para high elf dan harp tinggal. Di sana, katanya, orang-orang bisa berbicara dengan arwah yang telah tiada. Meskipun Jack jarang berbicara tentang keluarganya, aku tahu dari tatapan matanya bahwa keluarganya hilang dalam perang. Mungkin, pergi ke sana adalah caranya untuk mencari kedamaian.
"Tuan, bagaimana rasanya... menjadi abadi?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Aku merenung sejenak. "Hmm... bagaimana ya?"
Jack tersenyum sedikit, menunggu jawabanku.
Aku menarik napas, tak yakin bagaimana menjawabnya. "Kau tahu, Jack, hidup panjang mungkin terlihat luar biasa. Tapi kau harus melihat orang-orang yang kau sayangi pergi lebih dulu."
Ia mendengarkan tanpa mengalihkan pandangan.
"Hidup panjang mungkin berkah... namun di sisi lain, itu juga kutukan," aku melanjutkan. Jack mengangguk, mengerti.
"Kurasa begini lebih tepat, Jack. Hidup abadi membuatku melihat lebih banyak dari yang seharusnya." Kami terdiam lagi, memandang bintang-bintang yang bertebaran di atas kepala kami..
Jack tersenyum pahit, "Maafkan aku, Tuan. Mungkin aku terlalu banyak bertanya."
"Tak apa," kataku sambil mengangguk padanya. "Sekarang tidurlah. Perjalanan kita masih panjang."
Malam terus berlalu. Kekuatan ini memang luar biasa jika dilihat dari luar, tapi tetap saja, bagiku, ini adalah kutukan. Aku bahkan tak ingat lagi mengapa aku seperti ini, atau apa yang dikatakan wanita itu di akhir hayatnya.
*Siapa wanita itu?* pikirku, merasa aneh dengan ingatan yang kabur itu. "Mungkin hanya mimpi," gumamku.
---
Keesokan paginya, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan pertama kami adalah perbatasan di Queensland—tempat yang terkenal berbahaya, meskipun masih lebih baik dibandingkan Deathland.
"Jadi, siapa nama raja yang kau tuju?" tanya Jack, mengayunkan langkahnya di sebelahku.
"Raja Kerajaan Zelim. Aku tidak terlalu ingat namanya... mungkin dia sudah mati sekarang," jawabku sambil tersenyum kecut.
Jack mengerutkan alis, penasaran. "Kalau begitu, kenapa kita tetap menuju ke sana?"
"Ada orang yang harus kutemui," jawabku. "Dia seorang penyihir, dan raja itu adalah anaknya."
Kami melangkah melalui jalanan yang lengang, sampai akhirnya berpapasan dengan seorang pedagang yang berjalan ke arah berlawanan.
"Hei, kalian mau ke mana?" tanya pedagang itu. "Jika tujuan kalian ke perbatasan, sebaiknya kalian batalkan saja."
"Mengapa?" tanyaku, menatapnya dengan penuh selidik.
Pedagang itu menggelengkan kepala. "Perang di Queensland makin memanas. Kalian tak akan bisa melewatinya sampai beberapa tahun ke depan, percayalah padaku. Deathland mungkin lebih baik dari tempat itu."
Jack melirikku dengan cemas. "Apa yang akan kita lakukan, Tuan?"
Deathland bukan tempat yang sembarang orang ingin lewati, bahkan dalam keadaan darurat. Namun, jika yang dikatakan pedagang itu benar, mungkin kita tak punya pilihan lain.
"Tuan?"
"Oh, iya? Maaf, aku sedang berpikir."
"Jadi, seperti apa sebenarnya Deathland?" tanya Jack.
"Deathland adalah tempat yang gersang, hampir tak ada apa-apa di sana. Tapi ketika malam tiba, suasananya berubah menjadi jauh lebih mengerikan," jawabku dengan nada serius. "Ada banyak monster di malam hari, dan di siang hari… kau tak ingin membayangkan betapa panasnya di sana."
Namun, itu semua adalah gambaran Deathland seratus tahun yang lalu. Aku tak yakin apakah tempat itu masih sama seperti dulu, mungkin saja kini lebih buruk, atau barangkali malah lebih baik.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan," kataku.
Jack mengangguk, dan kami pun melanjutkan langkah, hingga tiba di persimpangan jalan, saat kami harus memilih: apakah akan menuju Quinzland atau Deathland.
"Bagaimana menurutmu, Jack?" tanyaku.
Jack berpikir sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Kurasa kita harus ke Deathland."
"Kenapa begitu?" balasku, ingin tahu lebih lanjut.
Jack mulai menjelaskan alasannya. "Menurutku, apa yang dikatakan pedagang tadi ada benarnya. Quinzland sudah lama dilanda perang, dan tampaknya tak ada tanda-tanda perbaikan. Aku tak yakin kita akan dibiarkan lewat begitu saja."
"Kurasa aku sudah cukup jelas menjelaskan tentang Deathland," sahutku, mengingatkannya tentang bahaya yang mungkin menanti di sana.
Jack menimpali, "Benar, tapi… apakah Deathland yang sekarang masih seperti yang kau ingat?"
"Jelaskan alasanmu."
"Maksudku, penjelasanmu sudah jelas, tapi itu berdasarkan pengalamanmu bertahun-tahun lalu. Sementara itu, pedagang tadi baru saja keluar dari Deathland," Jack memperkuat pendapatnya.
Jack benar. Aku belum pernah ke Deathland sejak seratus tahun yang lalu. Banyak yang bisa berubah dalam rentang waktu selama itu. Namun, tetap saja, aku tak ingin mengambil risiko yang tak perlu.
"Bagaimana kau tahu pedagang tadi baru saja keluar dari Deathland?" tanyaku, merasa penasaran.
"Itu karena ia mengenakan sorban. Jika kau hendak melewati tempat yang panas, kau pasti akan mengenakan sorban. Meskipun kita tak punya sorban seperti pedagang itu, kita bisa mengakalinya dengan kain," jawab Jack, memperkuat argumennya.
Aku mengangguk. "Hm, bagus, Jack. Tak salah aku membawamu."
Mungkin tak ada salahnya mencoba. Lebih baik menghadapi monster daripada melintasi medan perang yang tak berkesudahan, kurasa.
"Baiklah, aku setuju denganmu."
Kami melanjutkan perjalanan menuju Deathland. Apakah tempat itu masih pantas menyandang namanya, atau sudah berubah, kami akan segera mengetahuinya.
Hari pun mulai gelap, dan kami memutuskan untuk beristirahat. Deathland sudah tidak jauh lagi—aku bisa merasakannya. Besok malam, kami mungkin sudah akan sampai di sana.
"Malam hari, ya…" Jack bergumam pelan.
"Sebaiknya kau mempersiapkan diri," kataku.
Jack terdiam, menatap bintang-bintang yang mulai muncul di langit. Setelah beberapa saat, ia bertanya, "Aku tak enak mengatakannya… tapi apakah ini seperti saat zaman perang dulu?"
Aku hanya diam tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Maafkan aku, Tuan. Aku tak bermaksud membuatmu mengingat kenangan buruk," ucap Jack meminta maaf.
Perang itu memang benar-benar mengerikan. Ras-ras yang kita lihat saat ini tidak sama dengan mereka 1.000 tahun lalu—saat dunia tiba-tiba berevolusi. Naga-naga yang kita lihat dulu adalah makhluk yang lebih menyerupai binatang buas atau monster, berbeda dengan sosok menyerupai manusia yang kita kenal sekarang. Begitu juga makhluk-makhluk lainnya, semuanya berevolusi.
"Dulu, ada seorang wanita yang sangat baik padaku. Kalau tidak salah, dia berasal dari kampung halamanku," kataku, satu-satunya hal yang bisa kukatakan.
"Apa yang terjadi padanya?" Jack bertanya pelan.
"Aku tak ingat jelas. Tapi, wanita itu sangat berharga bagiku… sekarang pun aku bahkan tak bisa mengingat namanya."
Jack terdiam, mencerna apa yang kukatakan.
""Keluargaku juga… mati karena perang," lanjut Jack, suaranya berat. "Waktu itu aku terlalu lemah dan bodoh untuk melindungi mereka. Aku kabur, meninggalkan mereka ketika mereka membutuhkanku." Ia menunduk sejenak, tampak mengingat kembali masa itu. "Aku tak bermaksud membandingkan, tapi… yang ingin kutegaskan, kau tak sendirian lagi. Aku di sini, untuk membantumu."
"Terima kasih, Jack. Ini sangat berarti bagiku."
Dalam hati, aku tahu dia menyadari beban yang dia pikul. Suatu saat nanti, mungkin ia akan meninggalkanku, dan mungkin juga aku akan melupakannya. Namun, aku tak akan pernah melupakan kata-katanya kali ini. Tidak lagi.
"Ibu…"
"Apa?" aku bertanya kepada Jack.
"Wanita yang berharga itu… kurasa dia ibumu," kata Jack. "Dia baik, sangat berharga bagimu, dan dia tinggal di tempat asalmu. Aku yakin dia ibumu."
"Mungkin aku pernah bilang kami berasal dari tempat yang sama…"
"Sama saja," Jack menjawab dengan penuh keyakinan.
Malam itu, kami pun habiskan dengan tawa dan candaan, hingga akhirnya kami tertidur. Keesokan harinya, perjalanan kami berlanjut sampai kami tiba di perbatasan Deathland.
"Kita sudah sampai, Tuan Albert," kata Jack.
"Ya."
""Sekarang atau tidak sama sekali," Jack berkata dengan tegas, meskipun matanya menunjukkan keraguan yang tak bisa disembunyikan.
Kami melangkah perlahan, berusaha menjaga ketenangan, agar tak menarik perhatian makhluk-makhluk di sekitar kami. Deathland begitu gelap, hampir tidak ada cahaya yang bisa menuntun jalan kami, namun kami tetap maju. Perlahan, satu langkah demi satu langkah, menuju apa yang akan datang.
Ketika malam tiba, kami beristirahat sejenak. Monster-monster Deathland muncul dari tanah di malam hari, namun meski mereka buta, pendengaran mereka tajam sekali.
"Apa hanya monster-monster ini yang ada di sini?" Jack berbisik, wajahnya pucat.
Aku menggeleng. "Tidak. Ada yang lebih besar dari mereka di sini, meski belum muncul."
Esok paginya, kami bangkit kembali, meneruskan perjalanan di tengah panas terik yang menggila. Hingga suatu saat, aku merasa kepalaku pening. Dunia seakan berputar, dan aku jatuh, terseret ke dalam kegelapan mimpi yang aneh.
Aku melihat seorang wanita menggenggam tanganku erat sambil berlari dari kejaran raksasa. Getaran langkah mereka terasa dalam, menggelegar, dan aku bisa mendengar batu-batu beterbangan di belakang kami. Tepat ketika wanita itu melemparku ke depan, sebuah batu besar menimpanya...
"Albert, tetaplah—" kata-kata terakhirnya yang tak bisa kuingat.
Aku terbangun, dan tampaknya sudah hampir malam. Jack tampaknya telah menyeretku ke sini.
"Tuan, akhirnya kau bangun," kata Jack, suaranya tercekat karena kelelahan. "Ja—jangan pingsan lagi!" Lalu, tanpa peringatan, Jack terjatuh pingsan di sampingku.
Aku memutuskan untuk beristirahat malam ini, mengingat perjalanan kami bertambah satu hari lagi setelah aku pingsan. Meski begitu, aku merasa bingung. Apa mimpi itu benar-benar kenyataan? Aku merasa belum pernah mengalaminya, namun rasanya sangat familiar, seperti kenangan yang terlupakan.
Dan apa yang dikatakannya di akhir? Aku masih tak bisa mengingatnya. Rasanya itu sangat penting, tapi kenapa aku tak bisa mengingatnya?
Ada apa denganku? Bagaimana bisa aku melupakan segalanya seperti ini? Aku tak ingin ini terjadi, aku tak boleh melupakannya begitu saja. Lalu bagaimana dengan Jack? Apakah aku akan tetap melupakannya? Apa yang akan aku ingat di masa depan?
Pada akhirnya, aku hanya akan tetap menjadi diriku sendiri—seorang abadi yang hanya memiliki dirinya sendiri.
Malam itu, aku memimpikan hal yang sama lagi. Aku masih memimpikan wanita itu, seakan-akan dia mengatakan padaku untuk mengingatnya. Namun, rasanya mustahil, karena aku tidak yakin pernah merasakannya.
Ketika pagi tiba, aku meminta maaf pada Jack. Ia memaafkanku dengan senyum, meskipun aku tahu aku telah merepotkannya lebih dari yang seharusnya. Aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan membiarkannya terus merasa terbebani karena aku.
Kami terus melanjutkan perjalanan tanpa henti. Kami harus segera keluar dari tempat ini. Hingga malam tiba, kami memutuskan untuk tetap berjalan, tak peduli seberapa lelah tubuh kami.
Tiba-tiba, seekor monster menerjangku dari belakang. Jack yang melihat itu langsung berusaha menolong, namun di bawah kakinya, muncul mulut besar yang berusaha menelannya. Untungnya, dengan gerakan cepat, Jack berhasil menebas mulut monster itu sebelum sempat menggigitnya.
Aku tak tinggal diam, merapalkan sihir api dan membakar monster yang menyerangku, namun suara api yang membakar mengundang lebih banyak monster dari tempat lain.
"Gawat! Cepat, kita harus pergi dari sini!" teriakku.
"Apa-apaan monster itu? Bukannya mereka tak bisa melihat?" tanya Jack, heran sambil terus berlari.
"Ada tiga jenis monster di sini. Satu mengandalkan pendengaran, satu mengandalkan penciuman, dan satu lagi mengandalkan penglihatan. Mereka saling melengkapi satu sama lain," jawabku, tetap berlari.
Tapi meski berlari secepat mungkin, monster-monster itu ternyata bisa mengejar dengan kecepatan yang luar biasa. Rasanya kami tidak bisa lari selamanya.
"Sepertinya kita tidak punya pilihan lain," kata Jack, menggenggam pedangnya dengan tegas. "Ayo kita hadapi mereka!"
"Sial, tak ada pilihan lain ya?" jawabku, memasang kuda-kuda, siap bertarung.
Sekali lagi, di bawah kaki Jack muncul mulut monster yang mencoba menyergapnya. Jack kembali menebasnya, namun monster itu menghindar dengan gesit.
"Dasar cacing sialan! Rasakan ini! Earth Quake!" seru Jack, merapal sihir dengan kekuatan besar yang mengguncang tanah. Cacing raksasa itu keluar, memunculkan tubuh besarnya.
Aku mencoba membantu Jack dengan melawan monster-monster yang muncul, tapi monster-monster tanpa mata itu menghalangiku. Aku meninju mereka dengan sekuat tenaga, namun suara dari pukulan itu justru menarik perhatian monster lain yang datang lebih banyak.
"Sial, mereka tak ada habisnya!" teriakku frustrasi.
Jack berusaha keras menebas monster cacing itu, namun kulit monster tersebut terlalu keras untuk dilewati pedangnya.
Aku harus menemukan cara untuk melemahkan mereka dengan cepat. Aku mulai menganalisis gerak-gerik monster itu, berusaha mencari kelemahannya.
"Apa... apa monster yang kukalahkan tadi bangkit lagi?" tertegun aku melihat monster yang kupukul kembali muncul. Mereka bisa beregenerasi dengan sangat cepat.
Raaaauuuuuhhhhhggggg!
Ini adalah situasi yang paling buruk. Apa yang kukhawatirkan akhirnya terjadi—monster-monster ini sepertinya tak akan habis.
"Jack, awas!" teriakku saat salah satu monster hampir menyerang Jack. Tapi Jack dengan sigap menebas monster itu hingga terbelah dua.
Sesaat, monster itu menghilang begitu saja.
"Itu dia, Jack! Ayo bertukar posisi!" teriakku.
"Baiklah," jawab Jack, langsung mengganti posisi denganku.
Aku melihat cacing itu terkapar, berdarah. Sepertinya serangan Jack yang pertama berhasil. Kulit cacing itu keras, tapi bagian dalamnya bisa dilemahkan.
Aku membiarkan monster itu menelanku, dan begitu berada di dalam tubuhnya, aku merapal sihir api. "Hell Fire!"
Monster itu terbakar habis dalam sekejap, tak kuasa melawan kekuatan api yang membakarnya dari dalam.
Aku melihat Jack yang tampaknya baik-baik saja, meskipun jelas dia lelah. "Aku akan membantumu, Jack," teriakku, namun...
Rauuuuuhhhgggg!
Seekor monster besar dengan tubuh berbentuk burung menyerang Jack dan melemparkannya. Serangan itu membuat kami semakin terpojok, sepertinya monster itu sudah memberitahu keberadaan kami kepada monster lainnya.
Aku berlari ke arah Jack, mengkhawatirkan kondisinya yang semakin buruk. Tangan Jack terluka parah.
"Tanganku... rasanya sangat panas!" teriak Jack kesakitan.
Aku mengambil pedang Jack dan mulai melawan monster-monster yang datang tak henti-hentinya. Mereka terus berdatangan, dan semakin banyak saja. Tengah malam, namun monster-monster itu tak berhenti mengintai.
Aku mencoba menggendong Jack agar kami bisa lari, tapi monster burung itu terus menghalangi jalan kami. Jack makin meringis kesakitan.
"Aaaagggghhhhhh!" Jack menjerit, membuatku semakin frustasi.
"Bertahanlah, Jack!" seruku, namun aku tahu aku tak punya banyak waktu lagi. Kami harus melawan.
Kemudian, aku mendengar suara misterius yang mengatakan "tetaplah hidup"—suara yang asing namun begitu familiar. Suara itu memberikan ketenangan dalam hatiku yang gelisah.
Suara itu memberi kekuatan baru pada diriku, dan aku tahu apa yang harus kulakukan. Perlahan, aku mengumpulkan kekuatan yang ada di dalam diriku. "Wind Slash!"
Sekali lagi, aku melawan monster-monster itu dengan segala kekuatanku. Aku tak bisa berhenti. Aku harus melindungi Jack—apa pun yang terjadi.
Monster demi monster datang dengan ganas, namun aku terus berjuang. Kelelahan tak bisa menghentikan langkahku. Aku tak bisa mati, jadi apa yang mereka coba lakukan tidak ada artinya.
Aku menebas satu per satu, dan akhirnya, pagi tiba. Tangan Jack mulai membaik, dan dia mulai sadar. Ia menatapku dengan wajah khawatir, namun aku mengangguk, memberi isyarat bahwa kami harus segera pergi.
"Jack, kita harus segera keluar dari sini," kataku dengan tegas, menariknya untuk berdiri.
Kami melanjutkan perjalanan, meski tubuh kami kelelahan. Kami harus bertahan—demi hidup, demi satu sama lain.
Akhirnya, kami berhasil keluar dari Deathland. Wajah Jack terlihat letih, tetapi senyuman kecil muncul di sudut bibirnya.
"Akhirnya kita keluar," katanya dengan lega.
Aku menatapnya, mengingat mimpi itu lagi, lalu bergumam, "Aku ingat... dia bilang aku harus tetap hidup."
Jack tersenyum hangat, "Ya, Tuan. Tetaplah hidup."
Kami melanjutkan perjalanan, langkah demi langkah, berjanji bahwa apapun yang akan kami hadapi di masa depan, kami akan hadapi bersama, hingga tujuan kami tercapai.