Chereads / Tales Of Savior In Chaotic World / Chapter 7 - Perpecahan Yang Tak Terhindarkan

Chapter 7 - Perpecahan Yang Tak Terhindarkan

Setelah mereka mengalahkan Makhluk Itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka.

Lorong sempit di dalam reruntuhan Eldenmere terasa seperti memerangkap mereka dalam labirin yang tak berujung. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut gelap.

"Kita hampir sampai," ujar Kaelen, suaranya rendah namun penuh keyakinan.

"Benarkah?" tanya Syl dengan nada sinis. "Karena aku merasa kita sudah berjalan selama berabad-abad."

Alakina tidak menanggapi. Ia berjalan di depan mereka, Luminaris menyala redup di tangannya untuk menerangi jalan. Pikiran tentang ukiran di tembok sebelumnya masih menghantui pikirannya.

"Ada sesuatu yang salah," gumamnya akhirnya.

Kaelen menatapnya dari belakang. "Tentu saja ada. Dunia ini salah. Tapi itu sebabnya kita di sini."

"Bukan itu maksudku," jawab Alakina tajam, berhenti dan berbalik menghadap Kaelen. "Kau tahu lebih banyak daripada yang kau katakan. Tentang Fragmenta. Tentang ibuku. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?"

Syl, yang berdiri di antara mereka, mengangkat tangannya. "Hei, mari kita jangan mulai bertengkar di sini. Kita punya cukup musuh di luar sana."

"Tinggalkan ini, Syl," kata Alakina tanpa menoleh. "Aku ingin mendengar dari Kaelen."

Kaelen mendesah, melipat tangannya di dada. "Kau ingin tahu apa yang aku sembunyikan? Baiklah."

Ia melangkah maju, tatapannya tajam. "Fragmenta bukan hanya pecahan kekuatan dewa. Mereka adalah bagian dari ibumu. Setiap kali kau menyerap energi mereka, kau semakin mendekati apa yang dia menjadi. Dan aku tidak yakin itu hal yang baik."

"Apa maksudmu?" desak Alakina.

"Ibumu bukan hanya mencoba menyelamatkan dunia," jawab Kaelen, suaranya rendah tetapi penuh penekanan. "Dia mencoba mengubahnya sepenuhnya. Membentuknya kembali sesuai kehendaknya. Dan kau, Alakina... kau mungkin akan melakukan hal yang sama."

Keheningan menyelimuti mereka. Syl melihat ke arah Alakina dengan ragu, sementara Alakina sendiri terdiam, ekspresinya sulit dibaca.

"Aku bukan ibuku," katanya akhirnya, suaranya dingin.

"Tentu saja tidak," balas Kaelen. "Tapi kau punya darahnya. Dan Fragmenta... mereka akan mengubahmu, cepat atau lambat."

Ketegangan mereka terputus oleh suara gemuruh dari depan. Sebuah dinding batu besar perlahan terbuka, memperlihatkan ruang yang luas dengan altar di tengahnya. Di atas altar itu, pecahan Fragmenta berikutnya bersinar terang.

Namun, di antara mereka dan altar berdiri seorang pria tinggi dengan mantel hitam dan sayap besar seperti naga yang melipat di punggungnya. Kulitnya memiliki tekstur sisik, dan matanya bersinar merah seperti api.

"Beast Race," bisik Syl, suaranya penuh kewaspadaan.

"Tidak hanya Beast Race," tambah Kaelen. "Dia adalah Drakenir, manusia setengah naga."

Pria itu menatap mereka, suara beratnya menggema di ruangan. "Kalian datang untuk Fragmenta. Tapi aku tidak akan membiarkannya jatuh ke tangan manusia."

"cih! Memangnya beliau ini siapa?" tanya Alakina, mengangkat Luminaris.

"Mwahahahaha!!! Namaku Zeroth, penjaga Fragmenta ketiga," jawabnya, dengan ketawa jahatnya sambil membentangkan sayapnya yang besar. "Dan aku akan memastikan hanya yang layak yang bisa menyentuhnya."

Pertarungan dimulai dengan intens. Zeroth menyerang dengan cakarnya yang besar, menghembuskan api dari mulutnya untuk memisahkan kelompok. Alakina menghadapi serangannya langsung, sementara Syl dan Kaelen mencoba mencari celah di sisinya.

"Kita tidak bisa mengalahkannya seperti ini," teriak Syl sambil menghindari semburan api.

"Cari kelemahannya!" balas Alakina, menangkis serangan cakar dengan Luminaris.

Namun, setiap kali mereka berhasil menyerang Zeroth, tubuhnya hanya sembuh dengan cepat, sisiknya semakin keras.

"Kita butuh lebih dari kekuatan," gumam Kaelen, mengarahkan sihir bayangannya ke arah altar. "Fragmenta itu... mungkin bisa memberi kita kesempatan."

"Tapi siapa yang akan mengambilnya?" tanya Syl.

"Biarkan aku," jawab Alakina tanpa ragu.

Kaelen meliriknya, ekspresinya penuh keraguan. "Jika kau mengambil Fragmenta ini, kau akan semakin terhubung dengan ibumu. Kau yakin ini pilihan yang tepat?"

"Aku tidak punya pilihan lain," jawab Alakina, berlari ke arah altar dengan Luminaris bersinar lebih terang dari sebelumnya.

Namun, Zeroth tidak membiarkannya mendekati Fragmenta dengan mudah. la mengepakkan sayapnya, menciptakan hembusan angin yang kuat hingga Alakina harus melindungi wajahnya. Dengan satu lompatan, Zeroth mendarat di depan altar, cakarnya menghantam lantai dengan kekuatan yang membuat

seluruh ruangan berguncang.

"Kau terlalu lemah untuk menyentuh Fragmenta ini," ujarnya dengan suara yang menggema. "Darah manusia sepertimu hanya akan mencemari kekuatannya."

Alakina tidak menjawab. la melompat maju, mengayunkan Luminaris dengan kecepatan luar biasa. Bilah bercahaya itu mengenai sisik Zeroth, menciptakan percikan api yang menyilaukan.

Zeroth hanya tersenyum dingin. la mengangkat cakarnya dan menyerang balik dengan gerakan yang hampir mustahil untuk dihindari.

Alakina berhasil menangkis serangan itu, tetapi kekuatan dari benturan tersebut membuat tubuhnya terhempas ke belakang. la jatuh dengan keras ke lantai, napasnya tersengal.

"Apa ini rencana hebatmu?" ejek Zeroth, suaranya penuh cemoohan.

Syl berlari ke sisi Alakina, tongkatnya bersinar dengan sihir emas. "Kau baik-baik saja?"

"Aku tidak akan mati hanya karena satu serangan," balas Alakina, meskipun ia harus berjuang untuk berdiri.

Kaelen, yang selama ini berada di sudut, melangkah maju. "Kita tidak bisa menang dengan kekuatan brute force," ujarnya sambil memutar kotak Enigma Lucis di tangannya. "Fragmenta ini memiliki energi yang tidak stabil. Jika kita bisa mengarahkan energi itu ke Zeroth, mungkin kita punya kesempatan."

"Bagaimana caranya?" tanya Syl, matanya masih terpaku pada Zeroth yang mendekati mereka dengan langkah perlahan.

Kaelen menunjuk altar. "Seseorang harus menyentuh Fragmenta langsung. Tapi risikonya..."

"Risikonya apa?" desak Syl.

Kaelen tidak langsung menjawab. la menatap Alakina dengan pandangan serius. "Risikonya, Fragmenta bisa menyerap seluruh Essentia orang yang menyentuhnya. Itu bisa membunuhmu."

"Aku akan melakukannya," jawab Alakina tanpa ragu.

Syl menatapnya dengan terkejut. "Kau tidak serius, kan? Ada kemungkinan kau

Ada kemungkinan kita semua mau kalau aku tidak mencobanya," potong Alakina, suaranya dingin tetapi tegas. "Ini bukan tentang keberanian. Ini tentang kebutuhan."

Zeroth, yang kini hanya berjarak beberapa meter dari mereka, berhenti sejenak. la menatap Alakina dengan pandangan tajam, seolah mencoba membaca pikirannya.

"Pilihanmu sudah jelas," katanya, sayapnya perlahan mengepak. "Tapi apakah kau siap menanggung konsekuensinya?"

Alakina tidak menjawab. la menggenggam Luminaris erat, lalu melangkah maju dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Dengan Syl dan Kaelen yang menahan serangan Zeroth sejenak, Alakina berhasil mencapai altar. Fragmenta ketiga bersinar dengan intensitas yang hampir membutakan, energinya terasa seperti badai yang mengamuk di dalam kristal kecil itu.

"Alakina, pikirkan lagi!" teriak Syl dari kejauhan.

"Aku sudah memikirkannya," jawab Alakina pelan.

la mengulurkan tangannya, jari-jarinya menyentuh permukaan Fragmenta. Seketika, energi Fragmenta meledak keluar, menciptakan gelombang cahaya yang menyelimuti ruangan. Zeroth terdorong mundur oleh ledakan itu, sementara Syl dan Kaelen harus menahan diri agar tidak jatuh.

Tubuh Alakina dilingkupi oleh cahaya Fragmenta, matanya bersinar biru sementara aliran energi masuk ke dalam tubuhnya. Tapi rasa sakit yang luar biasa segera menyerang, membuatnya berteriak keras.

"Alakina!" teriak Syl, mencoba mendekat tetapi terhalang oleh dinding energi yang diciptakan Fragmenta.

Kaelen menatapnya dengan ekspresi penuh keraguan. "Dia mungkin tidak akan bertahan," gumamnya, meskipun ia tidak berusaha menghentikannya.

Namun, di tengah rasa sakit itu, Alakina memaksa dirinya berdiri tegak. la menggenggam Luminaris dengan kedua tangan, dan pedang itu mulai menyerap sebagian energi dari Fragmenta. Kilatan cahaya biru memenuhi bilahnya, membuat pedang itu terlihat seperti bintang yang bersinar di tengah kegelapan.

"Zeroth!" seru Alakina, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Zeroth menatapnya, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. "Jadi, kau telah memilih jalanmu."

Pertempuran terakhir dimulai dengan intensitas yang lebih tinggi. Dengan kekuatan baru dari Fragmenta, Alakina bergerak lebih cepat dan menyerang dengan presisi yang mematikan. Setiap ayunan Luminaris menciptakan gelombang energi yang memotong udara, memaksa Zeroth untuk bertahan dengan seluruh kekuatannya.

Namun, bahkan dengan kekuatannya yang baru, Alakina tahu bahwa setiap serangan membebani tubuhnya. Energi Fragmenta yang mengalir di dalam dirinya terasa seperti api yang membakar dari dalam.

"Aku tidak bisa mempertahankan ini lama," pikirnya, menghindari cakar Zeroth yang hampir menghantamnya.

"Jangan berhenti sekarang!" teriak Syl dari kejauhan, mencoba membantu dengan sihirnya meskipun dampaknya kecil.

Kaelen, yang berdiri di dekat altar, hanya mengamati dengan mata tajam. la tidak berusaha membantu, tetapi juga tidak menghalangi.

Alakina memanfaatkan momen ketika Zeroth menyerang dengan cakar kanannya. Ia melompat ke atas, mengarahkan Luminaris langsung ke dadanya. Bilah bercahaya itu menusuk sisik Zeroth, menciptakan ledakan energi yang mengguncang seluruh ruangan.

Zeroth menggeram kesakitan, tetapi sebelum tubuhnya runtuh, ia tersenyum tipis. "Ugh! Kau cukup kuat rupanya," katanya dengan nada rendah. "Tapi, ingatlah! kekuatan ini akan datang dengan membayar harga yang setimpal."

la kemudian, runtuh ke lantai, tubuhnya berubah menjadi abu yang berkilauan.