Chereads / Sang Singa dan Cahaya Rembulan / Chapter 9 - Chapter 9 : Singa yang Akhirnya Tertidur

Chapter 9 - Chapter 9 : Singa yang Akhirnya Tertidur

***

"Lune, berhenti menghela napas cemas."

Suara Leoron yang tiba-tiba itu membuat Lune sedikit kaget. Ia kira Leoron sudah tertidur sejak tadi. Sedangkan, dirinya tak bisa terlelap sedikitpun. Apa yang terjadi saat makan malam tadi benar-benar membuat matanya menganga tidak tenang.

'Sebenarnya dari mana dia tahu aku menghela napas? Apa suara napasku seberisik itu?' batin Lune dengan ekspresi curiga.

"Lalu kenapa pula kita masih tidur di tempat yang sama?" tanya Lune sambil memijat pelipisnya yang berkedut.

"Di rumah ini hanya ada satu tempat tidur. Seingatku aku sudah mengatakannya."

"Tapi kau tahu kita tidak mungkin terus begini, kan?"

Leoron menjawab dengan tidak tahu malu, "Memang kenapa? Aku melihat para prajurit tidur bersama di satu ruangan yang sempit. Kita hanya perlu meniru prajurit itu."

'P-prajurit?? Dia pikir kita prajurit?'

Lune menutup matanya, berpura-pura tertidur. Ia tidak ingin mengajak Leoron berdebat untuk menghindari prasangka yang mengatakan bahwa dia gadis manja yang suka merengek. Walaupun Ia mencoba menutup mata, ada sesuatu yang terus mengganjal hatinya.

"Hei, Leoron! Tidakkah yang kau lakukan tadi berbahaya? Kita berdua bisa saja dipenjara karena melakukan penghinaan di depan Yang Mulia Raja. Belum lagi, bagaimana kalau orang-orang menyeramkan itu akan balas dendam? Kita bisa celaka! Celaka!"

Lune berkata dengan nada jengkel. Mau Lune pikir berapa kalipun, perbuatan gegabah dan spontannya itu terlalu menghawatirkan.

Hening. Lune penasaran, alasan apa yang bisa Leoron berikan. Dia benar-benar siap menyanggah apapun alasan Leoron.

"... apa aslinya kau memang galak begini?"

Lune tercengang.

"Apa itu hal yang penting sekarang?" tanya Lune sedikit frustrasi, Ia menghirup napas sekuat tenaga dan segera mengganti nada bicaranya dengan lebih tenang agar Leoron bisa serius, "Yang terjadi tadi, apa kau serius ikut berburu besok?"

"Hm. Begitulah."

Mendengar jawaban Leoron yang keluar dengan santai, Lune seakan terbangun dari ketidaksadarannya. Ia refleks bangun dari tidurnya dan menatap punggung Leoron. Lune tak pernah berpikir Leoron akan menganggap serius sesuatu yang ia ucapkan tadi.

"Tunggu! Itu berbahaya. Aku pernah dengar, seorang penduduk desa mati tercabik-cabik oleh monster di tengah hutan. Kau tidak mungkin serius kan?"

"Tentu saja aku serius. Lagipula aku tidak akan berakhir konyol seperti itu."

Lune tak dapat memikirkan alasan kenapa Leoron bisa sekeras kepala itu untuk ikut berburu. Karena itu dia bertanya dengan suara sedikit menuntut.

"Tapi kenapa?"

" ... hanya ingin," jawab Leoron. Tapi setelah diam sejenak, Ia melanjutkan ucapannya, "Ini pertama kalinya aku menerima tantangan dari orang tua itu. Aku hanya ingin keberadaanku diketahui lebih awal."

Lune melemaskan otot-ototnya yang menegang, seakan mempercayai alasan logis Leoron. Setidaknya keputusan itu tidak diambil karena alasan yang gegabah dan tidak berdasar.

'Dengan mengikuti kompetisi ini, mungkin bisa menjadi langkah pertama Leoron untuk menguatkan posisinya. Apa itu yang dia pikirkan? Apa itu artinya... dia benar-benar memutuskan menjadi raja?' batin Lune yang tengah berpikir. 

Lune kembali membaringkan tubuhnya dan kembali menatap langit-langit, "Dengan membiarkanmu ikut, bukankah itu artinya Raja memihakmu?"

Dari balik punggung Leoron, Lune dapat mendengar kekehan mengejek yang terdengar samar. Kemudian Leoron kembali berbicara seolah bukan apa-apa.

"Dia hanya ingin melihat kemampuanku. Apakah aku pantas dipertahankan, atau harus dibuang seperti keinginan Sang Ratu. Orang tua itu ... hanya berpikir begitu."

"..."

"Pada akhirnya, dia hanya sedang mempertimbangkan akan mempertahankan aku atau Ratu."

Kalimat itu keluar dengan mudah dari mulut Leoron seolah angin lalu yang tidak berharga. Lune hanya diam membisu, tak bisa menjawab. Leoron pun juga tidak melanjutkan percakapan. Sehingga keheningan itu kembali menguasai ruangan.

Lune terus mengamati lentera yang semakin redup. Tampaknya, Leoron baru saja menyalakan perapian dan meletakkan beberapa lentera di ruang tidur mereka. Ketika cahaya lentera semakin redup, mata Lune juga ikut meredup.

'Pada akhirnya, aku selalu sendirian... Leoron yang selalu sendirian.'

***

Leoron kecil yang tengah tertidur mengerjapkan mata kelabunya yang perlahan membuka. Ada sesuatu yang membuatnya terbangun, itu adalah usapan tangan Ibunya, Azure.

"Sssh... tidurlah lagi Leoron. Sekarang masih malam."

Mata Leoron yang masih buram segera menangkap cahaya yang menerobos lubang kecil di jendela kayu yang tertutup. Ibunya berbohong. Karena itu, tangan Leoron malah menggosok mata mengantuknya. 

Ketika Leoron kecil yang mengerutkan keningnya hendak bertanya, suara kasar dari luar terdengar menggelegar. 

"Hei!! Apakah sudah selesai?!!" 

"S-sebentar lagi!" seru Azure yang terlihat panik.

Terdengar beberapa orang yang menggerutu secara terang-terangan. Leoron menyadari suara di luar itu adalah para prajurit. 

"Dengarkan kata Ibu! Hari ini, hanya hari ini saja, Ibu mohon jangan keluar dari kamarmu. Jangan berkeliaran di luar. Kau lanjutkan saja tidur dengan nyenyak. Ya?"

Seperti biasa, Ibunya selalu berbicara dengan suara yang tegas dan jernih. Tapi hanya beberapa detik, Leoron menangkap suara Ibunya yang sedikit bergetar. Sangat aneh. 

 "Leoron. Tetaplah hidup dan jadilah raja yang baik. Kau mengerti?"

Setelah menaikkan selimut, Azure bergegas keluar dari kamar anaknya yang gelap, tidak sekalipun berbalik. 

Kata 'jangan' anehnya terdengar menggelitik telinga Leoron. Jadi alih-alih menuruti ucapan Ibunya, Leoron malah keluar mencari Ibunya. 

"Hei! Apakah eksekusinya sudah dimulai?"

 "Aku dengar akan dimulai sebentar lagi. Aku tak percaya wanita itu akan memiliki akhir tragis seperti ini. Bagaimana mungkin Raja dan Ratu langsung mengeksekusinya hanya karena rumor? Kasihan sekali..."

"Aku sudah menduganya. Hidup seorang pelayan yang menjadi selir tidak selamanya menyenangkan, apalagi wanita itu melahirkan putra sebelum sang ratu melahirkan pewaris."

"Sudahlah, kita sesama pelayan bisa apa."

Suara para pelayan itu merambat masuk telinganya seperti tanaman rambat yang berduri. Ketika suara-suara di sekitarnya memudar, Leoron tak bisa mendengar apapun. Hanya suara detak jantungnya yang berdentum sangat keras memenuhi telinganya. Deg Deg! 

Di kerumuan yang sangat riuh, Leoron tak bisa mendengar apapun. Ia hanya melihat seorang wanita muda yang familiar berdiri di depan alat eksekusi, tengah memasang wajah datar yang berwibawa untuk menyembunyikan kakinya yang gemetar. 

Daun-daun yang berwarna coklat itu berguguran terbawa angin mengantarkan pandangan Leoron menuju dunia yang diselimuti kegelapan. 

Ujung jari Leoron yang terus bergetar mencoba meraih dadanya yang kehabisan napas setelah bunyi alat eksekusi berhasil memenggal leher korbannya. Krakk!

***

Leoron terbangun dengan napas tidak teratur dan keringat dingin yang membasahi dahinya. Ia duduk dengan wajah frustrasi sambil menutupi wajahnya dan meremas rambutnya.

'Mimpi sialan ini lagi,' batin Leoron ditengah erangannya.

Leoron yakin ia baru tidur beberapa saat, tapi seperti biasanya, mimpi itu selalu datang seolah tidak pernah membiarkannya tidur lebih lama.

Ketika Ia yakin tidak akan bisa tidur lagi, Leoron keluar dari tempat tidur dengan perlahan, Ia tak berniat membuat Lune terbangun bahkan sebelum tengah malam. Kemudian, Leoron pergi meninggalkan ruangan yang redup ini seperti yang Ia lakukan setiap hari.

Udara dingin itu mengalir pelan melewati jendela kayu yang terbuka. Lune sedikit mengernyit ketika bahunya tersapu hawa dingin yang membuatnya merinding. Dengan malas, Lune mengangkat kepalanya dan bangun dari tidurnya.

Ketika menyadari jendela kayu itu terbuka, Lune menghela napas malas sambil mengucek matanya. Hal pertama yang ia temukan adalah, Leoron tidak tidur di sebelahnya.

'Kemana dia pergi saat larut malam begini?'

Lune menggelengkan kepalanya dan segera berjalan menuju jendela untuk menutupnya. Namun, sebelum jendela itu tertutup sepenuhnya, bunyi kilatan pedang yang runcing masuk ke telinganya.

Mata hijau Lune mendongak ke bawah, tepatnya di halaman Istana Pangeran tempat bunyi pedang itu berasal. Sebuah kerutan kebingungan tergambar di dahi Lune saat Ia melihat Leoron yang menebaskan pedang ke arah boneka jerami yang hampir hancur.

Lune buru-buru mengambil lentera dan berlari ke luar. Langkahnya memelan ketika Ia menuruni tangga di tengah kegelapan. Istana ini tampak lebih menyeramkan saat malam tiba. Tapi entah kenapa, Lune merasa sedikit terbiasa.

Ketika Lune membuka pintu utama dengan suara deritan yang aneh, matanya bertemu dengan mata Leoron. Lune mengencangkan selimut tipis yang melingkari tubuhnya dan berjalan mendekati Leoron.

"Apa yang kau lakukan? Udara malam di luar sedang dingin sekali."

"Bermain pedang," jawaban acuh tak acuh Leoron membuat Lune kehabisan kata-kata. Keras kepala.

"..."

"Kau sendiri kenapa malah keluar?"

"Menunggumu bermain pedang."

Leoron mengambil tangan Lune dan berjalan menuju sebuah batang kayu untuk duduk. Dengan udara malam yang sedingin ini, sulit dipercaya bahwa wajah Leoron dipenuhi keringat. Keringat itu pasti membuatnya lebih kedinginan. Lune merasa sedikit menyesal tidak membawa air untuk diminum.

"Ide yang sangat bagus untuk berlatih pedang di tengah malam pada musim dingin," sarkas Lune, mencoba menahan kata-kata celaan yang menggelitiki bibirnya.

Jauh di luar dugaan Lune, udara di malam hari ternyata lebih dingin dari yang Ia pikirkan. Mata Lune mengedarkan pandangannya dan mengamati sekitar sambil mengeratkan selimutnya. Hingga tanpa Ia sadari sepasang mata menatapnya dengan geli.

"Kau sedang menyindirku?"

"Berhenti menertawakanku. Lihatlah keringat-keringat itu, sebaiknya kau segera mengusapnya sebelum suhu tubuhmu menurun," ucap Lune sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Walaupun jari-jarinya memerah kedinginan, tapi setidaknya telapak tangannya menjadi bagian tubuhnya yang hangat.

"Kau kelihatan kedinginan. Bukankah kau orang utara? Bagaimana bisa kau tidak tahan dengan musim dingin seperti ini?" kekeh Leoron melihat hidung Lune yang memerah.

"Walaupun aku orang utara yang lebih kebal dengan musim dingin, tapi aku bukan batu. Tentu saja aku termasuk manusia yang meringkuk di sekitar perapian dan minum coklat panas bersama-sama saat musim dingin berlangsung."

"Bersama-sama?"

"Ah, penduduk desa memang sering berkumpul bersama di dekat perapian saat musim dingin. Semakin banyak orang maka akan semakin hangat. Tentu saja, karena perapian di rumah kami tidak sebesar dan sehangat perapian di istana ini. Karena itu, kami sering berkumpul bersama."

"..." Leoron hanya diam sambil mengelap keringatnya.

"Kemarilah." Lune membuka lengannya, menawarkan untuk berbagi selimut dari bulu rubah yang hangat.

"Kenapa?" tanya Leoron.

"Kau tidak mau selimut?"

Helaan napas yang nyaris tidak terdengar itu dapat dilihat dari kepulan udara dingin yang keluar dari mulut Leoron, "Kenapa pula kau harus melakukan ini?"

Meskipun kata-katanya tidak menunjukkan ketertarikan pada selimut yang hangat dan lembut, tapi Leoron pada akhirnya bangkit dan duduk di dekat Lune – menyelimuti dirinya dengan sesuatu yang tidak pernah Ia kenakan.

"Entahlah, mungkin inilah yang dilakukan teman."

'Mempunyai teman, tidak buruk juga,' pikir Leoron.

Mata Leoron beralih melihat Lune di sampingnya dengan penasaran, "Aku tidak tahu kau punya banyak teman di desa."

"Aku tidak bisa menyebut mereka teman. Para wanita muda itu adalah teman Phellea. Tentu saja, aku juga sering bersama mereka. Hanya saja, mereka selalu memperlakukanku seperti seorang anak, bukan teman."

"Phellea?"

"Ah... Dia ... ibuku. Sebenarnya – maksudku – dia bukan Ibu kandungku, tapi dia yang menemukanku saat bayi di ladang gandum, katanya hanya aku dengan surat kelahiranku di dalam sebuah keranjang..." Lune berhenti sejenak, mempertanyakan pada dirinya sendiri, haruskah aku mengatakan sejauh ini? Tapi kemudian dia segera mengalihkan topik, "Dia tidak pernah mau dipanggil Ibu, katanya itu membuatnya merasa tua. Maksudnya selisih usia kami hanya 18 tahun, tapi bagiku dia sudah seperti Ibuku. Lagipula selama ini aku tak punya siapapun selain dia..."

 "Apa dia juga tidak selamat?"

"... iya."

"Kenapa kau bisa selamat? Bahkan peramu bilang tidak ada ramuan untuk menyembuhkan wabah itu."

Bahu Lune tersentak pelan. Walaupun sangat pelan, tapi itu cukup membuat Leoron merasakannya.

"... aku juga tidak tahu. Orang bilang aku tidak terkena wabah, tapi sebenarnya aku juga pernah merasa kesakitan seperti para penduduk yang lain," Lune diam sejenak ketika mata hijaunya mulai berair, "Sepertinya aku selamat karena Phellea..."

"Kenapa?"

"Sejak kami terkena wabah, dia mulai mencari sesuatu seperti orang gila. Dia mencari sebuah botol kecil berisi setetes cairan kuning yang aneh. Saat dia memberikannya padaku, anehnya aku tak lagi merasa kesakitan. Dasar Phellea, jika itu bisa menyembuhkan kenapa dia tidak meminumnya sendiri..."

"..."

Mata berair Lune berkedip lebih cepat untuk mengusir air mata yang menggenang sambil sesekali mengeluh pelan, "Aduh. Kenapa pula aku harus menangis, mataku jadi dingin."

"... Berhentilah menangis. Sepertinya Ibumu memberikan Air Mata Bulan padamu."

"Air Mata Bulan?" tanya Lune penuh minat.

"Itu adalah cairan yang menyembuhkan semua penyakit. Aku tidak tahu bagaimana Ibumu memilikinya. Tapi cairan itu milik para troll. Sangat sulit untuk mendapatkannya."

"Bagaimana kau tahu?"

Leoron mendengus, "Para bangsawan di istana sering membunuh prajuritnya dengan mengirim mereka ke lembah troll hanya untuk setetes cairan kuning itu."

"Oh... " jawab Lune sekenanya.

'Bagaimana Phellea mendapatkannya?'

Lune mulai berpikir tapi tubuhnya yang kedinginan membuatnya terasa berat sehingga Ia buru-buru mengosongkan otaknya.

Ia memandangi Leoron yang tengah mendongak menatap sesuatu. Membuat Lune mengikuti pandangannya. Sebuah cahaya kuning keemasan yang bersinar bulat dan besar di atas langit, Bulan.

"Wah! Ternyata bulan bersinar sangat terang dan besar di musim dingin."

"Tentu saja. Hari ini pertama kalinya bulan purnama muncul setelah salju turun untuk waktu yang lama. Kau tidak pernah melihat bulan?"

"Aku bilang aku selalu meringkuk di dekat perapian di malam musim dingin."

"..."

"..."

Setelah keduanya berhenti bicara untuk beberapa saat, Leoron berceletuk, "Setelah dilihat-lihat, ternyata warna rambutmu sangat mirip dengan cahaya bulan."

Lune mengangguk dan menimpali, "Semua orang bilang begitu. Bahkan Phellea juga menamaiku karena alasan itu."

Langit yang hitam polos itu tidak lagi segelap seperti beberapa hari yang lalu, saat badai salju turun di bawah awan yang menutupi langit yang gelap. Barangkali langit sudah lelah menurunkan salju dan memanggil cahaya bulan untuk menerangi langit malam.

Kedua anak itu saling mendongakkan kepala, memandang bulan dalam keheningan untuk beberapa saat.

"Kau ingin mengunjungi desa itu?" tanya Leoron tiba-tiba.

Kepala Lune menoleh dengan cepat, mencari tahu apakah perkataan yang Ia dengar itu serius atau tidak, "Benarkah? Apakah bisa?"

"Yah. Secara teknis bisa, kita hanya perlu mengambil kereta kuda dan berangkat, kapan-kapan. Kalau kau mau."

Kepala boneka kayu itu bergoyang pelan ditiup oleh angin malam yang dingin, menandakan bahwa sekarang sudah terlalu larut malam. Leoron hanya diam, masih memakukan pandangannya di atas langit. Sedangkan, Lune menyedot ingusnya, merasakan kedinginan pada akhirnya.

'Terima kasih sekalipun hanya basa-basi.'

"... terima kasih," cicit Lune dengan pelan dan setengah kedinginan.

Setelah menghela napas yang panjang, Leoron berkata, "Masuklah dan tidur."

"Kau sendiri tidak tidur?"

Leoron memalingkan wajahnya hingga Lune tak dapat melihatnya, "... dari dulu aku memang sulit tidur karena satu dan lain hal, salah satunya adalah mimpi buruk."

Lune cukup terkejut dengan jawaban Leoron. Ia tahu pasti sulit bagi Leoron untuk menceritakan kelemahannya pada orang lain. Karena itu, Lune diam sejenak dan menyembunyikan keterkejutannya.

 "Mimpi ... apa?"

"..." Leoron hanya diam dengan wajah yang menggelap.

"T-tidak perlu diceritakan," ucap Lune sedikit panik. Ia tak ingin membuat Leoron merasa tidak nyaman. Sehingga Lune mencoba mengalihkan pembicaraan mereka, "Sekarang, bisakah kau coba untuk tidur?"

"Aku belum kelelahan."

Lune melongo. 'Apa artinya keringat-keringat tadi?' Sulit dipercaya bahwa dia tidak lelah setelah berkeringat sebanyak itu.

"Cobalah. Aku akan menunggumu sampai kau tertidur."

Leoron terdiam sejenak menatap Lune yang tampak yakin. Sampai akhirnya Ia mengangguk dengan ragu.

Dan di sinilah mereka sekarang. Kembali berbaring di tempat tidur yang hangat dan sunyi. Leoron menatap Lune yang tengah memandang langit-langit, sesekali melirik ke arah Leoron untuk memastikan apakah Ia sudah terlelap atau belum. Ujung bibir Leoron terangkat dengan samar. Sepertinya Lune terlihat serius ingin terjaga semalaman hanya untuk menunggunya tertidur. Mata Leoron perlahan menutup dan berusaha untuk terlelap.

Setelah Leoron tertidur, Lune menghela napas leganya dan bersiap untuk tidur. Namun, tepat saat Lune akan menutup mata, suara rintihan Leoron yang penuh ketakutan membuat Lune berbalik menatapnya.

Ini pertama kalinya Lune melihat wajah Leoron yang terlihat ketakutan dan kesakitan. Sekali lagi, hati Lune serasa tenggelam hingga ke dasar lautan. Entah kenapa anak laki-laki ini terkadang membuat Lune merasa kasihan.

Tangan Lune dengan cepat menggenggam tangan Leoron yang gemetaran. Seperti bayi polos yang sedang mencari genggaman, Leoron dengan cepat meraih tangan Lune lebih dekat dan menggenggamnya lebih erat.

Dengan cepat, wajah Leoron kembali tenang dan tangannya tidak lagi gemetaran. Lune menghela napas leganya dan mulai menutup matanya. Dalam hatinya, Lune berharap malam ini Leoron benar-benar mendapatkan tidur yang nyenyak hingga cahaya matahari datang

***