Setelah pertempuran dengan Maledicta raksasa itu, Mereka duduk di bawah naungan batu yang besar. Fragmen kedua bersinar lembut di tangan Kaelen, cahayanya memantulkan warna biru yang menenangkan di wajah mereka yang kelelahan.
"Kau tahu, Fragmenta ini terasa berbeda dari yang pertama," gumam Syl, menatap kristal itu dengan rasa ingin tahu.
Alakina mengangguk pelan, meskipun matanya tetap tertuju pada Luminaris yang kini berbaring di sampingnya. "Energinya lebih kuat. Dan Lebih... murni."
"Itu karena Fragmenta kedua melambangkan kehendak," jelas Kaelen, suaranya rendah. "Setiap pecahan memiliki esensi yang unik. Yang pertama melambangkan 'keberadaan,' tetapi yang ini melambangkan 'pilihan.'"
Syl melipat tangan di dadanya. "Pilihan? Apa maksudmu?"
Kaelen memutar kristal itu di tangannya, menatap cahayanya dengan penuh perhatian. "Pilihan adalah inti dari keberadaan. Tanpa pilihan, kita hanyalah boneka yang digerakkan oleh benang yang tak terlihat. Tapi Fragmenta ini..."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "...memberi kita kebebasan untuk memutuskan nasib kita sendiri, bahkan melawan hukum dunia ini."
"Filosofi lagi," gumam Syl sambil menghela napas. "Aku lebih suka hal yang praktis. Apa Fragmenta ini bisa membantu kita melawan Maledicta yang lebih besar?"
"Mungkin," jawab Kaelen samar, menyimpan kristal itu kembali ke dalam kotak.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara keras terdengar dari kejauhan. Itu seperti raungan rendah yang menggema di seluruh padang pasir.
"Maledicta lagi?" tanya Syl, berdiri dengan cemas.
Kaelen menggelengkan kepalanya, ekspresinya berubah serius. "Bukan. Itu sesuatu yang lebih tua."
Alakina mengangkat Luminaris dan berdiri, matanya menyipit ke arah sumber suara. "Penjaga lain?"
"Sesuatu seperti itu," gumam Kaelen.
Mereka berjalan menuju suara itu, memasuki sebuah lembah sempit yang dihiasi reruntuhan pilar batu besar. Di tengah lembah, mereka menemukan sebuah patung raksasa dengan empat tangan yang memegang pedang, tombak, perisai, dan kitab. Namun, patung itu terlihat seperti baru saja bangkit, karena tubuhnya memancarkan aura berwarna emas.
"Penjaga," bisik Syl. "Pasti ini yang menjaga jalan ke Fragmenta berikutnya."
Alakina melangkah maju, tetapi suara berat tiba-tiba terdengar dari arah patung.
"Siapa yang berani melangkah ke tanah para penjaga?"
Patung itu hidup. Matanya yang sebelumnya kosong kini bersinar dengan cahaya biru, dan salah satu tangannya mengangkat pedang besar yang mengarah ke kelompok mereka.
"Hebat," gumam Syl, melangkah mundur. "Apa kita akan melawan dia juga?"
Kaelen menggeleng. "Tidak. Penjaga seperti ini biasanya memberikan ujian. Dan aku rasa... ini adalah ujian pilihan."
Patung itu berbicara lagi, suaranya mengguncang tanah. "Pilihan menentukan jalanmu. Sebutkan apa yang lebih penting: kekuatan, kehendak, atau kebebasan."
"Filosofi lain," desah Syl, memutar matanya.
Alakina menatap patung itu dengan serius. "Jika kita salah menjawab?"
"Pintu akan tertutup selamanya, dan Fragmenta akan hilang dari dunia ini," jawab patung itu tanpa ragu.
---
Diskusi Filosofis: Pilihan dalam Kehidupan
Mereka bertiga berkumpul untuk berdiskusi.
Syl memulai. "Kekuatan terdengar seperti jawaban yang jelas. Tanpa kekuatan, kita bahkan tidak bisa berdiri di sini."
"Tapi kekuatan hanya alat," balas Kaelen. "Kehendak yang mengendalikannya adalah inti dari keberadaan."
"Tapi bagaimana dengan kebebasan?" tanya Alakina, memotong mereka. "Tanpa kebebasan, kehendak tidak berarti apa-apa. Kita hanya akan terjebak dalam lingkaran yang ditentukan oleh orang lain."
Syl menghela napas. "Jadi, apa yang kita pilih?"
Alakina memandangi patung itu. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah pilihan ini benar-benar ada, atau jika ini semua adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Tetapi pada akhirnya, ia mengangkat kepalanya dan menjawab dengan tegas:
"Kebebasan."
Patung itu diam selama beberapa saat sebelum menurunkan pedangnya. "Pilihanmu diterima. Jalanmu terbuka."
Pintu di belakang patung terbuka, memperlihatkan lorong panjang yang bersinar dengan cahaya Fragmenta.
Reruntuhan kota Eldenmere terbentang luas di depan mereka, bayangannya menjulang di bawah langit berwarna ungu kelam. Kota itu tampak seperti labirin batu dan reruntuhan, dengan menara-menara yang hampir runtuh dan patung-patung kuno yang retak, seolah-olah sejarahnya ingin dilupakan oleh dunia.
"Tempat ini lebih besar dari yang kukira," gumam Syl, mengusap debu dari salah satu ukiran di tembok. "Dan lebih menyeramkan."
"Kota ini adalah pusat ritual para penyembah dewa dulu," jelas Kaelen sambil melangkah perlahan. "Mereka membangun ini untuk menghormati Fragmenta pertama sebelum para dewa memutuskan bahwa manusia tidak layak untuk memilikinya."
"Dan sekarang, kita di sini untuk mengambil kembali sesuatu yang katanya tidak layak untuk kita miliki," kata Syl dengan nada sinis. "Ironis."
Alakina tidak banyak bicara. Matanya terpaku pada simbol-simbol di dinding, simbol yang terasa akrab meskipun ia tidak tahu dari mana ingatannya berasal.
"Ada sesuatu di sini," katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.
"Seperti apa?" tanya Kaelen, berhenti di sampingnya.
Alakina menunjuk ukiran besar di salah satu tembok utama. Itu menggambarkan seorang wanita dengan rambut panjang dan mahkota berbentuk matahari, berdiri di tengah lingkaran energi yang bercahaya. Di bawahnya, terlihat bayangan besar yang mengintai, menyerupai Maledicta tetapi jauh lebih menakutkan.
"Itu ibuku," gumamnya, matanya membelalak.
"Queen Marielka," Kaelen menatap ukiran itu dengan alis terangkat. "Sepertinya ini adalah cerita tentang awal Fragmenta."
Syl menyipitkan matanya, membaca ukiran itu. "Sepertinya ia sedang melawan sesuatu. Bayangan itu... apa itu?"
"Mungkin itu Maledicta pertama," jawab Kaelen. "Atau sesuatu yang lebih buruk."
"Kenapa aku merasa kau tahu lebih banyak daripada yang kau katakan?" tanya Alakina dengan nada dingin.
Kaelen tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah mundur dan memeriksa bagian lain dari tembok itu, ekspresinya menjadi lebih serius.
"Ini adalah peringatan," katanya akhirnya. "Bahwa mereka yang memiliki darah ilahi akan membawa kehancuran jika Fragmenta bersatu."
Syl mengangkat alis. "Itu tidak terdengar bagus. Jadi... apa artinya bagi kita?"
Kaelen menatap Alakina dengan pandangan penuh makna. "Artinya, semakin banyak Fragmenta yang kita kumpulkan, semakin besar kemungkinan kau menjadi seperti ibumu."
"Cukup," potong Alakina, suaranya tajam. "Aku bukan ibuku."
"Tidak, tapi darahmu adalah darahnya," balas Kaelen dingin.
Ketegangan meningkat di antara mereka, tetapi sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, sebuah gemuruh terdengar dari dalam reruntuhan. Tanah bergetar, dan dari salah satu lorong gelap, muncul makhluk besar yang tampak seperti penjaga batu dengan mata berwarna merah menyala.
"Hentikan! Waktunya berdiskusi habis," ujar Syl sambil mengangkat tongkatnya. "Kita punya tamu."