Chereads / Takdir Sang Penguasa Gelap / Chapter 4 - Bab 4: Ujian dari Kegelapan

Chapter 4 - Bab 4: Ujian dari Kegelapan

Pagi itu, kabut tebal menyelimuti Hutan Terlarang, membuatnya terlihat seperti dunia lain yang dipisahkan dari kenyataan. Udara dingin menyengat kulit, dan embun membasahi tanah di bawah kaki Akarian saat ia melangkah keluar dari pondok Sifer. Meskipun mentari baru mulai muncul di ufuk timur, cahayanya hanya memberikan sedikit kehangatan, seakan tak mampu menembus dinginnya hati dan pikiran Akarian.

Sifer sudah menunggunya di depan pondok, memegang tongkat kayu panjang yang tampak seperti bagian dari tubuhnya. Pria tua itu berdiri tegap, tidak seperti kemarin ketika ia tampak lelah dan rapuh. Ada aura berbeda yang memancar dari dirinya pagi ini, sesuatu yang membuat Akarian merasa bahwa hari ini akan menjadi titik balik dalam hidupnya.

"Sudah siap?" tanya Sifer tanpa berbalik, matanya menatap ke arah hutan yang dipenuhi kabut.

Akarian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku siap."

Sifer mengangguk pelan, kemudian mulai berjalan ke arah yang lebih dalam dari hutan, menyusuri jalan setapak yang hampir tidak terlihat. Akarian mengikutinya dengan langkah ragu, merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil membawa dirinya lebih dekat kepada sesuatu yang tidak sepenuhnya ia pahami.

Mereka berjalan dalam keheningan selama beberapa waktu, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang menapak di atas daun-daun basah. Hutan terasa semakin sunyi, seolah-olah semua kehidupan di dalamnya telah terhenti untuk mengawasi langkah-langkah mereka. Kabut semakin tebal, dan Akarian harus berusaha keras untuk tetap bisa melihat punggung Sifer yang berjalan di depannya.

Akhirnya, mereka tiba di sebuah celah di antara pepohonan besar yang tampaknya mengarah ke sebuah lembah kecil. Di sini, kabut yang menyelimuti terasa lebih berat, seolah-olah mencoba menghalangi jalan mereka. Sifer berhenti di tepi lembah itu, menatap ke dalam jurang yang tampak tak berujung.

"Di sinilah kita akan memulai," kata Sifer dengan suara yang datar namun penuh makna. "Ini bukan tempat biasa, Akarian. Ini adalah Lembah Bayangan, tempat di mana kegelapan dalam dirimu akan diungkapkan, dan hanya mereka yang mampu menghadapi kegelapan itu yang bisa keluar dengan selamat."

Akarian menelan ludahnya, merasa tenggorokannya kering. "Apa yang akan kulakukan di sini?"

Sifer menatapnya, kali ini dengan mata yang penuh dengan kebijaksanaan dan juga peringatan. "Kau akan menghadapi ujian. Ujian ini bukan hanya tentang kekuatan fisik atau sihir, tetapi tentang jiwamu sendiri. Kegelapan dalam dirimu akan mencoba untuk menguasaimu, dan kau harus belajar untuk mengendalikannya. Ini adalah langkah pertama yang harus kau ambil jika kau ingin memahami kekuatanmu."

Akarian mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin apa yang akan terjadi. Ia tahu bahwa tidak ada jalan lain selain maju. Dengan hati yang berdebar, ia melangkah masuk ke dalam lembah yang diselimuti kabut. Setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain, dunia yang dipenuhi dengan rasa dingin dan kekosongan yang mematikan.

Ketika ia melangkah lebih jauh, kabut mulai bergerak di sekitar tubuhnya, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seiring dengan langkahnya. Bayangan itu semakin lama semakin jelas, sampai akhirnya mengambil bentuk—bentuk dirinya sendiri. Namun, yang menakutkan adalah bayangan itu bukanlah dirinya yang ia kenal. Ini adalah Akarian yang berbeda—wajahnya pucat, matanya merah menyala, dan ekspresinya dipenuhi dengan kebencian dan amarah.

"Kau," kata bayangan itu dengan suara yang dalam dan serak, mirip dengan suara Akarian sendiri, namun terdengar lebih mengancam. "Aku adalah dirimu yang sebenarnya. Kegelapan yang telah lama kau coba tolak."

Akarian mundur selangkah, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ini... ini tidak mungkin."

Bayangan itu tersenyum, senyum yang penuh dengan ejekan. "Mengapa tidak mungkin? Bukankah kau sendiri yang merasakan kekuatan ini bangkit dalam dirimu? Kau tahu bahwa kau berbeda, bahwa ada sesuatu yang salah denganmu. Tapi alih-alih menerimanya, kau memilih untuk mengabaikan kebenaran."

Akarian menggertakkan giginya, mencoba melawan rasa takut yang mulai tumbuh di dalam hatinya. "Kau bukan diriku. Aku bukan monster."

"Benarkah?" Bayangan itu melangkah maju, mendekati Akarian dengan tatapan yang tajam. "Setiap orang di sekitarmu melihat kegelapan ini. Ayahmu, saudara-saudaramu, mereka semua takut padamu. Mereka mengusirmu karena mereka tahu kau adalah ancaman. Dan sekarang, kau masih berpikir bahwa kau bisa melawan apa yang sudah menjadi bagian dari dirimu?"

Kata-kata bayangan itu seperti racun yang meresap ke dalam hati Akarian. Ia merasa keraguan dan rasa takut semakin kuat, menggantikan tekad yang baru saja ia bangun. "Tidak... aku... aku hanya ingin memahami apa yang terjadi padaku."

"Memahami?" Bayangan itu tertawa sinis. "Kegelapan tidak untuk dipahami, Akarian. Kegelapan adalah untuk diterima, untuk dikendalikan. Dan semakin lama kau menolak untuk menerimanya, semakin kuat ia akan menguasaimu."

Akarian merasakan kekuatan itu mulai bangkit dalam dirinya lagi, lebih kuat daripada sebelumnya. Tangan-tangannya mulai bergetar, dan ia bisa merasakan energi gelap mengalir melalui tubuhnya, mencoba mengambil alih kendali. "Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menguasai diriku!"

Bayangan itu berhenti, menatap Akarian dengan tatapan penuh kemarahan. "Kau tidak punya pilihan lain. Ini adalah takdirmu. Kau bisa melawannya, tetapi pada akhirnya, kegelapan akan menang."

Dalam kepanikan, Akarian berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk melawan. Ia menutup matanya, mencoba mengingat semua yang telah diajarkan oleh Sifer, semua pelajaran tentang menerima kekuatan dalam dirinya. Namun, bayangan itu tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Tiba-tiba, bayangan itu menyerang, mengulurkan tangan yang dingin dan mencengkram tenggorokan Akarian dengan kuat.

Akarian terhuyung ke belakang, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman yang mencekik itu. "Lepaskan aku!" teriaknya, suaranya tercekik oleh rasa sakit dan ketakutan.

"Kau tidak bisa melarikan diri dari dirimu sendiri, Akarian," bisik bayangan itu dengan suara penuh kejahatan. "Aku adalah kau, dan kau adalah aku. Tidak ada tempat bagi kita berdua. Kau harus memilih—apakah kau akan membiarkanku menguasai, atau kau akan mencoba mengendalikanku?"

Akarian merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan dalam putus asa, ia mulai memanggil kekuatan yang selama ini ia coba tolak. Ia membiarkan energi itu mengalir melalui dirinya, tidak lagi melawannya, tetapi mencoba untuk merasakannya, mencoba untuk memahami sifatnya. Dan saat ia melakukannya, sesuatu mulai berubah. Rasa dingin di tubuhnya perlahan menghilang, digantikan oleh kehangatan yang berasal dari dalam dirinya.

Bayangan itu tampak terkejut, kehilangan sedikit kendali atas Akarian. "Apa yang kau lakukan?" tanya bayangan itu dengan nada panik.

Akarian membuka matanya, dan kali ini, ia melihat bayangan itu dengan mata yang penuh ketenangan. "Aku akan mengendalikannya," katanya dengan suara yang tegas. "Kau adalah bagian dari diriku, tapi kau bukan aku. Aku yang akan menentukan nasibku sendiri, bukan kau."

Dengan tekad yang baru ditemukan, Akarian meraih bayangan itu dengan kedua tangannya, menggenggamnya erat-erat. Ia bisa merasakan energi gelap yang mengalir melalui dirinya, mencoba menguasai, tetapi ia tidak lagi takut. Sebaliknya, ia merasakan kekuatan itu sebagai bagian dari dirinya—bukan sebagai musuh, tetapi sebagai alat yang bisa ia gunakan.

Bayangan itu berusaha melawan, tetapi semakin keras ia mencoba, semakin kuat Akarian mengendalikannya. Akhirnya, bayangan itu mulai pudar, berubah menjadi kabut tipis yang kemudian hilang ditiup angin.

Akarian jatuh berlutut, terengah-engah, tetapi kali ini bukan karena ketakutan. Ia merasa lelah, tetapi juga merasa ringan, seolah-olah beban besar yang selama ini menghantuinya telah diangkat. Ia tahu bahwa ini baru permulaan, bahwa masih banyak hal yang harus ia pelajari, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki kendali atas dirinya sendiri.

Ketika Akarian berdiri dan menoleh ke belakang, ia melihat Sifer berdiri di tepi lembah, mengamatinya dengan senyum tipis di wajahnya. "Kau berhasil melewati tahap pertama dari ujian ini," kata Sifer dengan nada yang penuh dengan pengakuan. "Tapi ingat, ini baru permulaan."

Akarian masih terengah-engah, tubuhnya terasa lemas setelah pertempuran batin yang baru saja ia alami. "Apakah setiap ujian akan seperti ini?" tanyanya, suaranya terdengar lemah tetapi penuh dengan keingintahuan. Ada rasa lega dalam dirinya, namun juga kesadaran bahwa perjalanan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Sifer mendekat, tongkat kayunya mengetuk tanah dengan irama yang pelan namun pasti. "Setiap ujian akan berbeda, tetapi semua akan menguji aspek yang berbeda dari kekuatan dan jiwamu. Apa yang kau hadapi hari ini adalah cerminan dari ketakutan terdalam yang ada dalam dirimu. Kegelapan yang kau lawan bukanlah musuh dari luar, melainkan musuh dari dalam. Kau telah menunjukkan bahwa kau mampu menghadapi ketakutan itu, namun jalan di depan masih panjang dan penuh dengan rintangan."

Akarian merasakan kehangatan dari kata-kata Sifer, meskipun ia tahu bahwa tidak ada janji bahwa ujian berikutnya akan lebih mudah. "Apa langkah berikutnya?" tanyanya, ingin tahu apa yang akan dihadapinya selanjutnya.

Sifer menatap lembah yang kini mulai ditinggalkan kabutnya, seolah-olah lembah itu sendiri merasa lega setelah beban kegelapan berkurang. "Kau telah belajar untuk menerima dan mengendalikan kegelapan dalam dirimu. Langkah berikutnya adalah memahami asal-usul kekuatan itu, dan untuk itu, kau harus menjelajahi masa lalumu."

Akarian mengernyit, merasa bingung. "Masa laluku? Apa maksudmu?"

Sifer menatapnya dengan tajam, seolah-olah mencoba menembus lapisan pikiran Akarian. "Kekuatan yang ada dalam dirimu tidak datang secara kebetulan. Itu adalah warisan dari masa lalu yang sangat jauh, sesuatu yang terikat erat dengan sejarah keluargamu dan kerajaanmu. Untuk mengerti sepenuhnya kekuatan ini, kau harus tahu dari mana asalnya dan apa tujuannya. Itu berarti kita harus kembali ke awal mula segalanya."

Akarian menatap Sifer dengan ekspresi penuh tekad. "Kalau begitu, bawa aku ke sana. Aku siap untuk mempelajarinya."

Sifer mengangguk, puas dengan jawaban Akarian. "Besok kita akan memulai perjalanan itu. Tapi malam ini, kau harus beristirahat. Perjalanan ini akan menuntut lebih dari sekadar kekuatan fisik—ia akan menuntut seluruh kekuatan jiwamu."

Akarian tahu bahwa apa yang dikatakan Sifer bukanlah sekadar peringatan biasa. Ia merasakan bahwa perjalanan yang akan datang ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang penemuan diri yang lebih mendalam. Kembali ke pondok, ia merasakan keheningan hutan semakin menenangkan, seolah-olah seluruh alam sedang menyiapkan dirinya untuk perjalanan yang akan datang.

Ketika malam tiba, Akarian mencoba tidur, tetapi pikirannya terus-menerus berputar tentang apa yang telah ia alami hari ini dan apa yang akan ia hadapi di masa depan. Mimpi-mimpi datang dan pergi, menampilkan bayangan masa lalu dan masa depan yang terjalin dalam untaian yang tak terpisahkan. Namun, di tengah semua itu, ia melihat cahaya, cahaya yang meskipun kecil, tetap memancar dengan kekuatan yang stabil di dalam kegelapan.

Malam itu, Akarian tidak hanya beristirahat secara fisik, tetapi juga mempersiapkan jiwanya untuk tantangan berikutnya. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia harus terus maju, menghadapi segala sesuatu yang datang, baik itu kegelapan maupun cahaya. Sebab, dalam dirinya, ia merasa bahwa takdirnya bukan hanya untuk menghancurkan atau diselamatkan, tetapi untuk memahami dan menyatukan dua sisi yang saling bertolak belakang.

Namun, di kejauhan, di dalam bayang-bayang yang paling dalam dari hutan, sesuatu sedang mengamati mereka. Sebuah kekuatan yang telah lama terlupakan, tetapi tidak pernah sepenuhnya mati, kini mulai terbangun, merasakan adanya ancaman terhadap dominasi yang selama ini ia pegang.