Chereads / Tales Of Savior In Chaotic World / Chapter 2 - Terbangunnya Cahaya Luminaris

Chapter 2 - Terbangunnya Cahaya Luminaris

Langit di atas hutan semakin gelap, dengan ranting-ranting pohon yang menjuntai seperti cakar, menutup sinar matahari terakhir. Alakina, yang masih memegang lengannya yang terluka, bergerak dengan hati-hati di antara dedaunan, memastikan langkahnya tidak memicu bunyi ranting patah.

"Bagaimana aku bisa berakhir seperti ini?" gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri. "Aku hanya ingin hidup damai di kuil kecilku. Bukannya—"

"—dikejar monster?"

Suara itu muncul begitu tiba-tiba sehingga Alakina langsung meraih pedangnya, meskipun tubuhnya berteriak karena kelelahan. Ia berbalik dengan cepat, matanya menyipit mencari sumber suara.

Dari balik bayangan pohon, seorang pria melangkah keluar dengan santai. Ia mengenakan jubah hitam yang terlihat terlalu rapi untuk seseorang di tengah hutan. Rambutnya gelap, dengan sedikit uban di pelipisnya, dan sepasang mata abu-abu yang tajam seperti sedang mengevaluasi Alakina dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Kalau kau ingin menyerangku, mungkin kau harus menunggu sampai tanganmu tidak gemetar," ujarnya dengan nada datar, sambil melipat tangannya di dada.

Alakina menggerakkan pedangnya sedikit, memastikan jarak antara dirinya dan pria itu tetap aman. "Siapa kau?"

"Kaelen Drakov," jawabnya, memperkenalkan diri sambil sedikit membungkukkan badan seperti seorang bangsawan. "Penyihir bayangan. Pengamat dunia. Dan, kebetulan sekali, aku sedang mencari seorang wanita elven dengan rambut keperakan."

Mata Alakina menyipit lebih jauh. "Kau pikir aku akan mempercayai itu?"

Kaelen hanya mengangkat bahu, seolah-olah ia tidak peduli apa pun yang Alakina pikirkan. "Percaya atau tidak, aku tidak peduli. Tapi kau membawa sesuatu yang lebih berharga daripada semua makhluk di dunia ini—darah dewa."

Kata-kata itu membuat Alakina membeku. "Bagaimana kau tahu tentang itu?"

"Aku punya cara," jawab Kaelen dengan santai. "Dan, untuk berjaga-jaga, aku tidak berniat membunuhmu. Sebaliknya, aku di sini untuk menawarkan aliansi. Kau tahu tentang Fragmenta Lucis, kan?"

Alakina tetap tidak menurunkan pedangnya. "Fragmenta apa?"

Kaelen mendesah, seolah-olah ia sedang berhadapan dengan murid yang lambat memahami. "Fragmenta Lucis. Pecahan kekuatan ilahi yang tersebar di seluruh dunia. Kalau kau belum pernah mendengarnya, itu artinya para pendeta di kuilmu terlalu sibuk memuja dewa-dewa yang tidak peduli dengan kalian."

"Dan kau pikir aku peduli?" balas Alakina, suaranya penuh sinisme.

"Oh, kau akan peduli," kata Kaelen, sambil menyandarkan tubuhnya ke pohon di dekatnya. "Karena tanpa pecahan itu, dunia ini akan hancur lebih cepat dari rambutmu yang berubah abu-abu."

Alakina mendengus, tetapi rasa ingin tahunya mulai tumbuh. "Apa yang kau inginkan dariku?"

Kaelen tersenyum tipis. "Aku ingin kau membantuku mengumpulkan Fragmenta itu. Kau punya kekuatan Luminaris, dan aku punya pengetahuan. Bersama-sama, kita bisa menghentikan kehancuran ini. Atau, kalau kau lebih suka, kita bisa duduk dan menonton dunia ini terbakar."

Alakina mempertimbangkan kata-katanya sejenak. Ada sesuatu yang tidak ia percayai dari pria ini, terutama senyum kecil di wajahnya yang terlihat terlalu santai.

"Tapi kenapa aku?" tanyanya akhirnya.

Kaelen melangkah mendekat, matanya bersinar dengan intensitas yang membuat Alakina hampir mundur. "Karena kau adalah putri Queen Marielka. Dan hanya darah dewa yang bisa mengendalikan kekuatan Fragmenta."

Keheningan menggantung di antara mereka.

Akhirnya, Alakina menurunkan pedangnya sedikit, meskipun masih waspada. "Kalau aku setuju," katanya pelan, "kau harus tahu satu hal."

"Apa itu?"

"Aku tidak percaya padamu. Dan aku tidak peduli apa pun yang terjadi padamu, kalau kau mencoba mengkhianatiku."

Kaelen tertawa kecil. "Bagus. Itu berarti kita akan cocok."

Setelah akhirnya menyetujui tawaran Kaelen, Alakina mengikutinya keluar dari hutan menuju reruntuhan kuil kuno. Jalanan yang mereka lalui penuh dengan pohon mati dan bebatuan yang berserakan, seolah alam sendiri menolak keberadaan tempat itu.

"Ini ide yang sangat buruk," gumam Alakina, melirik sekeliling dengan kewaspadaan.

"Kalau kau punya ide yang lebih baik, aku akan mendengarkannya," balas Kaelen tanpa menoleh. Langkahnya tetap santai, seperti ia tidak merasa perlu khawatir dengan kemungkinan serangan tiba-tiba.

Alakina mendecakkan lidahnya. "Kau ini selalu begini? Sok tahu?"

Kaelen menoleh setengah, memperlihatkan senyum tipis. "hei-hei...Bukan sok tahu. Aku memang tahu."

"Kalau begitu, kau pasti tahu kita sedang menuju tempat yang penuh jebakan, kan?" ujar Alakina

"Oh, pasti," jawab Kaelen santai. "Tapi itu tidak masalah, kan? Kau punya Luminaris. Pedang itu bisa menghancurkan apa saja."

Alakina berhenti berjalan, menatapnya tajam. "kamu pikir Luminaris mainan? Asal kamu tahu ya, aku tidak suka menggunakannya kecuali aku benar-benar di situasi genting."

Kaelen mendesah, memutar matanya. "Ya, ya. Pedang suci, tanggung jawab besar, bla bla bla. Aku sudah mendengar semua itu sebelumnya."

"Lalu kenapa kau tetap menginginkanku untuk ikut?" tantang Alakina, menyilangkan tangannya.

Kaelen berbalik sepenuhnya, ekspresinya tiba-tiba menjadi serius. "Karena tanpa Luminaris, tidak ada yang bisa membuka jalan menuju Fragmenta pertama. Bahkan aku pun tidak bisa."

Ada keheningan yang tidak nyaman di antara mereka. Alakina akhirnya mengalah dan melanjutkan langkahnya, meskipun dalam hati ia masih merasa ragu.

Mereka tiba di pintu masuk kuil, sebuah lengkungan batu besar yang dihiasi dengan ukiran rumit. Banyak di antaranya telah rusak, tetapi Alakina masih bisa mengenali simbol dewa-dewa kuno yang ia pelajari di kuil masa kecilnya.

"nah, kita sudah sampai ke tempatnya," ujar Kaelen, berhenti di depan lengkungan itu. Ia mengangkat tangannya, membaca mantra pelan, dan pintu besar itu mulai terbuka dengan suara gemuruh.

Di dalamnya, gelap gulita. Tapi di ujung lorong, Alakina bisa melihat cahaya biru yang berkedip-kedip, seperti obor yang hampir mati.

"Lihat, Itu dia, Alakina" kata Kaelen, menunjuk cahaya itu. "Luminaris menunggumu."

"Menungguku?" Alakina menyipitkan matanya. "Kau bicara seolah pedang itu punya pikiran sendiri."

Kaelen tidak menjawab, hanya melangkah masuk.

Alakina mengikutinya dengan hati-hati, mengangkat pedang kecilnya untuk berjaga-jaga. Atmosfer di dalam kuil terasa berat, seperti udara itu sendiri sedang mengawasi mereka.

Ketika mereka semakin dekat ke cahaya itu, Alakina mulai merasakan sesuatu. Sebuah getaran di dadanya, seperti jantung kedua yang berdetak lebih keras dari yang pertama.

"Apa ini?" gumamnya, berhenti di tempat.

Kaelen menoleh, ekspresinya penuh rasa ingin tahu. "Kau merasakannya, bukan? Itu adalah Luminaris. Pedang itu telah memanggilmu."

Alakina melangkah maju dengan ragu-ragu. Cahaya biru itu menjadi semakin terang, hingga akhirnya ia bisa melihat bentuknya—sebuah pedang besar yang tertancap di altar batu. Bilahnya bersinar seperti bintang, dan ukiran di gagangnya tampak berkilauan dengan rune kuno.

Ia mendekati altar, tapi langkahnya terhenti ketika suara bergema memenuhi ruangan.

"Siapa yang berani menyentuh Luminaris?"

Dari bayangan di sudut ruangan, makhluk besar muncul. Tubuhnya ditutupi paku hitam, dengan mata merah menyala seperti bara api. Ia membawa gada besar yang terlihat cukup berat untuk menghancurkan tembok kuil.

"Bagus sekali," desis Alakina, mengangkat pedangnya yang kecil. "Kita tidak bisa masuk tempat baru tanpa disambut oleh sesuatu yang ingin membunuh kita."

Kaelen melangkah mundur, menyilangkan tangannya. "Ini kan. urusanmu. Kaulah yang dipanggil oleh Luminaris."

Alakina menatapnya tajam. "Oh, kau benar-benar berguna sekali."

Makhluk itu meraung, lalu menerjang ke arah Alakina dengan kecepatan luar biasa. Ia hanya punya waktu untuk menghindar ke samping, tetapi gada besar itu menghantam lantai, menciptakan retakan yang hampir menjatuhkannya.

"Aku benci hari ini," gumamnya, mencoba menyerang balik dengan pedangnya.

Namun serangannya hanya memantul dari kulit makhluk itu, nyaris tidak membuat goresan.

"Tidak akan berhasil," ujar Kaelen dari belakang. "Hanya Luminaris yang bisa menghancurkannya."

Alakina berbalik ke arahnya, ekspresinya penuh frustrasi. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!"

"Aku kira itu sudah jelas," jawab Kaelen, mengangkat bahu.

Makhluk itu menyerang lagi, memaksa Alakina mundur ke arah altar. Ia melihat Luminaris, yang bersinar semakin terang, seolah memanggilnya untuk bertindak.

Dengan napas berat, ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia melompat ke altar, meraih gagang pedang itu dengan kedua tangannya.

Saat ia menyentuhnya, cahaya biru meledak, memenuhi seluruh ruangan. Makhluk itu berhenti sejenak, matanya yang merah menyipit karena silau.

Alakina bisa merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya. Pedang itu terasa berat, tetapi juga alami, seperti ia memang dilahirkan untuk memegangnya.

Makhluk itu menyerang lagi, tetapi kali ini, Alakina melangkah maju tanpa ragu. Ia mengayunkan Luminaris, dan bilah bercahaya itu menembus gada besar makhluk itu seperti pisau sangat tajam yang menembus kain.

Makhluk itu meraung kesakitan, tetapi Alakina tidak memberinya kesempatan untuk melawan. Ia mengayunkan pedangnya lagi, kali ini mengenai tubuhnya. Makhluk itu meledak menjadi debu hitam, meninggalkan keheningan yang memekakkan telinga.

Kaelen melangkah mendekat, ekspresinya penuh kekaguman yang ia coba sembunyikan. "Lumayan," katanya akhirnya. "Aku kira kau akan mati di sana."

Alakina menoleh padanya, masih terengah-engah. "Kalau kau tidak membantu sedikit pun, aku mungkin sudah mati."

Kaelen hanya tersenyum tipis. "Tapi kau tidak mati. Jadi... sama-sama."

Aether menyipitkan matanya dengan rasa kesal "cih. Dasar kau ini!"