Chereads / Takdir Sang Penguasa Gelap / Chapter 16 - Bab 16: Harga Takdir

Chapter 16 - Bab 16: Harga Takdir

Suara berat itu bergema di seluruh gua, seperti gemuruh yang datang dari dasar bumi. Akarian merasakan getaran di bawah kakinya, seolah-olah tanah itu sendiri bergerak merespons kehadiran mereka. Ia berdiri tegak, dengan tangan yang masih terulur ke arah bola kristal di atas altar, namun jari-jarinya berhenti beberapa inci dari permukaannya. Suara itu, entah dari mana asalnya, membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat dan menindas.

Sifer melangkah maju, matanya menyipit saat ia menatap ke dalam kegelapan di ujung gua. "Itu bukan suara biasa," katanya pelan, tetapi jelas. "Tempat ini dijaga oleh kekuatan yang lebih besar dari yang kita duga."

Akarian menelan ludah, tangannya yang hampir menyentuh bola kristal kini bergetar. "Kekuatan apa yang berbicara dengan kita? Siapa yang mengawasi tempat ini?"

Sifer tidak menjawab seketika. Ia memandang lurus ke depan, seolah-olah sedang mendengarkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Akarian. Setelah beberapa saat, ia menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Tempat ini bukan hanya sekadar gua atau reruntuhan kuno. Ini adalah perwujudan dari titik awal kekuatan kegelapan dan cahaya. Setiap jiwa yang datang ke sini untuk mencari kebenaran harus membayar harga untuk mengungkapnya."

Akarian merasakan udara semakin dingin, dan bisikan dalam pikirannya semakin keras. Suara dari kegelapan yang ada di dalam dirinya juga berbicara, berusaha menariknya lebih dalam ke ketidakpastian. "Bayar harganya, Akarian. Takdir tidak datang tanpa pengorbanan."

Ia menarik tangannya kembali dari bola kristal, ragu apakah ia benar-benar siap untuk membuka jalan ke masa depan. Apa pun yang menunggu di balik kebenaran ini, ia tahu bahwa tidak ada jalan kembali. "Harga apa yang harus kubayar?" tanya Akarian, suaranya terdengar lemah di antara gema suara yang memenuhi gua.

Suara berat itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, seolah datang dari entitas yang tak terlihat. "Untuk setiap kebenaran yang kau cari, ada sesuatu yang harus diberikan. Hidupmu adalah bagian dari takdir ini, tetapi hidup orang lain juga terikat dengan nasibmu."

Akarian tertegun mendengar kata-kata itu. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan napas yang semakin berat.

Dari kegelapan di sudut gua, muncul sosok yang samar, bayangan tinggi yang tampak hampir tak berbentuk. Matanya yang menyala merah terlihat seperti api yang berkobar dalam kehampaan. Suara itu terus berbicara, kali ini dengan nada yang lebih mengancam.

"Kau ingin mengungkap kebenaran tentang dirimu, tetapi kau tidak bisa melakukannya tanpa membayar harga. Setiap tindakan yang kau lakukan, setiap pilihan yang kau ambil, akan berdampak pada dunia ini. Untuk setiap kebenaran, kau harus mengorbankan seseorang---seseorang yang terikat dengan takdirmu."

Akarian merasa darahnya membeku. Kata-kata sosok itu terdengar seperti ancaman, tetapi lebih dari itu, mereka adalah kenyataan yang menakutkan. "Mengorbankan seseorang?" gumam Akarian, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

Sifer, yang berdiri di sampingnya, tetap tenang meskipun wajahnya semakin tegang. "Setiap takdir besar datang dengan pengorbanan, Akarian. Kau harus siap untuk menghadapi kenyataan bahwa apa pun yang kau lakukan, orang-orang di sekitarmu juga akan terpengaruh."

Akarian menatap Sifer dengan rasa tidak percaya. "Apa kau tahu tentang ini? Apa kau tahu bahwa aku harus mengorbankan seseorang untuk menemukan kebenaran?"

Sifer terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk pelan. "Aku tahu ada harga yang harus dibayar, tetapi aku tidak tahu seberapa besar pengorbanan itu. Setiap jiwa yang terikat dengan kekuatan besar harus siap untuk kehilangan sesuatu yang berharga."

Akarian mundur selangkah, matanya terfokus pada sosok bayangan yang masih mengawasi mereka dari kejauhan. Pikirannya berputar-putar dengan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran. Siapa yang harus ia korbankan? Apakah benar bahwa hidup seseorang harus berakhir hanya untuk mengungkap kebenaran tentang dirinya sendiri?

"Kau punya pilihan," lanjut suara berat itu. "Kau bisa melanjutkan perjalanan ini dan membayar harga dengan nyawa orang lain, atau kau bisa mundur sekarang dan menerima ketidakpastian yang akan menelanmu."

Akarian merasakan ketegangan dalam dirinya semakin kuat. Pilihan itu terasa seperti perangkap, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu bahwa mengungkap kebenaran adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kegelapan yang akan datang, tetapi mengorbankan nyawa seseorang? Itu bukan sesuatu yang ia bisa terima dengan mudah.

"Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Akarian, matanya menatap lurus ke arah bayangan itu.

Suara itu hanya tertawa pelan, tawa yang bergema dengan nada penuh ejekan. "Setiap pilihan dalam hidup membawa konsekuensi. Kau tidak bisa mendapatkan sesuatu tanpa memberikan sesuatu yang lain. Pengorbanan adalah bagian dari takdirmu."

Akarian merasakan matanya berkaca-kaca, frustrasi dan takut pada apa yang akan datang. Tapi di tengah rasa takut itu, ia juga tahu bahwa mundur sekarang berarti menyerah pada kegelapan. Jika ia tidak melanjutkan perjalanan ini, kegelapan akan bangkit, dan dunia akan jatuh ke dalam kehancuran.

Sifer menatapnya dalam-dalam, seolah bisa membaca konflik yang terjadi di dalam diri Akarian. "Kau tidak sendirian dalam membuat keputusan ini," kata Sifer pelan. "Apa pun yang kau pilih, aku akan bersamamu. Tapi ingat, Akarian, dunia ini bergantung pada kekuatanmu untuk melawan."

Akarian mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Ia tahu bahwa apa pun yang ia pilih sekarang akan mengubah segalanya---bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang ia sayangi. Dan pada akhirnya, ia menyadari bahwa tidak ada jalan keluar dari takdir ini.

Dengan tangan yang masih gemetar, ia mendekati bola kristal di altar itu. Setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya, tetapi ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ketika tangannya akhirnya menyentuh bola kristal itu, cahaya yang memancar darinya berubah menjadi terang benderang, menyinari seluruh gua.

Pada saat itu, Akarian mendengar bisikan terakhir dari bayangan yang masih mengawasinya.

"Kau telah membuat pilihanmu, Akarian. Tetapi ingat, harga dari kebenaran ini akan lebih besar dari yang pernah kau bayangkan."