***
"Masuklah."
Suara Leoron menggema ketika pintu yang tinggi itu terbuka dan memperlihatkan ruangan luas yang ditutupi kegelapan. Lune buru-buru mengikuti Leoron yang berjalan santai melewati kegelapan, seolah-olah telah terbiasa.
Lune setengah tak percaya jika tempat ini adalah Istana Putra Mahkota. Keadaan di dalamnya bahkan lebih buruk dari tampilan luarnya. Ruangan yang terlihat kotor dan tak terurus ini diisi beberapa perabotan yang telah usang.
Leoron berjalan menembus lorong yang sunyi dan panjang. Tidak ada satupun lentera yang menyala untuk menerangi jalan. Untungnya, ada cahaya bulan yang merambat masuk melewati tirai jendela yang terbuka.
Tiba-tiba suara Lune terdengar memecah keheningan.
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Apa Ratu Ular Merah itu yang menjebakmu?"
'Ratu u-ular merah ... ?' pikir Lune yang terkejut. Setelah kejadian hari ini, tidak mungkin Lune tidak tahu siapa yang Leoron maksud. Walaupun kata 'ratu ular' terdengar sedikit tidak pantas, jelas sekali yang Leoron maksud adalah Ratu.
'Bagaimana jika ada yang mendengar?!' teriak Lune dalam hati. Kepala mereka bisa saja dipenggal jika ada yang mendengarnya. Untungnya, tidak ada penjaga dan pelayan yang terlihat di kediaman pangeran yang kumuh ini. Lune sedikit merasa lega.
"Tidak. Saya justru berterima kasih sudah mendapatkan tempat tinggal dan perlindungan ini berkat bantuan Anda, Yang Mulia," ucap Lune dengan suara pelan dan hati-hati.
Ini bukan sepenuhnya kebohongan. Jika saja hal gila ini tidak terjadi, sekarang ia pasti sudah mati membeku atau berada di penjara para budak. Tidak akan ada lagi Phellea lain yang akan sudi menyelamatkannya kali ini.
Walaupun semua yang terjadi adalah rencana licik dari ratu untuk merugikan Leoron, Lune merasa bersalah karena tidak bisa berhenti untuk mensyukurinya.
"Apakah membantu artinya memaksamu melakukan sesuatu?" Leoron bertanya dengan ketus.
'Apakah pangeran marah? Tentu saja, dia yang paling dirugikan di pernikahan ini...' Lune tidak berharap akan ada orang yang menyukainya. Bahkan tidak akan mengherankan jika Leoron membencinya karena pernikahan ini. Pikiran-pikiran kusut ini membuat Lune gugup dan merasa bersalah.
"... Bagaimanapun, Anda sudah menyelamatkan hidup saya. Anda adalah penyelamat saya. Saya akan membayar semuanya kembali," Lune menimpali, "... Saya akan selalu berada di sisi Anda, Yang Mulia."
Leoron membisu. Selepas mendengar ucapan yang terdengar lembut itu, langkah Leoron tanpa sadar memelan. Bohong bila mengatakan ucapan tersebut tidak menyentuh hatinya. Anehnya, ucapan yang tidak terduga itu mengingatkannya tentang perasaan hangat yang sudah lama sekali tidak Ia rasakan.
"... bicaralah santai seperti waktu itu," ucap Leoron tanpa membalikkan badan.
"W-waktu itu saya tidak tahu-"
Suara panik Lune yang gelagapan itu langsung terpotong oleh ucapan Leoron.
"Sudahlah. Aku tidak ingin berlagak seperti para bangsawan bodoh di tempat lusuh ini," Leoron menimpali dengan sedikit muak.
"Baik ..." ucap Lune yang terdengar ragu.
Suara langkah kaki yang mengisi kesunyian itu tiba-tiba terhenti di depan sebuah ruangan lain. Leoron menggaruk tengkuknya dengan malas sambil berjalan memasuki ruangan yang gelap.
"Hanya ini kamar yang layak kita tinggali. Sialnya, tidak banyak perobotan yang masih bisa dipakai di ruang lain. Masuklah."
Di ruangan yang gelap itu, tidak ada satupun lentera yang menyala. Tidak mungkin pula membuka jendela untuk mendapatkan penerangan bulan kecuali jika ingin membeku kedinginan. Takut menabrak sesuatu, Lune berjalan tertatih-tatih mengikuti Leoron yang berjalan santai seolah kegelapan tidak mengganggu jalannya.
Kepulan debu mulai berhamburan ketika Lune meletakkan tasnya di atas meja. Namun, Lune menghela napas lega ketika kasur yang ia sentuh terlihat cukup bersih.
Di keheningan malam ini, suara jangkrik menampakkan diri seolah mengisi kekosongan. Lune mengedipkan matanya berkali-kali saat mendapati dirinya tidak mengantuk. Ia menatap langit-langit yang tertutupi kegelapan. Meskipun waktu telah berlalu selama beberapa saat, Lune tetap tidak bisa terlelap. Lune merasa asing, karena inilah pertama kalinya ia berbaring bersama orang lain.
"Harusnya aku yang mengucapkan terima kasih. Kau membantuku waktu itu."
Suara Leoron yang tiba-tiba memecah kesunyian membuat Lune menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. 'Ternyata dia juga belum tidur?' pikir Lune.
"Saya hanya melakukan apa yang sudah sepatutnya dilakukan semua orang, Yang Mulia," ujar Lune dengan sopan.
'Semua orang?' Leoron mendengus tidak yakin.
Hembusan napas jengah terdengar di keheningan yang kosong. "Aku bilang bicara santailah padaku. Aku tidak terbiasa dengan kesopanan dan hal-hal yang rumit di tempat lusuh ini."
Lune terperangah tidak percaya dan berkata dengan gigih, "Bagaimana bisa saya melakukan itu, Yang Mulia? Yang Mulia memang harus dihormati oleh siapapun dan di mana-"
"Aku hanya ingin kau tidak perlu begitu. Percakapan santai kita waktu itu... Aku pikir aku lebih nyaman seperti itu."
'Apa mungkin karena kita seumuran?' pikir Lune menimbang-nimbang. Hingga akhirnya Lune menimpali dengan nada kecut bercampur maklum, "Saya mohon Anda jangan menyesal, Pangeran."
"Leoron," ralat Leoron ikut bernada kecut.
"Leoron," ulang Lune dengan geli sambil tersenyum menahan tawa.
"…"
Leoron yang mendengar namanya dipanggil dengan suara yang ramah menoleh dengan perasaan yang tidak familiar. Sekalipun para pelayan dan prajurit sering memanggil namanya untuk menghardik atau menyumpah serapahinya, Leoron tidak pernah merasa seperti ini.
Namun, kali ini, untuk pertama kalinya, seseorang memanggil namanya dengan tersenyum. Leoron merasakan perasaan spesial yang aneh saat panggilan yang menyenangkan itu ditujukan pada dirinya.
"Kau tersenyum," tanya Leoron tiba-tiba sambil menatap wajah Lune di tengah kegelapan. Barangkali tidak sadar apa yang baru saja Ia katakan.
Sedangkan, Lune yang hampir memejamkan mata dan bersiap untuk tidur, tiba-tiba terhenyak penuh tanda tanya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Lune dengan terburu-buru tanpa Ia menyadarinya.
Tidak ada lilin maupun api di perapian. Di kegelapan sepekat ini, Lune yakin, tidak akan ada yang bisa melihat apapun. Lagipula Ia sudah bersusah payah menahan tawanya.
'Apa suara tawaku keluar?' pikir Lune penasaran.
"Sejauh yang kutahu, indra penglihatanku memang bagus meskipun berada di kegelapan," ujar Leoron dengan nada tidak tertarik, nada yang terkesan angkuh untuk mengucapkan pujian tentang dirinya sendiri.
'Yang benar saja...' Lune melongo tidak percaya pada ucapan Leoron yang penuh percaya diri.
"Kenapa begitu?" tanya Lune seperlunya.
"Entahlah. Mungkin aku terbiasa waspada saat berada di tempat gelap."
Mendesah prihatin, Lune menduga kehidupan Leoron pasti tidak tenang karena gangguan dari ratu Ratu. Apalagi peristiwa hari ini pasti salah satu bagian dari rencananya.
"Apa kau masih marah tentang hari ini?" Lune bertanya dengan nekat sambil mengeratkan jubahnya karena tidak ada selimut yang bisa dipakai.
"Tentu saja! Orang-orang rakus itu terus saja mengirim anak mereka untuk membaca sumpah pernikahan setiap musim semi. Bukankah mereka akan terlihat konyol saat diarak di festival pernikahan?" tukas Leoron sedikit jengkel.
"Pada dasarnya bangsawan memang seperti itu." Lune cukup kaget dengan celaan Leoron tentang para bangsawan yang blak-blakan. Barangkali Leoron juga kerap mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari para bangsawan karena status kelahirannya, setidaknya begitu yang Lune perkirakan.
Selain status kelahirannya yang melemahkan reputasinya, sekarang ditambah lagi dengan perjodohannya dengan rakyat biasa. Lune menghela napas maklum, memahami kejengkelan yang Leoron rasakan.
"Maaf. Karena membantuku, kita juga terikat seperti itu ..." jawab Lune hati-hati dengan wajah cemas.
Angin berhembus dengan keras di luar. Setidaknya cukup mengisi keheningan ketika Leoron menatap Lune sejenak sebelum mengeluarkan suara, "... Kenapa kau yang minta maaf?" Leoron melipat tangannya dan menimpali, "Kau tak perlu khawatir. Kita sama sekali tak akan seperti mereka. Lagipula, aku punya rencana."
"??" Lune bertanya-tanya dengan perasaan tidak enak.
"Setelah dewasa, orang-orang bisa mencabut surat pernikahan di administrasi kerajaan. Dengan begitu, pernikahan tidak akan tercatat secara resmi. Kita bisa melakukan pembatalan saat kita berumur 18 tahun," ucap Leoron, "Kau dan aku, akan bebas setelah itu."
Awalnya, Lune pikir tidak mengherankan jika Leoron membencinya. Tapi melihat Leoron yang memperlakukannya dengan baik, Lune pikir ada kemungkinan jika Leoron mungkin tidak membencinya.
Hanya saja, Lune lupa. 'Tidak membencinya' bukan berarti 'tidak membenci pernikahan ini'. Hatinya perlahan tenggelam. Sekali lagi, Lune kehilangan kesempatan untuk memiliki keluarga...
Lune menatap langit-langit dan mencoba menyembunyikan perasaan yang tidak nyaman itu.
"A-apa bisa begitu...?" tanya Lune dengan lesu.
"Aku pernah mendengarnya dari obrolan para prajurit. Mereka sepertinya sering melakukan itu," jawab Leoron malas.
Mata Lune tenggelam di kegelapan dan mencoba berpikir. Tidak mungkin ia menghancurkan masa depan orang yang telah menolongnya dan memberinya tempat tinggal. Lune pikir, Leoron pasti memerlukan pasangan dari keluarga yang bisa memberinya basis dukungan dan menguatkan posisinya. Iya, itu yang harusnya terjadi...
Lagipula, tidak selamanya Lune membutuhkan tempat tinggal dari orang lain. Ketika dewasa, Lune bisa keluar dari istana dan mencari pekerjaan untuk mendapatkan rumahnya sendiri. Perlu Lune akui, itu adalah rencana yang terbaik untuknya dan Leoron.
'Apa artinya aku akan sendirian setelah umur 18 tahun?'
Lagipula saat itu pasti akan sedikit sulit menentukan hubungan seperti apa antara Leoron dengannya. Menampik semua pikiran yang membuatnya kalut, Lune menghela napas muram dan memejamkan mata lelahnya. Di tengah kelesuannya, sebuah ide gila entah dari mana muncul di kepalanya, mendorong Lune mengungkapkannya.
"Kalau begitu, mau jadi temanku saja?"
Keheningan muncul begitu saja. Masih memejamkan mata, Lune berpikir ini sesuai dugaannya - Leoron sudah tertidur.
Berbeda dengan apa yang Lune kira, ternyata sepasang mata abu-abu itu masih terbuka lebar. Leoron tertegun dan kembali menatap Lune yang mulai terlelap. Teman pertamanya. Seperti terkena pancaran lilin, lagi-lagi hati Leoron mulai menghangat.
***