***
Deruan angin dari barat berhembus bersama butiran salju yang menghujani seluruh daratan Kerajaan Thylon. Ketika kabut mulai menggelap, salju pun semakin tebal menyelimuti ladang-ladang gandum yang – untungnya – sudah dipanen.
Sebuah jalanan di desa kecil meninggalkan pemandangan yang lebih dingin daripada musim salju di utara. Beberapa mayat tergeletak di tengah jalanan seperti jerami-jerami yang basah. Sedangkan, sebagian lainnya meringkuk tak berdaya di bawah rumah-rumah penduduk yang gelap.
Sebulan yang lalu, wabah asing mulai menyerang penduduk desa Addis. Kabar burung mengenai serangan wabah pun mulai tersebar cepat dari mulut ke mulut seperti bunga dandelion yang ditiup angin. Namun, meski musim dingin telah berjalan selama sebulan, tak ada seorang pun yang mengulurkan bantuan.
Suara-suara rintihan minta tolong yang terdengar samar-samar, seolah hampir menghilang karena ditelah habis oleh deruan angin. Ketika suara rintihan di setiap rumah mulai terhenti, satu suara rintihan lemah mulai terdengar di lumbung gandum yang reyot.
"Phellea..."
"..."
"Sepi sekali..."
Seorang anak gadis bermata hijau tengah terbaring lemah di tempat tidur kecil beralaskan jerami dan kain yang lusuh. Lune mencengkeran pelan selimut yang dipenuhi dengan banyak bercak darah. Ketakutannya perlahan mereda ketika ia menyadari batuk-batuk dan rasa sakit akibat wabah tidak lagi ia rasakan pagi ini. Ia menghela napas sedikit lega. Walaupun tidak lagi merasa kesakitan, tapi tubuhnya masih selemah helaian benang yang basah dan wajahnya masih terlihat pucat hampir menyerupai mayat.
Ia mulai memiringkan kepalanya dengan gemetaran. Seorang wanita muda terlihat meringkuk di depan perapian seperti seekor ulat yang kedinginan, tidak bergerak sama sekali.
"Apa kau butuh selimut lagi?"
"..."
Lagi-lagi, hening.
Setelah melihat tubuh wanita yang tidak bergerak itu, mata Lune mulai berair. Lune mengerutkan keningnya karena ingatan kejadian semalam mulai merayapi kepalanya. Itu adalah ingatan saat Phellea merangkak dengan lemah untuk memberinya ramuan sambil merintih kesakitan.
"Cepat minum. Setelah ini.. hiduplah dengan baik." Itu adalah kalimat terakhir yang Lune dengar. Walaupun dengan mata tertutup, Lune bisa merasakan ramuan aneh yang mengalir di kerongkongannya.
Itu hanyalah seteguk cairan dari botol kaca kecil yang kotor. Setiap pagi buta, seperti orang gila, Phellea terus mengobrak-abrik semua tempat seakan mencari sesuatu yang ia lupakan. Lune tidak menyangka, semua yang Phellea lakukan sejak wabah ini datang hanya untuk menemukan cairan aneh ini.
Tapi semuanya tidak lagi berguna. Apapun yang terjadi sejak wabah ini datang sebulan yang lalu, hanya mengantarkannya pada kematian semua orang. Merutuki nasib buruk pun tidak ada gunanya lagi ketika ia sendirian sekarang.
"Phellea, kenapa kau sampai melakukan ini untuk anak buangan sepertiku..." Tubuh Lune tersenggal-senggal di sela-sela tangisnya yang tidak bersuara.
'Kau sudah cukup dermawan dengan mengurus bayi terlantar ini. Seharusnya kau menyelamatkan hidupmu sendiri... Bahkan sampai akhir, aku tidak bisa memanggilmu Ibu. Bagaimana aku bisa hidup sendiri, Ibu..' batin Lune tak kuasa mengeluarkan suara.
Di antara ketakutan yang menyerangnya, mata Lune terus memaksa untuk terpejam. Ketika keputusasaan mendatanginya, mata berairnya perlahan mengendur dan menutup.
...
Mata Lune kembali terbuka dengan lemah ketika suara derap kaki kuda dan teriakan orang di luar terdengar sangat riuh.
'Seseorang...'
Tangan kecilnya perlahan terangkat mendekati gelas besi di samping tempat tidurnya dan dengan susah payah mendorong gelas itu. Itu hanyalah sebuah gelas besi sederhana yang dibuat tanpa ukiran yang mewah, tetapi dahinya mengkerut kesulitan seakan hendak mengangkat sekarung penuh gandum.
Klang!
Suara gelas besi yang jatuh menabrak lantai batu itu mengeluarkan bunyi keras yang memekakkan telinga. Mata gadis itu mengendur lega ketika ia mendengar suara langkah kaki mulai mendekat. Saat matanya semakin meredup, ia melihat beberapa orang masuk ke dalam rumahnya.
"Hei! panggil peramu kesini! Ada anak kecil yang masih hidup!" teriakan para prajurit itu, tidak bertahan lama sampai seorang kakek tua berjenggot putih menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
Orang tua itu dengan terburu-buru mengambil botol kecil dari gulungan kain kusut yang dibawanya. Saat gadis itu merasakan cairan yang pahit melewati mulut dan tenggorokannya, mata lelahnya mulai menutup dan kesadaran telah meninggalkannya di kegelapan.
***
"Cepat minum ramuan ini. Setelah semua berlalu... hiduplah dengan baik."
Suara yang menggema di kegelapan itu membangunkan Lune. Napasnya memburu tak beraturan bersamaan dengan keringat dingin yang mengalir di punggungnya. Ia menyibak rambut putih kekuningan yang menutupi wajah dengan tangan gemetar, mencoba menyadarkan diri.
Suara derap kaki kuda samar-samar mulai masuk ke telinganya ketika tubuhnya merasa terombang-ambing di dalam kereta yang bergoyang. Udara dingin perlahan menyelinap dengan tenang melalui jendela kereta, menuntun mata Lune untuk melihat pohon pinus yang tertutupi salju seluruhnya.
Saat musim dingin tiba, hampir sulit mengetahui apakah matahari telah terbit atau tenggelam. Lune bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia melihat sinar fajar. Barangkali saat akhir musim gugur kemarin.
Musim dingin ini harusnya menjadi waktu istirahat bagi para petani di desa. Phellea selalu mengeluh untuk menunggu datangnya musim dingin ini sambil merutuki nasibnya di ladang gandum yang panas. 'Sekarang aku benci musim dingin, Phellea...' batin Lune.
Kesadarannya baru mulai kembali sepenuhnya ketika matanya melihat peramu tua yang duduk di depannnya, menatap dengan khawatir. Sayup-sayup suara peramu mulai masuk ke telinganya.
"Nak! Kau bisa mendengarku? Apa ada rasa sakit yang kau rasakan?"
"... saya baik-baik saja, Tuan. Terima kasih sudah menyelamatkan saya."
Lune mencoba mengatur napasnya dan memperbaiki posisi duduknya. Ia tidak berniat untuk tidur kembali walaupun ia sangat menginginkannya. Setidaknya itu adalah etiket yang ia tahu saat berhadapan dengan seorang bangsawan.
Peramu tua itu kembali menyandarkan punggungnya yang kaku dan bernapas lega. Namun, wajahnya terlihat tak dapat menyembunyikan sedikit kebingungan.
"Sungguh suatu keajaiban kau tak tertular wabah, Nak. Kau bahkan langsung siuman setelah meminum ramuan penghilang demam," ucap Sang Peramu mencoba menenangkan Lune. Tapi nampaknya itu sama sekali tak membuat Lune tenang.
'Demam?' batin Lune mengerutkan kening, tak yakin.
Saat wabah mulai tersebar di seluruh desa, Lune bahkan tak pernah lagi melihat kaca karena takut dengan matanya yang memerah karena wabah. Semua orang akan tahu apakah mereka tertular wabah atau tidak karena wabah asing ini memiliki ciri-ciri yang menyeramkan, seperti batuk darah, mata merah, dan rasa sakit yang mencabik.
Lune tahu, Ia tidak hanya terserang demam. Kenangan menyakitkan selama sebulan ini tidak mungkin hanya mimpi. Semua itu berubah setelah...
Lune meyakini satu jawaban, ini semua berkat ramuan aneh dari Phellea.
Ia terdiam sejenak, ragu-ragu menatap Sang Peramu dengan mata berair yang tertahan. Kemudian ia bergumam dengan suara sepelan tiupan seruling yang lemah.
"Bagaimana dengan Ibu saya...?"
Nada yang lirih itu menyiratkan duka yang teramat dalam seolah tangisnya dapat pecah kapan saja. Bagaimanapun, Lune tahu bahwa tidak akan ada orang yang cukup peduli untuk mengurusi pemakaman para petani di desa terpencil seperti Addis.
Setelah suaminya meninggal sebagai perajurit perang, Phellea datang ke Addis dan bergabung dengan para pekerja di ladang. Selama itu, Phellea bahkan sering meracau bahwa desa Addis adalah desa kecil yang bahkan tidak akan dipedulikan sampai 100 tahun yang akan datang. Tapi Lune berharap, setidaknya orang-orang peduli dengan mereka di saat-saat sulit seperti ini.
"Jangan khawatir, Nak. Beberapa prajurit masih di desa itu untuk mengurus pemakaman. Sayangnya, kami harus segera bergegas untuk melaporkan keadaan desa. Selain itu,... " Sang Peramu menahan ucapannya sejenak dengan ragu. "... kami tidak mengira akan membawa seorang pasien."
Anggukan dalam itu rasanya cukup untuk menutupi matanya yang sembab. Ditambah lagi, Lune agak tak menyukai rencana pergi ke kediaman bangsawsn di hari pemakaman Phellea. Tapi tidak ada pilihan lain untuknya di situasi seperti ini.
Hutan yang dilewati rombongan tersebut menjadi lebih gelap ketika kuda-kuda itu mulai memasuki daerah Hutan Berigryn yang lebih dalam. Pohon-pohon pinus yang terselimuti seluruhnya oleh salju, terlewati begitu saja, menyisakan keheningan yang menetap cukup lama, baik di luar maupun di dalam kereta.
Kegelapan mulai menghilang dari penglihatannya ketika kereta kuda keluar dari rimbunnya Hutan Berigryn menuju dataran kosong yang luas. Di kejauhan, Lune dapat melihat seluruh atap rumah-rumah dan jalanan yang tampak monoton karena diselimuti salju putih.
Kumpulan bangunan megah di atas bukit yang lebih tinggi membuat tubuh Lune bergetar singkat. Bangunan-bangunan itu bahkan dibangun dengan bebatuan yang kokoh, bukan dari kayu yang mudah roboh seperti milik rumah-rumah para penduduk biasa.
Itu adalah Istana Kerajaan Thylon.
Lune mendekatkan kepalanya lebih dekat dengan jendela kereta hingga wajahnya dihujani sedikit butiran salju. Dari tempatnya, Lune akhirnya bisa melihat bendera berwarna hitam dengan gambar singa hitam berkibar liar di puncak bangunan terdepan.
Logo singa yang berwibawa terukir dengan besar di dinding batu bangunan itu. Saat Lune menyadari logo itu juga terukir di pintu kereta, suara Sang Peramu memecah keheningan.
"Kelihatannya kereta hampir memasuki Ibu Kota. Bersiaplah. Kita akan segera sampai ke Istana Kerajaan."
Lune menelan ludahnya dengan gugup sembari mengarahkan kembali mata tenangnya ke arah luar. Ketakutan halus tergambar di wajahnya. Ia tidak pernah sekalipun melihat istana kerajaan. Tapi sekarang, ia akan tiba ke Istana Kerajaan Thylon. Menuju bangunan-bangunan besar itu sendirian, tanpa Phellea. Lune mencengkeram ujung jubahnya dengan gelisah, berusaha untuk menenangkan ketakutannya ketika jalan baru di hidupnya mulai terbuka.
***