***
Suara cicitan burung-burung yang bertengger di ranting pohon itu seolah menyapa pagi yang akhirnya datang kembali. Telinga sensitif Leoron segera terganggu dengan suara nyaring yang mengganggu tidurnya.
Bulu mata hitam yang tebal itu berkedip berkali-kali. Hingga akhirnya mata abu-abunya membuka secara sempurna. Ia diam sejenak dan membatu seperti bongkahan es seolah tidak percaya.
'Aku bangun di pagi hari? Aku?' batin Leoron dengan tidak yakin.
'Sial. Jika prajurit-prajurit konyol itu tahu aku sedang tidur tanpa kewaspadaan seperti ini, mereka pasti langsung kemari tanpa berkedip.'
Bagi Leoron, sulit dipercaya kalau dirinya tidur selama dan senyenyak itu. Ia bahkan lupa kapan terakhir kalinya Ia tidur sampai pagi. Tapi tubuhnya yang terasa ringan dan segar ini dengan cepat mematahkan ketidakyakinannya.
'Benar-benar berbahaya. Jika kewaspadaanku menurun seperti ini, mereka akan dengan mudah mencelakaiku dan ...-'
Ketika tangannya merasakan kehangatan yang asing, Leoron melihat tangannya sedang menggenggam tangan Lune. Leoron refleks mengeratkan pegangannya untuk merasakan lebih banyak kehangatan, hingga tanpa sadar telah membangunkan Lune.
"Apa kau tidur nyenyak semalam?" tanya Lune sambil menggosok matanya.
"..." Leoron yang tidak dapat menyangkal bahwa Ia tidur nyenyak untuk pertama kalinya setelah sekian lama, terus melihat tangan Lune dan hanya berkata dengan terus terang, "Tanganmu hangat."
Lune cukup terkejut mendengar jawaban Leoron yang blak-blakan mengungkap pikirannya. Jadi, Lune yang kebingungan membalas ucapan Leoron sekenanya, "Oh? Karena perapian, mungkin??"
"Aku akan bersiap untuk acara berburu," ucap Leoron yang tiba-tiba bangkit dari tidurnya.
Lune terperanjat dan bangun dari tidurnya. Ia hampir lupa tentang hari ini. Namun, tiba-tiba Lune terdiam sejenak.
"Apa aku bisa ikut?"
"Tapi itu sama sekali bukan acara yang menarik. Kau akan bosan menunggu di luar Hutan Selvic."
"Itu tidak masalah. Karena aku ingin melihat acara berburu untuk pertama kali."
Lune berusaha mencari alasan yang masuk akal. Walaupun alasan sebenarnya adalah karena Ia tidak akan tenang memikirkan keselamatan Leoron. Saat Leoron dalam bahaya sekalipun, Ia merasa tidak akan ada yang membantu Leoron.
"Kalau begitu ayo berangkat," ucap Leoron.
Hari-hari yang penuh hujan salju akhirnya berakhir. Cahaya hangat matahari mulai menghujani dataran putih ini lagi setelah guyuran salju yang kelam beberapa hari yang lalu. Benar-benar sebuah berkah yang membuat musim dingin menjadi lebih mudah untuk dihadapi.
Semua orang berharap agar waktu-waktu yang terang menjadi lebih lama setiap harinya. Begitupun Lune, yang diam-diam menghela napas lega, merasakan hatinya penuh kembali karena dapat merasakan cahaya matahari setelah sekian lama.
Lune turun dari kereta kuda yang lusuh untuk mengikuti Leoron. Ketika melihat sekitarnya, mata hijaunya melebar dengan takjub.
Di luar Hutan Selvic yang rimbun, terhampar tanah lapang luas yang dipenuhi banyak tenda dan kerumunan orang-orang dengan jubah berbulu tebalnya. Meskipun di tengah musim dingin ini, semua anggota kerajaan, para bangsawan, maupun rakyat biasa tetap berkumpul dengan meriah dan antusias.
"Lune, lewat sini," Leoron menarik tangan Lune menjauhi barisan keluarganya kemudian menyelinap di antara kerumunan rakyat biasa.
"Bukankah kau ingin keberadaanmu diketahui rakyat? Kau harus memperkenalkan wajahmu. Kau tahu, kan? Rakyat sama sekali tak mengetahui wajah Pangeran mereka."
"Nanti. Aku akan tampil di depan banyak orang saat aku punya sesuatu yang layak untuk ditampilkan," ucap Leoron dengan lamunan yang dalam.
Lune yang mencoba berpikir keras hanya memperkirakan satu hal, membuatnya manggut-manggut maklum dengan polos, 'Tentu saja. Mana mungkin dia berdiri di depan banyak orang sambil menunjukkan bahwa ia telah menikahi rakyat biasa?'
Sedangkan, manusia yang tenggelam dalam lamunannya, memiliki diskusi tidak tertebak di kepalanya.
'Kemunculan pertama tentu saja harus menimbulkan kesan yang dalam dengan menarik perhatian rakyat. Walaupun wajah dan penampilanku sudah cukup, tapi aksi lebih kuat daripada hanya berdiri seperti patung,' pikir Leoron.
Suara terompet yang nyaring berbunyi sekali tiupan, menandakan kedatangan Sang Raja dan bangsawan kerajaan. Entah mengapa Lune dapat merasakan hawa-hawa berburu akan dimulai sebentar lagi.
Beberapa rakyat biasa dan para bangsawan yang akan berburu segera mengambil pedangnya dan berkumpul di depan. Pada saat yang sama, Leoron melilitkan kain hitan di tangannya dan memandang Lune.
"Aku pergi."
Lune mengangguk memberi keyakinan, walaupun dirinya sendiri tidak terlalu yakin. Matanya hanya bisa menatap punggung Leoron yang semakin menjauh.
Hingga akhirnya suara perempuan-perempuan muda di sampingnya membuat fokusnya teralihkan.
"Apa kau sudah memberikan gelang keselamatan untuk suamimu?"
"Tentu saja. Aku merajutnya sepanjang malam. Lihat itu," Seorang perempuan muda bertubuh gempal menanggapi pertanyaan itu dengan antusias hingga kepulan uap dingin keluar dari mulutnya dengan cepat. Ia dengan bangga menunjuk ke arah suaminya menggunakan tangan kanannya yang dililit sapu tangan dengan bulu rubah putih yang mahal.
Mata gadis-gadis desa itu menunjuk ke arah seorang lelaki berambut cokelat yang sedang memegang pedangnya. Siapa pun akan langsung melihat gelang rajutan yang sangat mencolok di tangannya.
"Kenapa kau merajutnya dengan berlebihan? Itu seperti gelang perempuan," ucap temannya dengan jujur, secara terbuka menampilkan keprihatinan untuk Sang suami.
"Apa kau bilang? Aku membuatnya besar supaya tidak mudah rusak, tahu!"
Pertengkaran dua wanita muda itu mulai membuat musim dingin menjadi agak lebih panas dan berisik. Seorang wanita yang keibuan mengeratkan mantelnya dan menyela dengan bijak, "Tenanglah kalian. Tidak ada yang lebih penting daripada kenyataan bahwa suami-suami kita bisa selamat dan membawa batu mana dari monster serigala."
"Benar, Nyonya. Aku dengar batu mana monster serigala menjadi batu mana paling berharga sejauh ini."
"Itu benar. Tapi orang bilang sangat sulit mengalahkan monster jenis itu, orang-orang bisa saja mati karena mereka."
"Yah, aku harap kali ini kakakku bisa mengalahkan setidaknya satu monster serigala saja."
Cuitan wanita-wanita muda itu mengalir layaknya gemerisik air yang mengalir di sungai. Mereka membicarakan monster atau memamerkan segala macam etek-bengek yang mahal di tubuh mereka. Lune merasa bahwa penduduk di Ibukota cenderung memiliki gaya hidup yang boros.
Setelah para peserta pergi berburu, semua orang yang menunggu terdengar asyik mengobrol di bawah tenda sambil menikmati api unggun yang hangat. Tempat yang luas itu dalam sekejap menjadi riuh dan menjadi tempat bersosialisasi.
Wanita-wanita itu terus bersahutan dengan intens. Lune melangkahkan kakinya dan menghindari kerumunan itu. Mendengar obrolan tentang monster, hanya akan membuat Lune mual dan ketakutan.
Tempat tersembunyi memang yang paling nyaman untuk menunggu Leoron selesai berburu. Lune berjalan menuju semak-semak yang rimbun sambil merenungkan sesuatu.
'Gelang keselamatan?' batin Lune penasaran.
'Bagaimana bisa aku tidak memberikan apapun?'
Sambil bersandar di pohon, Lune meniup-niup telapak tangannya. Semua orang terdengar asyik mengobrol di bawah tenda sambil menikmati api unggun yang hangat. Tapi tidak mungkin bagi Lune untuk menampakkan diri. 'Setidaknya ini bukan waktu yang tepat,' pikirnya.
Ketika langit mulai meredup, satu per satu para peserta mulai kembali dengan wajah lelah dan kotor. Di meja pengumpulan, lelaki-lelaki itu saling memamerkan batu mana yang mereka dapat dengan cerita yang terdengar melebih-lebihkan.
Lune mulai cemas. Ketika kecemasan itu membelenggunya, suara berisik di semak-semak itu sedikit mengganggu telinganya.
"Apa kau sudah selesaikan pekerjaanmu?"
Suara yang berat itu terdengar familiar di telinga Lune. 'Ah!' Lune mulai mengingatnya, suara laki-laki paruh baya yang Leoron panggil Paman Uradim. Mungkin mereka tidak menyadari kehadiran Lune di balik semak-semak yang lain.
Menguping adalah perbuatan yang tidak sopan. Lune sedikit merasa bersalah dan bersiap bangkit dari duduknya. Hingga akhirnya suara lelaki pesuruh itu membuatnya membeku.
"Saya sudah taburkan ramuan ke beberapa monster serigala, Tuan. Monster itu pasti sudah menggila di depan Pangeran," ucap sang pesuruh itu dengan bangga.
Satu-satunya Pangeran di kerajaan ini. Hanya Leoron. Wajah Lune mulai memucat.
"Apa kau sudah pastikan monster itu telah menghabisi Leoron?" bisik Tuan Uradim dengan waspada.
"E-eh ... S-saya segera pergi sebelum monster itu menyadari kehadiran saya, Tuan," ucap laki-laki itu dengan gugup, namun wajahnya berubah menjadi percaya diri dan berkata, "Tapi tidak perlu khawatir, Tuan. Monster serigala biasa saja sulit dikalahkan orang dewasa. Bukankah tidak mungkin anak kecil itu bisa mengalahkan monster yang menggila, Tuan?"
Tuan Uradim memijat keningnya dengan frustrasi dan menghela napas seolah untuk melegakan perasaannya, "Tentu saja ..."
Lune segera beranjak, mengenakan tudung jubahnya kemudian menyelinap di antara semak belukar untuk memasuki Hutan Selvic yang lebih dalam.
Hutan yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan besar ini terlihat menyeramkan bagi Lune. Tapi bayangan Leoron yang terbaring penuh darah, membuat Lune hilang arah. Setelah kehilangan Phellea, Ibunya, hanya Leoron yang tersisa. Teman pertamanya.
"Pangeran!" teriak Lune sambil mempercepat larinya.
Lune berkali-kali berteriak tapi tidak ada jawaban seolah tak berpenghuni. Sepertinya para pemburu itu sangat berambisius hingga menghabiskan monster di bagian luar hutan.
"Yang Mulia-"
Tiba-tiba sebuah tangan menarik lengan Lune menuju balik pohon. Sebelum sempat berteriak, Lune terkejut melihat orang di depannya. Orang itu adalah Leoron.
"Sebenarnya sampai kapan kau akan memanggilku dengan panggilan itu?" tanya Leoron dengan wajah sedikit kesal. "Lagipula kenapa kau bisa ada di sini?! Apa kau gila?!"
Lune sama sekali tidak mendengarkan ucapan Leoron ketika matanya menatap penampilan orang di depannya. Wajahnya terlihat kotor dengan debu dan cipratan darah. Napas terengah-engahnya seakan mengatakan bahwa anak ini sangat kelelahan. Tiba-tiba tangan Lune tersentak ketika melihat banyak sekali darah di lengah Leoron yang terluka. Itu bukanlah luka kecil.
"Lenganmu!" Lune menarik tangan Leoron dan berbalik ke belakang, "Kita harus cari bantu- ... Aarggh!"
Lune berteriak ketakutan ketika matanya mendarat pada pemandangan di depannya. Dua mayat monster serigala terkapar tidak berdaya dengan tubuh yang berlumuran darah di tanah bersalju. Monster yang lebih besar dari tubuh Lune itu terlihat sangat kekar dan berbulu.
Tidak seperti hewan biasa, monster memiliki tubuh yang berkali-kali lipat lebih besar dengan tampilan yang menyeramkan. Sama sekali bukan pemandangan yang enak dilihat.
"Itu monster serigala yang sangat aneh. Kekuatannya benar-benar tidak terduga. Harus aku akui mereka lawan yang cukup menyenangkan," kekeh Leoron dengan santai.
Lune mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang Ia dengar. Ia tidak habis pikir apa yang ada di pikiran Leoron. Itu bukanlah ucapan orang yang hampir mati terbunuh karena monster.
"Sekarang, bagaimana kau bisa bilang begitu-!" Lune yang menyadari suaranya sedikit meninggi, mulai menenangkan dirinya. "M-maksudku, lukamu harus di obati..."
'Bodoh! Ada orang yang berniat membunuhmu! Kau hampir mati!' batin Lune frustrasi bercampur khawatir.
Leoron yang menatap Lune dengan terkejut segera menjawab seadanya, "... benar. Aku baru saja ingin membersihkannya. Bisa gawat jika monster mencium darah di sini. Kemari."
Leoron menarik tangan Lune menuruni tanah yang menanjak dan bersembunyi di rongga yang terbentuk karena akar-akar pohon.
Saat Leoron menyingkap lengan bajunya dan mengelap darah di sekitarnya, tampak sebuah goresan cakar yang sepanjang dua telunjuk. Lune merasa bersalah karena tidak membawa apapun untuk mengobati. Ketidakberdayaan ini membuat Lune putus asa.
Lune akhirnya menyobek ujung kain jubah hitamnya. Kemudian, perlahan menarik lengan Leoron yang sudah dibersihkan.
"Aku tak membawa obat tapi biar aku tutup lukamu."
Leoron hanya menurut dan menyandarkan punggungnya dengan santai, sembari melihat sekitar.
"Untungnya luka ini tak terlalu dalam. Benar-benar monster yang merepotkan."
"... bagaimana kau bisa membunuh monster-monster itu?" Lune bertanya dengan was-was. Itu adalah rasa penasaran yang tak terbendung. Walaupun tubuh Leoron tidak bisa dikatakan lemah, tapi seorang anak kecil yang membunuh monster serigala yang menggila benar-benar tidak bisa dipercaya. Suruhan paman Uradim juga mengatakan bahwa membunuh monster serigala biasa saja tidaklah mudah, apalagi monster yang menggila.
"Tentu saja dengan ketrampilan pedangku. Awalnya begitu, tapi dua monster itu benar-benar agak aneh, jadi..." Leoron diam agak lama.
"Apa? " tanya Lune menyelidik dengan tidak sabar. 'Jadi aku terluka? Jadi aku nyaris mati? Jadi – apa?'
"Intinya, aku terluka karena dua monster aneh ini."
"Tentu saja...," Lune menghela napas lemah, melepaskan kecurigaannya terhadap Leoron. Biar bagaimanapun, yang terpenting adalah dia selamat. Apalagi setelah dijebak oleh seseorang, "Dua monster itu adalah monster yang menggila karena seseorang menaburinya ramuan."
"Sudah aku duga, mereka agak lain dengan monster biasa. Bagaimana kau tahu?"
"Aku tak sengaja menjumpai – kurang lebih menguping – sebuah pertemuan rahasia antara Paman Uradim dan pesuruhnya. Mereka... berniat membunuhmu."
"Oh, tentu saja. Harusnya aku tahu,"
'Oh? Tentu saja? Jangan menerimanya seolah itu pantas didengar...' Tanggapan yang terdengar terbiasa itu membuat Lune ingin marah. Entah kepada siapa dan mengapa.
"Kau tahu? Aku pikir kau sedang menangis kesakitan karena terjebak dengan dua monster ini," jujur Lune kesal.
"Pfft! Hahahaa! Aku? Menangis? Astaga!" Leoron tertawa terpingkal-pingkal, "Kau harus memberitahukan spekulasimu itu kepada Garash dan Isimud! Saking terkejutnya memilih menangis! Pfft!"
"Wah, Leoron, menyebalkan sekali kau!" kata Lune galak. "Sebenarnya di mana lucunya perkataanku? Aku semata-mata mengetahui keberadaanmu dalam bahaya secara tidak sengaja. Malahan, aku memiliki spekulasi yang lebih buruk yang tidak ingin aku ucapkan. Lagipula, siapa itu Garash dan Isimud? Yang pasti aku tak pernah memiliki urusan dengan mereka."
"Mereka dua prajurit yang kau temui saat pertama kali kita bertemu. Kau ingat? Tomat yang suka menggerutu dan Belalang berkantung mata?"
Renungan sejenak itu mengantarkan Lune pada ingatan-ingatannya ketika pertama kali tiba di Istana Thylon. 'Ah! Saat Leoron diikat?'
"Jangan menggodaku. Untuk apa pula aku memberitahu mereka."
"Mau kau katakan berapa kali pun, mereka tak akan percaya. Bahkan saat mereka hampir membunuhku pun aku tidak menangis."
'Kenapa orang ini selalu dikelilingi bahaya?' pikir Lune, mencoba mencari sesuatu untuk disalahkan. Walaupun akhirnya Ia tak menemukan jawabannya.
Lune menatap Leoron sejenak lalu dengan cepat beranjak dari duduknya, "Langit hampir menggelap. Ayo kembali."
Leoron melompat dari tempat duduknya dan mendahului Lune dengan langkah yang panjang. Walaupun dengan luka yang baru ditutup kain, Leoron merenggangkan badannya dengan kasar. Melihat itu, orang yang berjalan di belakanngnya hanya menggelengkan kepala sembari menghela napas.
Setelah keduanya diam cukup lama, Leoron yang berjalan di depan Lune mengatakan sesuatu tanpa melihat ke belakang.
"Aku tak mengerti kenapa kau kesal, Lune. Tapi sejak tadi aku juga merasa kesal karena kau dengan santainya masuk hutan yang berbahaya sendirian."
"... alasanku kesal sama sepertimu, barangkali."
Angin musim dingin mulai bertiup membelah kesunyian. Membiarkan keduanya menikmati dedaunan yang bergoyang sembari beradu dengan pikirannya masing-masing.
Ketika mereka melewati pepohonan yang semakin pendek, suara gemuruh orang-orang terdengar riuh seolah memecah keheningan di tanah lapang yang luas.
Kerumunan orang-orang itu terlihat sesekali mengeratkan mantel berbulu hewan mereka ketika udara senja bertiup semakin dingin. Namun, suara antusias mereka tetap bergemuruh di depan sebuah meja kayu yang panjang. Suara penuh rasa takjub itu semakin meninggi ketika bongkahan-bongkahan batu mana itu ditunjukkan di depan mereka.
Leoron dan Lune berjalan menembus kerumunan yang menyesakkan.
"Sepertinya orang-orang itu sedang mengumpulkan hasil temuan mereka," ucap Leoron.
Orang-orang yang berdesakan itu terus berceloteh dengan riuh ketika melihat batu mana monster serigala yang ditampilkan oleh seorang prajurit kerajaan yang terlihat memamerkan ototnya dengan bangga.
"Bukan main! Dua batu merah besar itu dari monster serigala?!" teriak para kerumunan.
"Lihat senyum congkak prajurit itu. Dia pasti kegirangan karena berpikir akan diangkat jadi ksatria. Haha,"
Ketika mendengar celoteh suara orang-orang menggelegar keras, mata Lune yang penasaran mulai membelak takjub saat melihat bongkahan batu mana yang ditampilkan.
'Ah, bongkahan batu merah segenggam tangan itu batu mana dari monster serigala ... Pasti tidak mudah bagi Leoron untuk membunuh dua monster serigala tadi,' pikir Lune.
"Walaupun musim dingin kali ini tidak menang, kau pasti bisa menang di musim dingin tahun depan. Tentu saja dua batu mana monster serigala itu hal yang hebat, tapi orang itu dapat dua ditambah batu mana monster beruang, wah ..." ucap Lune sambil terpana melihat bongkahan batu mana serigala di depan.
Pandangannya teralihkan saat telinganya mendengar tawa kecil Leoron.
"Tahun ini pun aku tidak berniat kalah," kekeh Leoron sambil berjalan menuju meja panjang di depan.
Saat Lune yang merasa sedikit kebingungan ingin bertanya apa maksud ucapannya, Leoron sudah berlalu ditelan kerumunan di depannya.
Tiba-tiba kerumunan mengeluarkan suara riuh yang penuh dengan rasa takjub dan terkejut. Lune yang penasaran mencoba mencari celah untuk melihat tapi gerombolan orang yang tiba-tiba berdesakan di depannya terlalu antusias dan tidak memberinya ruang untuk melihat.
"Wah! Tidak bisa dipercaya!"
"Apa aku tidak salah lihat?"
"Dia mengeluarkan lima batu mana dari monster serigala?!"
Rasa penasaran Lune yang memuncak membuat kesabarannya berkurang. Ia segera berlari ke ujung untuk melihat dari tepi kerumunan. Ketika matanya melihat Leoron yang menampilkan lima batu mana itu, Lune menutup mulutnya karena terkejut.
'Ah! Apa sebelum aku datang – sebelum dua serigala gila itu datang... – Leoron sudah berburu tiga monster serigala?!' pikir Lune dengan mata terpana saat melihat delapan bongkahan batu merah itu.
Secara singkat, acara perburuan menjadi sangat riuh oleh teriakan histeris para gadis muda dan sorakan takjub para pemuda. Itu semua karena kehadiran Leoron yang mengejutkan semua rakyat.
Kehadiran seorang putra mahkota yang tidak pernah terlihat, tiba-tiba muncul dan memenangkan acara perburuan dengan hasil yang membuat semua orang terperangah. Sorakan untuk pangeran itu sangat keras seolah-olah mulut mereka telah lupa dengan rumor-rumor aneh yang mereka konsumsi tentang Leoron.
Di antara obor-obor yang menyala, Leoron menangkap wajah Lune yang tersenyum bangga, menampilkan jempol saat menyadari Leoron menatapnya dengan wajah sumringah. Itu adalah permulaan petualangan panjang yang tidak disangka-sangka. Bagaimana perasaanmu?
***