Gwen kembali
memperlihatkan video Miss Black
kepada Rose.
"Miss Black tidak pernah
memperlihatkan wajahnya di
video. Yang terlihat hanya bagian
pundak ke bawah. Tapi justru sisi
misteriusnya ini yang membuat
orang-orang semakin penasaran."
"'Sepertinya kamu salah satu
penggemar Miss Black, Gwen.
"lya. Aku berharap suatu hari
bisa menguak identitas Miss Black
yang sebenarnya.
Dering ponsel Rose
menghentikan obrolan mereka.
Gwen melirik sebentar dan melihat
nama "Daddy" muncul di layar ponsel Rose.
"Itu dari ayahmu, Rose?" tanya
Gwen penuh selidik.
"Aku lang duluan Gwen.
Nanti aku akan menelponmu," kata
Rose melambaikan tangannya.
Gwen mengerutkan kening
melihat sikap aneh. Rose. Setiap
kali ada panggilan dari "'si Daddy",
Rose selalu buru-buru pergi. la
penasaran apakah ayahnya Rose
seorang pria yang sangat galak
sehingga putrinya sampai
ketakutan.
Sembari memastikan tidak
ada orang yang mengikutinya,
Rose berjalan menuju ke parkiran.
la membuka pintu mobil lalu
menerima panggilan tersebut.
"Ada apa, Daddy?" tanya Rose.
"Nona, Anda ada dimana sekarang?"
ende gar suara pria yang
sudah akrab di telinganya
membuat Rose tersenyum.
Selama tujuh tahun terakhir,
Denzel tak henti
memperhatikannya. Pria itu tidak
hanya bertindak sebagai wali tapi
juga setia menjadi mentor dan
pelindungnya.
Denzel sangat protektif
terhadap Rose. Walaupun pelaku
pembunuhan Louis Brown telah
dipenjara, Denzel yakin jika supir
pribadi Louis bukanlah pelaku
sebenarnya. Kemungkinan besar
sang dalang pembunuhan justru
masih berkeliaran dengan bebas di
luar.
Denzel juga mengajari Rose berbagai macam hal tentang dunia
properti sendiigu's menjalankan
perusahaan dengan baik.
Sedangkan Rose hanya
diperbolehkan bekerja di belakang
layar. Tidak ada satu pun
karyawan maupun manajer yang
mengenali Rose sebagai pemilik
Brown Group.
Denzel adalah pengganti
sosok ayah bagi Rose. Karena itu
Rose memanggilnya dengan
sebutan Daddy. Denzel pun tidak
keberatan dipanggil seperti itu
meskipun ia lebih pantas menjadi
kakak Rose. Rose merasa sangat
beruntung memiliki Denzel di
sisinya. Apalagi pria itu
mengabaikan kehidupan
pribadinya sendiri demi
melaksanakan amanat ayahnya.
Hingga kini Denzel belum menikah maupun terlihat menggandeng
Vseorang kekasih.
ANC 9ih di kampus,
sebentar lagi akan pulang.
"Jangan lupa makan siang,
Nona. Sudah membaca proposal
perumahan Lancewood?"
"Sudah. Aku menyukai
konsepnya. Aku setuju jika kita
memulai proyek pembangunannya
bulan depan."
"Kalau begitu nanti malam
saya akan ke rumah Nona untuk
mengambil proposal. Sekalian
mengantarkan dokumen
kesepakatan dengan Grand Corp.
Nona harus menandatanganinya
sebelum hari Kamis."
"Tidak perlu. Besok aku akan datang ke kantor setelah
mengikuti audisi biola. Aku
merindıkan suasana kantor."
Rose mengatakan itu dari
lubuk hatinya. Terkadang ia sangat
merindukan kantor Brown Group
karena disitulah tersimpan banyak
kenangan ayahnya. Di ruangan
CEO, Rose bisa melihat foto-foto
sang ayah dan beberapa benda
kesayangannya. Meskipun Rose
harus menyamar, itu tidak
masalah baginya.
"Nona, Anda harus
berhati-hati jangan sampai...."
"lya, aku mengerti. Aku akan
menyamar seperti biasanya.
Jangan lembur lagi hari ini, Daddy.
Sampai jumpa besok di kantor,"
ucap Rose menutup telponnya.Kompleks pemakaman Saint
Lorenz tampak lengang di sore
hari. Seorang pria muda berjalan
memasu. gerbang sambil
membawa buket mawar merah. la
sengaja memakai topi dan
kacamata hitanm untuk
menyamarkan wajahnya. Yah, dia
tidak ingin memancing
pemberitaan di media jika sampai
ada orang yang mengenalinya.
Pria itu berhenti di sebuah
nisan berwarna putih. Pusara yang
terbuat dari granit itu tampak
bersih dan terawat. Di atas batu
nisan tertulis sebuah nama
dengan tinta emas, Jessica
Brown. Pria itu bersimpuh lalu
meletakkan bunga mawar yang
dibawanya.Sejenak ia diamn tak bergerak,
seolah merenungi sesuatu.
"Mama, besok aku akan
kembali. Sebenarnya aku tidak
inginm inggalkan kota ini, tapi
aku sudah berjanji akan
melaksanakan pesan terakhir
Mama. Aku tidak akan
membiarkan anak dari
selingkuhan Papa menguasai
harta keluarga Brown. Bila perlu
aku akan membalas perbuatan
ibunya yang sudah membuat
Mama menderita."
Pria itu memanjatkan doa
dengan tulus. Dengan berat hati, ia
meninggalkan makam ibu
angkatnya dan berjalan
meninggalkan area pemakaman.
Setelah sampai di mobil, pria
itu mengambil ponselnya. la
menghubungi pelayan setianya sebelum kembali ke apartemen.
"Sam, apa semua baju dan
barang-barangku sudah
dimasu
e dalam koper?"
"Sudah, Tuan Muda."
"Bagus. Jam enam pagi aku
harus berangkat ke bandara. Aku
pergi dengan penerbangan
pertama. Tolong persiapkan
semua keperluanku. Jangan ada
yang tertinggal."
"Baik, Tuan Muda."
Pria itu mengakhiri
panggilannya. Berikutnya jari
jemarinya berselancar dengan
lincah di dunia maya. la sedang
mengumpulkan berita dan artikel
mengenai pewaris utama Brown
Group. Pasalnya hingga kini ia tidak pernah muncul di publik.
Para relasi bisnis pun belum
pernan biap muka dengan
wanita ini karena semua urusan
diwakilkan kepada asistennya.
Mereka hanya mengenalnya
sebagai Miss Black.
Seulas senyum dingin
tercetak di bibir pria itu.
Memperlihatkan lesung pipit yang
menghiasi paras tampannya.
"Mungkin kamu bisa
bersembunyi dari dunia. Tapi
kamu tidak akan lepas dari
tanganku. Kita lihat sampai berapa
lama kamu bisa bersembunyi
dariku, Miss Black,"
gumam pria itu mengepalkan Ruang audisi sudah dipenuhi
oleh para peserta. Rose
memandang ke kiri dan ke kanan,
mercartnat duduk yang masih
kosong.
"Rose sebelah sini," teriak
seseorang memanggilnya.
Rose berpaling dan melihat
gurunya, Mr. Robert, duduk di
deretan bangku nomor tiga dari
belakang. Di sebelah Mr. Robert
ada seorang gadis berbaju merah.
Gadis itu tak lain adalah Anneth.
Entah mengapa Anneth muncul di
acara audisi. Yang jelas
kehadirannya pasti memiliki tujuan
tertentu.
"Maaf, Mr. Robert, saya
terjebak kemacetan," kata Rose
meletakkan tas biolanya di bawah
kursi."Aku kira kamu tidak akan
datang, Rose," sindir Anneth.
AU
ya baru dimulai
sekitar lima menit lagi. Apa kamu
sudah mempersiapkan diri, Rose?
Aku yakin lagu Vivaldi tidak sulit
untukmu."
"lya, saya sudah berlatih
semalam. Semoga penampilan
saya tidak mengecewakan.
Tak berselang lama, dewan
juri duduk di kursi masing-masing.
Pembawa acara mulai memanggil
peserta audisi untuk bersiap di
belakang panggung. Anneth bisa
menangkap bias kecemasan di
wajah Rose dan itu membuatnya
senang.
"Mr. Robert, saya harus ke
belakang panggung sekarang.Saya mendapat nomor urut
sepuluh," pamit Rose.
"Bersenmangatlah, Rose," ucap
nberikan dukungan.
Mr. Rober
Anneth berdiri dan
membisikkan sesuatu pada Rose.
"Hati-hati, Rose. Sainganmu
adalah para senior. Jangan
sampai kamu gugup dan
melakukan kesalahan di atas
panggung."
"lya," jawab Rose singkat.
Berdiri sambil menantikan
giliran, membuat detak jantung
Rose naik turun bagai roller
coaster. Ini adalah pengalaman
pertamanya tampil di hadapan
umum. Ditonton langsung oleh
sekian pasang mata memberikan
tekanan tersendiri bagi Rose. Tapi
ia tidak bisa mundur.Bagaimanapun ia harus mampu
meng rasa gugupnya.
"Peserta nomor sepuluh,
Nona Rose Carter."
Rose menarik nafas
dalam-dalam. Bermodalkan
keyakinan, Rose membawa
biolanya ke atas panggung. la
mengucapkan salam kepada
dewan juri kemudian mulai
menggesek senar biolanya.
Alunan Concerto in A Minor
terdengar memenuhi seluruh
ruangan. Dengan lincah jemari kiri
Rose bergantian menahan senar,
sementara tangan kanannya
menggerakkan bow secara teratur.
Sungguh lagu yang dimainkan
Rose mengalun sempurna.
Temponya juga sangat pas sehingga membuat penonton
terhanyut dalam permainan
biolanya
Dari kursinya, Anneth
membelalak tak percaya. Ila tidak
mengira Rose memiliki
kemampuan sehebat itu sebagai
violinis pemula. Bahkan ia bisa
menandingi keahlian para
seniornya.
Tepuk tangan penonton
membahana usai Rose
menyelesaikan lagunya. Mr.
Robert sampai berdiri dari
duduknya karena bangga atas
penampilan Rose.
Berbanding terbalik dengan
yang dialami Anneth. Rencana
yang telah disusunnya gagal total.
Justru ia melakukan kesalahan
besar dengan mendaftarkan Rose ai pe a audisi. Kini Rose
sebagai
malah mendapat apresiasi dari
semua orang. Dan lebih parahnya
lagi, ia bisa terpilih oleh dewan juri
untuk mengikuti konser.
"Shit! Aku tidak akan
membiarkan Rose berada di atas
angin. Aku akan mencari cara lain
untuk mempermalukannya," batin
Anneth kesal.
Rose baru selesai mandi dan
mengganti bajunya dengan setelan
blazer. la butuh menyegarkan diri
setelah melewati proses audisi
yang menegangkan. Namun ia
bersyukur karena semua usahanya
tidak berakhir sia-sia. Impiannya
mengikuti konser besar akan
erwujud dalam waktu dekat."Rose, keluarlah. Tuan Denzel
mencarimu," seru Lily mengetuk
kalar Rose.
pintu
"lya, Auntie, aku segera turun.
Rose menyisir rambutnya lalu
bergegas menuruni tangga. Tidak
biasanya Denzel mengunjunginya
di sore hari kecuali ada masalah
kantor yang mendesak.
Setengah berlari, Rose menuju
ke ruang tamu. Ingin sekali
rasanya dia berbagi kebahagiaan
dengan Denzel.
"Daddy, kenapa kesini? Aku
baru saja akan berangkat ke
kantor. Maaf jika aku terlambat
karena aku menunggu
pengumuman hasil audisi," jelas
Rose.
"Saya ingin menjemput Nona.Saya pikir Nona pasti lelah jika
harus menyetir sendiri sehabis
mengikutidisi."
"Aku tidak selemah itu, Daddy.
Jangan meremehkanku. Sekarang
aku sudah menjadi wanita
dewasa, bukan anak-anak lagi."
"Bagaimana hasil audisinya,
Nona?" tanya Denzel penuh
perhatian.
"Aku lolos audisi dan terpilih
mengikuti konser," ujar Rose
kegirangan.
Tanpa sadar, Rose
menghambur ke pelukan Denzel.
Tindakan Rose yang tiba-tiba
membuat Denzel terkesiap, namun
ia membiarkan gadis cantik itu
nyaman dalam dekapannya.
Rose yang menyadari kelakuannya menjadi malu. la
melepaskan diri dari Denzel
sambil meminta maaf.
"Maaf, Dad, aku terlalu
gembira sehingga bersikap
kekanak-kanakan."
Tidak apa-apa, Nona.
Bagaimana kalau nanti kita makan
malam bersama untuk merayakan
keberhasilan Nona," tanya Denzel
mencairkan suasana.
"Baiklah, aku setuju, Daddy,"
ucap Rose tersenyum.
Denzel mengalihkan
pandangannya dari Rose. Menatap
gadis itu terlalu lama tidak akan
baik untuk dirinya.
"Mari Nona kita berangkat ke
kantor," ujar Denzel mendahului
Rose.Rose keheranan dengan sikap
Denzel yang mendadak berubah
dingin.
"Apa dia marah karena aku
memeluknya?" pikir Rose merasa
tidak enak hati.Rose mendengarkan musik
klasik deiearphone sepanjang
perjalanan menuju kantor. la tidak
ingin mengatakan sesuatu yang
akan menyinggung Denzel. Rose
ingin hubungannya dengan pria itu
tetap hangat layaknya kakak dan
adik.
Sementara Denzel lebih
memilih fokus pada kemudinya. la
berusaha mempercepat laju mobil
agar segera tiba di tempat tujuan.
Sungguh baru kali ini suasana
terasa sangat canggung bagi
mereka berdua.
"Nona kita sudah sampai,"
kata Denzel masuk ke area parkir.
Rose mengangguk kecil
sambil melepas earphone dari
telinganya. la menunggu Denzel
selesai memarkirkan mobil lalu
mereka keluar bersama."Daddy, nanti tolong bawakan
laporan perkembangan proyek
apartemen Raffles Tower. Aku
ingin memeriksanya."
"Baik, Nona."
Sebenarnya Rose ingin
sesekali mengunjungi lokasi
proyek untuk melakukan
peninjauan secara langsung,
namun Denzel melarangnya. la
tidak ingin kehadiran Rose terlalu
mencolok dan mengundang
kecurigaan di kalangan pekerja.
Rose memakai kaca mata
minusnya lalu mengikuti Denzel
memasuki gedung Brown Crop.
Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Denzel
mengucapkan salam kepada
asisten CEO tersebut. Mereka tahu
bahwa pria inilah yang sekarang
berkuasa menjalankan
perusahaan. Sedangkan untuk
Rose, mereka tidak terlalu
menghiraukannya. Gadis itu jarang
sekali terlihat di kantor. Dari
penampilannya yang biasa saja,
mereka mengira Rose sekedar
karyawan magang atau staf level
bawah yang akan dipekerjakan
Denzel.
Denzel mendahului Rose
masuk ke dalam lift khusus CEO.
la menekan tombol angka sepuluh
lalu bersandar pada dinding lift.
Lift merayap dengan lambat ke
atas hingga terdengar suara
berdenting.Denzel mendahului Rose
keluar dari lift dan berjalan
menyusuri koridor. Mereka
berhenti di sebuah pintu kayu
besar dengan plakat emas. Denzel
mengeluarkan kunci dari sakunya
lalu membuka pintu tersebut untuk
Rose.
"Silakan, Nona."
Ruangan besar itu terbagi
menjadi dua. Satu ruangan yang
luas untuk Rose dan di sebelahnya
terdapat ruang kerja yang dipakai
Denzel. Telpon di kedua ruangan
itu pun tersambung untuk
memudahkan mereka
berkomunikasi.
"Saya ambilkan dulu berkas
yang Nona butuhkan."
"lya, terima kasih. Aku akan memeriksa laporan keuangan,"
kata Rose menutup pintu.
Sebelum bekerja, Rose
memandang foto ayahnya yang
ada di nmeja. Tak terasa matanya
berkaca-kaca. Setelah penantian
sekian lama ia baru mengetahui
siapa ayah kandungnya ketika
maut telah menjemput. Sungguh
miris. Rasanya ingin sekali bisa
memeluk Louis Brown dan
memanggilnya "Daddy".
Melepaskan kerinduan akan sosok
ayah sebagai tempatnya
bersandar. Sayang sekali semua
itu tinggallah impian.
Rose meletakkan foto itu dan
memilih tenggelam dalam
pekerjaannya. Memeriksa banyak
laporan memberikan tantangan
tersendiri bagi Rose hingga ia lupa
waktu. Mungkin sifat ini diturunkan oleh mendiang
ayahnya yang terkenal sebagai
pria pekerja keras.
Karena terlalu asyik bekerja,
Rose sampai tidak menyadari jika
Denzel telah masuk ke
ruangannya. Pria itu meletakkan
tiga buah file di meja. la duduk di
hadapan Rose sambil
memperhatikan ekspresi wajah
gadis itu.
"Ada yang ingin Nona
tanyakan?"
Rose menggeleng pelan.
"Belum ada. Aku justru ingin
berterima kasih karena laba
perusahaan kita meningkat dua
kali lipat dibandingkan trwilan
sebelumnya. Oh ya, ini surat perjanjian dengan Grand Corp
yang sudah aku tanda tangani,"
ujar Rose menyerahkan dokumen
ke tangan Denze.
"Sebentar Nona, ada telpon
masuk."
Dengan cepat Denzel
mengangkat gagang telpon di
ujung meja Rose.
"Halo, Eve, ada apa?"
Denzel terdiam beberapa saat,
mendengarkan apa yang
disampaikan oleh sekretarisnya.
Mimik wajahnya berubah serius
seolah mendapatkan berita yang
sangat penting.
"Baik, aku akan
menyambutnya," kata Denzel
menutup telpon.
"Daddy, apa yang terjadi?"
tanya Rose mencari tahu."Nona, Tuan Max dari Grand
VCorp datang untuk meminta surat
kontrak kerja sama. Saya akan
menemuinya dulu."
"Baik, Daddy, temui saja Tuan
Max. Pekerjaanku disini masih
banyak. Tidak perlu mencemaskan
aku."
"Saya permisi dulu, Nona."
Dengan langkah lebar, Denzel
membawa dokumen di tangannya
lalu melangkah pergi.
Rose kembali memusatkan
perhatiannya pada pekerjaan.
Namun konsentrasinya terpecah
karena mendengar dering telpon
untuk kedua kalinya.
Semula Rose merasa ragu
tapi akhirnya ia menerima panggilan tersebut.
"Halo, Brown Group, selamat
siang," sapa Rose ramah.
"'Selamat siang, siapa ini? Apa
Tuan Denzel ada?" terdengar suara
merdu Trisha, resepsionis kantor
Brown Group.
"Saya Rose, sekretaris
magang. Tuan Denzel baru saja
turun untuk menemui perwakilan
Grand Corp," jawab Rose tenang.
la telah terbiasa menggunakan
identitas sekretaris sebagai
bentuk penyamaran di kantor milik
ayahnya.
"Maaf, Nona Rose saya hanya
ingin memberitahukan bahwa di
bawah ada pria bernama Luke
Brown. Dia memaksa ingin
bertemu dengan Miss Black dan
Tuan Denzel. Saya tidak bisa mencegahnya naik ke lantai
sepuluh karena dia mengaku
sebagai putranya Tuan Louis."
"Luke Brown?" tanya Rose
mengernyitkan dahi.
Wajah Rose memucat. Denzel
pernah mengatakan bahwa
ayahnya mengadopsi seorang
anak laki-laki dari panti asuhan,
karena istri sahnya tidak dapat
memberikan keturunan.
Mungkinkah Luke yang datang ini
adalah anak angkat ayahnya? Tapi
selama ini Luke tidak
mempedulikan bagian harta yang
diwariskan kepadanya. Bahkan
Rose belum pernah sekalipun
bertemu dengan pria itu. Kenapa
sekarang Luke tiba-tiba
mencarinya setelah tujuh tahun.
Bersambung...