Chereads / Tales Of Savior In Chaotic World / Chapter 9 - Bayangan Masa Lalu

Chapter 9 - Bayangan Masa Lalu

Hutan Kaelenara menyelimuti mereka dengan keheningan yang menenangkan. Pohon-pohon tinggi yang menjulang ke langit, dihiasi dengan bunga bercahaya yang memancarkan cahaya lembut, membuat tempat ini terasa seperti mimpi. Syl tampak lega, meskipun ia masih memeluk tongkatnya erat.

"Aku tidak menyangka kita bisa lolos," katanya, memandang sekeliling dengan kagum. "Yap! Hutan ini indah... dan juga sedikit menyeramkan."

"Jadi, untuk sementara waktu, tempat ini adalah tempat yang aman," kata Kaelen sambil memeriksa sekeliling. "Tapi kita tidak bisa terlalu lama di sini. Hutan ini penuh rahasia, dan tidak semuanya ramah."

Alakina berjalan di depan mereka, Luminaris tergantung di punggungnya. Wajahnya masih pucat setelah pertemuan dengan Nihiloid, tetapi ia mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Namun, langkah mereka terhenti ketika suara langkah kaki terdengar dari depan. Seseorang muncul dari balik pepohonan—seorang pria tinggi dengan rambut hitam legam dan mata keemasan yang memancarkan kekuatan. Pakaian kulitnya yang sederhana tidak bisa menyembunyikan aura luar biasa yang ia miliki.

"Siapa kau?" tanya Alakina, mengangkat Luminaris.

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia menatap Luminaris dengan ekspresi penasaran, lalu memandang Alakina dengan senyuman tipis. "Aku seharusnya yang bertanya itu. Apa yang dilakukan seorang anak dewa di tempat seperti ini?"

Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Arthur, seorang penjaga hutan yang mengetahui banyak tentang Fragmenta dan masa lalu Marielka. Ia tampak tidak terganggu oleh ancaman Luminaris, malah duduk di sebuah batu dengan santai, seolah sedang berbicara dengan teman lama.

"Aku tahu kau merasa dunia ini memberatkanmu," katanya, menatap Alakina dengan tajam. "Tapi kau tidak harus memikul semua beban itu sendiri."

"Apa maksudmu?" tanya Alakina, matanya menyipit.

Arthur tersenyum. "Hanya saja, terkadang, yang kita butuhkan adalah seseorang untuk berbagi perjalanan ini. Bahkan dewa sekalipun tidak pernah berjalan sendirian."

Kata-kata itu membuat Alakina diam. Ia tidak ingin mengakui bahwa sebagian dari dirinya merasa terbebani, tetapi tatapan Arthur seolah melihat langsung ke dalam hatinya.

Syl, yang tampak bingung dengan situasi ini, akhirnya memecah keheningan. "Oke, dia memang terlihat tampan dan bijak. Tapi bisakah kita kembali fokus ke masalah kita sekarang?"

Momen Ringan dengan Alakina dan Arthur

Malam itu, mereka beristirahat di bawah kanopi pohon Kaelenara yang bercahaya. Syl sedang memasak ramuan sederhana, sementara Kaelen duduk agak jauh, sibuk memeriksa peta.

Alakina duduk di dekat api unggun, berusaha mengabaikan Arthur yang duduk tidak jauh darinya. Namun, setiap kali ia mengangkat pandangannya, matanya secara tidak sengaja bertemu dengan mata Arthur.

Saat Arthur menatap balik, senyum kecil muncul di wajahnya.

Alakina segera berpaling, pura-pura memeriksa pedangnya. Tetapi detik berikutnya, rasa ingin tahunya memaksanya untuk mencuri pandang lagi.

"Jadi, apa kau sering menatap orang seperti itu?" tanya Arthur tiba-tiba, membuat Alakina tersentak.

"Aku... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawab Alakina, wajahnya memerah.

"Oh, tentu saja tidak," balas Arthur, masih dengan senyuman yang membuatnya terlihat terlalu santai.

Syl, yang sedang mencicipi supnya, menatap mereka dengan alis terangkat. "Hei, kalian berdua. Kalau mau bicara tentang sesuatu yang penting, lakukan saja. Jangan saling memandang seperti anak-anak sekolah."

"Diam, Syl!" seru Alakina dengan nada jengkel, membuat Syl tertawa keras.

Namun, momen ringan itu tidak berlangsung lama. Saat malam semakin larut, Alakina merasakan sesuatu yang aneh. Energi Fragmenta di dalam tubuhnya mulai bergejolak lagi, membuatnya merasa sesak dan pusing.

Eryndor, yang duduk tidak jauh darinya, segera menyadari perubahan itu. "Energi Fragmenta menguasaimu," katanya, mendekatinya.

"Aku... aku bisa mengendalikannya," balas Alakina, meskipun ia tampak kesulitan berdiri.

Arthur menggeleng. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Energi ini bukan sesuatu yang bisa kau lawan sendirian."

Ia mengulurkan tangannya, dan untuk pertama kalinya, Alakina tidak menolak. Sentuhannya terasa hangat, menenangkan, seolah sebagian dari beban itu terangkat dari dirinya.

"Kau tidak harus melawan ini sendirian," katanya lagi, suaranya pelan tetapi penuh keyakinan.

Alakina menatapnya dengan mata yang berkilau oleh cahaya api. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi dalam keheningan itu, ia merasa untuk pertama kalinya ada seseorang yang benar-benar memahaminya.

Malam itu, angin di hutan terasa lebih dingin dari biasanya, dan suara alam yang biasanya tenang kini diselimuti oleh keheningan aneh. Cahaya dari bunga-bunga di kanopi mulai meredup, seolah merespons sesuatu yang mendekat.

"Aku tidak suka ini," kata Syl pelan, matanya memindai sekeliling. "Kenapa hutan ini tiba-tiba terasa... hidup?"

Kaelen, yang sedang memeriksa tongkatnya, menatap Syl dengan tatapan datar. "Hutan ini memang hidup. Itu masalahnya. Kita mungkin sudah mengganggu sesuatu yang seharusnya kita hindari."

Arthur berdiri tidak jauh dari Alakina, mengamati pohon-pohon dengan seksama. "Kaelen benar," katanya, suaranya rendah namun tegas. "Kaelenara bukan sekadar hutan. Ini tempat di mana energi dunia berkumpul. Tempat seperti ini punya... penjaga."

"Itu... Penjaga?" Syl mengangkat alis. "maksud kamu Maledicta lain? Karena kalau iya, aku tidak yakin kita punya cukup keberuntungan untuk lolos lagi."

Arthur menggeleng pelan. "Bukan... Maledicta. Tapi sesuatu yang lebih tua. Penjaga ini tidak akan menyerang tanpa tujuan, tapi jika mereka menganggap kita ancaman, mereka tidak akan ragu. Selayaknya ular yang terdiam menunggu mangsanya."

"Aku rasa itu terlalu banyak informasi untuk diberikan setelah kita masuk ke sini," balas Syl dengan nada sinis.

"Diam, Syl," ujar Alakina yang singkat, matanya tetap terfokus ke depan.

"Tentu saja," balas Syl dengan dramatis, mengangkat tangannya. "Aku hanya pembawa humor yang tidak dihargai."

Arthur melirik Alakina, tersenyum kecil. "Aku rasa temanmu cukup pintar untuk membuatku tetap terhibur."

"Kalau itu tujuannya, dia gagal," jawab Alakina, meskipun sudut bibirnya sedikit melengkung.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, tetapi suasana semakin mencekam. Langkah kaki mereka bergema lebih keras dari biasanya, dan setiap kali mereka berhenti, suara seperti napas berat terdengar dari kejauhan.

"Siapa yang mau taruhan kalau sesuatu sedang mengawasi kita?" kata Syl, memegang tongkatnya erat.

"yang jelas, Tidak ada yang mau kalah," balas Kaelen dingin.

Tiba-tiba, bayangan besar muncul di antara pohon-pohon, bergerak cepat seperti asap yang ditiup angin. Makhluk itu tidak memiliki bentuk pasti, tetapi matanya yang merah menyala tampak melayang di udara, menatap mereka dengan intensitas yang membuat jantung mereka berdegup kencang.

"hei, Penjaga Nolep," bisik Arthur, mengangkat pedangnya yang sederhana tetapi memancarkan aura cahaya samar.

Makhluk itu bergerak maju dengan suara berbisik yang memenuhi udara, seperti ribuan suara kecil berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti. Syl mundur, wajahnya pucat.

"Apa itu?" tanya Syl, hampir kehilangan kata-kata.

"Essentia Bayangan," jawab Kaelen cepat. "Makhluk ini terbuat dari energi dunia, bukan daging. Serangan biasa tidak akan mempan."

"Bagus sekali," gumam Syl sambil menyiapkan sihirnya. "Dan apa rencananya?"

Makhluk itu menyerang lebih cepat dari yang mereka duga. Arthur melompat maju, mengayunkan pedangnya dengan presisi yang luar biasa. Meskipun bilahnya tidak melukai makhluk itu secara langsung, cahaya dari pedang itu menciptakan celah kecil di tubuh bayangannya, cukup untuk memperlambatnya.

"Bisa kita katakan pedangmu tidak biasa," ujar Kaelen sambil meluncurkan bayangan dari tongkatnya untuk menahan serangan makhluk itu.

"Pedang ini adalah bagian dari perjalananku," jawab Arthur, tidak berbalik. "Tapi kita tidak punya waktu untuk diskusi panjang."

Alakina maju dengan Luminaris yang kini memancarkan cahaya biru terang, memotong salah satu bagian tubuh bayangan itu menjadi serpihan kecil. Tetapi serpihan itu segera kembali menyatu, membuat serangannya terasa sia-sia.

"Percuma!" seru Kaelen. "Makhluk ini hanya bisa dihentikan dengan energi murni, bukan hanya serangan fisik."

Arthur menatap Alakina dengan tajam. "Kita harus bekerja sama."

Alakina mendengus. "Apa rencanamu?"

Arthur tersenyum tipis. "Percayalah padaku."

Alakina terdiam sejenak, tetapi akhirnya ia mengangguk. Bersama-sama, mereka menyerang dengan sinkronisasi yang luar biasa. Setiap ayunan pedang Arthur memecah konsentrasi makhluk itu, sementara serangan Luminaris dari Alakina menargetkan inti energi bayangannya.

Dengan serangan terakhir yang kuat, Luminaris menusuk inti bayangan itu, menghancurkannya dalam kilatan cahaya putih yang menyilaukan.

Ketika semuanya berakhir, mereka berdiri dalam keheningan, napas mereka masih berat. Syl duduk di atas tanah, wajahnya penuh rasa lega.

"Aku benci tempat ini," katanya, mencoba mengatur napasnya.

Arthur menoleh ke Alakina, tersenyum kecil. "Kerja tim yang bagus."

Alakina menatapnya sebentar, kemudian berpaling dengan wajah yang sedikit memerah. "Kita tidak punya pilihan lain."

"Kalau begitu, semoga kita selalu terpaksa bekerja sama," balas Arthur, nadanya setengah bercanda.

Syl memutar matanya sambil berdiri. "Ya ampun, ayolah! berhenti membuatku merasa seperti penonton di sini."

Kaelen mendekati mereka, ekspresinya seperti biasa—dingin dan penuh kewaspadaan. "Hutan ini tidak akan berhenti sampai kita keluar. Kita harus bergerak sebelum penjaga lain muncul."

Alakina menatap Luminaris di tangannya, lalu melihat ke arah Arthur. Meskipun ia enggan mengakuinya, ia mulai merasa bahwa pria ini bukan hanya sekadar penyusup di perjalanannya.

"Kau siap?" tanya Arthur, menatapnya dengan senyum hangat.

Alakina menghela napas panjang. "Siap... Siaga... Selalu."

Hutan Kaelenara semakin gelap seiring mereka melangkah lebih dalam. Di tengah perjalanan, kelompok itu menemukan sesuatu yang luar biasa: sebuah pohon raksasa dengan akar yang melingkar seperti labirin, menjulang begitu tinggi hingga cabangnya tampak menyatu dengan langit malam.

"Pohon ini..." gumam Arthur, matanya bersinar saat ia memandanginya. "Ini adalah Pohon Kehidupan. Pusat energi dari hutan ini."

Syl menatapnya dengan kagum. "Ini... luar biasa. Aku tidak pernah melihat sesuatu yang begitu besar."

Kaelen memeriksa sekeliling dengan hati-hati. "Hati-hati dengan apa yang kau kagumi. Tempat seperti ini selalu memiliki penjaga. Dan mereka biasanya tidak ramah."

Namun, Alakina tidak mendengarkan. Ia berjalan mendekati pohon itu, tangannya menyentuh kulitnya yang kasar dan penuh ukiran. Saat ia menyentuhnya, seberkas cahaya biru samar muncul, seperti reaksi antara pohon dan energi Fragmenta di dalam dirinya.

"Alakina, hati-hati," kata Arthur, melangkah mendekatinya.

"Ini terasa... akrab," bisik Alakina, matanya memandang ukiran-ukiran itu dengan intensitas yang sulit dijelaskan.

Tiba-tiba, cahaya biru semakin terang, menyelimuti Alakina sepenuhnya. Sebelum ia bisa bereaksi, ia merasa dirinya terseret ke dalam dunia lain—dunia di mana semuanya tampak seperti bayangan dari masa lalu.

Ia melihat seorang wanita dengan rambut perak panjang dan mahkota berbentuk matahari berdiri di depan pohon itu. Wanita itu adalah Marielka, ibunya.

"Oh! Anakku," kata Marielka, suaranya lembut namun penuh kekuatan.

"Kenapa aku di sini?" tanya Alakina, matanya menyipit saat ia mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Marielka tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap pohon itu, tangannya menyentuh ukirannya dengan penuh kasih sayang. "Pohon ini menyimpan rahasia dunia. Rahasia tentang apa yang kita korbankan untuk menciptakan kedamaian. Tapi setiap rahasia memiliki harga."

"Aku tidak peduli dengan rahasia," balas Alakina, suaranya penuh emosi. "Aku hanya ingin tahu kenapa kau meninggalkanku."

Marielka menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan. "Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku memilih jalan yang akan melindungimu, bahkan jika itu berarti kita harus terpisah. Tapi sekarang, kau melangkah di jalan yang sama. Apakah kau siap untuk membayar harga yang sama?"

Alakina membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi dunia itu menghilang sebelum ia bisa berkata apa-apa.

"Alakina!" Suara Arthur terdengar dari kejauhan, menariknya kembali ke realitas.

Ia membuka matanya, mendapati dirinya terbaring di tanah sementara Arthur berlutut di sampingnya, tangannya menyentuh bahunya. Syl dan Kaelen berdiri tidak jauh, ekspresi mereka penuh kekhawatiran.

"Apa yang terjadi?" tanya Syl. "Kau tiba-tiba pingsan setelah menyentuh pohon itu."

"Aku..." Alakina mencoba berbicara, tetapi suaranya terdengar lemah. "Aku melihatnya. Ibuku. Dia berbicara kepadaku."

Kaelen mengerutkan kening. "Marielka? Apa yang dia katakan?"

Alakina terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia alami. "Dia mengatakan aku harus siap untuk membayar harga. Tapi aku tidak tahu apa maksudnya."

Arthur memandangnya dengan penuh perhatian. "Kadang-kadang, jawaban tidak datang dalam bentuk yang kita harapkan. Tetapi apa pun itu, kau tidak perlu memikulnya sendirian."

Alakina menatapnya, matanya penuh keraguan dan rasa syukur yang samar. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tidak keluar.

Saat malam semakin larut, mereka memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon raksasa itu. Syl dan Kaelen duduk di dekat api kecil, sibuk membahas rute mereka berikutnya.

Arthur duduk tidak jauh dari Alakina, yang masih terlihat tenggelam dalam pikirannya.

"Kau terlihat seperti seseorang yang membawa seluruh dunia di bahunya," kata Arthur, mencoba memecah keheningan.

Alakina menoleh padanya, ekspresinya tetap serius. "Aku tidak punya pilihan. Dunia ini... Fragmenta... semua ini tergantung padaku."

Arthur tersenyum kecil. "Dan kau berpikir kau harus melakukannya sendirian?"

Alakina menghela napas panjang. "Aku tidak bisa meminta orang lain untuk memikul beban ini. Mereka tidak mengerti."

Arthur menatapnya lama sebelum berbicara. "Mungkin kau benar. Mungkin tidak ada yang benar-benar mengerti. Tapi kau tahu, terkadang hanya dengan membiarkan seseorang berjalan di sisimu, itu sudah cukup."

Alakina menatapnya dengan ragu. "Kenapa kau peduli?"

Arthur tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Karena aku tahu bagaimana rasanya membawa beban sendirian."

Alakina merasa hatinya sangat hangat Setelah Mendengar kata Arthur, setelah itu, wajah Alakina langsung memerah dan berbalik badan "T-T-T-T-Terserah kamu lah!"