Chereads / Tales Of Savior In Chaotic World / Chapter 5 - Di Bawah Tekanan

Chapter 5 - Di Bawah Tekanan

Waktu Malam telah tiba dengan cepat di gurun tandus Lunavere. Kelompok itu mendirikan kemah kecil di bawah naungan bebatuan besar untuk menghindari angin dingin yang menerpa. Api unggun menyala, menyebarkan cahaya hangat yang terasa kontras dengan kehampaan sekeliling.

Syl sibuk mengaduk-aduk isi ranselnya, mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi ramuan kering dan bungkusan kecil dari daun lebar.

"Anak ini! Kau serius membawa bahan makanan ke tengah gurun?" tanya Alakina, sambil duduk dengan punggung bersandar pada batu besar.

Syl mengangkat bahu, menuangkan ramuan itu ke dalam panci kecil yang ia letakkan di atas api. "Apa gunanya hidup kalau kau tidak makan enak? Lagipula, ini bukan hanya makanan. Ini adalah keahlian."

Kaelen, yang duduk dengan tenang sambil mengamati dari kejauhan, menyeringai. "hmm... Aku suka dia. Dia membawakan kita makan malam."

Alakina mendesah. "huh! Aku merasa ini akan lebih merepotkan daripada membantu."

Aroma harum mulai memenuhi udara. Syl mengaduk isi panci dengan tongkat kecil, menambahkan cairan dari botol kecil yang ia keluarkan dari sakunya. "Sup herba dengan akar gurun. Sedikit pahit, tapi menghangatkan tubuh. Ditambah roti keras yang kupanggang kemarin."

"Wuih! Sangat Hebat," gumam Alakina, mengambil roti yang ia sodorkan. "Aku tidak lapar, tapi ini lebih baik daripada kelaparan."

Kaelen mengambil mangkuk kecil, mencicipi sup itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. "hmm... Tidak buruk juga," katanya akhirnya. "Kau mungkin punya bakat menjadi koki, Sylvaeris."

"fufufu, Terima kasih," jawab Syl dengan bangga. "Setidaknya seseorang di sini tahu bagaimana menghargai seni."

Setelah makan malam selesai, suasana menjadi lebih serius. Alakina membuka peta kecil yang ia bawa, memperlihatkan garis besar kota Eldenmere.

"Kita harus memasuki kota dari sisi barat," katanya, menunjuk bagian yang terlihat paling hancur. "Temboknya hampir runtuh di sana, jadi kita tidak perlu berurusan dengan gerbang utama."

Syl menyipitkan matanya, memperhatikan peta. "Kau yakin? Aku pernah mendengar desas-desus bahwa sisi barat Eldenmere sering dilalui Maledicta. Mereka mengatakan ada sesuatu di sana yang menarik mereka."

"Fragmenta," jawab Kaelen singkat. "Energi Fragmenta kedua memancar dari sisi barat. Itu sebabnya Maledicta berkumpul di sana."

Syl mengangguk pelan, meskipun ekspresinya mulai menunjukkan kekhawatiran. "Lalu, apa kita punya rencana untuk menghadapi mereka?"

"Kita bunuh saja mereka sebelum mereka membunuh kita," jawab Alakina dengan ekspresi dingin.

"Oho, Tentu saja," balas Syl sambil tersenyum tipis. "Rencana sederhanamu itu selalu yang terbaik."

Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan diskusi, suara aneh terdengar dari kejauhan. Itu seperti bunyi lonceng kecil, bergema pelan di tengah malam yang sunyi.

Alakina langsung berdiri, memegang Luminaris di tangannya. Kaelen mengangkat tongkatnya, sementara Syl mencoba mencari asal suara itu.

"Apa itu?" tanya Syl, Dengan nada suaranya yang lebih rendah.

"Yang Jelas, bukan sesuatu yang baik," jawab Kaelen, matanya menyipit ke arah bukit pasir di depan mereka.

Dari balik kegelapan, sebuah sosok muncul—seorang pria berjubah panjang dengan wajah tertutup kain. Ia membawa sebuah lentera kecil yang memancarkan cahaya redup, dan di tangannya yang lain, ia menggenggam sesuatu yang tampak seperti kotak kayu kecil.

Pria itu berhenti beberapa langkah dari mereka, menatap mereka tanpa bicara.

"Siapa kau?" seru Alakina, mengangkat Luminaris sedikit lebih tinggi.

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat kotak kayu itu, memperlihatkannya kepada mereka. Kotak itu memiliki ukiran rumit di bagian atas, dengan simbol yang tampak seperti kombinasi antara mata dan lingkaran.

Kaelen melangkah maju, ekspresinya berubah serius. "itu. Kotak teka-teki..." gumamnya.

"Kotak apa?" tanya Alakina, meliriknya.

"Itu disebut Enigma Lucis," jawab Kaelen, suaranya penuh kewaspadaan. "itu adalah alat kuno yang digunakan untuk melindungi Fragmenta. Tapi hanya mereka yang bisa memecahkan teka-tekinya yang bisa membuka kotak itu."

Pria berjubah itu berbicara untuk pertama kalinya, suaranya terdengar berat dan bergema. "Hanya yang cerdas yang akan selamat. Pecahkan teka-tekinya, atau hadapi konsekuensinya."

Sebelum mereka sempat bertanya lebih banyak, pria itu meletakkan kotak itu di tanah, lalu menghilang ke dalam bayangan, seolah-olah ia tidak pernah ada.

"Oh Shit! Not Good," ujar Syl, menatap kotak itu dengan ragu.

"hei! jangan sentuh dulu," kata Kaelen, mengangkat tangannya. "Kotak itu penuh dengan jebakan. Satu langkah yang salah, dan kita mungkin semua akan mati."

Alakina mendekat, memandangi ukiran pada kotak itu. "Teka-teki macam apa itu?"

"Ini biasanya berupa kombinasi simbol," jawab Kaelen sambil jongkok di depan kotak itu. "Setiap simbol harus disusun dalam urutan yang benar untuk membuka kotak. Tapi jika kita salah..."

"Boom," tambah Syl, membuat gerakan ledakan dengan tangannya.

Semua orang melirik ke arah syl, sambil terdiam.

Alakina menghela napas panjang. "Baiklah. Mulai sekarang, kita semua berpikir seperti detektif."

Kotak kayu Enigma Lucis tergeletak di atas pasir, seperti benda tak berbahaya. Namun, energi yang memancar darinya membuat suasana semakin berat, seolah udara di sekitar mereka dipenuhi dengan arus listrik.

"Jadi, bagaimana cara kita membuka ini?" tanya Syl, berdiri di sebelah Kaelen yang sedang memandangi kotak itu dengan ekspresi penuh fokus.

"Ini itu. Bukan sembarang teka-teki biasa," jawab Kaelen. "Kotak ini memiliki mekanisme rumit. Jika kita salah memutar atau menyentuh simbol yang salah, seluruh tempat ini bisa meledak."

"Great," gumam Alakina dengan nada sarkastik, melirik ke arah padang gurun di sekitarnya. "Sekarang kita benar-benar membutuhkan sebuah ledakan untuk menarik perhatian lebih banyak Maledicta."

Syl menggelengkan kepala sambil mengamati kotak itu. "Mungkin kita bisa mencoba menebaknya?"

"Kalau Begitu. Cobalah," balas Kaelen sambil menyeringai tipis. "Dan aku akan pastikan epitafmu berbunyi, 'Meninggal karena terlalu percaya diri.'"

"huh, Lucu sekali," sahut Syl sambil memutar matanya.

Kaelen menghela napas panjang. "Lihat ukirannya. Ada sembilan simbol di sini, masing-masing mewakili unsur dasar kosmos—cahaya, bayangan, api, angin, dan sebagainya. Tapi hanya tiga yang perlu kita pilih dalam urutan yang benar."

Alakina menyipitkan matanya, memperhatikan ukiran tersebut. "Bagaimana kita tahu urutannya?"

"Biasanya ada petunjuk tersembunyi," jawab Kaelen sambil menunjuk ke bagian samping kotak yang memiliki garis-garis tipis seperti pola teka-teki. "Mungkin teka-teki ini terkait dengan hukum dasar kosmologi."

"Bicara soal hukum dasar, apakah ada hukum yang menjelaskan kenapa kita masih diam di sini sementara suara gemuruh itu semakin mendekat?" tanya Syl, suaranya mulai serius.

Suara itu—gemuruh langkah kaki—memang semakin keras, seolah datang dari segala arah. Alakina berdiri tegak, mengangkat Luminaris.

"Maledicta," gumamnya.

Kaelen melirik sekilas ke arah cakrawala, di mana sosok-sosok kelam mulai terlihat seperti bayangan besar yang bergerak di bawah cahaya bulan.

"Sepertinya kita punya tamu," katanya, dengan nada yang nyaris terdengar geli.

Syl berdiri di sebelah Alakina, mengangkat tongkatnya. "Kau fokus pada kotaknya aja. Biar kami yang akan menjaga mereka tetap sibuk."

"Apa kalian yakin bisa menangani mereka?" tanya Kaelen sambil mulai memutar bagian atas kotak dengan hati-hati.

"Kami tidak punya pilihan lain," balas Alakina, sebelum melangkah maju dengan Luminaris yang menghunus mereka.

Maledicta pertama menyerang dengan raungan keras, melompat dari atas bukit pasir dengan cakar terangkat. Alakina mengayunkan Luminaris, bilahnya memancarkan cahaya biru yang membelah makhluk itu menjadi abu sebelum tubuhnya menyentuh tanah.

Namun, dua makhluk lain segera menyusul, menyerang dari dua sisi. Syl menggerakkan tongkatnya dengan cepat, menciptakan semburan cahaya emas yang menghantam salah satu makhluk, menghentikan gerakannya untuk beberapa detik.

"Kau harusnya melihat wajahnya," ujar Syl sambil tertawa kecil, meskipun matanya tetap waspada.

"Fokus!" seru Alakina, menghindari serangan yang nyaris mengenai punggungnya.

Sementara itu, Kaelen tetap jongkok di samping kotak, memutar-mutar simbol dengan tangan yang terampil. Namun, setiap kali ia menyentuh salah satu simbol, suara gemuruh kecil terdengar dari dalam kotak, seolah memperingatkannya akan sesuatu.

"Cepatlah sedikit, Kaelen!" teriak Alakina, ketika menebas Maledicta lain yang mencoba menyerangnya dari depan.

"Kalau memang kamu ingin aku meledakkan kita semua, baiklah aku bisa mempercepatnya," balas Kaelen dengan nada tenang. "Tapi aku rasa kau tidak ingin itu terjadi, kan?"

Pertarungan terus berlangsung, dan jumlah Maledicta tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang. Bahkan ketika Alakina dan Syl berhasil mengalahkan satu, dua makhluk baru muncul menggantikan mereka.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," ujar Syl, melompat mundur untuk menghindari serangan cakar. "Apa kotaknya sudah hampir terbuka?"

Kaelen tidak menjawab, tetapi ia berhenti sejenak, matanya menyipit saat ia memperhatikan pola ukiran di bagian bawah kotak.

"Tunggu," gumamnya. "Ada pola di sini. Tiga simbol ini—cahaya, bayangan, dan aether..."

"Dan?" desak Alakina, sambil menebas Maledicta lainnya.

"Ini bukan tentang unsur," jawab Kaelen, nada suaranya berubah serius. "Ini tentang hierarki. Bayangan melayani cahaya, tetapi aether melampaui keduanya. Oh, Itu sebabnya..."

Ia memutar simbol terakhir, dan seketika, kotak itu mengeluarkan suara klik lembut. Cahaya biru terang memancar dari dalamnya, membentuk pola rune di udara yang tampak seperti peta.

"Kau berhasil?" tanya Syl dengan nada lega.

Kaelen tersenyum, berdiri dengan kotak di tangannya. "Aku selalu berhasil."

Namun, sebelum mereka sempat merayakan, suara gemuruh besar mengguncang tanah. Alakina memutar tubuhnya, hanya untuk melihat sosok besar muncul dari balik bukit—sebuah Maledicta raksasa dengan tubuh seperti batu dan mata yang bersinar merah.

"Apa itu?" tanya Syl, suaranya sedikit bergetar.

Kaelen menatap makhluk itu, lalu kembali ke Alakina dengan ekspresi santai. Oh Shit! Masalah besar."

Alakina mengangkat Luminaris, matanya menyipit. "Selesaikan kotaknya. Kami akan menangani ini."

Kaelen tertawa kecil sambil memutar kotak di tangannya. "Dan di sinilah kita lagi, selalu di bawah tekanan."