Di malam yang gelap dan sunyi, bayang-bayang tampak lebih pekat di setiap sudut istana. Suara angin yang menampar jendela seolah-olah menggambarkan suatu pertanda buruk. Di dalam ruang tahtanya yang megah, Raja Alkar berdiri dengan tatapan kosong, menghadapi keputusan terberat dalam hidupnya. Di hadapannya, berlututlah putra mahkota, Akarian, yang berusia delapan belas tahun. Matanya yang biasanya penuh dengan keberanian, kini dipenuhi ketidakpastian dan kesedihan yang mendalam.
"Akarian," suara Raja Alkar terdengar serak, seperti menahan beban yang sangat besar. "Kau tahu mengapa kau dipanggil ke sini malam ini?"
Akarian mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan pandangan yang penuh harap. "Ayah, apa pun yang terjadi, aku tak akan pernah mengkhianati tanah air kita. Apa kesalahanku?"
Raja Alkar menutup matanya sejenak, menghela nafas panjang. "Ini bukan tentang kesalahan, Nak. Ini tentang takdir. Sesuatu yang tak bisa kita ubah meski kita berusaha sekeras apa pun."
Sebelum Akarian sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang tahta terbuka dengan keras. Masuklah Tuan Ermand, penasihat kerajaan yang terkenal bijak namun berhati dingin. Wajahnya menampakkan ekspresi dingin yang tak berperasaan, seolah menikmati setiap detik dari momen tragis ini. Di belakangnya, dua prajurit elit bersenjata mengikuti, siap untuk melakukan apapun yang diperintahkan.
"Yang Mulia," kata Ermand sambil membungkuk hormat, "Sudah waktunya."
Akarian menatap penasihat itu dengan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia bisa merasakannya. "Apa maksudmu, Tuan Ermand? Mengapa ayahku berbicara seolah-olah aku adalah ancaman?"
Ermand menegakkan tubuhnya dan menatap Akarian dengan pandangan sinis. "Karena kau memang ancaman, Pangeran Akarian. Sesuatu dalam dirimu bangkit, sesuatu yang gelap dan tidak bisa dikendalikan. Sudah saatnya kau meninggalkan istana ini sebelum kehancuran menimpa kita semua."
Kata-kata itu bagaikan pedang yang menancap dalam-dalam di hati Akarian. "Tidak mungkin... Aku? Ancaman? Ini semua kesalahan! Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang jahat! Aku hanya..."
Namun, sebelum Akarian bisa melanjutkan, Raja Alkar mengangkat tangannya, memberi isyarat agar putranya diam. "Akarian, dengarkan aku baik-baik. Selama bertahun-tahun, kami telah memperhatikan adanya kekuatan yang bangkit dalam dirimu, sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya dalam garis keturunan kita. Kekuatan ini... gelap, dan semakin lama semakin sulit untuk disembunyikan."
"Apa maksudmu, Ayah?" tanya Akarian, sekarang dengan suara bergetar. "Apa yang kalian sembunyikan dariku?"
Raja Alkar memandang putranya dengan penuh belas kasihan. "Kekuatan itu bukanlah sesuatu yang biasa, Akarian. Kami mencoba menahannya dengan sihir, tetapi kekuatan itu lebih kuat dari yang kami duga. Dan kini, waktunya telah tiba. Kau harus meninggalkan istana ini, untuk melindungi dirimu... dan untuk melindungi kita semua."
Akarian merasa darahnya berhenti mengalir. Semua ini tidak masuk akal baginya. Dia adalah putra mahkota, calon pewaris takhta, namun sekarang dia diusir seperti seorang kriminal? "Tidak! Aku tidak akan pergi! Aku tidak bisa meninggalkan semua ini, tidak bisa meninggalkan kalian!"
Tuan Ermand, yang sejak tadi diam, melangkah maju dengan ekspresi yang semakin dingin. "Tidak ada pilihan lain, Pangeran. Kau harus pergi sekarang juga. Kami tidak bisa mengambil resiko membiarkan kekuatanmu tidak terkendali di sini."
Akarian mundur beberapa langkah, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Tetapi prajurit yang dibawa Ermand sudah maju, bersiap untuk menangkapnya jika ia mencoba melawan. Di dalam hatinya, Akarian tahu bahwa mereka tidak akan ragu untuk menggunakan kekerasan jika diperlukan.
"Apakah ini perintah dari ayahku?" tanya Akarian, mencoba terakhir kalinya untuk memahami situasi ini.
Raja Alkar menundukkan kepalanya, tak kuasa untuk menatap mata putranya. "Ini bukan keinginanku, Nak. Tapi ini adalah satu-satunya cara."
Perasaan pengkhianatan dan kesedihan menyelimuti Akarian. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bangkit. Sesuatu yang gelap, sesuatu yang berbahaya. Ketika dia berusaha keras untuk menekan emosi itu, dia bisa merasakan kekuatan itu mendidih di dalam dirinya, seolah-olah menuntut untuk dilepaskan.
"Kalian semua mengkhianati aku..." bisik Akarian, suaranya hampir tenggelam dalam kesedihan yang membuncah.
"Kami hanya ingin melindungi kerajaan ini, Akarian," jawab Ermand dengan suara yang datar. "Sekarang, pergilah sebelum kita terpaksa melakukan sesuatu yang lebih drastis."
Dengan hati yang hancur, Akarian akhirnya menyerah pada nasibnya. Dia tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Dia menatap ayahnya untuk terakhir kalinya, berharap bisa melihat secercah belas kasihan atau kasih sayang di matanya. Tetapi yang dia temukan hanyalah kelelahan dan rasa bersalah yang dalam.
Tanpa berkata-kata lagi, Akarian berbalik dan mulai berjalan keluar dari ruang tahta, diiringi oleh dua prajurit yang mengawal langkahnya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menjauhkan dirinya dari kehidupan yang pernah ia kenal.
Saat ia mencapai pintu besar istana, Akarian berhenti sejenak. Dia bisa merasakan sesuatu dalam dirinya yang berbisik, sesuatu yang gelap dan penuh amarah. Namun, dia tidak memiliki kekuatan untuk melawan bisikan itu, tidak malam ini.
"Aku akan kembali," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku akan kembali untuk membuktikan bahwa kalian semua salah."
Dengan tekad yang mulai tumbuh di hatinya, Akarian melangkah keluar ke dalam kegelapan malam. Hujan mulai turun, seolah-olah langit pun menangisi kepergiannya. Namun, dia tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan yang panjang dan penuh bahaya. Sebuah perjalanan untuk menemukan jati dirinya, dan mungkin, untuk mengungkap kebenaran di balik kekuatan gelap yang kini menjadi bagian dari dirinya.
Namun, tanpa disadari Akarian, dari sudut gelap ruangan itu, sepasang mata mengawasinya dengan intens. Mata yang penuh dengan rencana dan ambisi, mata yang tak sabar menunggu saat yang tepat untuk bertindak.