Chereads / Takdir Sang Penguasa Gelap / Chapter 3 - Bab 3: Pertemuan dengan Sang Mentor

Chapter 3 - Bab 3: Pertemuan dengan Sang Mentor

Akarian terus melangkah dalam kegelapan Hutan Terlarang. Pepohonan besar yang menjulang tinggi seperti dinding alami yang melingkupinya dari segala arah, menambah perasaan terjebak dalam labirin tanpa akhir. Meskipun ia merasa kelelahan, rasa takut dan ketidakpastian yang mendalam membuatnya terus berjalan tanpa henti, seakan setiap kali ia berhenti, kegelapan dalam dirinya akan mengambil alih sepenuhnya.

Suara-suara hutan yang aneh dan misterius menggema di sekitar Akarian, memancing rasa waspada yang terus-menerus. Terkadang, ia merasa seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari balik bayangan pohon, namun setiap kali ia menoleh, hanya kegelapan yang menyambut pandangannya.

Namun, saat fajar mulai menyingsing, Akarian merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Suara-suara hutan seketika berhenti, seperti teredam oleh kekuatan yang tidak kasat mata. Cahaya keemasan yang lembut dari matahari mulai merayap di antara celah-celah pepohonan, namun justru menambah suasana mencekam daripada memberikan rasa aman.

Langkah Akarian melambat ketika ia melihat sebuah pondok tua di tengah-tengah hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon yang menjalar dengan akar-akar besar. Pondok itu tampak seolah-olah telah ada di sana selama berabad-abad, namun tetap kokoh berdiri meskipun tampak lapuk dimakan waktu. Asap tipis keluar dari cerobongnya, menandakan bahwa ada seseorang di dalam.

Akarian ragu-ragu, namun rasa ingin tahu dan keinginan untuk mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya mendorongnya maju. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kakinya mencoba menahan setiap gerakan.

Ketika ia sampai di pintu kayu pondok itu, Akarian merasakan detak jantungnya meningkat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengetuk pintu dengan pelan. Namun, sebelum tangannya menyentuh kayu, pintu itu terbuka dengan sendirinya, mengungkapkan sosok pria tua dengan jubah lusuh berdiri di ambang pintu. Wajahnya ditutupi oleh tudung, hanya menampakkan janggut putih tebal yang menjuntai hingga ke dada.

Pria tua itu menatap Akarian dengan mata yang tajam, seolah-olah ia bisa melihat jauh ke dalam jiwanya, menelanjangi setiap rahasia yang tersembunyi di sana. Mata itu, meskipun tampak lelah, menyimpan kilatan pengetahuan yang dalam, seperti orang yang telah melihat terlalu banyak hal dalam hidupnya.

"Masuklah, Akarian," suara pria tua itu terdengar berat, namun ada kehangatan aneh di dalamnya. "Aku telah menunggumu."

Akarian terdiam sejenak, terkejut bahwa pria ini mengetahui namanya. Namun, tanpa berkata apa-apa, ia melangkah masuk ke dalam pondok yang terasa jauh lebih besar di dalam daripada yang tampak dari luar. Suasana di dalam ruangan itu hangat, dipenuhi dengan bau ramuan herbal dan kayu bakar yang terbakar di perapian. Dindingnya dipenuhi dengan rak-rak buku yang penuh dengan gulungan perkamen, botol-botol kaca berisi cairan berwarna-warni, dan berbagai macam benda-benda aneh yang tidak Akarian kenali.

"Siapa kau?" tanya Akarian dengan suara lemah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Dan bagaimana kau tahu namaku?"

Pria tua itu tersenyum tipis, meskipun senyum itu tidak menghilangkan rasa misterius yang menyelimutinya. "Aku adalah seseorang yang telah melihat terlalu banyak, Akarian. Dan kau, kau adalah seseorang yang ditakdirkan untuk melihat lebih banyak lagi."

Akarian semakin bingung. "Apa maksudmu? Mengapa aku di sini?"

Pria tua itu mengangguk pelan, seolah-olah sudah menduga pertanyaan itu. "Kau berada di sini karena takdirmu membawamu ke tempat ini. Kekuatan gelap yang ada dalam dirimu, yang membuatmu diusir dari istana, adalah sesuatu yang besar, sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja."

"Aku tidak mengerti," jawab Akarian, frustrasi. "Semua orang mengatakan bahwa aku adalah ancaman. Ayahku... dia bahkan tidak bisa menatapku saat mengusirku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa aku memiliki kekuatan ini?"

Pria tua itu menatap Akarian dengan lembut, tetapi matanya menyimpan kesedihan yang mendalam. "Kekuatan dalam dirimu, Akarian, bukanlah sesuatu yang berasal dari dunia ini. Itu adalah warisan dari masa lalu yang sangat jauh, sesuatu yang telah ada sebelum kerajaanmu berdiri, sebelum peradaban yang kau kenal ada. Itu adalah kekuatan yang pernah digunakan untuk menghancurkan dunia, dan sekarang kekuatan itu telah memilihmu sebagai pembawanya."

Akarian merasa ngeri mendengar kata-kata itu. "Maksudmu... aku ditakdirkan untuk menghancurkan dunia?"

Pria tua itu menggelengkan kepalanya. "Tidak ada takdir yang sudah tertulis, Akarian. Kekuatan itu, meskipun sangat berbahaya, juga bisa menjadi alat untuk melindungi. Itu semua tergantung pada bagaimana kau memilih untuk menggunakannya."

Kata-kata pria tua itu memberikan sedikit harapan bagi Akarian, namun juga menambah beban di pundaknya. Ia merasa semakin terjebak dalam jaringan takdir yang ia sendiri tidak sepenuhnya pahami. "Lalu, apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku bisa mengendalikan kekuatan ini?"

Pria tua itu berjalan menuju perapian, mengambil tongkat kayu yang terletak di sampingnya. Dengan tongkat itu, ia mengaduk-aduk kayu yang terbakar, menciptakan percikan api kecil yang menari di udara. "Pertama-tama, kau harus belajar menerima kekuatan itu, bukan melawannya. Kau harus mengenalinya sebagai bagian dari dirimu, bukan sebagai sesuatu yang asing. Dan untuk itu, kau membutuhkan pelatihan."

Akarian mendekat, berharap pria tua itu memiliki jawaban yang ia cari. "Kau akan melatihku?"

Pria tua itu menatap api dengan serius, sebelum kembali menatap Akarian. "Aku akan membimbingmu, tetapi pelatihan ini bukan hanya tentang kekuatan fisik atau sihir. Ini tentang memahami dirimu sendiri, memahami dari mana kekuatan ini berasal, dan apa yang bisa kau lakukan dengannya. Jalan di depanmu penuh dengan bahaya, dan setiap pilihan yang kau buat akan membawa dampak yang besar, baik bagi dirimu sendiri maupun bagi dunia."

Akarian merasakan campuran antara ketakutan dan semangat. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menemukan jawaban yang selama ini ia cari, tetapi ia juga sadar bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Namun, setelah semua yang terjadi, ia merasa bahwa tidak ada pilihan lain selain melangkah maju.

"Baiklah," kata Akarian dengan tegas. "Aku siap belajar."

Pria tua itu mengangguk, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. "Kalau begitu, kita akan mulai besok. Malam ini, beristirahatlah. Kau akan membutuhkan semua kekuatanmu untuk menghadapi hari-hari yang akan datang."

Akarian mengangguk, merasa sedikit lega meskipun beban di hatinya masih berat. Ia mengikuti pria tua itu menuju sudut ruangan, di mana terdapat tempat tidur sederhana yang terbuat dari jerami. Meski sederhana, tempat tidur itu terasa sangat nyaman dibandingkan dengan tanah dingin yang biasa ia tiduri selama pengasingannya.

Namun, sebelum ia benar-benar terlelap, Akarian tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya satu pertanyaan lagi. "Siapa namamu, Tuan?"

Pria tua itu berhenti sejenak, seolah-olah mengingat kembali masa lalu yang jauh sebelum akhirnya menjawab. "Orang-orang dulu memanggilku Sifer. Tetapi itu sudah lama sekali. Sekarang, aku hanyalah seorang pengembara tua yang kebetulan berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat."

Akarian mengulang nama itu dalam pikirannya, mencoba mengingat apakah ia pernah mendengarnya sebelumnya, tetapi tidak ada yang terdengar familiar. Meski begitu, ia merasakan ada sesuatu yang sangat penting tentang pria tua ini, sesuatu yang masih tersembunyi di balik jubah lusuh dan tatapan tajamnya.

Ketika Akarian akhirnya memejamkan matanya, bayangan mimpi mulai memenuhi pikirannya. Namun kali ini, mimpinya bukan tentang ketakutan atau bayangan kegelapan. Ia melihat api, nyala yang membakar dengan terang di tengah kegelapan, dan di sana, di dalam api itu, ia melihat sosok dirinya sendiri—lebih tua, lebih bijak, dan penuh dengan kekuatan yang ia belum pahami sepenuhnya.

Namun, jauh di dalam hutan, kegelapan yang lebih besar bergerak. Sesuatu yang telah lama menunggu momen ini, sesuatu yang merasa terancam oleh cahaya yang mulai menyala di hati Akarian.