Chereads / Sang Singa dan Cahaya Rembulan / Chapter 3 - Chapter 3 : Pertemuan di Bawah Pohon Gundul

Chapter 3 - Chapter 3 : Pertemuan di Bawah Pohon Gundul

***

Suara ranting pohon yang gundul di samping jendela berderik dengan aneh ketika diterpa angin yang lembut. Lune mengedipkan matanya karena suara berisik yang konstan itu.

Kaki kecilnya mulai beranjak meninggalkan kasur menuju jendela kayu yang terlihat usang dan sudah tua, sedikit sulit dibuka dengan tangan kecil Lune.

Salju masih turun dengan perlahan, tidak sekencang seperti kemarin. Tiba-tiba ia mengerang pelan merasakan perutnya yang melilit kelaparan. Tidak ada siapa-siapa saat Lune berjalan melewati dapur. Sepertinya Lune bangun lebih awal bahkan dibandingkan pelayan.

Ketika Lune membuka pintu kayu dengan putus asa, salju-salju yang turun dengan lembut mulai menyambutnya. Lune menghela napas ketika memikirkan ketidakberuntungannya, disaat-saat ia kelaparan bertepatan dengan musim dingin.

Lune mulai berjalan lurus. Ia bahkan tidak berani berbelok karena takut tak bisa kembali ke tempat semula. Langkah kaki kecil itu bertambah banyak seiring dengan napas terengah-engah yang semakin berat. Ia tidak dapat membayangkan seberapa luasnya tanah yang dimiliki anggota kerajaan hanya untuk membangun istana. 

Hampir mustahil di musim dingin ini, ia bisa menemukan buah-buahan yang lezat. Lune menghentikan langkahnya ketika melihat lahan yang hanya ditumbuhi pepohonan tanpa terlihat bangunan di depannya. Dan di antara pepohonan yang gundul itu, Lune melihat pohon-pohon pinus.

Setelah memetik beberapa buah pinus yang rendah, Lune mulai mengambil biji-biji pinus dan memukulnya dengan batu kecil di bebatuan. Lune meletakkan kacang pinus yang sudah terkupas dipangkuannya. Setelah cukup terkumpul di genggamannya, Lune memasukkan kacang itu dengan rakus ke mulutnya. Rasanya sangat mentah dan kering, kacang-kacang itu masuk ke kerongkongan Lune yang kehausan.

Lune mulai berjalan maju berharap ia menemukan sesuatu yang dapat dimakan. Di balik pohon pinus yang tinggi, Lune tersentak ketika melihat sebuah bangunan di depannya.

'Bangunan aneh. Terlalu lusuh untuk disebut istana...'

 Bangunan yang terpisah dengan yang lain itu terlihat lusuh dan lebih kecil dibandingkan bangunan lain. Ketika mata mungilnya mengintip di balik pepohonan, halaman kosong yang terlihat luas dan tak terawat itu menyambut pandangannya.

Mata Lune berhenti dan menyipit. Itu hanyalah pohon gundul yang tumbuh di samping bangunan. Tapi ada sesuatu di bawahnya. Lune menutup mulutnya yang menganga karena terkejut setelah pandangannya mulai jelas.

'Astaga! Siapa itu?' batin Lune.

Seorang anak laki-laki dengan jubah hitam, berdiri lemas sambil menyandarkan punggungnya di batang pohon dengan tangan terikat tali yang menggantung di atasnya. Wajahnya tertutup oleh jubah karena kepalanya menunduk seperti orang yang tertidur.

Walaupun salju yang turun tidak sedingin kemarin, tapi tidak sehangat itu untuk bisa berdiri di luar. Lune berlari dengan susah payah ke arah bocah laki-laki itu, di tengah tumpukan salju yang setinggi setengah lututnya. Langkahnya semakin memelan dengan ragu saat jarak mereka semakin dekat.

'Dia masih hidup, kan?'

Berapa lama dia ada di luar? Tubuhnya terlalu besar untuk ukuran anak-anak. Tapi tidak sebesar itu untuk bisa disebut orang dewasa. Berapapun umurnya, Lune berpikir tidak seharusnya orang berdiam diri di luar.

Lune dengan ragu mengulurkan tangannya dan perlahan menggoyangkan bahu anak itu. Sebelum kepala Lune mendongak lebih dekat untuk memeriksa wajahnya, anak itu dengan cepat mengangkat kepalanya dan menggeram keras seperti seekor singa yang marah.

Reaksi yang tiba-tiba itu membuat bahu Lune tersentak kaget hingga ia tersungkur ke belakang di antara tumpukan salju yang empuk.

Bruk!

Matanya yang tajam menatap Lune seakan ingin mencekik. Geraman menakutkan itu keluar dari mulutnya yang terbuka, memperlihatkan gigi-giginya yang mengatup dengan keras dan gigi taring tajamnya yang mengancam. Lune memucat karena ketakutan.

"Sialan! Pergi kau!" ucapan yang tajam itu keluar dengan sangat dingin dan mengancam.

Mata Lune gemetar saat melihat mata yang menatapnya dengan penuh kemarahan. Namun, ketika melihat udara putih yang keluar dari mulut dan hidung orang di hadapannya, entah bagaimana ketakutannya mulai mengikis seperti bangunan pasir yang runtuh. Wajah menakutkan di depannya tampak sangat pucat seperti orang yang hampir mati kedinginan.

Lune mulai menenangkan dirinya dan berdiri sambil mempertahankan mata tenangnya yang sayu. Di tengah salju seperti ini, Ia tidak mungkin meninggalkan manusia yang berdiam diri di sini sampai mati kedinginan. Dia tidak bisa melihat orang mati karenanya. Tidak lagi ...

Lune mendongakkan matanya untuk melihat wajah anak laki-laki di depannya. Wajah tajamnya terlihat seperti orang marah dengan kerutan di antara alisnya yang terangkat. Entah bagaimana, Lune pikir jika Ia menunggunya dan menatapnya lebih lama, orang ini tidak akan marah lagi.

Mata abu-abu anak laki-laki itu menatap Lune dengan kebingungan, seolah ia sedang melihat kelinci yang bertanduk rusa. Lune mengabaikan pandangan yang tertuju padanya. Ia terus melihat wajah yang lebih gelap dari miliknya itu, ternyata lebih pucat jika dilihat dari dekat.

Ketika kerutan di antara alis anak laki-laki itu menghilang, Lune mulai melepaskan rasa penasarannya dan menempelkan telapak tangannya ke pipi bocah di depannya yang lebih pucat dari bunga teratai. Telapak tangan hangatnya merasakan sesuatu yang dingin, sedingin es. Sedangkan, pihak lain merasakan kehangatan yang mengejutkan. Tidak ada yang tahu siapa yang terkejut lebih dahulu. Entah Lune atau anak laki-laki itu.

Lune memekik dan menjauhkan tangannya, meninggalkan wajah yang menyiratkan sedikit kekecewaan.

"Astaga! Wajahmu... benar-benar sedingin es!"

Lune tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran dan rasa tidak percayanya. Ketika tubuhnya sedingin es dari utara, bagaimana bisa terlihat baik-baik saja?

Lune tidak mempedulikan wajah anak di depannnya yang melihatnya dengan linglung. Ia langsung menggosokkan kedua telapak tangannya dengan kencang. Setelah merasakan panas di telapak tangannya, Lune segera menangkup kedua pipi yang dingin itu dengan telapak tangannya.

Bahkan setelah menggosok kedua tangannya hingga sangat panas, telapak tangannya menjadi dingin dengan cepat setelah menempel di pipi itu. Lune menggigit bibirnya dengan khawatir karena memikirkan langkahnya yang sia-sia. Ia terlalu fokus mengusap tangannya tanpa menyadari mata yang membelalak di depannyamenatapnya dengan terkejut. Anak laki-laki itu mematung seperti pahatan, Ia menelan ludah dangan perlahan dan membuka suaranya dengan ragu.

"H-hei.."

Lune mulai tersadar setelah mendengar suara gumaman yang gugup. Sebelum anak itu melanjutkan suaranya, Lune dengan cepat menurunkan tangannya dan menatapnya dengan serius.

"Kau harus masuk ke rumah," kemudian matanya mendongak melihat tali yang mengikat tangan anak itu dan diam sejenak, "Ah! Tapi, bagaimana aku bisa melepaskan tali itu?"

Setelah tenggelam dalam keraguan dan diam yang agak lama, anak laki-laki itu akhirnya mengatakan sesuatu, "...ambil sesuatu di pinggangku."

Lune tidak menemukan apapun di pinggang anak itu. Kemudian, dengan ragu menyingkap lapisan terluar pakaian hitam itu dan menemukan sebuah pisau yang menggantung di ikat pinggangnya.

Anak laki-laki itu menatap Lune dengan mata curiga dan waspada seperti seekor hewan buas yang menghadapi pemburu. Segera setelah Lune mengangkat pisaunya, anak itu dengan refleks mundur dengan cepat.

'Apa dia setidakpercaya itu padaku?' pikir Lune sedikit tersinggung. Di sisi lain, Lune merenung dalam ketika ia menyadari bahwa tangan yang terikat tali itu sangat tinggi.

Kemudian, Lune berlari kecil ke arah batu yang lebih tinggi dari setengah lutunya dan mendorongnya dengan lambat seperti siput yang terengah-engah. Sama sekali tak mempedulikan anak laki-laki yang menatapnya dengan tatapan kompleks.

Ia segera mendekat dan berjinjit. Tangan yang pucat dan dingin itu tampak lebam berwarna ungu karena kekangan tali yang tebal. Setelah menggoreskan pisau ke tali, akhirnya tangan itu terlepas dari tali yang menggantung ke atas, hanya menyisakan sehelai tali yang menggantung pada ranting pohon. Anak itu menurunkan tangannya dari atas kepalanya dan mengurai simpulnya dengan mudah.

"Kau! pergilah dari tempat ini."

Lune terkejut, "Pergi? aku baru sehari tiba di istana ini," helaan napas keluar dari mulut Lune ketika Ia melopat turun dari bongkahan batu, "Lagipula aku tak punya tempat tujuan lain. Mungkin saja mereka bisa memberiku pekerjaan di sini. Setidaknya di sini lebih aman daripada aku menjadi budak atau mayat yang membeku."

"..." 

"Aku tak bisa pergi meskipun aku mau."

Ketika melihat anak itu terdiam, Lune tersadar bahwa Ia telah menerocos terlalu banyak. Ia mengeluarkan batuk kecil sambil mengalihkan pandangannya ke seutas tali yang menggantung di atas pohon, "Omong-omong,.... siapa yang melakukan ini padamu?"

"..."

Melihat anak yang hanya diam saja, Lune mengerutkan alisnya dengan sedikit kesal.

" ... kau bisa melapor pada penjaga-" ucap Lune sembari menggosok-gosok hidungnya yang mulai kedinginan. Namun, sebelum ucapan Lune selesai, terdengar suara selaan yang mendesak.

"Sstt! Penjaga datang."

Lune segera memutar kepalanya dengan bingung, tapi tidak melihat siapa-siapa. "P-penjaga? Memangnya ada apa dengan penjaga?"

Setelah menyelesaikan ucapannya, Lune mendapati anak laki-laki itu sudah bersembunyi di sisi lain pohon sambil memainkan pisau yang telah dia ambil dari tangan Lune. Lune ingin bertanya kapan pisau itu ada di tangannya, tapi ia mengurungkan niatnya karena penasaran akan hal lain. Namun, samar-samar Lune mendengar suara, itu adalah teriakan dua orang penjaga dari kejauhan.

"... jangan melihat ke arahku."

Mendengar suara anak laki-laki yang berbisik itu, Lune memalingkan wajahnya dan mematung dengan tegang sambil melihat dua penjaga yang berjalan ke arahnya dari kejauhan. Cukup dengan kalimat itu, Lune tahu bahwa anak itu tidak ingin ketahuan oleh penjaga. Lune menggerakkan kepalanya pelan, hampir tidak kelihatan mengangguk.

 "Siapa namamu?" tanya anak laki-laki itu.

"... Lune," bisik Lune pelan, sekuat tenaga untuk tidak menggerakkan bibir dan kepalanya.

Wajahnya semakin tegang karena dua penjaga itu mulai memasuki halaman yang tertutup salju. Lune dapat mendengar samar suara penjaga yang menggerutu dengan keras ketika mereka melewati tumpukan salju itu.

"Pfft!"

Sampai akhirnya lamunan ketegangannya buyar karena suara tawa yang tertahan dari tempat bocah laki-laki itu. Lune mengernyit.

'Kenapa bocah itu malah menertawakanku?!' 

"Hei, Nak! Apa yang kau lakukan di sini?!"

Salah satu penjaga yang agak gemuk itu melempar pertanyaan dengan kasar sembari berjalan mendekati Lune. Lune dengan panik berlari ke arah penjaga agar mereka tak mendekati pohon tempat anak itu bersembunyi.

"S-saya tersesat, Tuan."

Lune bicara dengan tergagap. Tapi sepertinya penjaga itu tidak terlalu memperhatikan karena mata mereka berkeliling ke tempat lain.

"Apa kau lihat anak laki-laki di sekitar sini?"

Lune tertegun mendengar suara penjaga lain yang bertubuh kurus dengan kantung mata sebesar buah ceri. Itu adalah pertanyaan yang ia waspadai.

"Saat saya tiba di sini, ... saya melihat seorang anak yang lari ke arah sana," Lune menunjuk ke arah berlawanan dari tempat persembunyian anak itu, jarinya mengarah ke lahan yang penuh dengan pohon-pohon yang gundul.

"Haih! Apa kita harus mencarinya?! Rubah kecil sialan itu-"

"Kita harus mencarinya. Bagaimana kau bisa menolak kalau ini perintah Ratu," Penjaga kurus itu dengan malas memotong ucapan temannya sebelum mengumpat lebih kasar. Kemudian menghela napas dan memijat-mijat keningnya. "Kali ini pun dia bisa lolos dari tali setebal ini...?"

Lune terdiam membisu mendengar ucapan yang menghujani kepalanya. 'Sebenarnya, siapa yang baru saja aku tolong? Apa aku baru saja melepas pencuri? Tapi sepertinya menggantung seseorang di luar bukan sesuatu yang bijak,' pikir Lune cemas.

Fakta bahwa mereka sengaja mengikat seorang anak di tengah musim dingin saja sudah mengagetkannya, tapi mendengar kata 'ratu' membuatnya tambah linglung.

"Kalau tertangkap, akan aku potong otot kaki licinnya itu!!"

"Heheh, kalau kau bisa," ucapan itu terdengar dengan cekikikan yang mengejek, "Kau carilah dulu di sekitar sini. Aku akan mengantar anak ini pergi," penjaga bertubuh ramping itu berkata sambil berbalik, meninggalkan kawannya yang menggerutu.

Lune menunduk, mencoba tidak berbalik dan menatap pohon tempat anak itu bersembunyi. Pikirannya kalut, tapi kemudian ia mengikuti penjaga itu dengan patuh dan mulai meninggalkan kawasan bangunan yang terbelenggu itu. Semuanya selesai. Tapi entah kenapa, Lune tidak bisa menghela napas lega.

'Apa dia akan baik-baik saja?'

***