Ruangan altar kembali sunyi setelah makhluk besar itu lenyap. Cahaya dari Luminaris kini meredup, menyisakan pantulan lembut di bilahnya. Alakina berdiri di tengah puing-puing, tubuhnya terasa berat, tetapi ada rasa kemenangan kecil yang menyelinap di hatinya.
"Luar biasa," ujar Kaelen, mendekat sambil menepuk-nepuk tangannya perlahan, seperti memberi tepuk tangan sarkastik. "Kau benar-benar hebat. Sang Luminaris telah memilihmu, dan kau berhasil menggunakannya untuk mengalahkan penjaga itu. Aku mulai berpikir mungkin kau memang penyelamat yang dijanjikan."
Alakina memutar matanya, menyarungkan pedangnya. "Cukup. Aku tidak butuh pidato penyemangat darimu."
Kaelen tersenyum tipis, tetapi matanya mengamati Luminaris dengan intensitas yang sulit diabaikan. "Pedang itu... kau tahu, bukan hanya senjata biasa. Luminaris adalah inti dari kekuatan dewa-dewa. Dengan itu, kau bisa melakukan hal-hal yang bahkan dewa pun tidak berani memimpikannya."
Alakina menyipitkan matanya. "Kau bilang kau di sini untuk membantuku, tapi kau terdengar seperti seseorang yang ingin merebutnya."
Kaelen tertawa kecil, suara yang terdengar terlalu santai. "Jangan konyol. Kalau aku ingin merebutnya, aku tidak akan membantumu sejak awal."
"Benarkah?" balas Alakina dengan nada tajam. "Sejauh ini, kau lebih banyak bicara daripada membantu."
Kaelen membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi tiba-tiba sebuah suara dari kejauhan menggema di dalam kuil. Itu seperti langkah kaki-berat, berirama, dan mendekat dengan cepat.
"Kita tidak sendiri," ujar Kaelen, ekspresinya berubah serius untuk pertama kalinya.
Alakina mengangkat kepalanya, mendengarkan dengan hati-hati. Langkah kaki itu semakin keras, dan gema di dinding kuil membuatnya sulit menentukan arah datangnya.
"Kau yakin ini bukan ulahmu?" tanya Alakina, sambil mengeluarkan Luminaris lagi.
Kaelen tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan tangannya, dan bayangan di lantai mulai bergerak seolah-olah memiliki nyawa.
Dari kegelapan lorong, sekelompok Maledicta muncul-setidaknya lima, dengan tubuh yang lebih besar dan lebih menjijikkan daripada makhluk yang mereka lawan sebelumnya.
"Kelompok pengawal," desis Kaelen, ekspresinya tegang. "Penjaga altar pasti memanggil mereka sebelum kau membunuhnya."
Alakina menghela napas, mengangkat pedangnya. "Bagus kalau begitu. Aku belum cukup kelelahan hari ini."
Maledicta pertama menyerang, dan Alakina melangkah maju, mengayunkan Luminaris dengan gerakan cepat yang membelah makhluk itu menjadi dua. Tapi yang lain segera menyerbu, memaksanya mundur ke samping.
Sementara itu, Kaelen berdiri di belakang, menggerakkan tangannya dengan gerakan lambat. Bayangan di lantai melompat ke atas, melilit salah satu Maledicta dan menariknya ke bawah.
"Sedikit bantuan di sini?" seru Alakina sambil menangkis serangan dari dua makhluk sekaligus.
"Aku sudah membantu," jawab Kaelen sambil tersenyum tipis.
"Aku tidak tahu bantuan apa yang kamu berikan, namun yang jelas kamu itu hanya berdiri santai di belakang!"
Kaelen hanya tertawa kecil sebelum melanjutkan serangannya dengan bayangan. Tapi ketika Alakina berhasil mengalahkan Maledicta terakhir, ia menyadari sesuatu yang aneh.
Kaelen tidak bergerak mendekat untuk memeriksa keadaan. Sebaliknya, ia berdiri di altar, tangannya terulur ke arah Luminaris yang kini bersinar kembali di tangan Alakina.
"Kau bercanda," gumam Alakina, menyadari apa yang sedang terjadi. "Kaelen!"
Kaelen menoleh, tetapi ia tidak mencoba menyembunyikan apa yang sedang ia lakukan. "Maaf, Alakina. Tapi aku tidak bisa membiarkan kekuatan sebesar ini tetap berada di tangan seseorang yang tidak tahu cara menggunakannya dengan benar."
la menggerakkan tangannya, dan bayangan dari lantai melompat ke arah Alakina, mencoba melilit pergelangan tangannya.
Alakina bereaksi cepat, mengayunkan Luminaris untuk memotong bayangan itu sebelum berhasil mencapainya. "Kau menyebalkan sekali," geramnya, melangkah maju.
"Jangan terlalu sensitif," kata Kaelen dengan nada ringan. "Aku tidak berniat membunuhmu. Aku hanya perlu memastikan pedang itu tidak jatuh ke tangan yang salah."
"Tangan yang salah?!" seru Alakina, matanya menyala dengan amarah. "Kau tidak akan bisa menggunakan Luminaris, bahkan jika kau mencurinya. Pedang ini tidak akan memilihmu sebagai majikannya."
Kaelen mendesah. "Mungkin. Tapi aku yakin aku bisa menemukan cara untuk meyakinkannya."
"Oke, Cobalah kalau bisa," balas Alakina, sambil mengayunkan Luminaris dengan gerakan tajam ke arah Kaelen.
Kaelen melompat mundur, bayangan dari lantai melonjak untuk melindunginya. Tapi Alakina tidak memberinya waktu untuk mempersiapkan serangan lain. Dengan gerakan cepat, ia melangkah maju, memotong bayangan itu, dan menempatkan ujung pedangnya di leher Kaelen.
"Ayo," katanya dengan nada rendah, penuh ancaman. "Coba katakan satu alasan kenapa aku tidak membunuhmu sekarang."
Kaelen mengangkat kedua tangannya, wajahnya terlihat tenang meski pedang bersinar itu hanya beberapa inci dari tenggorokannya. "Karena kau butuh aku," katanya pelan. "Kau tidak tahu di mana Fragmenta berikutnya berada. Dan aku satu-satunya yang tahu jalannya."
Alakina menatapnya dengan dingin, tetapi ia tahu Kaelen benar. Membunuhnya di sini berarti kehilangan satu-satunya petunjuk yang ia miliki.
la mendesah, sambil menurunkan pedangnya dengan enggan. "Hei. Tapi kau camkan satu hal. Jika ada satu lagi pengkhianatan seperti ini," katanya pelan, "dan aku akan tidak peduli lagi seberapa bergunanya kau. Aku akan menghabisimu ditempat sewaktu itu juga."
Hutan di sekitar kuil kuno itu mulai diterangi cahaya rembulan, tetapi suasananya tetap menekan. Alakina dan Kaelen berdiri di tepi altar setelah insiden sebelumnya, dengan Luminaris bersinar redup di tangan Alakina.
"Jadi," ujar Alakina, mengayunkan pedangnya ke bawah dengan santai, meskipun tubuhnya masih terasa tegang. "Aku kira kita akan segera menemui lebih banyak masalah?"
Kaelen, yang sekarang berdiri beberapa langkah di belakang untuk berjaga-jaga, mengangkat bahu sambil menyandarkan diri pada tongkat sihirnya. "Masalah? Tentu saja. Selama kau masih membawa Luminaris, masalah akan menemukan kita lebih cepat dari kita bisa kabur."
"Sangat Bagus," balas Alakina sarkastik, menatapnya tajam. "Itu saran yang luar biasa dari seseorang yang hampir mati karena kebodohannya sendiri."
Kaelen hanya tersenyum tipis. "Aku hampir mati karena kebodohanmu juga, jadi anggap saja kita seimbang."
Alakina mendesah, mengalihkan pandangannya ke depan. Di altar tempat Luminaris sebelumnya tertancap, sebuah lorong batu yang tersembunyi kini terbuka. Lorong itu terlihat seperti jalan menuju neraka, dikelilingi oleh akar-akar hitam yang bergerak seolah-olah mereka hidup.
"Fragmenta pertama ada di sana?" tanyanya, memegang Luminaris lebih erat.
Kaelen melirik lorong itu, raut wajahnya berubah lebih serius. "Ya. Dan sebelum kau bertanya, aku tidak tahu apa yang ada di dalam. Yang aku tahu, Fragmenta itu telah dilindungi oleh sesuatu yang lebih tua dari dewa-dewa."
"Hebat," gumam Alakina, melangkah maju.
Ketika mereka memasuki lorong, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih tebal, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka. Cahaya dari Luminaris sedikit membantu menerangi jalan, tetapi bayangan di sekitarnya tampak bergerak sendiri, menari-nari di dinding batu seperti makhluk hidup.
"Apa kau merasakannya?" tanya Alakina, suaranya lebih rendah.
"Seperti dunia ini mencoba menelan kita?" jawab Kaelen. "Ya. Sering terjadi kalau kau mendekati sesuatu yang tidak seharusnya ada."
"Kenapa aku merasa kau menikmati ini?"
Kaelen tertawa kecil. "Karena aku memang menikmati ini."
Langkah mereka akhirnya membawa mereka ke sebuah ruangan besar di ujung lorong. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah bola cahaya kecil yang melayang, dikelilingi oleh lingkaran ukiran rune. Fragmenta Lucis. Bahkan tanpa mendekat, Alakina bisa merasakan kekuatan yang memancar darinya—hangat, kuat, tetapi juga tidak stabil.
"Di sana," bisik Kaelen, melangkah lebih dekat. "Itu adalah Fragmenta pertama. Pecahan Cahaya Ilahi."
Alakina menghentikan langkahnya, matanya menyipit. "Terlalu mudah."
"Setidaknya ada satu hal yang kau pahami," ujar Kaelen sambil menunjuk ke sudut ruangan.
Di sana, sebuah makhluk besar muncul dari bayangan. Tubuhnya seperti gabungan antara batu dan logam, dengan empat lengan yang memegang senjata berbeda—pedang, tombak, gada, dan perisai. Matanya, jika itu bisa disebut mata, adalah lubang hitam kecil yang memancarkan cahaya merah.
"Penjaga Fragmenta," ujar Kaelen. "Dewa-dewa menyukai drama, bukan?"
"Seharusnya kau memberitahuku tentang ini lebih awal."
"Kalau begitu kau tidak akan masuk," balas Kaelen dengan senyum. "Dan aku tidak bisa kehilangan kesenangan ini."
Alakina mengangkat Luminaris, mengambil posisi bertahan saat makhluk itu mulai bergerak. Langkah-langkahnya mengguncang tanah, dan suara logam beradu memenuhi ruangan.
"Semua milikmu, Alakina," ujar Kaelen, melangkah mundur ke sudut.
"Serius?!"
Makhluk itu menyerang sebelum ia sempat mendebat lebih jauh. Tombaknya melesat dengan kecepatan luar biasa, tetapi Alakina berhasil menangkisnya dengan Luminaris. Suara dentingan memenuhi ruangan, dan kekuatan serangan itu mendorongnya beberapa langkah mundur.
"Ini akan memakan waktu lama," gumamnya, melirik ke arah Kaelen.
"Tenang saja," jawab Kaelen, tangannya mulai bergerak seolah-olah merapal mantra. "Aku akan membantu. Nanti."
Alakina tidak punya waktu untuk membalas. Makhluk itu menyerang lagi, kali ini dengan gada dan pedangnya sekaligus. Ia menghindar ke samping, memotong salah satu lengan makhluk itu dengan Luminaris. Tapi luka itu tidak menghentikannya.
"Ini hanya akan membuatnya lebih marah," kata Kaelen, yang sekarang melambaikan tangannya ke arah lingkaran rune di sekitar Fragmenta.
"Apa yang kau lakukan?!" seru Alakina, berusaha bertahan dari serangan berikutnya.
"Coba mempercepat proses," jawab Kaelen, matanya bersinar dengan energi bayangan. "Kalau kita bisa menonaktifkan runenya, Fragmenta akan terbuka, dan kau tidak perlu membuang waktu di sini."
"Dan kau pikir itu tidak akan membuat makhluk ini lebih agresif?"
"Kalau kau lebih cepat, itu tidak masalah."
Makhluk itu menyerang lagi, dan kali ini, Alakina tidak punya pilihan selain melompat ke arah Fragmenta, mencoba memanfaatkan waktu yang diberikan Kaelen. Dengan satu serangan kuat, ia memotong tombak makhluk itu menjadi dua, lalu mengayunkan Luminaris ke arah lingkaran rune.
Ketika pedangnya mengenai rune, ruangan itu meledak dengan cahaya biru terang. Makhluk itu terhenti di tempatnya, seolah-olah energinya tersedot keluar.
Fragmenta Lucis, yang sebelumnya terbungkus dalam lingkaran rune, melayang pelan ke arah Alakina.
Kaelen melangkah mendekat, ekspresinya lebih serius dari biasanya. "Ambil. Itu milikmu."
Alakina mengulurkan tangannya, dan ketika Fragmenta menyentuh kulitnya, ia merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir melalui tubuhnya. Tapi bersamaan dengan itu, ia juga merasakan sesuatu yang lain—sebuah suara, atau mungkin bayangan, yang berbisik di sudut pikirannya.
"Peringatan kecil," ujar Kaelen sambil tersenyum. "Fragmenta tidak hanya memberi kekuatan. Mereka juga membawa beban yang sangat berat."
Alakina menatapnya, ekspresinya tidak bisa dibaca. Tapi ia tahu satu hal: perjalanan ini baru saja dimulai, dan Fragmenta pertama hanya permulaan.