Chereads / Sang Singa dan Cahaya Rembulan / Chapter 6 - Chapter 6 : Api yang Disembunyikan

Chapter 6 - Chapter 6 : Api yang Disembunyikan

***

Mata hijau Lune perlahan mengerjap, mencoba menjernihkan pandangan matanya yang masih terlihat mengantuk. Tapi bertentangan dengan keinginannya untuk kembali tidur di kasur yang hangat, tangan pucat Lune terlanjur menggosok bola matanya seperti kebiasaan yang selalu Ia lakukan.

Sesaat kemudian terdengar suara dari pintu kamar. Lune terperanjat dan segera duduk ketika Ia melihat Leoron bersandar di pintu masuk sambil melipat tangannya.

"Ikuti aku."

Lune sedikit terkejut dengan kehadiran Leoron dari balik pintu. Ia tidak menyangka Leoron akan bangun lebih dulu darinya. Dari mana dia?

 "Kita akan kemana?" tanya Lune penasaran.

"Tentu saja mencari makanan. Kita bisa mati kelaparan kalau diam di tempat ini."

'Tidak ada pelayan yang akan menyiapkan makanan di sini?' hati Lune tenggelam. Melihat bangunan tempat tinggal pangeran yang tidak terurus saja sudah terasa aneh, tapi mengetahui seorang anak bangsawan yang tidak diberi makanan, membuat Lune prihatin.

"... Kau mengajakku?" tanya Lune tidak yakin.

Mempertimbangkan hubungannya dengan Leoron yang tidak terlalu akrab, Lune seakan tidak percaya dengan ajakannya yang murah hati. Terlebih lagi mereka baru bertemu. Sungguh mengejutkan Leoron bisa memperlakukannya dengan baik, sangat berbeda dengan kesan yang Leoron tampilkan saat di singgasana kemarin.

"Tentu saja. Bukankah kita teman? Kau yang mengajakku berteman," ucap Leoron sambil berdecak pinggang.

'Ah, waktu itu dia belum tertidur rupanya,' pikir Lune.

"Aku pikir kau sudah tidur karena tidak ada jawaban..." gumam Lune sambil mengingat-ingat kembali.

"Ayo. Berteman," kata Leoron sambil berdecak pinggang dan mengulurkan tangan kanannya . Terlihat cukup angkuh bagi orang yang melihatnya karena wajah yang santai itu, tapi di matanya sama sekali tidak menyiratkan keangkuhan sedikit pun.

Tangan Lune segera menyambut tangan Leoron yang terasa dingin sedingin es. 'Kenapa anak ini selalu terasa dingin ketika disentuh? Apa dia baru saja memegang es?' heran Lune sesaat.

Lune segera menuruni tempat tidur yang hangat sambil memakai jubahnya. Ia berjalan sedikit cepat di belakang Leoron dan mencoba mengikuti langkah Leoron yang panjang dengan tergopoh-gopoh. Dari balik jendela kaca di sepanjang lorong, Lune bisa melihat salju masih turun dengan gigihnya. Seakan-akan langit tidak pernah bosan menurunkan salju yang akhirnya tertumpuk tinggi di halaman depan bangunan.

Leoron menaikkan tudung jubahnya dan membuka pintu kayu yang tinggi, menimbulkan bunyi berderit yang mengisi keheningan ruangan. Angin dingin yang membekukan sontak berhembus dan saling berebut memasuki ruangan gelap yang pengap. Lune melihat tumpukan salju yang setinggi pinggangnya. Mustahil untuk berjalan di atasnya dengan mudah. Untungnya, terdapat sebuah jalan yang tidak tertutup salju.

'Apa dari tadi Ia menyingkirkan salju-salju ini?' batin Lune sambil mengingat tangan Leoron yang dingin tadi.

Setelah keluar dari halaman Istana Pangeran, Leoron terus berjalan melewati kumpulan pohon-pohon gundul hingga sampailah mereka di sebuah bangunan yang tinggi. Tidak seperti bangunan lain yang ditinggali para bangsawan anggota kerajaan, bangunan ini sangat sepi hingga tidak ada prajurit penjaga yang terlihat, seperti bangunan yang Leoron tinggali.

"Kita akan lewat pintu belakang," ucap Leoron tanpa melihat ke belakang.

"Kenapa?" Lune mengerutkan dahi dengan perasaaan was-was.

"Kau ingin tertangkap pelayan pencatat yang berjaga di depan?"

Sesampainya di pintu belakang, Lune mulai panik melihat sekelilingnya dengan waspada ketika Leoron mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya dan memasukkannya di gembok yang besar, 'Apa yang sebenarnya akan dia lakukan di tempat ini?!'

"T-tunggu ... Sedang apa kita ini? Bagaimana kalau di dalam sedang ada orang ..." bisik Lune dengan nada panik.

Leoron menaikkan ujung bibirnya dan tersenyum nakal. Saat melihat senyum itu, Lune langsung merasa bahwa anak ini adalah anak nakal yang suka memberontak.

"Tenanglah. Aku tidak mendengar ada suara seseorang di dalam."

"Bagaimana kau bisa seyakin itu?"

"Entahlah. Instingku berkata begitu."

Cklak!

Pintu tebal itu terbuka dengan mudahnya dan memperlihatkan ruangan luas dengan banyak perabotan dan lemari. Lune terperangah melihat banyaknya bahan makanan yang disimpan di satu ruangan yang besar ini. Setiap jenis bahan makanan di tempatkan di keranjang yang terletak di rak-rak yang rapi.

'Benar tak ada orang di dalam...'

Memikirkan bagaimana Leoron mendapatkan kunci tempat persediaan makanan kerajaan membuat Lune penasaran. Ketika Lune mencari Leoron, matanya mendapati Leoron tengah membuka sebuah lemari penyimpanan makanan yang setinggi dadanya. Lune menghampiri Leoron yang sedang meletakkan beberapa roti di bajunya.

"Sepertinya ini makanan yang dimasak malam tadi. Cepat ambil yang kau inginkan sebelum pelayan penjaga datang."

"Apa kita boleh melakukan ini? Lebih baik kita meminta dengan baik-baik," celoteh Lune penuh keraguan dan ketakutan sambil sesekali menoleh ke arah pintu, "Tidak! Tidak! Bukankah ini pencurian? Kita pasti akan tertangkap."

"Lalu kenapa? Lagipula mereka tidak akan memberikan kita makanan. Seharusnya mereka juga tidak terkejut jika kita melakukan ini. Jangan bilang kau mau mati kelaparan?" Leoron berkata dengan acuh tak acuh menggigit sepotong roti dengan santai.

'Logika dari mana itu?' Lune mengerang pusing, menyerah tapi mau tak mau setuju.

"Aku bukannya mau mati..." cicit Lune mulai setuju pada Leoron.

Namun, jika perbuatan mereka ketahuan penjaga, Lune tidak yakin semuanya akan selesai hanya karena Leoron adalah Pangeran. Ia bahkan tidak yakin kalau mereka menganggap Leoron pangeran selama mereka adalah orang-orang Ratu.

Mengingat perlakuan semua orang ke Leoron di Istana, mereka mungkin akan menghukumnya seperti saat pertama kali ia bertemu Leoron. Hari ini, Lune belajar kondisi sulit dari kehidupan Leoron. Tentang bagaimana seorang Pangeran yang mencari makanannya di Istananya sendiri.

Makanan matang yang ada di lemari tidak begitu banyak, mungkin karena itu adalah makanan sisa. Setelah mengambil dua kepal roti mentega, Lune mengedarkan pandangannya ke jajaran keranjang sayuran-sayuran di depannya.

"Jika sudah begini, kenapa kau tidak mengambil beberapa bahan mentahnya untuk persediaan?" tanya Lune yang fokus pada sayuran-sayuran yang terlihat segar.

Leoron yang tengah mengambil secuil ayam goreng berbalik menatap Lune dengan wajah datar. "Apa kau pikir aku bisa masak?"

Sejenak Lune hampir lupa dengan siapa ia berbicara. Sebagai anak bangsawan, sangat memungkinkan jika Leoron tidak pernah memasak.

Lune dengan gugup membuka mulutnya, "S-saya, maksudku, aku yang akan memasak."

"Kalau begitu kemarilah."

Leoron melangkah mendekati peti besar di pojok ruangan. Ketika peti itu dibuka, kepulan uap putih yang dingin menyembur ke luar dengan perlahan. Lune terpana melihat potongan daging ayam yang terselip rapi di antara tumpukan es. Pemandangan makanan mahal ini terasa asing bagi Lune.

"Lihat daging-daging ini. Aku ingin mengambilnya. Apa kau mau juga?" tanya Leoron sembari memindahkan beberapa potong daging dan kepingan es ke dalam sebuah wadah kecil dari gerabah.

"Iya!"

Lune dengan cepat mengangguk dengan bersemangat. Ia tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk makan daging. Secuil daging yang hanya bisa Ia dapatkan dari kemurahan hati para saudagar, kini bisa Ia nikmati lagi setelah sekian lama. Di kepalanya berputar berbagai bayangan ide masakan dari daging tersebut yang dengan segera membuat liurnya tertelan dengan keras. 

"Sungguh cepat sekali perilakumu berubah," ejek Leoron sambil terkekeh.

Rona merah terlihat di pipi Lune yang berpura-pura tidak mendengar apapun.

"Kau carilah bahan lain. Kita harus segera pergi," tukas Leoron yang masih fokus dengan dagingnnya.

"Aku akan lakukan dengan cepat,"

Lune segera mengambil beberapa bahan mentah dan bumbu ke dalam selembar kain hitam yang tebal untuk membungkus bawaannya.

Jantungnya berdegup senang ketika memeluk buntalan kain yang berisi seikat penuh bahan makanan yang segar. Anehnya, kegelisahan yang menghantui pikirannya karena melakukan pelanggaran ini perlahan tergantikan dengan perasaan bersemangat.

Ketika Ia berlari di belakang Leoron, kepulan uap dingin yang keluar semakin banyak itu muncul dari bibir Lune yang tersenyum. Lune merasakan detak jantungnya berdetak semakin cepat karena pengalaman asing yang pertama kali dia lakukan.

***

Setelah berburu makanan, Leoron segera pergi entah ke mana, meninggalkan Lune yang jelas tak memiliki hal lain untuk dikerjakan selain berdiam diri di rumah dan berkutat dengan rasa bosan karena salju yang masih turun.

"Haaa..." Helaan napas penuh simpati keluar dari mulut Lune ketika Ia melihat-lihat kembali isi bangunan di mana Leoron tinggal. Walaupun ini bukan pertama kalinya, tapi kepalanya tak bisa berhenti menggeleng saat matanya menemukan ruang tamu yang kotor dan berantakan.

Entah dari mana tekad yang gigih itu muncul, yang pasti Lune yakin bahwa hari ini dia yang akan menyelamatkan ruang tamu ini dari 'kemalangan' karena kurangnya perawatan. Lagipula Ia tidak ingin dilanda rasa bosan selama seharian penuh ini.

Karena itu, Lune segera mencari alat pembersih yang terlihat sudah usang, tapi untungnya masih bisa digunakan. Gadis dengan mata sayu itu segera membersihkan kursi-kursi, mengelap meja dan jendela dengan salju yang mencair, menyapu lantai batu yang dingin, hingga menghilangkan sarang laba-laba yang melekat di semua tempat.

Tidak terasa langit mulai menggelap. Selepas membersihkan seluruh rumah dengan gigih, Lune teringat dengan bahan makanan yang Ia simpan di dapur. Mengabaikan tubuhnya yang meronta lelah, Lune segera meracik beberapa bumbu. Barangkali kebiasaan bekerja ketika berada di desanya masih Ia bawa.

Namun, ketika Lune melihat tungku yang dingin, lagi lagi Ia menghela napas.

'Tidak ada api...' keluh Lune.

Ruangan dapur yang sunyi itu berubah menjadi berisik karena pencarian minyak dan korek api. Sekalipun Lune mengobrak-abrik semua laci, barang yang dicarinya tak juga kunjung Ia temukan.

Brak!

Tiba-tiba terdengar suara pintu kayu yang terbuka, membuat Lune terperanjat dan menoleh ke arah pintu belakang dengan tatapan waspada. Bagaimanapun juga Leoron sedang tidak ada di rumah. Jika terjadi sesuatu yang buruk terjadi, Lune tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya.

Namun, kekhawatiran yang dramatis di pikiran Lune segera menghilang ketika tubuh tinggi yang familiar itu muncul sambil mengibaskan tangannya untuk membersihkan salju di jubah dan bajunya.

Lune menghela napas lega, "Leoron!" teriak Lune meluapkan rasa kaget bercampur gemas, "Kau tahu betapa kagetnya aku?"

Bocah laki-laki itu masih saja sibuk berurusan dengan baju hitamnya yang diselimuti salju tipis tiu tanpa memalingkan pandangannya berkata, "Aku tidak terbiasa dengan suara berisik di rumah ini. Jadi aku pikir seekor tikus sedang menghancurkan dapur."

Seseorang yang disalahpahami sebagai 'tikus' kelihatannya menyimpan sedikit rasa tidak terima dan menimpali dengan nada tidak percaya, "T-tikus?"

'Apa dia benar-benar harus mengatakai aku tikus?' Lune tak habis pikir.

Sebelum Lune melepaskan niatnya untuk melakukan pembelaan diri yang sia-sia, Leoron sudah menyebarkan pandangannya dan mengeluarkan suara kagumnya, "Wah! Apa kau yang mengubah dapur kotor yang tidak tertolong itu menjadi sebersih ini?"

"Tentu saja. Tidak mungkin seekor tikus yang melakukannya," ucap Lune yang memilih fokus melanjutkan pencariannya.

"Pfft!" Leoron menyimpan tawa dengan hati-hati. 'Sejak kapan mulutnya jadi pedas begini?' batin Leoron.

"Apa yang kau cari?"

Tangan Lune terhenti. Untuk sesaat Ia melupakan Leoron sebagai tuan rumah, dengan cepat Ia berbalik dan berkata, "Ah! Apa kau punya korek api? Kita perlu menyalakan api untuk memasak daging-daging ini."

"..."

Leoron tak segera menjawab dan terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu. Namun, keraguan yang yang terpancar di mata kelabunya itu, entah mengapa tiba-tiba menghilang.

"... aku punya. Tutuplah matamu kalau kau ingin aku menyalakan apinya."

"Benarkah? Biar aku saja yang nyalakan-"

"Harus aku," tegas Leoron dengan wajah datar.

Lune menatapnya sejenak seakan ingin menanyakan sesuatu tapi akhirnya terurungkan. "Baiklah," ucap Lune mengalah sambil berbalik dan menutup matanya.

Setelah keheningan agak lama, Leoron berjalan menuju tungku. Ia mulai mengangkat lengannya dan melihat telapak tangannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Setelah sisa keraguan yang bersarang di matanya lenyap, Ia mengayunkan tangannya ke arah tungku dan muncullah kobaran api merah dari telapak tangannya.

Whush!

Api merah itu menyala dengan ribut di dalam tungku, hingga setelah beberapa saat mereka membakar kayu dengan tenang.

Mata Leoron yang tadinya termenung tiba-tiba tersadar. Wajahnya berubah menjadi linglung seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja Ia lakukan.

'Kenapa aku bilang ingin menyalakan api? Apa kau gila, Leoron? Hanya untuk memasak secuil daging sapi?' batin Leoron frustrasi sambil menutupi wajahnya dengan tangan.

'Haaa... Aku bahkan tidak mengeluarkan api ini ketika aku hampir mati di tangan prajurit bodoh itu.'

Di balik jari-jemarinya, mata Leoron menatap Lune. Untuk ukuran gadis utara yang umumnya bertubuh tinggi, anak di depannya itu tidak terlihat cukup tinggi. Hanya kepala kecil, rambut pendek, dan punggung yang mungil. Bagi Leoron, gadis kerempeng ini jelas bukan ancaman baginya.

Jika dipikir-pikir lagi, ada sesuatu yang menarik perhatiannya, rambut pendek berwarna putih kekuningan itu. Tidak bisa dikatakan putih, dan bukan warna sekuning bunga matahari. Itu lebih seperti warna cahaya bulan. Entah mengapa Leoron menyukainya. Menilai dari kepribadiannya, dia sendiri bahkan tidak menyangka bisa menyukai warna seperti itu.

Mendengarkan suara letupan api yang mulai membakar kayu hingga gosong, Lune menaikkan kepalanya dan bertanya, "Apa apinya sudah menyala? Aku harus segera memasukkan dagingnya ke tungku."

"Sudah."

Ketika melihat tangan Leoron memegang wajahnya sendiri, Lune yang sibuk menyiapkan dagingnya berkata, "Apa kau sangat kelaparan? Oh, aku akan melakukannya dengan cepat."

"... sepertinya memang karena aku kelaparan..." gumam Leoron yang masih mencari pembenaran konyol tentang mengapa Ia mengeluarkan kekuatan apinya.

Lune tengah sibuk meletakkan dua daging yang Ia bawa di atas tatakan kayu dan mendorongnya masuk ke tungku. Tidak mendengar suara dari belakangnya, Lune berkata, "Tunggulah di meja makan saja."

Ketika Leoron sampai di ruang makan, hanya kegelapan dan kesunyian yang menyambutnya seperti biasa. Barangkali ada satu hal yang berbeda, bahwa ruangan ini ternyata juga telah dirapikan.

Memikirkan bahwa bangunan yang terbengkalai ini bisa tertata rapi seperti sekarang dalam sehari, membuat Leoron terkekeh tak percaya, 'Apa tangannya itu tangan emas, hah?'

Whush!

Kobaran api itu tiba-tiba melesat dari telapak tangan Leoron menuju perapian di dekat meja makan, membuat ruangan yang dingin itu menjadi hangat dan terlihat sedikit terang.

'Anggap saja ini imbalan.'

Setelah berselang beberapa waktu, terdengar bunyi sepatu yang melangkah di bebatuan yang keras. Muncullah Lune yang meletakkan 2 piring di meja, menghampiri perapian dan mendekatkan tangannya di perapian dengan sumringah.

 "Wah! Ada penghangat di ruang makan? Aku pikir aku akan kedinginan saat makan malam."

Lune terus menggosokkan tangannya di dekat perapian, sama sekali tidak menghiraukan suara dentingan garpu dan piring Leoron.

Ketika suara berisik garpu itu terhenti, Lune menoleh ke arah Leoron sambil berjalan menuju meja makan, "Kenapa?"

"Tidak ada. Hanya saja, ini pertama kalinya aku menikmati makan malam bersama seseorang di rumah ini," ucap Leoron singkat sambil melanjutkan makan malamnya.

"Hei. Itulah gunanya teman. Kita bisa lebih sering makan bersama lagi ke depannya."

"... Karena sudah membersihkan rumahku dan menemaniku, ... – aku jarang mengatakan kalimat ini, tapi – Terima kasih," ucap Leoron lirih sambil terus fokus pada makanannya.

Menerima ucapan yang tidak terduga itu membuat Lune buru-buru merapatkan bibirnya dan menahan tawa geli.

'Pfft! Kenapa dia jadi lucu begini?'

***