***
Lune menatap halaman luas yang putih dari balik jendela kaca. Walaupun salju tidak turun seperti badai lagi, tapi udara di luar kelihatannya masih sama dinginnya.
Sekalipun udara masih bertiup dingin, Leoron tetap pergi ke luar hingga membuat Lune bertanya-tanya apa yang dilakukan Leoron di luar sana. Sedangkan bagi Lune, tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan selain bersih-bersih.
Butiran keringat bening seketika mengalir melewati kulit pucat Lune. Tangannya kembali mengusap keningnya yang berkeringat sambil terus menatap kumpulan pohon-pohon gundul di tengah kesunyian.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu berbunyi dari luar pintu masuk.
Lune segera berlari dengan terburu-buru untuk membuka pintu. Ketika matanya mendapati seorang lelaki hampir separuh baya berdiri dengan berwiba di depan pintu, Ia mendadak menjadi gugup.
"Salam. Saya Halbakam, Kepala Pelayan di Istana Yang Mulia Raja." ucap lelaki itu sambil membungkuk ringan.
Lune dengan cepat ikut membungkuk dengan canggung sambil membersihkan pakaiannya yang penuh debu.
"Anda tak perlu menunjukkan sikap yang tak perlu dengan membungkuk seperti itu, Putri. Apa Pangeran Leoron ada di dalam?" Halbakam mengatakannya dengan dingin dan datar. Tidak ada keramahan dari kata-katanya hingga Lune tanpa sadar mencengkeram tangannya.
'Tuan Putri'. Ia hampir lupa bahwa ia telah menikah dengan seorang Pangeran kerajaan Thylon.
Lune menelan ludahnya untuk memaksa dirinya tenang. Kemudian, dengan gugup ia membuka mulutnya.
"Sayang sekali, Tuan. Saat ini Pangeran sedang ada di luar."
Halbakam tampak diam sejenak memandang lapangan putih yang tertutup salju, seolah tengah berpikir.
"Kedatangan saya adalah untuk menyampaikan pesan bahwa Yang Mulia Raja mengundang Pangeran dan Tuan Putri untuk makan malam bersama di Istana Raja malam ini. Bisakan Anda menyampaikannya ke Pangeran?"
"Tentu saja... Tentu saja, saya akan mengantarkan pesan dari Anda, Tuan."
"Terima kasih, Putri," Halbakam menggosok-gosokkan tangan rampingnya yang kedinginan, mengeratkan mantel abu-abunya, dan membungkuk kembali, "Saya khawatir harus buru-buru undur diri untuk urusan lain. Salam, Tuan Putri."
Setelah Halbakam tak tampak dari kejauhan, Lune mengernyit bingung. Perlakuan orang-orang di istana kepada Leoron tidaklah sebaik itu hingga bisa mengajaknya makan bersama.
'Keluarga yang aneh,' Lune menggelengkan kepalanya pelan, 'Sadarlah, Lune! Kau harus mencari Leoron sebelum matahari terbenam.'
Lune segera mengambil jubanya dan berlari di tengah angin dingin yang berhembus. Langkahnya bergerak cepat ke belakang Istana dan memasuki kumpulan pohon-pohon pinus, seperti yang ia lihat ketika pagi buta tadi, Leoron berjalan ke arah itu.
"Leoron!"
Teriakan Lune cukup keras untuk membelah kesunyian. Tapi orang yang ia cari tak nampak sama sekali.
Tiba-tiba Leoron muncul dari balik pohon pinus di hadapan Lune, sedang mengernyit tak setuju melihat Lune yang berkeliaran sendiri.
"Kenapa kau mencariku di luar?"
"Kepala Pelayan datang ..." Lune berhenti sejenak meredakan napas tersenggalnya, "Raja mengundang kita untuk makan malam."
"Oh," jawab Leoron tidak tertarik.
"Bukankah menurutmu seharusnya kita bersiap-siap? Matahari bahkan hampir tenggelam sebentar lagi."
Leoron hanya melihat sekitar dengan malas, kemudian menjawab, "Sama sekali tidak perlu."
Lune menatap Leoron tidak percaya. Undangan dari raja adalah suatu kehormatan bagi penerimanya. Lune pikir, dengan menerima undangan makan malam bersama raja, bukankah artinya Leoron sudah diterima menjadi Pangeran? Lune sama sekali tidak mengerti dengan respon Leoron.
"Setidaknya mandi! ... Bukankah setidaknya harus mandi?" tangan Lune mencengkeram ujung gaunnya yang berdebu untuk meredam rasa malunya. Walaupun ia sangat malu mengatakannya, tapi ia tak bisa membiarkan mereka datang dengan tampilan lusuh dan kotor di depan anggota kerajaan.
Helaan napas menyerah keluar dari mulut Leoron, "Kau pernah mandi es di danau yang membeku?"
Lune mengangguk. 'Ah! Benar juga. Beberapa sumur yang tak terawat di rumah pasti telah membeku sekarang,' batin Lune.
Di saat musim dingin, penduduk desa biasa seperti dirinya sering menggunakan danau yang membeku untuk mandi dan mencuci baju. Tapi Lune tidak mengerti, bagaimana mereka menemukan danau di dalam istana?
Dan di sinilah Leoron dan Lune berdiri. Di sebuah tembok bebatuan yang menjulang tinggi dan ditutupi tumbuhan-tumbuhan rambat. Tanpa diberitahupun, Lune bisa tahu jika tembok ini adalah tembok belakang Istana Kerajaan Thylon.
Leoron dengan cepat menggeser sebuah batu yang cukup besar. Kemudian, sebuh lubang yang cukup besar tampak dari balik tirai tanaman rambat yang Leoron singkap.
"Ayo masuk."
Lune mengikuti Leoron merangkak masuk melewati lubang di tembok batu dengan wajah kebingungan. Di saat tanaman rambat di sisi luar tembok mulai tersingkap, Lune terpana melihat hamparan pemandangan yang agung di luar Istana Thylon.
'Betapa luasnya …'
Gunung-gunung yang tinggi itu berdiri tegak dari kejauhan seolah menunjukkan wibawanya. Di depannya, Lune bisa melihat danau yang kelihatannya telah membeku karena musim dingin.
Leoron berjalan santai menuju tepian danau yang dangkal dan mengambil sebuah tongkat besi dengan geringi-gerigi di ujungnya. Kemudian dengan mudah Leoron membelah es di permukaan danau yang membeku dan membuat lubang berbentuk kotak.
"Kau sering melakukan ini?"
"Yah, tentu saja. Lakukan dengan cepat. Aku akan menunggu di balik pohon itu."
Lune mengangguk dengan bersemangat, "Akan kulakukan dengan cepat."
Mata Lune berbinar melihat pemandangan familiar yang sudah lama tidak ia lihat. Setelah Leoron tak terlihat, Lune melepas jubahnya dan dua lapis pakaian terluarnya. Ia hanya menyisakan dua lapis gaun tipis yang polos.
Brrr!
Dengan perlahan Lune mencelupkan tubuhnya ke dalam lubang es yang Leoron buat. Seketika tubuhnya menyentuh air danau yang dingin, napasnya mulai memburu dan mengeluarkan kepulan uap putih. Lune mulai menenangkan napasnya dan merasakan sensasi ajaib yang es berikan.
Bagi Lune, berendam di dalam es selalu memberikan energi dan ketenangan yang familiar. Walaupun Lune melakukan berkali-kali di musim dingin sebelumnya, rasanya masih sama seperti saat pertama kali ia mencobanya.
Tinggal di wilayah Utara, membuat Lune terbiasa hidup dengan es. Lune ingat Ibunya pernah bercerita bahwa orang Utara memiliki daya tahan dan kekebalan yang lebih kuat terhadap hawa dingin dan es daripada bangsa lainnya.
Tidak jarang Lune mendengar kabar tentang seorang pengembara dari Selatan yang pingsan dengan kulit memerah karena kedinginan setelah menyentuh air es di danau. Karena perbedaan daya tahan terhadap kedinginan yang berbeda, kebiasaan ini mungkin berbahaya bagi mereka.
Setelah menyelesaikan mandi esnya, Lune segera menghampiri Leoron yang tampak memainkan belati kecilnya dengan lihai di balik pohon pinus.
"A-aku sudah selesai. Sekarang giliranmu," Lune membuka suaranya yang bergetar karena kedingingan.
"Aku tidak perlu."
"Apa? Tapi-"
"Tanpa mandi pun, pada akhirnya hanya akulah yang paling tampan di sana nanti," ucap Leoron sambil berjalan menuju tembok Istana.
"..."
Lune membuka mulutnya yang bergetar seoalah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. 'Kenapa dia bisa begitu berlagak?!' batin Lune.
Leoron yang tidak mendengar langkah kaki di belakangnya, berkata dengan datar, "Cepat jalan. Sebelum seluruh wajahmu jadi biru karena membeku di sini."
Dari belakang Leoron, seketika terdengar suara langkah kaki Lune yang terburu-buru bergesekan dengan permukaan tanah yang bersalju.
Dari belakang, jubah Leoron terlihat kusut dan kotor. Sekelebat ingatan bagaimana Raja dan Ratu serta seluruh pelayan mengabaikan Leoron di istana yang kotor, membuat Lune merenung.
"Hei, Leoron. Aku selalu ingin menanyakan ini padamu sejak pertama kali pertemuan kita..."
"Apa?" sahut Leoron singkat tanpa berbalik.
"Aku hanya penasaran..., sejak kapan kau mulai diperlakukan begini?"
"... sejak kematian Ibuku? Mungkin. Entahlah, aku tidak ingat apapun sebelumnya."
Lune bertanya-tanya bagaimana ekspresi Leoron saat ini. Lune pikir mengingat tentang kematian seseorang tentu tidak mudah, apalagi membicarakannya bisa saja membuka luka lama.
"Ah, begitu..."
"Tak perlu mengeluarkan suara sedih. Itu sudah lama sekali, tujuh tahun sudah berlalu jadi aku sudah terbiasa," jawab Leoron datar.
'Tujuh tahun lalu...'
"Apa kau merindukan Ibumu?"
"... entahlah. Aku tidak mengingat banyak kenanganku dengannya. Bagaimana aku bisa merindukannya?"
Lune mengeluarkan napas dingin dengan sedih ketika ia tak mendengar kesedihan di suara Leoron.
"Itu mungkin saja terjadi... Mungkin karena aku terlalu banyak mengingat kenangan masa lalu, aku masih merindukan Phellea ketika pikiranku kosong."
"Phellea?" tanya Leoron sambil menoleh ke belakang melihat Lune.
"Ah! Dia orang yang menemukanku ketika aku masih bayi. Aku mencoba memanggilnya Ibu tapi dia tidak mau karena jarak usia kami tak jauh. Padahal aku ingin memanggilnya Ibu..."
"Kau terlihat menyayanginya. Apa semenyenangkan itu hidup dengannya?"
"Iya," Lune mengangkat ujung bibirnya pelan ketika memori yang menyenangkan tiba-tiba mengunjungi pikirannya, "Di musim dingin seperti ini, kami akan pergi ke rumah tetangga yang hangat untuk berbincang sambil menikmati cokelat panas dan kue jahe. Di hari-hari yang cerah, kami akan pergi pagi sekali ke ladang dan berbincang bersama penduduk yang lain. Ketika musim panen tiba, kami sungguh bahagia. Semua hal menjadi sangat menyenangkan. Hanya saja, ketika kami berangkat ke pasar dan bertemu dengan para saudagar... "
Dari awal Leoron cukup terkejut Lune akan berbicara lebih banyak hal dengannya, sehingga ketika suara Lune memelan, Ia berbalik untuk melihat Lune dan menyamakan langkahnya dengan Lune.
"Kenapa dengan mereka?"
"Mereka memperlakukan orang-orang miskin dengan buruk. Aku tak bisa membiarkan Phellea pergi sendiri karena mereka bersikap kasar ketika marah dan terkadang sangat licik, seperti..."
"Orang-orang di istana ini," celetuk Leoron.
"..."
"Kau punya keluarga yang menyenangkan. Tidak seperti seseorang yang memiliki keluarga kandung yang payah," ucap Leoron serampangan.
"Yah..." Lune meringis dengan sungkan, "Meskipun aku selalu berharap hidup bahagia bersama keluarga kandungku tapi aku bersyukur memiliki keluarga seperti Phellea dan teman-teman kami."
Tidak ada suara lain yang terdengar kecuali hembusan angin yang membawa butiran tepung yang dingin.
Tiba-tiba, Leoron berhenti dan menepuk pundak Lune untuk menghentikannya.
"Karena sekarang kita berteman, apa itu artinya aku juga keluargamu?" tanya Leoron penasaran, "Kau tahu 'kan? Aku belum pernah punya keluarga."
Itu adalah pertanyaan remeh yang muncul karena rasa penasaran, setidaknya itu yang yang Leoron pikirkan. Tapi kenapa dadanya dipenuhi rasa penuh harap?
Lune melihat Leoron yang tampak serius menatap matanya. Namun, itu adalah kontak mata yang singkat sebelum emosi kesedihan menghampiri Lune yang segera menunduk.
'Itu sangat menyedihkan. Kenapa dia mengatakannya tanpa merasa sedih? Ah... keluarga, ya. Jika dipikir-pikir, aku pun juga tak memilikinya lagi...' pikir Lune.
Mata Lune semakin memanas ketika Ia menyadari bahwa situasinya sekarang tak ada bedanya dengan Leoron.
"Hei, aku juga tak punya keluarga sekarang...," Lune menutupi matanya yang berair dengan satu tangan dan mendorong pundak Leoron pelan dengan tangan yang lain, "Jadi, tentu saja kau adalah keluargaku sekarang. Karena kau satu-satunya temanku."
Leoron hanya diam membeku seperti pahatan es.
Ia mengingat sesuatu. Itu sudah lama sekali. Ketika ia masih kecil, Leoron mengintip satu keluarga bangsawan yang datang ke istana. Keluarga yang terlihat sangat bahagia.
Ada perasaan yang pernah Leoron rasakan saat itu, yaitu perasaan ingin memiliki keluarga. Tapi hidup terus berjalan dan di tengah usahanya untuk bertahan hidup di istana, keinginan itu mulai hilang ditelan kenyataan.
Waktu terus berjalan tanpa seorang pun yang menemaninya. Leoron menyadari satu hal, bahwa ia bisa bertahan hidup sendiri. Jadi, ketika ia melihat keluarga-keluarga bangsawan berdatangan lagi, Leoron hanya mencibir apa perlunya manusia memiliki keluarga.
Namun, keinginan yang diam-diam ia pendam itu telah terwujud sekarang.
Sekarang, Ia memiliki seseorang di sampingnya.
Detak jantung Leoron mulai bersemangat dan matanya membelalak.
Ia kembali menatap Lune yang menunduk, "Lune, kau serius, 'kan?"
Lune mengusap kembali air matanya dan menatap Leoron dengan mata memerah dan memukul pelan pundak Leoron sekali lagi, "Tentu saja!"
"Ayo pergi! Mataku jadi kedinginan," keluh Lune yang telah berjalan menjauh meninggalkan Leoron yang masih mematung.
Menyadari Lune yang telah berjalan, Leoron mengejarnya dengan bersemangat dan berkata, "Akan kunyalakan perapiannya nanti."
Berbeda dengan Leoron yang terus cengar-cengir di sepanjang perjalanan, Lune terus menutup rapat mulutnya. Perasaan yang ia rasakan sungguh aneh dan sulit dimengerti, bahkan untuk dirinya sendiri.
'Karena kau temanku, ya... Benar, dari awal memang memang itulah hubungan yang kita sepakati.'
Itu adalah hubungan yang terikat janji untuk hidup bersama hanya sampai berumur 20 tahun. Demi kebebasan masing-masing.
Lune sangat menyadari itu. Hubungan mereka bukanlah hubungan impian yang sering dibicarakan oleh teman-teman Phellea di perbincangan para gadis desa. Para gadis akan lelaki impian mereka
"Tentu saja. Kau pasti akan jadi raja yang hebat,"
"Aku sama sekali tidak tertarik."
"Sedikitpun. Kau tidak pernah sedikitpun memikirkannya?" tanya Lune penasaran bercampur tidak percaya.
Leoron berhenti, bersandar pada tembok batu yang di tumbuhi tanaman rambat, kemudian menatap Lune. Tanpa Lune sadari ternyata mereka telah sampai di depan tembok pagar belakang istana.
"Kapan aku bisa memikirkannya? Orang-orang itu terus menggangguku karena aku lahir sebagai pewaris tahta. Kau tahu apa yang aku pikirkan setiap kali orang-orang konyol itu menyiksaku? Aku tidak bisa berhenti merutuki nasibku," Leoron menimpali, "Aku sudah berkali-kali mengatakan kalau mereka bisa mengambil tahta terkutuk itu. Tapi orang-orang sialan itu benar-benar tidak mau melepaskanku."
Wajah Leoron terlihat jengkel ketika dia diam-diam merutuki dengan mulutnya.
Pengakuan yang tiba-tiba ini membuat Lune merasa dirinya adalah orang yang tidak pengertian. Tentu saja. Bagaimana bisa dia tidak memikirkan perasaan Leoron yang mengalami penindasan dari Ratu selama bertahun-tahun? Wajar saja Leoron tidak pernah memiliki waktu untuk berandai-andai ketika waktu yang Leoron habiskan selama ini hanyalah untuk bertahan hidup sendirian.
"Kalau begitu lupakan menjadi raja, apa kau tidak pernah kabur?"
Leoron menghamtam pelan tembok batu yang dingin itu dengan satu kepalan tangan, "Tembok ini, setiap kali aku melewati tembok ini, aku selalu mempertimbangkan untuk kabur."
"..."
"Tapi selama ratu belum melahirkan putra, raja tua itu tidak akan melepaskanku dengan mudah. Di satu sisi dia ingin menghilangkan aib sepertiku, tapi dia juga membutuhkanku ketika ratu tak bisa memberinya putra yang sangat dia inginkan. Pak tua itu adalah orang yang hanya peduli dengan mahkotanya."
'Bagaimana seorang ayah bisa menganggap anaknya sebuah aib hanya karena lahir dari seorang pelayan?'
Lune tidak habis pikir.
"Bagaimana jika akhirnya ratu memberinya putra?"
"Kita harus kabur."
Itu bukan kata-kata yang menakutkan tapi lengan Lune merinding. Mungkin, karena Ia bisa membayangkan hal-hal yang mengerikan dari kata-kata tersebut. Tidak ingin berlarut-larut dalam pembicaraan yang berat, Lune menekan ketakutannya dan beralih membicarakan topik lain.
"Ah, sayang sekali. Padahal aku pikir kau akan sangat cocok ketika kau menjadi raja." Lune menghela napas, sengaja menunjukkan kekecewaaannya, "Sayang sekali."
"Aku? Cocok?" tanya Leoron dengan wajah tidak percaya. 'Aku – yang serampangan dan selalu mendapat umpatan dari orang seisi istana – ini?'
"Hm," Lune mengangguk, "Apa kau benar-benar tidak tahu? Sifatmu sangat cocok menjadi Raja! Malahan menurutku, cara bicaramu yang tegas itu sudah sepatutnya dimiliki semua raja-raja. Kau berbicara seakan tidak akan goyah terhadap apapun, itu mengagumkan."
"..." Di luar perkiraannya, Leoron tidak menyangka bahwa dia cukup menikmati pujian yang diberikan secara spontan ini.
Lune menatap langit-langit mendung yang hampir menggelap sambil terus menyebutkan pendapatnya dengan serius, "Kau terlampau jujur dan terus terang, terkadang aku pikir kau terlalu blak-blak-an. Kau juga kuat dan berani..., ah, atau nekat, ya? Sangat percaya diri sampai terkadang aku pikir kau terlalu memuji diri-"
"Pfft! Kau yakin itu termasuk pujian?" tawa Leoron yang keluar tertahan.
Mata Lune mendelik melihat Leoron menganggapnya bercanda, "Aku memang tidak berniat memujimu. Aku hanya menyebutkan sifatmu yang sepertinya cocok jika dimiliki raja. Dan, yang terpenting kau tidak menakutkan dan mau membantu orang lain."
Leoron tercengang sejenak dan menatap Lune, 'Jangan-jangan dia masih berpikir aku menolongnya karena memberinya tempat tinggal. Waktu itu tidak ada pilihan lain, aku tidak mungkin membiarkan orang yang menyelamatkanku mati konyol karena musim dingin. Tapi apa dia belum menyadari juga kalau dia berada di tempat yang mengerikan? Jika saatnya tiba dia tidak kuat tinggal di istana ini dia pasti akan mengutukku. Yah, setidaknya dia tidak terjebak di sini selamanya.'
Leoron terus meyakinkan dirinya untuk mengusir rasa bersalah.
"Jangan bercanda, Lune. Dunia politik tidak akan memandang seseorang cocok atau tidak. Semua itu tergantung pihak mana yang kuat. Lagipula apa kau tidak melihatnya? Tidak ada yang memihakku."
"Aku. Aku dipihakmu," ucap Lune sambil menatap mata Leoron, mencoba meyakinkannya, kemudian segera melihat ke depan untuk mengamati langkahnya, "Asal kau tahu saja, sekarang aku salah satu pendukungmu."
"Pfft! Bukan 'salah satunya', tapi 'satu-satunya'. Kau satu-satunya pendukungku karena memang tidak ada pendukung lainnya."
"Kalau begitu aku akan jadi yang pertama. Pendukung pertamamu. Kita tidak tahu masa depan, bisa saja tiba-tiba kau menjadi raja dan memiliki banyak pendukung. Walaupun itu hanya firasatku, tapi dari dulu firasatku memang bagus."
Melihat Lune yang terlalu serius membuat Leoron mengerutkan dahi, "Kau tidak tahu lawanku siapa..."
"Ratu. Aneh sekali kalau aku belum tahu. Dia memang agak menakutkan, tapi seperti yang aku katakan tadi, kau juga orang yang kuat. Kau tidak mungkin membiarkannya menyiksamu terus, kan?"
Leoron diam sejenak, 'Kenapa tidak terpikir sebelumnya? Aku pikir aku bisa membuat mereka berhenti mengikutiku jika aku menyerah dan memberikan apa yang mereka inginkan. Tapi ada dua cara untuk menyelamatkan diri dari predator, membiarkan dia mendapatkan apa yang dia inginkan atau... mengalahkannya.'
"Kau yakin akan mendukungku?"
"Tentu saja," ucap Lune dengan enteng, "Aku akan membantumu walaupun kau memiliki banyak rumor di luar sana."
Leoron mengerutkan dahi, memberikan ekspresi was-was bercampur penasaran, "Rumor? Rumor seperti apa?"
"Lain kali akan aku beri tahu."
***