***
Lune berkali-kali menghela napas berat karena rasa bosan yang menenggelamkannya. Ia meletakkan kepalanya di atas tangan yang ia lipat di tepi jendela kamarnya. Udara yang berhembus tak lagi sedingin seperti hari-hari yang lalu. Mungkin karena salju tak lagi turun dengan derasnya dan cahaya matahari yang hangat mulai menembus kabut-kabut putih. Mata sayu Lune melihat keluar dan mulai mengingat kejadian dua hari yang lalu.
Saat itu, setelah ia kembali ke istana permaisuri, Lune langsung menerima ceramah dari seorang pelayan setengah baya agar tidak berkeliaran, apa lagi sampai tersesat di bangunan paling belakang. Sedangkan, pelayan lain menatapnya dengan dingin dan tidak peduli. Karena ceramah yang panjang dan keras itu, sampai sekarang Lune bahkan tidak berani untuk keluar dari istana permaisuri.
"Hufft..."
Lune kembali menghembuskan napas ketika melihat cuilan roti kering di kasur. Sejak ia diceramahi, para pelayan hanya memberikannya roti kering hingga sekarang. Rasanya tak seburuk itu karena ia sudah terbiasa. Tapi mengisi perutnya dengan secuil roti itu lagi, mungkin akan membuatnya mual.
Lune menyingkirkan pikiran itu dan beranjak menghabiskan sisa sarapannya sebelum akhirnya suara ketukan menghalanginya.
Tok! Tok! Ceklek!
Tanpa menunggu lebih lama, pelayan itu membuka pintu kayu tua yang agak reyot hingga membuat suara deritan aneh.
"Hei! Yang Mulia Ratu memanggilmu."
Lune meremas jubahnya dengan cemas. Sang Ratu bahkan belum menemuinya lagi setelah pertemuan pertama mereka hari itu, membuat Lune memikirkan betapa padatnya kesibukan orang-orang di Istana.
Pelayan itu membawa Lune menuju ruangan yang megah dan penuh dengan perintilan barang-barang mewah. Sangat berbeda dengan bagian belakang Istana, tempat di mana ia tidur. Beberapa sudut lantai bebatuan dingin itu tertutupi oleh karpet bulu yang tebal. Kemewahan ini membuat Lune merasa asing.
Beberapa waktu telah berlalu sejak Lune masuk di ruangan yang sunyi ini. Di antara semua pelayan yang menunduk, Lune diam-diam mencuri pandang dan melirik ke arah Sang Ratu yang masih menatap perapian.
Sang Ratu tampak duduk di kursi panjang, masih menatap ke arah perapian seakan tengah menimbang-nimbang sesuatu secara mendalam. Rambut semerah kelopak mawar itu terurai indah di atas balutan gaun tipis putih yang mempesona.
"Apa kau punya kerabat bangsawan?" Suara yang memecah kesunyian itu keluar dari mulut Sang Ratu yang masih terpaku memandang perapian.
"T-tidak, Yang Mulia," Lune menjawab dengan gugup kemudian dengan ragu melanjutkan ucapannya, "Saya sudah tidak punya siapa-siapa."
"Perjelas. Apa kau punya kenalan ksatria atau saudagar?" Kalimat yang tegas dan tidak sabar itu membuat Lune menciut. Lune mencoba tenang, seperti yang biasa Ia lakukan. Selama hidupnya, Ia dan Phellea sering menghadapi para saudagar dan bangsawan yang tidak ramah. Anehnya, situasi saat ini sama sekali tidak mirip.
"I-ibu angkat saya hanya seorang petani. Suaminya adalah prajurit yang sudah gugur 12 tahun yang lalu."
"Ibu angkat?"
"Ibu saya menemukan saya di ladang ketika saya masih bayi, Yang Mulia."
Lagi. Bulu kuduk Lune merinding ketika melihat salah satu ujung bibir Sang Ratu terangkat. Itu senyum yang aneh dan menakutkan. Sang Ratu segera mengubah ekspresinya kembali ke wajah dingin dan menatap Lune.
"Jika kau membutuhkan tempat tinggal, aku hanya bisa menawarimu satu cara agar kau bisa tinggal di istana."
Lune merasa sesak. Ia tidak menemukan kata yang tepat untuk menjawab dan hanya menunduk pasrah. Kenyataan bahwa ia seorang gelandangan yang tidak punya rumah, kini dibuka lebar-lebar di depan matanya. Jika bukan karena bantuan Ratu, ia mungkin akan mati kedinginan di jalanan atau dijual di pasar budak.
"Menikahlah."
Kata-kata itu keluar dengan sangat jelas, tak mungkin Lune salah dengar. Lune mendongak kaget seakan ingin protes.
"M-mustahil, Yang Mulia! Mohon maaf atas kelancangan saya, t-tapi saya baru saja berusia 12 tahun saat awal musim dingin ini... dan saya hanya seorang petani."
Mengabaikan ucapan Lune, Ratu hanya menggumam pelan sesuatu yang tidak jelas, "Saat musim panas nanti, anak itu sudah akan berusia 13 tahun ..."
Sang Ratu melamun dengan tatapan was-was yang suram dan terlihat tidak senang.
Lune tidak kaget saat mendengar para bangsawan menikahkan anak mereka di usia dini. Ia ingat pernah melihat festival pernikahan anak bangsawan penguasa Kota Thybris yang berkeliling melewati desanya. Anak itu terlihat sebesar dirinya yang waktu itu berumur 10 tahun. Itu adalah pernikahan antar anak bangsawan untuk menguatkan kekuasaan mereka dan meraup keuntungan. Tapi apa untungnya menikahkan gadis desa sepertinya?
Kemudian, Lune mengangkat kepalanya, mencari maksud tersembunyi di wajah Sang Ratu. Sampai akhirnya ia terkejut ketika suara yang berwibawa Sang Ratu masuk ke telinganya.
"Pikirkanlah, apakah pernikahan ini lebih buruk dibanding menjadi gelandangan atau budak. Kau pikir kau berada di situasi di mana kau bisa memilih? Putuskan saat aku memanggilmu lagi."
Lune sudah menduga bahwa orang-orang tinggi ini sama sekali tidak akan peduli dengan satu rakyat kecil sepertinya. Namun, saat mendengar secara langsung bahwa Ratu akan membuangnya menjadi gelandangan, punggung Lune terasa dingin.
Bayangan tentang budak-budak yang dibeli para saudagar itu tiba-tiba tampak di depan matanya. Leher dan kaki para budak itu diikat seolah mereka hewan peliharaan yang dipaksa mengikuti keinginan majikannya.
Nasib gelandangan di musim dingin adalah cerita yang mengenaskan. Para gelandangan yang tidak memiliki tempat berlindung, tidak diragukan lagi pasti akan mati kedinginan.
Ketakutan itu merambat di belakang punggungnya. Menjadi gelandangan ataupun budak, keduanya bukanlah pilihan yang indah.
"... Baik, Yang Mulia," jawab Lune dengan nada ragu.
Setelah pertemuan dengan Ratu, para pelayan mulai memberikan perhatian berlebih pada Lune. Makanan yang enak, bak mandi yang penuh dengan air dan kelopak mawar, dan setumpuk baju.
Jelas sekali, Sang Ratu ingin membuat Lune terlena dan terbiasa dengan ini supaya menerima tawarannya. Semua ini membuat Lune berpikir dengan letih. Apa ada pilihan baik yang tersisa untuknya sekarang?
'Aku berakhir dengan menyetujui tawarannya...'
Anak bangsawan kerabat yang tinggal di Istana. Lune penasaran, bangsawan seperti apa orang itu. Entah tinggal di istana tau tidak, para bangsawan itu pada dasarnya sama saja, mereka menginginkan hubungan dengan orang yang sama-sama memiliki kekuasaan. Lune berpikir dengan cemas.
'Apa yang bangsawan itu pikirkan saat mengetahui akan dinikahkan dengan gelandangan?'
***
"Sial! Omong kosong macam apa ini?! Siapa yang mengatakan aku setuju menikah!"
Teriakan kasar itu menggema di ruang singgasana yang megah dan tinggi. Bahkan sepertinya suara itu merangkak melewati celah-celah hingga terdengar sampai ke luar. Lune ikut menghentikan langkah ketika pelayan di depannya mengurungkan tangannya untuk membuka pintu.
'Sepertinya itu suara orang yang akan dinikahkan denganku.'
'Orang itu jelas-jelas sangat membenci pernikahan ini.'
Lune meremas ujung gaunnya dengan tangan gemetar. Tentu saja dia akan menolak. Untuk bangsawan sepertinya, tidak ada untungnya menikahi gadis miskin.
Setelah suara di ruangan itu mereda, para pelayan langsung mengetuk pintu dan membukanya. Saat pintu ditutup kembali, Lune merasa udara segar telah meninggalkannya, yang menyambutnya hanyalah udara dingin yang menyesakkan.
Lune melihat Yang Mulia Raja duduk di singgasana yang agung dengan wajah tanpa ekspresi yang mengerikan. Jika Sang Ratu adalah mawar berduri yang menakutkan, maka Raja adalah orang yang memiliki aura menakutkan yang berbeda. Lune sama sekali tidak melihat rasa belas kasihan sedikitpun di mata pria paruh baya itu.
Sang Ratu duduk di kursi lain di sebelahnya, memandang Lune dengan wajah tersenyum. Di bawah tangga kecil itu, seorang anak laki-laki yang tinggi berdiri membelakangi Lune dan sengaja membuang wajahnya, terlihat tidak tertarik untuk melihat Lune. Rambutnya yang sehitam langit malam mengembang lurus seperti rambut singa, seakan berusaha mencapai tudung jubahnya yang merosot.
"Salam, Yang Mulia Raja."
"Salam, Yang Mulia Ratu."
"Salam, Pangeran Leoron."
'Pangeran?!'
Lune yang akan membungkuk untuk yang ketiga kali tiba-tiba berhenti. Membayangkan ada bangsawan yang dinikahkan dengannya saja sudah aneh. Tapi ini pangeran?!
'Kenapa Ratu menikahkan Pangeran dengan gelandangan seperti diriku?'
Di luar sana, bisa dipastikan tidak ada seorang pun yang tidak mengetahui rumor Pangeran Kerajaan Thylon. Pembicaraan mengenai penerus tahta memang selalu diributkan rakyat.
Seorang pangeran yang sangat jarang menampakkan diri di depan publik, tentu saja mengundang rumor-rumor yang tidak enak. Kenyataan bahwa satu-satunya pangeran kerajaan saat ini, lahir dari seorang pelayan yang berakhir di eksekusi karena tuduhan perselingkuhan, sepertinya membuat rakyat enggan menaruh simpati.
Para saudagar di pasar sering melemparkan rumor tak jelas bahwa sang pangeran mengidap penyakit keras sehingga membutuhkan penjagaan yang ketat di istana. Lune bahkan pernah mendengar rumor bahwa pangeran mengalami kecacatan pada fisiknya, sehingga tidak heran jika anggota kerajaan menyembunyikannya.
'Tapi orang itu sama sekali tidak kelihatan sakit, apalagi teriakannya tadi ...' pikir Lune. Memang kelihatannya rumor tidak sealu benar.
Barangkali rumor-rumor buruk dibuat oleh orang-orang tercela sebagai bahan pembicaraan yang menggairahkan, karena – tentu saja – rumor-rumor mengenai anggota kerajaan menjadi sasaran empuk untuk dibicarakan para rakyat.
Jujur Lune katakan, Ia tak dapat menampik pikiran bahwa bisa saja Ratu tidak menaruh perasaan sayang pada anak dari perempuan simpanan suaminya, apalagi perempuan itu adalah seorang pelayan. Barangkali hubungan Ratu dan Pangeran Leoron lebih buruk dari yang bisa Lune perkirakan.
'Mungkin karena itulah Ratu memilihku untuk Pangeran...'
Lamunan Lune tiba-tiba terhenti oleh suara Ratu yang elegan.
"Seperti yang sudah diketahui, anak perempuan bangsawan Kota Aretas yang menjadi kandidat calon putri, sayangnya masih terlalu muda untuk dijodohkan. Jadi sebagai gantinya, sebagai bagian dari tanggung jawabku, aku membantu menemukan calon lain dari desa Addis."
Itu adalah bantuan yang kejam untuk seorang putra mahkota. Biasanya para pangeran berlomba-lomba melakukan pernikahan politik dengan bangsawan lain yang memiliki kehormatan untuk memperkuat posisinya dan menjadi raja. Karena itu, Lune tahu, pernikahan politik tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Apalagi dilakukan dengan gelandangan seperti dirinya yang tidak memiliki apa-apa.
Sekalipun mendapati bahwa anak laki-laki satu-satunya akan dinikahkan dengan seorang gelandangan, Lune tidak menemukan sedikitpun kepedulian yang tersirat di wajah Sang Raja. Lelaki paruh baya itu hanya menatap keluar jendela sambil sesekali menyisir jenggot kelabu panjangnya dengan jari-jemari yang mulai keriput.
"Addis? Aku menduga itu desa yang hancur karena wabah belum lama ini..." ucap Sang Raja dengan nada bosan bercampur muak. Tidak bisa Lune sangkal bahwa Raja tidak menunjukkan ketertarikan di wajahnya.
Ketika mendengar celotehan para saudagar yang bergosip, secara pribadi Lune diam-diam penasaran, apakah Sang Raja menyayangi Pangeran Leoron sekalipun dia lahir dari seorang pelayan?
Lune pikir dengan tetap mempertahankan Pangeran Leoron di istana sudah menjadi jawaban bahwa Sang Raja pasti tetap menyayangi anak kandungnya sendiri. Tapi mendapati hasil dari pengamatannya hari ini, Lune meragukan itu. Tidak ada rasa kasih sayang yang tersirat di mata kelabu Sang Raja. Sama sekali.
"Anak ini satu-satunya yang selamat dan tidak punya tempat untuk tinggal," Ratu menimpali dengan sendu, "Lagipula bukankah dia terlihat cocok untuk Pangeran?"
Sang Raja menatap Lune dengan wajah datar. Wajahnya terlihat kaku dan mengerikan. Orang bilang Raja berumur sekitar setengah abad tapi nyatanya ia memiliki wajah yang terlihat lebih muda dari umurnya. Raja membuka suaranya dan membuat suasana menjadi mencekam secara aneh.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Lune, Yang Mulia," ucap Lune setenang mungkin sambil membungkuk singkat.
Tiba-tiba Leoron yang berdiri di depan Lune berbalik ke belakang dengan cepat seperti kilatan petir. Seperti Leoron yang menatapnya dengan wajah terkejut, Lune juga sama terkejutnya. Ia membelakkan matanya saat mereka saling menatap.
'Anak itu?!' batin Lune dan Leoron yang sama-sama terkejut.
Lune tidak dapat mempercayai apa yang dia lihat. Anak laki-laki yang ia temukan kedinginan dan terikat di pohon waktu itu, ternyata adalah seorang pangeran. Kenyataan ini memukul Lune seakan dunia telah mengajaknya bercanda.
"Jika kau tidak suka, aku sudah berjaga-jaga dan mempersiapkan calon yang lain seperti biasanya. Apa ada alasan untuk menolak?"
Suara Ratu yang tiba-tiba itu akhirnya mengakhiri keterkejutan keduanya. Menyadari pertanyaan itu jelas bukan untuknya, Lune hanya diam mencengkeram ujung bajunya dengan cemas.
Leoron mengalihkan pandangannya seakan menyudahi keterkejutannya dan berbalik menghadap Raja. Sejak awal pertemuan di ruang singgasana ini terasa menjengkelkan sampai ke ubun-ubun.
Pemikiran mengenai pernikahan yang selalu mendesaknya membuat saraf Leoron mau tak mau terus melotot saking tegangnya. Apalagi calon-calon yang berdatangan karena rencana Sang Ratu terus membuatnya naik pitam dari pagi buta hingga petang.
Semua terus berlanjut hingga musim dingin telah tiba di mana badai salju turun bercampur dengan angin kencang. Namun, panas yang naik ke ujung kepalanya tidak mendingin sedikitpun.
Dari sekian tetek-bengek yang membuatnya kesal, hal yang mengejutkan sekarang ini membuat mata Leoron melotot semakin tegang.
'Sial. Pertemuan seperti ini pasti tidak akan berhenti dengan tenang. Jika pada akhirnya aku terjebak dengan semua pilihan Ratu Ular yang merepotkan, apakah lebih baik aku akhiri saja dengan anak itu?'
Ia diam agak lama. Kemudian, keheningan aneh itu berakhir saat Leoron berkata dengan geram.
"... lakukan apa yang kalian inginkan."
Lune menahan napas terkejut seolah waktu terhenti di matanya. Ia merasa dadanya berdebar seakan keajaiban datang menyelamatkannya. Sedangkan, keheningan menyelimuti Raja dan Ratu yang menatap ke arah Leoron dengan tatapan menyelidik.
"Kau yakin?" tanya Sang Raja dengan tatapan tidak percaya. Sangat sulit untuk melihat isi hatinya yang sebenarnya.
Leoron terkekeh dengan sinis.
"Apa sekarang Anda sedang peduli, Raja Musarra Yang Agung? Padaku? Mengejutkan!" ucap Leoron dengan suara yang penuh penekanan dan sarkasme.
Lune agak terkejut mengetahui ada seseorang yang berbicara kurang ajar kepada Raja, terlebih lagi dia adalah anaknya. Dengan hati-hati ia menatap wajah Sang Raja. Wajahnya masih terlihat kaku dan mengintimidasi, seolah merasa terbiasa membiarkan apa yang baru saja terjadi. Sulit mengartikan itu sebagai murah hati atau tidak peduli.
Sekali lagi. Lune menangkap basah salah satu ujung bibir Sang Ratu yang terangkat di balik jari-jemarinya. Itu bukan ekspresi terpuji dari seorang Ibu yang melihat anak tiri dan suaminya bertengkar. Entah kenapa, Lune merinding melihat ketidakwajaran ini.
"Baiklah. Selanjutnya, Ratu yang akan mengurus semuanya," jawab Raja yang mengakhiri percakapan dengan acuh tak acuh.
Setelah perintah Raja turun, Sang Raja dan penasehatnya meninggalkan ruangan singgasana, menyisakan ruangan besar dengan kesunyiannya.
Sudah beberapa waktu berlalu sejak Ratu, Lune dan Leoron saling bungkam tanpa suara. Hingga suara Leoron membelah kesunyian yang menyesakkan dengan kata-kata sinis dan penuh kebencian.
"Apa aku bisa mengartikan semua ini sebagai ketakutan Ratu yang melihatku masuk masa pubertas?"
Di ruangan itu hanya ada para pelayan yang menunduk tanpa reaksi seolah tidak lagi merasa kaget. Sang Ratu menaikkan kepalanya dan menatap Leoron dengan tatapan merendahkan. Kemudian tersenyum sinis, tidak kalah penuh kebencian.
"Apa boleh buat. Siapa tahu anak seorang pelayan yang tak tahu diri ini sudah mulai berani menikahi banyak gadis bangsawan untuk merebut tahta calon anakku. Apa seorang Ratu harus membiarkannya?"
Lune menyembunyikan bahunya yang tersentak ketika tumpukan pertanyaan di kepalanya mulai terjawab.
'Dia pasti mengalami kehidupan yang sulit...'
"Apa ini karena lamaran bangsawan Aretas? Aku sudah bilang, kau bisa tenang karena aku tidak akan menikahi anak bangsawan itu. Jadi berhentilah mengusikku."
"Bukankah ini akan menjadi rumor yang bagus? 'Sang Pangeran lebih memilih gadis desa daripada putri keluarga Aretas'. Coba kita lihat, apakah Aretas akan memihakmu atau tidak," ucap Ratu dengan senyuman kemenangan yang angkuh.
Lune merasa terhimpit karena hawa persaingan dari dua kubu yang saling memancarkan kebencian ini. Yang lebih membuatnya sesak adalah menyadari kenyataan bahwa Leoron dirugikan karena membantu dirinya.
Lune melirik ke depan. Leoron menekan giginya untuk menahan amarahnya yang meluap, hingga urat kebiruan mulai tampak menonjol di kulit lehernya yang sedikit gelap. Namun, tiba-tiba amarahnya mereda dan mata tajamnya melihat ke arah pintu. Lune mengikuti pandangannya tapi tak menemukan apapun. Hingga tiba-tiba ...
Braak!
Suara pintu terbuka berbunyi dengan nyaring. Seorang laki-laki paruh baya berjalan terburu-buru dengan tas dan perkamen-perkamen di tangannya. Barangkali kabar yang mendadak sampai di telinganya membuatnya tak mempersiapkan apapun sebelumnya. Tangannya yang repot bahkan tak sempat menaikkan jubahnya yang compang-camping dan buru-buru membungkuk.
"Salam, Yang Mulia Ratu Emistrys."
"Lakukan pengikatan sumpah dengan cepat," ucap Sang Ratu dengan dingin sembari menuruni tangga singgasana dan menghampiri pegawai administrasi kerajaan.
Para pelayan dengan cepat membawa sebuah meja kayu ke ruangan singgasana. Orang dari administrasi kerajaan itu langsung mencari sesuatu di tumpukan perkamen yang ia taruh di atas meja. Setelah mendapatkan dua lembar perkamen yang dicari, ia melirik Lune dan Leoron yang berdiri agak jauh darinya.
"Silahkan mendekat kemari."
Leoron melirik Lune sekilas di belakangnya. Di saat yang sekilas itu, keduanya sama sekali tidak bisa membaca pikiran satu sama lain. Kemudian, Pekerja Administrasi Kerajaan itu berkata dengan penuh penekanan.
"Ini adalah sumpah pernikahan. Berjanjilah sesuai dengan apa yang kalian katakan."
Selembar perkamen usang telah diletakkan di atas meja kayu yang tinggi. Sumpah itu akan di baca di ruangan yang bahkan tidak sampai ada 20 orang. Dan mereka kebanyakan adalah para pelayan. Tiba-tiba Lune mengingat upacara pernikahan di desanya yang diucapkan di depan banyak orang dan dilanjutkan pesta berhari-hari. Itu adalah acara yang meriah.
Sedangkan, yang terjadi padanya ini tidak lebih dari sekedar mengurus administrasi dan pembuatan dokumen. Terlihat sangat singkat. Tapi bagi Lune, saat itu waktu terasa berjalan sangat lama.
Disaat semua orang tidak peduli dan membuangnya, orang di sampingnya ini telah menyelamatkannya. Lune terdiam menatap Leoron seakan menatap seorang penyelamat hidupnya dengan penuh rasa terima kasih.
'Phellea, sepertinya aku menemukan penyelamat hidup baru sepertimu.'
Seperti bunga yang pertama kali mekar dan melihat luasnya dunia, perasaan yang muncul begitu cepat itu tumbuh seperti tunas kecil yang asing bagi gadis kecil yang tidak pernah mengalami apapun selain menghabiskan hidupnya di ladang.
***