Langit di atas Lunavere selalu kelabu, tetapi hari itu seperti amarah para dewa sendiri telah menyelubunginya. Angin membawa debu bercampur darah, dan suara geraman makhluk-makhluk terkutuk—Maledicta—bergema seperti nyanyian kehancuran.
Di tengah semua itu, berdiri seorang wanita muda dengan rambut keperakan yang menjuntai hingga pinggang. Jubahnya compang-camping, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak akan kalah dengan mudah.
"Jadi," katanya pada dirinya sendiri, suaranya dingin tetapi penuh ironi. "Hari pertama keluar dari kuil, dan aku langsung disambut kiamat. Hebat."
Di kejauhan, reruntuhan kota yang pernah berjaya terbentang di bawah bukit kecil tempatnya berdiri. Batu bata yang hancur berserakan, dinding-dinding yang hitam oleh api, dan mayat-mayat yang sudah membusuk menjadi bagian dari tanah. Dunia yang ia tinggalkan selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya, lebih buruk dari apa pun yang pernah ia bayangkan.
Tapi itu bukan pemandangan yang membuatnya menggenggam tali tas di pundaknya lebih erat. Itu adalah sosok-sosok kelam yang bergerak di bawah sana—Maledicta. Tiga, mungkin empat, berjalan dengan cara yang tidak wajar, seperti boneka yang benangnya diputuskan tetapi tetap dipaksa bergerak.
"Sial," gumamnya, menyipitkan mata. "Mereka bahkan lebih jelek daripada yang ada di buku."
Ia melangkah mundur, mencoba menjauh dari tepi bukit. Tapi tanah di bawah kakinya goyah, dan sebelum ia bisa bereaksi, sebuah batu besar berguling ke bawah. Suaranya menggema seperti lonceng kematian di lembah yang sunyi.
Makhluk-makhluk itu berhenti. Kepala mereka yang tidak proporsional menoleh ke arahnya dengan gerakan lambat tapi penuh intensi.
Alakina mendesah panjang. "Bagus sekali, Alakina. Sungguh langkah yang sangat cerdas. Sekarang kau benar-benar menarik perhatian."
Ia meraih pedang kecil di pinggangnya—senjata sederhana yang nyaris tidak layak disebut pedang, tetapi cukup untuk memberi rasa aman. Makhluk pertama mulai mendaki bukit dengan gerakan cepat, cakarnya mencakar tanah, dan dua lainnya mengikuti di belakangnya.
Alakina berdiri di tempatnya, berusaha mempertahankan ketenangan.
"Datanglah saja," gumamnya. "Aku baru saja belajar bagaimana cara mengayunkan ini tanpa melukai diri sendiri. Kalian adalah kelinci percobaan yang sempurna."
Makhluk pertama melompat, dan Alakina bereaksi instingtif. Pedangnya melesat, memotong ke arah kaki makhluk itu. Tapi seperti yang ia duga, kulit makhluk itu terlalu keras, dan pedangnya hanya meninggalkan goresan kecil.
Makhluk itu menjerit, suara seperti logam yang berderit.
"Bagus," ujarnya, selagi dia mundur selangkah. "Sepertinya aku perlu rencana B."
Sementara itu, Makhluk kedua mulai mendekat, bergabung dengan yang pertama. Tubuhnya yang bengkak bergerak dengan cara yang aneh, seperti cairan yang dipaksa menjadi padat. Cakar-cakarnya menghantam tanah, meninggalkan bekas luka pada batu dan tanah yang dilaluinya.
Alakina, dengan seluruh tubuhnya tegang, melangkah mundur lagi. Tapi langkahnya terhenti ketika tumitnya menyentuh batu besar di belakangnya.
"Tentu saja," gumamnya, suaranya penuh ironi. "Kenapa harus ada jalan keluar ketika aku sedang dikepung monster? Karena itu terlalu mudah."
Makhluk pertama, yang kini hanya berjarak beberapa langkah darinya, berhenti sejenak. Matanya yang kosong seperti lubang hitam menatap lurus ke arahnya. Mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan deretan gigi seperti pecahan kaca.
"Apa yang kau tunggu? Undangan?" sindir Alakina.
Seolah mengerti ejekannya, makhluk itu menerjang ke depan dengan kecepatan yang membuat Alakina terkejut. la hanya punya waktu untuk melompat ke samping, menghindari cakarnya yang besar dengan selisih tipis.
Tapi ia tidak cukup cepat untuk menghindari makhluk kedua. Cakar panjang itu menyapu ke arahnya, mencakar lengan kirinya.
"Agh!" Alakina tersentak mundur, darah segar mengalir dari lukanya.
la mengangkat pedangnya, mencoba menyerang balik. Tapi makhluk pertama sudah menyerang lagi, memaksanya bertahan dengan gerakan yang semakin panik. Pedang kecilnya hanya mampu menangkis serangan-serangan itu, nyaris tidak cukup untuk melukai mereka.
Tapi ia tidak cukup cepat untuk menghindari makhluk kedua. Cakar panjang itu menyapu ke arahnya, mencakar lengan kirinya.
"Agh!" Alakina tersentak mundur, darah segar mengalir dari lukanya.
la mengangkat pedangnya, mencoba menyerang balik. Tapi makhluk pertama sudah menyerang lagi, memaksanya bertahan dengan gerakan yang semakin panik. Pedang kecilnya hanya mampu menangkis serangan-serangan itu, nyaris tidak cukup untuk melukai mereka.
"Kalian benar-benar keras kepala, ya?" desisnya, terengah-engah. "Bagaimana kalau kita berdamai saja? Kalian pergi, aku pergi, dan semua orang bahagia?"
Makhluk-makhluk itu jelas tidak tertarik dengan tawarannya. Mereka terus mendekat, memaksanya mundur semakin jauh hingga ia benar-benar terpojok.
"Baiklah, Alakina," katanya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. "Ini saatnya. Kalau kau tidak mati sekarang, mungkin kau bisa hidup cukup lama untuk menertawakan ini nanti."
la menutup matanya, menarik napas panjang.
Dan kemudian ia merasakannya.
Sebuah kekuatan yang hangat dan asing mengalir melalui tubuhnya, seperti arus listrik yang membakar setiap sarafnya. Cahaya biru mulai berkumpul di telapak tangannya, pelan tapi pasti.
Ketika ia membuka matanya lagi, dunia di sekitarnya terasa melambat.
Tangannya bergerak dengan sendirinya, seperti diatur oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Cahaya biru itu berubah menjadi bentuk pedang panjang yang bersinar terang-Luminaris. Pedang itu terasa berat di tangannya, tetapi di saat yang sama, terasa seperti bagian dari dirinya sendiri.
Makhluk-makhluk itu tampak ragu sejenak, seperti mengenali bahaya dari cahaya itu. Tapi keraguan itu hanya bertahan sedetik sebelum mereka menyerang lagi, kali ini bersamaan.
Alakina melangkah maju, mengayunkan Luminaris dengan kekuatan yang tidak pernah ia duga ia miliki. Bilah bercahaya itu memotong udara, menebas salah satu makhluk dengan satu gerakan cepat. Tubuhnya terbelah menjadi dua, dan seketika berubah menjadi abu.
Dua makhluk lainnya berhenti, tetapi hanya untuk sepersekian detik sebelum mereka kembali menyerang.
"Kalian tidak pernah belajar, ya?" ujar Alakina, suaranya dingin.
la mengayunkan Luminaris lagi, kali ini dengan gerakan melingkar yang menciptakan gelombang cahaya biru. Gelombang itu menghantam kedua makhluk secara bersamaan, meledakkan mereka menjadi abu.
Keheningan kembali menyelimuti bukit itu. Hanya suara napas Alakina yang terdengar, berat dan tersengal. la berdiri di tengah puing-puing, pedangnya masih bersinar redup di genggamannya.
"Jadi," katanya, mencoba mengatur napas. "Ini rasanya menjadi pahlawan. Aku tidak suka."
Dengan tangan gemetar, ia menyarungkan Luminaris. Pedang itu menghilang dalam seberkas cahaya, meninggalkan rasa hangat yang aneh di telapak tangannya.
Tapi ia tidak punya waktu untuk merenungkan apa yang baru saja terjadi. Dari kejauhan, ia mendengar suara yang familiar-suara gemuruh langkah kaki, seperti kawanan makhluk yang sedang mendekat.
"Bagus sekali," gumamnya, dengan nada sinis. "Sepertinya pesta belum selesai."
la berbalik, mulai berlari ke arah hutan di belakangnya. la tahu ia tidak bisa menghadapi lebih banyak Maledicta dalam keadaan seperti ini. Tidak dengan luka di lengannya dan tubuhnya yang masih gemetar karena kelelahan.
"Ayo, Alakina," katanya pada dirinya sendiri. "Cukup satu hari lagi bertahan hidup. Hanya satu hari lagi."
Dan dengan itu, ia menghilang ke dalam bayangan pepohonan, meninggalkan bukit itu di belakangnya.