Chereads / Takdir Sang Penguasa Gelap / Chapter 2 - Bab 2: Pengasingan di Hutan Terlarang

Chapter 2 - Bab 2: Pengasingan di Hutan Terlarang

Malam semakin larut ketika Akarian meninggalkan gerbang istana yang megah, melangkah ke dalam hutan yang gelap dan penuh dengan bayangan. Hutan ini, yang dikenal sebagai Hutan Terlarang, adalah tempat yang tidak pernah dikunjungi oleh siapa pun kecuali mereka yang sudah putus asa atau yang mencari tempat untuk menghilang dari dunia. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti raksasa, dan daun-daun lebatnya menutupi langit malam, menyisakan hanya sedikit cahaya bulan yang mampu menembusnya.

Akarian berjalan tanpa tujuan pasti, kakinya menyentuh tanah yang lembab, menciptakan jejak di tanah yang berlumut. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah-olah beban yang ia bawa dalam hatinya menambah bobot tubuhnya. Angin dingin berhembus, menembus kulitnya yang hanya dilindungi oleh jubah tipis. Namun, rasa dingin itu tidak mampu mengusir panas yang membara dalam dirinya—panas dari kemarahan, pengkhianatan, dan ketidakpastian.

Di kejauhan, suara burung malam dan binatang liar lainnya terdengar, memperingatkan kehadiran manusia di wilayah mereka. Tapi Akarian tidak peduli. Ketakutannya pada hutan ini terkubur di bawah gunungan emosi yang mendidih dalam dirinya.

"Mengapa harus aku?" gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tertelan oleh kegelapan malam. "Mengapa aku yang harus memikul beban ini?"

Ia teringat bagaimana ayahnya menundukkan kepala, tidak mampu menatapnya ketika ia diusir. Hati Akarian terasa sakit setiap kali ia membayangkan ekspresi itu, seolah-olah setiap ingatan adalah sebuah pisau yang menancap semakin dalam di jantungnya. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pelindung dan pemandunya, kini menjadi orang yang menghancurkan masa depannya. Keluarganya, istananya, dan semua yang ia cintai telah lenyap dalam sekejap mata.

"Jika mereka takut pada kekuatan ini, mengapa mereka tidak membantuku mengendalikannya? Mengapa mereka memilih untuk membuangku?" pikirnya dalam hati. Setiap pertanyaan yang muncul hanya menambah rasa frustrasi dalam dirinya, membuatnya merasa semakin tersesat.

Hutan mulai terasa semakin pekat saat Akarian berjalan lebih dalam. Pohon-pohon tampak lebih besar dan lebih tua, dengan akar-akar yang mencuat dari tanah, menciptakan jebakan alami bagi siapa pun yang tidak berhati-hati. Di salah satu sudut hutan, Akarian menemukan sebuah aliran kecil. Airnya mengalir tenang, tetapi permukaannya berkilau dengan cahaya yang aneh, seolah-olah memancarkan energi misterius.

Akarian berlutut di tepi aliran itu, menatap bayangannya yang terpantul di permukaan air. Wajah yang dulu ia kenali kini tampak asing baginya. Matanya yang biasanya bersinar dengan keberanian dan harapan kini tampak suram, hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Tapi di balik kesuraman itu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap. Cahaya dari kekuatan yang berusaha ia tekan sejak lama kini mulai tampak jelas di balik matanya.

"Kekuatan ini... apa sebenarnya?" gumamnya, masih menatap bayangan dirinya sendiri. "Apakah benar bahwa aku adalah ancaman? Apakah aku benar-benar ditakdirkan untuk menjadi seperti ini?"

Tiba-tiba, permukaan air di aliran itu bergetar, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Akarian mundur dengan waspada, tapi sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, bayangannya di air berubah. Wajahnya yang terlihat di permukaan air kini digantikan oleh wajah yang lain—wajah yang lebih tua, lebih dingin, dan lebih penuh dengan kegelapan.

"Akarian..." suara serak bergema dari air itu, suaranya terdengar seolah berasal dari dalam hatinya sendiri.

Akarian terperanjat, melangkah mundur lagi. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan?"

Bayangan di air itu tersenyum samar, senyum yang dipenuhi dengan misteri dan ancaman. "Aku adalah bagian dari dirimu. Bagian yang selama ini kau coba sembunyikan, tapi tak akan pernah bisa kau hilangkan."

Akarian merasakan ketakutan merayapi tubuhnya. Ia tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang gelap, sesuatu yang selalu berusaha ia kendalikan, tapi ia tidak pernah menyangka bahwa kekuatan itu bisa berkomunikasi dengannya, apalagi dengan cara yang begitu nyata seperti ini.

"Ini tidak nyata," katanya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya. "Ini hanya ilusi, hanya mimpi buruk."

"Tentu saja ini nyata," suara itu kembali berkata. "Dan semakin lama kau menolak untuk menerima kekuatan ini, semakin besar rasa sakit yang akan kau rasakan. Kau tidak bisa lari dari takdirmu, Akarian. Kau tidak bisa lari dari... dirimu sendiri."

Dengan tangan yang bergetar, Akarian menggenggam dadanya, merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia ingin berteriak, ingin melarikan diri dari semua ini, tetapi kaki-kakinya terasa seakan terpaku ke tanah. Kata-kata itu bergema di dalam kepalanya, mengguncang keyakinannya yang sudah rapuh.

"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya, hampir putus asa. "Bagaimana aku bisa mengendalikan ini?"

Bayangan di air itu tertawa pelan, suara tawa yang meresap ke dalam tulang Akarian, membuat darahnya semakin dingin. "Jawabannya ada dalam dirimu sendiri. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kau hanya terlalu takut untuk melakukannya. Terimalah kekuatan ini, dan kau akan mendapatkan kekuatan yang lebih besar dari yang pernah kau bayangkan. Tetapi ingat, ada harga yang harus dibayar."

"Harga?" Akarian tergagap, masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi. "Harga apa?"

Bayangan itu menghilang seketika, meninggalkan Akarian sendirian di tepi aliran air yang kini kembali tenang. Tapi ketenangan itu hanyalah penampilan semata, karena di dalam dirinya, badai telah mulai berkecamuk. Pikiran Akarian dipenuhi dengan bayangan tentang kekuatan gelap yang disebut-sebut oleh bayangan tadi, dan harga yang mungkin harus ia bayar untuk mengendalikannya.

Dengan hati yang masih dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan, Akarian berdiri dan melanjutkan perjalanannya, kali ini dengan lebih banyak pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Setiap langkah yang ia ambil di dalam hutan terasa semakin berat, bukan karena medan yang sulit, tetapi karena beban pikiran yang tak kunjung hilang.

Hutan Terlarang ini kini tidak hanya menjadi tempat pelariannya, tetapi juga medan pertempuran bagi jiwanya. Dan di antara pepohonan yang menjulang tinggi, kegelapan yang sebenarnya sedang mengawasinya, menunggu saat yang tepat untuk menunjukkan wajah aslinya.

Namun, jauh di dalam hutan, sesuatu yang lain sedang bergerak. Sesuatu yang lebih tua dari pohon-pohon itu, sesuatu yang telah lama tertidur dan kini terbangun oleh kehadiran kekuatan baru.