***
Bulan yang melingkar setengah utuh itu menggantung di antara awan-awan yang menggelap. Seakan mencoba menerangi hamparan daratan dingin di bawahnya meskipun terkadang tertutup awan-awan.
Angin malam yang dingin perlahan meniup bulu-bulu rubah di jubah hitam Leoron. Namun, anak laki-laki itu sama sekali tak berkutik dan terus berjalan menuju Istana Raja dengan wajah suram. Sedangkan, Lune berjalan di belakangnya sambil mencengkeram erat gaun kuningnya yang sederhana, kedinginan.
"Jangan terlalu terkejut dengan apa yang akan mereka katakan nanti. Mereka hanyalah sekumpulan orang-orang konyol."
"Haah?" Lune yang terkejut dengan perintah yang tiba-tiba segera menyadarkan diri, "Tentu saja."
Kepala Lune pening memikirkan situasi saat ini. Ini semua membuat Lune semakin gugup. Saat Leoron berkata tidak ada yang memihaknya, yang Lune tahu bahwa hubungan Leoron dan keluarganya tidak begitu baik.
"Khem..." Lune berdeham pelan untuk mengusir kecanggungan di jalan yang masih panjang, "Omong-omong, ada berapa keluarga yang tinggal di istana ini?"
"Selain Raja, istana ini menanggung beban empat saudara raja dan keluarganya yang merepotkan," jawab Leoron malas.
"Ah, empat keluarga. P-pasti sangat banyak," jawab Lune seadanya sambil menggigil, "Apa kau mau memberitahuku siapa saja kerabatmu? Aku rasa aku perlu tahu."
Di lain sisi, Leoron justru merasa Lune tak perlu repot-repot mengetahui orang-orang itu. 'Untuk apa pula mengenal orang-orang tak berguna itu?' pikir Leoron. Namun, pada akhirnya ia menjawab dengan helaan napas maklum.
"Jika kau melihat perawan tua pemarah, itulah Bibi Ismorah. Jika dia orang tua emosian berwajah kotak, itulah Paman Uradim. Dua anak merepotkan berambut hitam itu adalah anaknya, si konyol Rhoban dan Nesrine," Leoron "Jika dia orang cungkring seperti ular licik maka dia Paman Arasun. Orang-orang menyebalkan berambut merah itu anaknya, Irisha dan Ishimud. Jika dia pemabuk bertubuh gempal seperti orang bodoh, dialah Paman Grubul. Kau takkan mudah menemuinya. Melihat seringnya dia minum, aku tak yakin umurnya akan melewati setengah abad. Sepupuku yang terakhir adalah anaknya, si bodoh Garash."
Pada intinya, aku sarankan kau menghindari orang-orang ini."
Kakinya menendang kerikil di depannya setelah suasana hatinya memburuk karena obrolan mengenai para Ghalysias.
Mungkin itulah kenapa wajah Leoron terlihat tidak senang saat ini. Lune menyatukan tangannya untuk mengurangi kegugupannya, berharap setidaknya ada seseorang yang tidak mengabaikan Leoron dan memperlakukannya dengan baik.
Brak!
Ketika pintu ruang makan dibuka, semua mata menatap ke arah Lune dan Leoron dengan tatapan tajam seperti pisau yang siap menikam. Mereka pasti para paman, bibi, dan sepupu Leoron.
Tidak ada sambutan hangat dari semua orang yang duduk mengelilingi meja besar itu. Tidak sedikitpun, bahkan sesirat keramahan di mata mereka. Yang Lune lihat hanyalah ... wajah yang menunjukkan kebencian dan tatapan merendahkan.
'Mereka tidak hanya mengabaikannya. Tapi membencinya,' hati Lune terasa tenggelam.
Lune sedikit meringkuk merasakan ketakutan. Perlahan matanya melirik Leoron yang memandang ke depan dengan wajah dingin dan tidak peduli. Seolah telah terbiasa dengan semuanya.
'Bagaimana dia bisa terbiasa dengan ini?'
"Ayo duduk," ucap Leoron pelan seolah berbisik.
Lune mencoba menata hatinya untuk kembali tenang, kemudian mengangguk dengan pelan. Ketika Leoron mulai berjalan, Lune mengikuti di belakangnya dan berusaha tidak melihat tatapan orang-orang.
Kursi kosong yang tersisa itu berada di dekat kursi Raja yang megah dengan ukiran-ukiran kuno. Itu adalah kursi pangeran. Meskipun Leoron diperlakukan buruk di belakang, ternyata tidak ada yang mempertanyakan status Leoron yang menjadi Pangeran secara terang-terangan.
Ruangan yang besar itu terlihat tidak seluas aslinya karena kegelapan yang menutupi beberapa bagian ruangan. Meskipun banyak lentera telah diletakkan di banyak tempat, tapi sepertinnya tidak cukup untuk menyinari semuanya.
'Akan lebih baik jika lentera-lentera itu menyinari perabotan dari pada memperlihatkan tatapan mengerikan itu.' batin Lune sambil duduk dengan gugup.
Tiba-tiba semua orang berdiri dan serentak membungkuk hormat. Hanya ada satu arti dari pertanda itu. Sang Raja dan Ratu telah tiba.
"Selamat malam, Yang Mulia."
Lune buru-buru merapikan pakaiannya dengan gugup dan berdiri. Namun, melihat Leoron yang masih duduk dengan santai, Lune yang panik secara refleks menepuk pelan tangan Leoron dan mengisyaratkan untuk berdiri.
Leoron tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Karena tatapan Lune yang semakin panik, Leoron berdiri dan membungkuk dengan malas. 'Aku bahkan tidak pernah membungkuk pada siapa pun' batin Leoron.
"Duduklah," suara Raja yang besar menggelegar di ruangan gelap yang sunyi.
Sang Ratu berbalik ke pelayannya dan berkata dengan berwibawa, "Bawakan makanannya."
Setelah beberapa saat, para pelayan mulai berdatangan dan mengisi meja besar yang polos tadi dengan berbagai makanan lezat yang menggugah selera.
Biasanya ia memasak makanan di Istana Pangeran, ia yakin masakannya tidak semewah ini. Tentu saja. Karena pemandangan asing di depannya ini, Lune bisa merasakan perutnya mulai kegirangan.
Ketika semua orang mulai makan dengan tenang, Lune mulai merasa bingung dan hanya memutar-mutar sendoknya. Lune baru ingat jika ia belum mempelajari etiket seorang bangsawan. Namun, Lune kemudian melihat Leoron yang menopang kepalanya dengan satu tangan dan makan tanpa etiket dengan acuh tak acuh.
'Apa yang dia lakukan?!' batin Lune yang menahan kepanikannya. Meskipun banyak mata yang diam-diam mencela Leoron, tapi Lune kemudian merasa sedikit tenang karena semua orang segera mengabaikannya seolah telah terbiasa.
Tiba-tiba Sang Ratu meletakkan sendoknya dan memulai pembicaraan.
"Kelihatannya acara malam ini dimulai terlalu larut malam. Entah kenapa para pelayan baru memanggil Raja keluar sekarang."
"Itu karena tamu undangan belum lengkap, Yang Mulia," ucap seorang wanita berambut ikal coklat dengan suara yang provokatif, dia adalah sepupu Leoron.
"Belum lengkap? Kira-kira siapa yang kita tunggu, Putri Nesrine?"
"Sepupu Leoron, Yang Mulia Ratu."
"Oh ... Bagaimana ini Raja, sepertinya satu-satunya Pangeran di kerajaan ini selalu tidak tepat waktu?"
Ratu mengeluarkan tersenyum tipis dan melirik Raja untuk melihat reaksinya. Namun, seperti biasa, Raja mengeluarkan ekspresi tidak tertarik dan tetap tenang dengan wajah datarnya. Setelah keheningan yang muncul sejenak, Raja membuka suaranya yang berat.
"Kenapa kau bisa terlambat?"
"Perjalanannya jauh," jawab Leoron dengan asal-asalan. Jawaban itu tak sepenuhnya bohong. Para bangsawan di istana bahkan menaiki kereta kuda hanya untuk berpindah tempat di istana yang luas ini. Tapi mendengar jawaban itu keluar dari mulut Leoron dengan santainya, membuat Lune ketar-ketir.
"Jauh? Aku khawatir bahkan seekor siput pun tidak akan setuju dengan alasanmu Leoron," ucap seorang lelaki paruh baya dengan rambut hitam seperti Raja. Lune yakin itu adalah salah satu Paman Leoron, mereka memanggilnya Pangeran Uradim.
Leoron terlihat mengatupkan giginya dengan erat hingga otot kebiruan di rahangnya dapat Lune lihat, seolah ia sedang menahan amarahnya. Suasana di meja makan tampak lebih mencekam daripada lumbung sempit yang gelap.
Walaupun ruangan besar ini mempunyai banyak lubang ventilasi, tapi rasanya tidak ada udara yang tersisa untuk dihirup. Lune kehabisan napas. Seakan di ruangan ini, Lune dikelilingi es-es runcing yang siap menusuk dan mencekiknya.
Lune tak menyangka reputasi Leoron bisa seburuk itu. Akan lebih baik jika dirinya yang disalahkan daripada Leoron. Setelah menurunkan sendok makannya, Lune mengatakan sesuatu sambil mencengkeram gaunnya di bawah meja.
"M-mohon maaf atas keterlambatannya, Yang Mulia. Saya akan berusaha hal seperti ini tidak akan terjadi lagi."
Semua mata menjadi tertuju ke arahnya. Itu benar-benar perubahan yang cepat.
"Oho, siapa pula ini?"
"Aku baru pertama kali melihatnya."
Semua kerabat Leoron bersahutan seolah-olah baru melihat Lune di ruangan itu. Lune kewalahan menanggapi pertanyaan yang dilontarkan secaara terus menerus. Percakapan palsu yang riuh itu akhirnya terhenti ketika Sang Ratu membuka mulutnya.
"Anak ini adalah Lune, pasangan Leoron. Kebetulan aku baru sempat memperkenalkannya sekarang."
"Sepupu Leoron sudah menikah? Benar-benar berita yang mengejutkan!"
Para kerabat Leoron bersahutan dengan histeris, bersandiwara seolah-olah terkejut menerima informasi yang baru mereka dengar.
"Karena kita akan sering bertemu di jamuan keluarga seperti ini, aku pikir akan lebih baik jika aku mengenal latar belakangmu," senyum sepupu wanita Leoron itu terlihat menyembunyikan keberatannya ketika memanggil Lune dengan panggilan 'Putri', kemudian melanjutkan ucapannya dengan nada yang polos, "Jika boleh tahu, dari keluarga mana kau berasal? Atau nama keluargamu?"
Lune terhenyak. Di dunia ini, tidak semua orang mendapatkan nama keluarga yang diturunkan secara turun temurun. Hanya keluarga bangsawan dan penguasa kotalah yang memilikinya.
'Apa mereka pikir aku seorang bangsawan? Ah, tentu saja mereka akan berpikir seperti itu. Seorang pangeran dipasangkan dengan rakyat biasa? Pasti tidak bisa dipercaya...'
"... Nama saya hanya Lune. Nama keluarga, ... saya tidak memilikinya."
Para perempuan-perempuan yang memakai pakaian mewah itu mengeluarkan tawa kecil yang mengejek. Kemudian, seorang wanita muda berusia sekitar 20-an awal itu menyibakkan rambut merahnya yang dikelilingi berlian dengan angkuh sambil membuka mulutnya.
"Ah! Apakah rasanya luar biasa ketika Anda bisa menjadi putri dalam semalam?"
"Rupanya Anda sungguh percaya diri ingin menjadi keluarga kerajaan," sahut seorang sepupu laki-laki Leoron, Ishimud.
Lune hanya menanggapinya dengan senyuman yang tenang. Sejujurnya, itu adalah reaksi yang telah Lune perkirakan.
Sejauh yang Ia tahu, para bangsawan memang senang sekali berbicara berputar-putar. Ungkapan yang terdengar seperti pujian itu, tentu saja membawa pesan tersirat yang menohok lawan bicaranya. Lune menduga, sesuatu yang ingin mereka sampaikan adalah 'Kau sungguh tidak pantas menjadi anggota keluarga kerajaan'. Kurang lebih seperti itu.
"Aku pikir aku memiliki kewajiban moral untuk memberitahumu, Lune, bahwa ketidakpatuhan dan pelanggaran tata krama sangat tidak dihargai di dalam keluarga kerajaan. Termasuk keterlambatan. Aku harap kau bisa mengingatnya," tegur seorang wanita paruh baya yang tampak berwibawa duduk di dekat Sang Raja.
'Rambut hitam ... Apakah dia saudari Sang Raja? Putri Ismorah yang terkenal itu?' batin Lune. "Saya mengerti, Putri."
Dari cara bicaranya yang menegur Lune dengan baik, sepertinya Bibi Leoron yang satu itu adalah satu-satunya orang baik yang peduli dengannya dan Leoron. Tapi ada satu hal yang janggal dalam pemikiran Lune itu, beliau hanya menyebutkan Lune. Barangkali wanita paruh baya yang mulia itu sudah menyerah dalam membimbing Leoron yang terus memberontak dan menambah kepedihan hatinya.
Tiba-tiba suara cempreng dari seorang gadis muda mulai terdengar, "Waktu bersiap kalian cukup lama. Tapi ... hasil dari persiapan yang lama itu, apakah hanya sebatas ini? Arialle merasa sedikit sedih."
"Sepertinya kalian perlu waktu berhias yang lebih banyak. Bukankah para bangsawan sering melakukan itu?" ucap Rhoban, seorang laki-laki muda berambut hitam pendek dengan senyum meremehkan.
Brak!
Suara bantingan meja itu cukup keras untuk membuat semua orang mengalihkan pandangan ke Leoron dengan alis yang mengkerut dan rahang yang mengatup.
"Sikatlah mulut kotor kalian dulu!" teriak Leoron dengan penuh penekanan, hingga tidak ada yang bisa menemukan kelembutan di setiap nada dan ucapannya.
Seorong anak bangsawan seusia Leoron itu membuka suara kecilnya dengan nyali yang menciut, "S-sikat ... apa?"
"Sikap macam apa itu, Leoron?" Bibi Leoron yang duduk di dekat Raja, mengerutkan alis dan mulai mengomentari dengan nada murka.
Mata Raja yang dari tadi Lune perhatikan terlihat tidak tertarik, kini mulai melirik tajam ke arah Leoron. Barangkali suasana hatinya memburuk karena kekacauan di meja makannya.
'Apa yang dia ini mau terkena masalah? Kita bisa dihukum kalau membuat masalah lebih runyam,' batin Lune kalut melihat Leoron.
Saat Leoron menunjukkan taringnya, Lune tahu ia sedang marah. Untuk sejenak, Lune menyesal telah mengeluarkan alasan yang memancing kemarahan Leoron. Bukannya membuat reputasi Leoron menjadi lebih baik, tapi malah membuatnya memburuk.
Di bawah meja yang gelap itu, tangan Lune menarik jari Leoron dengan putus asa berusaha untuk menghentikannya.
'Leoron! Diam! Kumohon.'
Tangan yang Lune pegang itu sedikit tersentak seolah benar-benar terkejut. Tapi akhirnya Leoron bisa berhenti dengan malas. Ia menghapus wajah marahnya dengan tatapan tajam dan senyuman nakal.
"Sekarang. Kenapa tidak membicarakan hal yang menarik? Aku baru saja ingin memberitahukan hal yang sangat penting," Leoron diam sejenak dan memperlebar senyuman anehnya, "Aku sudah memutuskan akan mengikuti acara berburu kerajaan di musim dingin ini. Besok."
Semua orang terlihat tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut mereka. Termasuk Sang Ratu, yang secara terang-terangan mengeluarkan ekspresi yang kompleks.
"A-acara berburu? Bukankah sebelumnya Pangeran tidak pernah tertarik dengan acara –acara kerajaan?" seorang lelaki yang telah berumur itu bertanya dengan tersenyum canggung.
"Entahlah, tiba-tiba aku tertarik, Paman Uradim."
"Tapi Pangeran baru berumur 12 tahun saat ini," tanya Sang Ratu yang berusaha untuk tenang.
"Aku bahkan lebih tinggi dari orang yang lebih tua dariku. Apa itu tidak cukup?"
Semua orang tampak bungkam dan beberapa anak muda lainnya terlihat menahan kemarahannya dengan wajah yang jelas tersinggung. Tiba-tiba Raja mengangguk setuju dengan Ratu dan berdehem kecil.
"Kau belum cukup umur, Leoron. Kau belum dewasa."
Leoron menggeram dengan giginya yang mengatup keras mendengar suara Sang Raja. Ia tak percaya ucapan itu keluar dari mulut Ayahnya.
"Bukankah aku tidak pernah terlihat seperti anak kecil di matamu, Yang Mulia?" ucap Leoron dengan sarkasme dan senyuman yang sinis.
Entah kenapa Lune merasa sedih mendengar kata-kata yang menerobos telinganya. Tapi Ia tidak percaya melihat Raja yang bahkan terlihat tidak bereaksi.
"Apa perlu aku sebutkan? Tidakkah terlihat jelas kalau aku lebih tinggi dari sepupu Garash, Rhoban, dan Ishimud? Oh! Kalian tahu? Pertumbuhan anak-anak utara jaman sekarang sangat pesat, bukan?" ucap Leoron dengan blak-blakan.
Walaupun cahaya lentera semakin redup, tapi cahayanya masih dapat menyinari wajah Garash, Rhoban, dan Ishimud yang terlihat memerah karena malu dan marah. Raja yang melihat suasana semakin tidak kondusif, segera menghentikan Leoron.
"Selain omong kosong tadi. Bukankah ucapanmu juga harus dihentikan?"
"Benar! Raja Musarra Yang Agung! Kami juga sudah menyelesaikan makan malam yang penuh selera ini," Leoron menajamkan matanya menatap mata Sang Raja seolah mencari keinginannya kemudian berkata dengan tenang, "Tapi! Bukankah lebih baik menguji kemampuanku lebih awal?"
Raja diam sejenak seolah berpikir, kemudian menghela napasnya dengan malas dan berkata tanpa minat, "... benar, kau ada benarnya. Coba dan tunjukkan."
Semua orang tampak terkejut seolah tengah mendengar berita yang tak menyenangkan. Sedangkan Ratu memangdang ke depan dengan tatapan suram yang aneh. Lune bergidik melihat pemandangan yang mengerikan di ruangan gelap ini.
"Kalau begitu urusanku di sini selesai," ucap Leoron sambil langsung beranjak.
Kemudian, ketika matanya menyadari Leoron yang telah beranjak keluar, Lune segera membungkuk hormat dan mengikuti Leoron menuju pintu keluar, meninggalkan ruang makan dengan cahaya lentera yang semakin redup.
***