Langit di atas Eldenmere berubah menjadi gelap pekat, seolah-olah malam telah datang terlalu cepat. Angin dingin mulai bertiup, membawa aroma logam dan sesuatu yang membusuk.
"Ini tidak wajar," gumam Kaelen, memandangi cakrawala yang suram.
"kau pikir?" balas Syl dengan nada sinis, memeluk tongkatnya lebih erat. "Aku rasa ini seperti tanda bahwa kita harus lari sejauh mungkin."
Namun, Alakina tidak bergerak. Ia berdiri diam di depan mereka, tubuhnya tegang seperti busur yang siap ditembakkan. Cahaya dari Luminaris yang berada di tangannya berdenyut tidak stabil, seperti merespons sesuatu yang tidak terlihat.
"Ada sesuatu di sini," katanya pelan, matanya menyapu sekeliling dengan hati-hati.
Kaelen melangkah ke sampingnya, tatapannya penuh perhatian. "Fragmenta telah memanggil mereka. Kita perlu keluar dari sini sebelum mereka menemukan kita."
Tiba-tiba, sebuah raungan keras menggema dari kejauhan, diikuti oleh suara langkah berat yang menggetarkan tanah. Bayangan besar mulai bergerak di antara reruntuhan, makhluk-makhluk dengan bentuk yang hampir tidak bisa dikenali. Tubuh mereka tampak seperti kumpulan bayangan cair yang terus berubah, dengan mata merah menyala yang berkilauan seperti bara api.
"Maledicta tingkat tinggi," bisik Kaelen, dengan ekspresinya yang serius.
"Kita tidak bisa melawan mereka semua," kata Syl, yang seketika matanya melebar.
"Kita tidak punya pilihan," jawab Alakina dengan suara tegas.
Maledicta pertama meluncur maju dengan kecepatan luar biasa, cakarnya yang tajam menyerang Alakina tanpa ampun. Ia mengangkat Luminaris, menangkis serangan itu dengan kilatan cahaya biru yang menyilaukan.
"Aku akan mengalihkan mereka!" seru Alakina, menghindari serangan berikutnya dengan lompatan yang gesit. "Kaelen, bawa Syl keluar dari sini!"
"hey! Tunggu!! Jangan bodoh!" balas Kaelen, yang meluncurkan bayangan dari tongkatnya untuk menahan dua Maledicta lainnya. "Kalau kau mati, semuanya berakhir."
Alakina tidak menjawab. Ia melangkah maju, menebas salah satu makhluk dengan ayunan Luminaris yang menghancurkan tubuh bayangannya menjadi serpihan. Namun, energi dari Fragmenta di dalam dirinya mulai bergejolak, menciptakan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.
"Alakina!" teriak Syl, mencoba melindungi dirinya dengan perisai sihir sementara Kaelen berjuang di sisi lain.
"Aku tidak apa-apa," kata Alakina dengan suara yang terdengar lemah. Tapi kenyataannya, ia merasa tubuhnya hampir runtuh.
Ketika salah satu Maledicta melompat ke arahnya, Alakina merasakan sesuatu meledak di dalam dirinya. Cahaya biru terang memancar dari tubuhnya, mendorong makhluk itu mundur dengan kekuatan luar biasa. Tetapi cahaya itu bukan hanya energi biasa—itu adalah energi Fragmenta, liar dan tidak terkendali.
Kaelen menatapnya dengan mata melebar. "Kau menggunakan kekuatan Fragmenta secara langsung? Kau gila ya!"
"Tidak ada cara lain, Kaelen!" jawab Alakina, meskipun ia hampir tidak bisa berdiri.
Cahaya biru itu membentuk lingkaran di sekelilingnya, menciptakan gelombang energi yang menghancurkan Maledicta yang tersisa menjadi abu. Tetapi ketika semuanya berakhir, Alakina jatuh berlutut, tangannya gemetar hebat.
Syl berlari ke arahnya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Alakina, kau baik-baik saja?"
Alakina mengangguk perlahan, tetapi matanya tampak kosong. "Aku tidak bisa mengontrolnya," gumamnya. "Energinya terlalu kuat."
Kaelen mendekat, menatapnya dengan tatapan tajam. "Itu sebabnya aku mengatakan Fragmenta adalah racun. Setiap kali kau menggunakannya, kau semakin kehilangan dirimu sendiri."
Mereka akhirnya menemukan tempat berlindung di sebuah ruangan kecil di reruntuhan. Syl membuat api kecil untuk menghangatkan mereka, tetapi suasana tetap dingin karena ketegangan di antara mereka.
"Jadi, apa rencanamu sekarang?" tanya Kaelen dengan nada datar, memandang Alakina yang duduk bersandar di dinding.
Alakina menatapnya, wajahnya penuh kelelahan. "Aku... tidak tahu."
"sigh* Itu masalahnya," balas Kaelen. "Kita berurusan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari kita. Dan kau masih berpikir kau bisa mengatasinya sendirian?"
Syl menatap Kaelen dengan marah. "Cukup. Dia sudah melakukan yang terbaik."
"Tapi tidak cukup baik," kata Kaelen tanpa ragu. "Jika dia kehilangan kendali, kita semua akan mati. Kau tahu itu kan, Syl."
Keheningan menyelimuti mereka. Alakina menunduk, menggenggam Luminaris erat-erat.
"kedepannya, aku pasti akan bisa mengendalikannya," katanya pelan, meskipun ia sendiri tidak yakin dengan kata-katanya.
"Bagaimana kalau kau tidak bisa?" balas Kaelen, mendekatinya. "Kau perlu memikirkan itu juga."
Alakina mengangkat kepalanya, matanya bersinar dengan tekad. "tidak perlu pasrah akan keadaan, Aku akan menemukan caranya. Kalau tidak... maka aku akan memastikan aku adalah satu-satunya yang membayar harganya."
Saat malam semakin larut, Alakina terlelap di sudut ruangan. Tetapi tidurnya tidak damai. Ia bermimpi—atau mungkin itu lebih dari sekadar mimpi.
Ia berada di sebuah tempat yang gelap, dengan hanya satu cahaya kecil di kejauhan. Dari cahaya itu, muncul sosok seorang wanita dengan rambut perak panjang dan mahkota berbentuk matahari.
"Marielka," bisiknya.
Sosok itu tersenyum, tetapi senyumnya tidak membawa kedamaian. "Kau melangkah di jalan yang sama sepertiku, anakku," katanya dengan suara lembut tetapi penuh ancaman.
"Aku tidak akan menjadi seperti kau," jawab Alakina, suaranya bergetar.
"Tentu saja tidak," balas Marielka. "Kau akan menjadi lebih dari aku. Dan ketika saatnya tiba, kau akan mengerti mengapa aku membuat pilihan ini."
Udara dingin pagi hari terasa berat di reruntuhan Eldenmere. Kelompok itu berkemas dengan sunyi, hanya suara langkah kaki dan gesekan kain yang terdengar. Alakina tampak berbeda—lebih pendiam, matanya terlihat jauh, seperti ia sedang melawan sesuatu di dalam pikirannya.
"Tidurmu tidak nyenyak?" tanya Syl, mencoba memecah keheningan.
Alakina menatapnya sebentar, lalu kembali menyesuaikan sabuk pedangnya. "Hanya mimpi buruk."
"Mimpi buruk tentang ibumu?" tebak Syl dengan nada lembut.
Alakina tidak menjawab. Ia hanya menatap reruntuhan di sekeliling mereka, seolah-olah berharap menemukan jawaban di antara bayangan.
Kaelen berjalan mendekat, ekspresinya lebih serius dari biasanya. "Kita harus bergerak cepat. Tempat ini terlalu berbahaya untuk tinggal lebih lama."
"Kau selalu tahu cara membawa suasana," gumam Syl sambil menggelengkan kepala.
"Terserah apa yang kau pikirkan," jawab Kaelen datar. "Tapi aku tahu kau merasakan hal yang sama seperti aku, Alakina. Sesuatu di sini... mengawasi kita."
Alakina mengangguk perlahan. "Aku tahu."
Mereka meninggalkan tempat berlindung mereka, melewati lorong sempit yang dipenuhi bayangan. Semakin jauh mereka berjalan, semakin terasa energi gelap yang memancar dari reruntuhan.
"Aku tidak suka ini," bisik Syl, menggenggam tongkatnya lebih erat.
"Kau tidak sendirian," jawab Kaelen sambil memandangi dinding dengan hati-hati. "Tempat ini seperti perangkap. Sesuatu ingin kita tetap di sini."
"Seperti apa?" tanya Syl.
Kaelen mengangkat bahu. "Sesuatu yang lebih tua dari kita. Sesuatu yang tidak peduli dengan hidup atau mati."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong di depan mereka. Tetapi tidak ada sosok yang terlihat, hanya gema langkah kaki yang semakin mendekat.
"Siapa itu?" seru Syl, suaranya sedikit bergetar.
Tidak ada jawaban. Tetapi dari bayangan, sesuatu mulai muncul. Itu bukan makhluk seperti Maledicta atau penjaga. Itu adalah sosok gelap yang bentuknya terus berubah, seperti kabut yang bergerak melawan angin.
"Nihiloid," bisik Kaelen, ekspresinya berubah tegang.
"Nihiloid?" tanya Syl dengan panik.
"Makhluk dari kekosongan," jawab Kaelen cepat. "Mereka tidak memiliki bentuk atau kehendak, hanya keinginan untuk menghapus segala sesuatu yang mereka sentuh."
Sosok itu meluncur maju dengan kecepatan yang tidak wajar, tubuhnya meluas dan mengecil seperti gelombang air hitam. Syl melancarkan bola cahaya ke arah makhluk itu, tetapi serangannya hanya menembus tubuhnya tanpa efek.
"Itu tidak berhasil!" seru Syl, mundur dengan panik.
"Karena itu bukan makhluk fisik," jawab Kaelen, mengangkat tongkatnya dan meluncurkan bayangan untuk melindungi Syl. "Kita butuh sesuatu yang lebih dari ini."
"Luminaris," gumam Alakina, maju ke depan dengan pedangnya.
"Alakina, jangan gegabah!" teriak Kaelen, tetapi sudah terlambat.
Alakina mengayunkan Luminaris, dan bilah bercahaya itu mengenai Nihiloid, menciptakan kilatan cahaya biru yang memecah tubuh bayangan itu menjadi serpihan. Tetapi serpihan itu tidak hilang—mereka hanya kembali menyatu, dan kini jumlah Nihiloid menjadi dua kali lipat.
"Sial," desis Kaelen. "Mereka bereaksi terhadap energi Fragmenta. Kau membuatnya lebih buruk!"
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Syl dengan nada putus asa.
Kaelen menatap Alakina dengan serius. "Kita tidak bisa mengalahkan mereka. Kita harus keluar dari sini sekarang."
Alakina tidak menjawab. Ia terus maju, mengayunkan Luminaris lagi dan lagi, memotong Nihiloid menjadi lebih banyak serpihan. Energi Fragmenta di tubuhnya mulai memancar lebih kuat, membuat tubuhnya bersinar dengan aura biru.
"Alakina, berhenti!" teriak Syl, tetapi Alakina tidak mendengarnya.
Tiba-tiba, tubuh Alakina berhenti bergerak. Cahaya biru yang mengelilinginya berubah menjadi gelap, dan sebuah suara muncul di udara, seperti bisikan yang berasal dari segala arah.
"Kau tidak bisa melarikan diri dariku, anakku," kata suara itu.
Syl menatap sekeliling dengan panik. "Siapa itu?"
Kaelen memejamkan matanya, wajahnya berubah pucat. "Itu bukan siapa-siapa. Itu adalah Fragmenta. Atau lebih tepatnya... kehendak Marielka di dalamnya."
Alakina memejamkan matanya, tangannya gemetar saat ia mencoba melawan suara itu. "Aku bukan kau," bisiknya pelan.
"Tentu saja tidak," jawab suara itu dengan lembut. "Kau akan menjadi sesuatu yang lebih besar. Tetapi untuk itu, kau harus melepaskan semuanya—temanmu, hatimu, bahkan dirimu sendiri."
Cahaya biru di sekitar Alakina tiba-tiba meledak, menciptakan gelombang energi yang mendorong Nihiloid mundur. Tetapi efek itu juga menghancurkan sebagian dinding reruntuhan, menciptakan jalan keluar yang terbuka ke arah lembah di luar.
Syl mendekati Alakina dengan hati-hati, tetapi ia tampak berbeda. Matanya yang biru sekarang bersinar seperti dua bintang kecil, dan kulitnya terlihat seperti memancarkan cahaya samar.
"Alakina, apa kau baik-baik saja?" tanya Syl pelan.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Alakina, suaranya hampir seperti bisikan.
Kaelen melangkah maju, tatapannya penuh kewaspadaan. "Energi Fragmenta semakin mendalam di tubuhmu. Kau mungkin masih di sini secara fisik, tetapi kau tidak sepenuhnya Alakina lagi."
"cih! Diam," desis Alakina, menatapnya dengan tajam.
Syl berdiri di antara mereka, mencoba menenangkan situasi. "Kita tidak bisa saling bertarung sekarang. Kita harus fokus keluar dari sini sebelum lebih banyak Nihiloid datang."
Kaelen mendengus pelan, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi ini belum berakhir, Alakina. Kita perlu bicara tentang apa yang akan terjadi kepadamu."
Alakina tidak menjawab. Ia memandang reruntuhan di belakang mereka, merasa bahwa sesuatu yang lebih gelap sedang menunggu di luar sana.