Chereads / Tales Of Savior In Chaotic World / Chapter 4 - Reuni Yang Dingin

Chapter 4 - Reuni Yang Dingin

Hutan di sekitar kuil kuno itu mulai diterangi cahaya rembulan, tetapi suasananya tetap menekan. Alakina dan Kaelen berdiri di tepi altar setelah insiden sebelumnya, dengan Luminaris bersinar redup di tangan Alakina.

"Jadi," ujar Alakina, Dia mengayunkan pedangnya ke bawah dengan santai, meskipun tubuhnya masih terasa tegang. "Aku kira kita akan segera menemui lebih banyak masalah?"

Kaelen, yang sekarang berdiri beberapa langkah di belakang untuk berjaga-jaga, mengangkat bahu sambil menyandarkan diri pada tongkat sihirnya. "Masalah? Tentu saja. Selama kau masih membawa Luminaris, masalah akan menemukan kita lebih cepat untuk kita bisa kabur."

"Baiklah, itu bagus," balas Alakina sarkastik, menatapnya tajam. "Itu saran yang luar biasa dari seseorang yang hampir mati karena kebodohannya sendiri."

Kaelen hanya tersenyum tipis. "Aku hampir mati karena kebodohanmu juga, jadi anggap saja kita seimbang."

Alakina mendesah, mengalihkan pandangannya ke depan. Di altar tempat Luminaris sebelumnya tertancap, sebuah lorong batu yang tersembunyi kini terbuka. Lorong itu terlihat seperti jalan menuju neraka, dikelilingi oleh akar-akar hitam yang bergerak seolah-olah mereka hidup.

"Fragmenta pertama ada di sana?" tanyanya, sambil memegang Luminaris lebih erat.

Kaelen melirik lorong itu, raut wajahnya berubah lebih serius. "Ya. Dan sebelum kau bertanya, aku tidak tahu apa yang ada di dalam situ. Namun, Yang ku tahu, Fragmenta itu telah dilindungi oleh sesuatu yang lebih tua dari dewa-dewa."

"Hebat," gumam Alakina, melangkah maju.

Ketika mereka memasuki lorong, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih tebal, seperti ada kekuatan tak terlihat yang mengancam mereka. Cahaya dari Luminaris sedikit membantu menerangi jalan, tetapi bayangan di sekitarnya tampak bergerak sendiri, menari-nari di dinding batu seperti makhluk hidup.

"Apa kau merasakannya?" tanya Alakina, suaranya lebih rendah.

"Seperti dunia ini mencoba menelan kita?" jawab Kaelen. "Ya. Sering terjadi kalau kau mendekati sesuatu yang tidak seharusnya ada."

"Kenapa aku merasa kau menikmati ini?"

Kaelen tertawa kecil. "Karena aku memang menikmati ini."

Langkah mereka akhirnya membawa mereka ke sebuah ruangan besar di ujung lorong. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah bola cahaya kecil yang melayang, dikelilingi oleh lingkaran ukiran rune. Fragmenta Lucis. Bahkan tanpa mendekat, Alakina bisa merasakan kekuatan yang memancar darinya—hangat, kuat, tetapi juga tidak stabil.

"Alakina, Lihatlah di sana," bisik Kaelen, melangkah lebih dekat. "Itu adalah Fragmenta pertama. Pecahan Cahaya Ilahi."

Alakina menghentikan langkahnya, matanya menyipit. "Ez..itu Terlalu mudah bagiku."

"Setidaknya ada satu hal yang kau pahami," ujar Kaelen sambil menunjuk ke sudut ruangan.

Di sana, sebuah makhluk besar muncul dari bayangan. Tubuhnya seperti gabungan antara batu dan logam, dengan empat lengan yang memegang senjata berbeda—pedang, tombak, gada, dan perisai. Matanya, jika itu bisa disebut mata, adalah lubang hitam kecil yang memancarkan cahaya merah.

"Penjaga Fragmenta," ujar Kaelen. "Dewa-dewa menyukai drama, bukan?"

"Seharusnya kau memberitahuku tentang ini lebih awal."

"Kalau begitu kau tidak akan masuk," balas Kaelen dengan senyum. "Dan aku tidak bisa kehilangan kesenangan ini."

Alakina mengangkat Luminaris, mengambil posisi bertahan saat makhluk itu mulai bergerak. Langkah-langkahnya mengguncang tanah, dan suara logam beradu memenuhi ruangan.

"Semua milikmu, Alakina," ujar Kaelen, melangkah mundur ke sudut.

"Serius?!"

Makhluk itu menyerang sebelum ia sempat mendebat lebih jauh. Tombaknya melesat dengan kecepatan luar biasa, tetapi Alakina berhasil menangkisnya dengan Luminaris. Suara dentingan memenuhi ruangan, dan kekuatan serangan itu mendorongnya beberapa langkah mundur.

"Ini akan memakan waktu lama," gumamnya, melirik ke arah Kaelen.

"Tenang saja," jawab Kaelen, tangannya mulai bergerak seolah-olah merapal mantra. "Aku akan membantu. Nanti."

Alakina tidak punya waktu untuk membalas. Makhluk itu menyerang lagi, kali ini dengan gada dan pedangnya sekaligus. Ia menghindar ke samping, memotong salah satu lengan makhluk itu dengan Luminaris. Tapi luka itu tidak menghentikannya.

"Ini hanya akan membuatnya lebih marah," kata Kaelen, yang sekarang melambaikan tangannya ke arah lingkaran rune di sekitar Fragmenta.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Alakina, berusaha bertahan dari serangan berikutnya.

"Coba mempercepat proses," jawab Kaelen, matanya bersinar dengan energi bayangan. "Kalau kita bisa menonaktifkan runenya, Fragmenta akan terbuka, dan kau tidak perlu membuang waktu di sini."

"Dan kau pikir itu tidak akan membuat makhluk ini lebih agresif?"

"Kalau kau lebih cepat, itu tidak masalah."

Makhluk itu menyerang lagi, dan kali ini, Alakina tidak punya pilihan selain melompat ke arah Fragmenta, mencoba memanfaatkan waktu yang diberikan Kaelen. Dengan satu serangan kuat, ia memotong tombak makhluk itu menjadi dua, lalu mengayunkan Luminaris ke arah lingkaran rune.

Ketika pedangnya mengenai rune, ruangan itu meledak dengan cahaya biru terang. Makhluk itu terhenti di tempatnya, seolah-olah energinya tersedot keluar.

Fragmenta Lucis, yang sebelumnya terbungkus dalam lingkaran rune, melayang pelan ke arah Alakina.

Kaelen melangkah mendekat, ekspresinya lebih serius dari biasanya. "Ambil. Itu milikmu."

Alakina mengulurkan tangannya, dan ketika Fragmenta menyentuh kulitnya, ia merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir melalui tubuhnya. Tapi bersamaan dengan itu, ia juga merasakan sesuatu yang lain—sebuah suara, atau mungkin bayangan, yang berbisik di sudut pikirannya.

"Peringatan kecil," ujar Kaelen sambil tersenyum. "Fragmenta tidak hanya memberi kekuatan. Mereka juga membawa beban."

Alakina menatapnya, ekspresinya tidak bisa dibaca. Tapi ia tahu satu hal: perjalanan ini baru saja dimulai, dan Fragmenta pertama hanya permulaan.

Lalu, disaat Matahari Lunavere tampak seperti lingkaran merah darah di langit berdebu. Gurun tandus yang mereka lewati begitu sunyi sehingga hanya suara angin dan langkah kaki mereka yang terdengar. Alakina, dengan Luminaris di punggungnya, berjalan tanpa bicara, sementara Kaelen mengikuti di belakang dengan wajah yang tampak sedikit terlalu santai untuk situasi yang mereka hadapi.

"Kau tahu," kata Kaelen, memecah keheningan, "kau bisa sedikit lebih ramah. Setidaknya, aku tidak mencoba mencurimu lagi sejak kita keluar dari kuil."

"Belum," balas Alakina tanpa menoleh.

Kaelen tertawa kecil. "Tentu saja. Tidak ada yang bilang aku bukan seorang oportunis. Tapi aku pikir kita mulai membangun semacam... apa istilahnya? Kepercayaan?"

"Jika aku harus memilih antara mempercayaimu atau Maledicta, aku akan memilih Maledicta," jawab Alakina Yang dingin.

Kaelen mengangkat bahu. "Adil."

Namun, sebelum Kaelen bisa menambahkan komentar lainnya, sebuah suara asing terdengar dari atas bukit pasir di depan mereka.

"Apakah itu..." Kaelen menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. "Seseorang bernyanyi?"

Alakina berhenti, meletakkan tangan di gagang pedangnya. Dari atas bukit, suara itu semakin jelas—sebuah melodi ceria yang tidak sesuai dengan suasana dunia yang hampir mati.

"Ini pasti jebakan," desisnya, matanya memindai sekeliling.

"Kalau itu jebakan," jawab Kaelen sambil tersenyum tipis, "mereka punya rasa humor yang bagus."

Sosok itu akhirnya muncul di puncak bukit—seorang elven muda dengan rambut pirang keemasan, mengenakan pakaian kulit ringan yang dihiasi dengan tali dan pernak-pernik. Ia membawa tongkat panjang yang tampak lebih dekoratif daripada fungsional, dan senyumnya lebar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.

"Alakina!" panggilnya dengan nada yang terlalu akrab.

Alakina mengerutkan kening. "Tidak mungkin! S-Syl..Sylvaeris?"

Sylvaeris melompat turun dari bukit, mendarat dengan lincah di depan mereka. "Aku tahu aku tidak salah mengenali rambut putih keperakan itu. Jadi, kau tidak mati! Luar biasa!"

"Aku tidak tahu lagi, apakah aku harus merasa tersanjung atau tersinggung," balas Alakina dengan ekspresi datar.

Syl mendekat, matanya berbinar-binar saat ia mengamati Luminaris di punggung Alakina. "Dan kau membawa pedang legendaris itu? Oh, ini sempurna! Kau tahu, aku sudah mengatakan kepada semua orang bahwa kau tidak mungkin mati begitu saja, tapi mereka tidak percaya. Mereka bilang kau hilang atau mungkin sudah... yah, kau tahu."

"Ya-Ya-Ya, aku tahu," potong Alakina, ekspresinya semakin tajam. "Lagi pula, Apa yang sedang kau lakukan di sini sih, Syl?"

Syl menyandarkan tongkatnya ke bahunya, ekspresi cerianya tidak berubah. "Aku bisa bertanya hal yang sama padamu. Kau menghilang selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba muncul di tengah gurun dengan seorang pria misterius. Apa ini semacam misi rahasia?"

Kaelen, yang sejak tadi hanya mengamati dengan rasa ingin tahu, melangkah maju dan membungkukkan badan sedikit. "Mohon maaf, Saya Adalah Kaelen Drakov," katanya dengan nada ramah yang jelas tidak tulus. "Dan kau pasti Sylvaeris, Yakni pahlawan muda yang terlalu percaya diri?"

Syl tersenyum lebar. "Hmm... Aku suka dia. Dia tahu bagaimana memuji."

"Itu tuh bukan pujian," gumam Alakina sambil menatap Kaelen dengan tajam.

Kaelen hanya mengangkat bahu, menikmati pertunjukan kecil ini.

"Oh Iya, Omong-Omong, Aku di sini Itu, karena Eldenmere," kata Syl akhirnya, mengabaikan komentar mereka. "Aku merasakan Ada sesuatu yang aneh di kota itu. Suatu energi yang kuat, tapi juga tidak stabil. Dan, Aku pun berpikir untuk menyelidikinya. Kau tahu, agar kebaikan kepada semua orang."

"Lalu? Dan apakah kau pikir kau bisa menangani itu sendiri?" tanya Alakina, nada suaranya mengandung sedikit ejekan.

Syl tersenyum lagi. "Oh, Tentu saja tidak. Tapi aku tidak sendirian lagi sekarang, kan?"

Alakina menghela napas, menyadari bahwa kehadiran Syl tidak bisa dihindari. "Kalau begitu, Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi jangan berpikir aku akan melindungimu kalau sesuatu terjadi."

Syl meletakkan tangan di dadanya dengan ekspresi berpura-pura terkejut. "Oh! Alakina, aku sangat tersentuh oleh perhatianmu."

Alakina memutar matanya, lalu melanjutkan perjalanan. Syl mengikuti dengan semangat yang hampir membuat Kaelen merasa terganggu.

"Apakah dia itu selalu seperti ini?" tanya Kaelen, berjalan di samping Alakina.

"Bahkan Lebih buruk," jawab Alakina dengan nada datar.