"Dian, nanti kita pulang bareng
lagi ya," kata dokter Hilan yang
sudah berdiri di depan pintu
ruangan KIA. Dia lalu masuk dan
duduk di kursi yang ada di
ruanganku. Entah kenapa, dia
sudah tak memanggilku dengan
sebutan 'Mbak Dian' lagi.
Aku sedang menulis laporan
bulanan. Sejenak aku
menghentikan pekerjaanku, lalu
memandang pimpinan puskesmas
yang sedang duduk di depanku itu,
dengan berbatas sebuah meja.
"'Saya nanti mau pulang bareng Mbak Weni, Dok," kataku
beralasan. Karena jujur saja, aku
merasa sangat tidak nyaman
harus berduaan di dalam mobil
ambulans. Aku khawatir istri
dokter Hilan akan tahu dan
cemburu padaku. Pasti akan
menimbulkan masalah buatku.
Tiba-tiba dokter Hilan
tersenyum yang tak bisa aku
artikan, mendengar ucapanku.
"'Saya tahu kalau itu cuma
alasan kamu saja, Dian. Kamu
pasti asal bicara. Karena hari ini
Weni nggak masuk kerja," kata
dokter Hilan, masih sambil
tersenyum. Matanya menatapku
tajam.Aku tentu saja menjadi salah
tingkah dan merasa sangat malu,
karena keahuan sudah
berbohong. Dalam hati aku
merutuki diri sendiri, kenapa harus
menyebut nama Mbak Weni bukan
yang lain.
"Ya sudah kalau kamu nggak
mau pulang bareng saya, Dian.
Saya nggak akan maksa kamu,"
kata dokter Hilan. Dia lalu beranjak
dari tempat duduknya dan keluar
dari ruangan KIA.
Namun entah kenapa, aku
malah menyesali diri sendiri
setelah dokter Hilan pergi dari
hadapanku. Aku bahkan berharap
dia akan masuk lagi dan
mengajakku kembali untuk pulang
bersama.
***
Sejak hari itu, kami, aku dan
dokter Hilan, selalu berangkat dan pulang bersama. Dia selalu
menjemput dan mengantarku
pulang.Tentu saja hal tersebut
membuat gosip di antara staf
Puskesmas Pandan Wangi. Tapi
aku tak peduli dan bersikap acuh
menghadapi gosip yang beredar
itu. Toh aku dan dokter Hilan tak
pernah melakukan apa pun yang
melanggar norma kesusilaan,
begitu pikirku.
***
Sering sepulang kerja kami
berdua tak langsung pulang ke
rumah masing-masing, tapi
jalan-jalan dulu kemana saja.Aku
tak lagi merasa risih hanya
berduaan di dalam mobil
ambulans dengan dokter Hilan.
Bahkan sekarang aku selalu
menginginkan hal itu. Aku ingin senantiasa berlama-lama dekat
dengannya
Hubunganku dengan dokter
Hilan semakin akrab dan mulai
saling terbuka menceritakan
kehidupan pribadi masing-masing.
Dokter Hilan bilang, dia menikah
karena sebuah kecelakaan.
Pacarnya hamil diluar nikah, dan
keluarga pacarnya itu meminta
agar dokter Hilan mau
bertanggung jawab atas
perbuatannya. Perempuan itu
adalah yang sekarang menjadi
istrinya, begitu cerita dokter Hilan
padaku. Tentu saja hal tersebut
membuat aku menaruh sebuah
harapan."Yang, nanti malam kita jalan
yuk. Suntuk aku di rumah," ajak
dokter Hilan suatu hari. Dia tak lagi memarggilku Mbak Dian. Aku
dan dokter Hilan mempunyai
panggilan istimewa di antara kami
yaitu, SAYANG.
"Mau jalan ke mana?"
tanyaku.
"Ke hotel" jawab dokter Hilan,
membuatku terkejut tapi juga
merasa senang.
Meskipun aku belum pernah
menginap di hotel dengan seorang
laki-laki, tapi aku tahu apa yang
akan terjadi jika aku dan dokter
Hilan cek in di sana. Tanpa pikir
panjang, aku pun mengangguk
setuju.Malam harinya, aku dan
dokter Hilan bertemu di tempat
yang sudah kami sepakati bersama 1ar orang yang melihat
kami tak menaruh curiga. Aku
bilang pada ayah dan ibu akan
keluar sebentar. Aku lalu naik
becak ke tempat tersebut. Dan
ketika sampai di sana, Dokter
Hilan telah menungguku di dalam
mobil pribadinya. Kami lalu
menuju ke kota dan cek in di
sebuah hotel.
Di hotel itu, aku dan dokter
Hilan melakukan perbuatan yang
sebenarnya tidak boleh kami
lakukan. Kami berdua berbuat
layaknya seperti sepasang suami
istri. Aku menyerahkan
kegadisanku pada dokter Hilan
dan aku sama sekali tak merasa
menyesal sedikit pun melakukan
hal itu. Entah kenapa. Mungkin
karena aku mulai menyukai dokter Hilan. Pukıl sepuluh malam kami
cek oul da hotel.
"Yang, kita nikah saja yuk. Aku
ingin bertanggung jawab atas atas
apa yang sudah aku lakukan ke
kamu tadi. Aku ingin kamu tahu,
kalau aku memang betul
mencintai aku dan ingin
menjadikan kamu istriku," kata
dokter Hilan, saat kami sedang
dalam perjalanan pulang.
Aku diam saja, tak tahu harus
menjawab apa. Aku memang
menyukai dokter Hilan, tapi aku
belum pernah berpikir untuk
menikah dengannya. Apalagi dia
sudah mempunyai anak dan istri.
Meskipun aku pernah menaruh
harapan padanya."Kamu kok diam, Yang? Mau
nggak kamu nikah sama aku?"
Kembali dokter Hilan bertanya,
seraya tanganku digenggamnya.
TeS nanti bu gimana kalau
kita nikah?" tanyaku, maksudnya
istrinya.
"Kita nikah dibawah tangan
saja, Yang. Cuma kita berdua yang
tahu. Sama orang tua kamu tentu
saja.
Aku menghela napas panjang.
Saat itu aku baru tahu, kalau
dokter Hilan juga mencintaiku.
Karena selama ini, tak pernah
terucap dari bibirnya kalau dia
mencintaiku. Kami menjalani
hubungan tanpa pernah
mengucapkan kata cinta. Awalnya
aku berpikir dia hanya mencari
kesenangan saja, karena kabar
yang pernah aku dengar, dokter
Hilan seorang playboy. Banyak perempuan yang jadi pacarnya,
bahkan beberapa di antara mereka
yang sudah bersuami.
"Aku pikir-pikir dulu ya, Yang,"
kataku setelah beberapa saat
terdiam. Entah kenapa malah kata
itu yang keluar dari mulutku.
Bukannya mengiyakan ajakan
dokter Hilan untuk menikah siri.
Pukul setengah dua belas
malam mobil yang kami kendarai
sampai di depan rumahku. Dokter
Hilan langsung perg, begitu pintu
rumahku terbuka. Ayah yang
membuka pintu, beliau sedang
menonton acara TV, sementara ibu
sudah tidur.
"Dari mana saja, Nduk.
Tumben jam segini kok kamu baru
pulang. Nggak biasanya kamu
pergi sampai larut malam," tanya ayah, seraya memandangku heran.
Sebab memang selama ini aku tak
pernah keluar malam, apalagi
sampai arut ini.
"Dari main sama teman, Yah,"
jawabku singkat. Sembari
berusaha untuk bersikap wajar
dan biasa saja, agar ayah tak
menaruh curiga padaku.
Aku lalu segera masuk ke
dalam kamar dan mengunci
pintunya, agar ayah tak bertanya
lebih banyak lagi. Aku kemudian
membersihkan badan, meskipun
tadi di hotel sudah kulakukan.
Berganti pakaian dan merebahkan
diri di kasur.
Kupandangi langit-langit
kamar. Aku mengingat kembali
apa yang sudah aku dan dokter
Hilan lakukan saat di hotel.
Bagaimana kalau aku hamil? Begaimana jika dokter Hilan
ternyata Derubah pikiran dan tak
mau lagi menikah denganku?
Bermacam pertanyaan
menggelayut di kepala.
Tiba-tiba aku mempunyai ide
untuk mendatangi seorang
paranormal. Aku akan meminta
pelet pengasihan padanya agar
dokter Hilan semakin tergila-gila
padaku. Aku pernah membaca di
sebuah tabloid tentang hal itu.
Aku tersenyum. Ya, aku akan
datang ke paranormal itu dan
minta bantuannya.
Awal bulan berikutnya, setelah
menerima gaji, aku segera pergi ke
tempat paranormal yang aku
pernah baca iklan-nya di sebuah
tabloid nasional. Nama
paranormal itu Jeng Murti. Aku
benar-benar sudah nekat dan
hilang akal. Bayangkan saja, aku
yang sebelumnya tak pernah pergi
jauh sendiri, demi untuk
mendapatkan pelet pengasihan
aku jadi berani.
Aku sengaja naik taxi menuju
ke tempat praktik paranormal itu.
Karena aku memang tidak paham daerah yang akan aku datangi.
juga agar bisa sampai di sana
lebih cepat.
Ternyata alamat yang tertera
di dalam tabloid itu adalah alamat
sebuah hotel. Awalnya aku sempat
ragu. Masa iya sih ada seorang
paranormal yang melakukan
praktik di sebuah hotel. Namun,
saat aku tanyakan pada satpam
hotel, alamat yang dimaksud
adalah benar dan paranormal itu
memang berpraktik di hotel
tersebut. Aku menjadi makin yakin
dan percaya diri, kalau usahaku
akan berhasil. Yaitu mendapatkan
pelet pengasihan untuk dokter
Hilan, agar dia selalu mencintai
dan menyayangiku.Aku lalu naik lift menuju ke
lantai 3, dimana paranormal itu
berpraktik. Setelah sebelumnya
diberitahu oleh satpam hotel.
Sampai di lantai3, terlihat sudah
banyak orang yang sedang
menunggu.
"Mbak, silakan daftar dan
ambil nomor antrian dulu," kata
seorang laki-laki yang berada di
depan pintu kamar no 13, ketika
aku baru sampai. Dia memegang
beberapa helai kertas, mungkin
kartu kunjungan orang yang
datang.Aku lalu mendaftar dan
mengambil nomor antrian. Keren
juga nih dukun, pelanggannya
sampai harus pake nomor antrian.
Pasti manjur, aku membatin
seraya tersenyum. Terbukti
dengan banyaknya orang yang
datang berkunjung ke tempat praktiknya.
Sambil menunggu giliran
dipanggil, aku tersenyum dalam
hati. Membayangkan dokter Hilan
akan terus menyayangi dan
mencintaiku serta dia tak akan
pernah meninggalkan aku.
Meskipun aku belum memikirkan
soal kelanjutan hubungan kami.
Aku hanya ingin dokter Hilan tak
meninggalkan aku.
"Mbak sudah sering ya datang
ke sini?" tanya seorang perempuan
berusia sekitar 30 tahun yang
duduk di sebelahku tiba-tiba,
membuyarkan lamunan.
"Oh ... eh .. belum. Baru
sekarang. Kalau Mbak sudah
berapa kali datang ke sini?" Aku
balik bertanya."Sudah empat kali ini,"
jawabnya, membuat mataku
membeliak. Ternyata perempuan
ini sudah langganan, batinku.
Sembari manggut-manggut.
Perempuan itu lalu bercerita
kenapa dia selalu datang menemui
Jeng Murti untuk meminta
bantuan kepadanya. Aku
mendengarkan cerita perempuan
yang duduk di sebelahku dengan
rasa takjub.
Aku semakin yakin akan ilmu
yang dimiliki oleh Jeng Murti ini.
Kalau memang tidak manjur,
kenapa orang berulang kali datang
untuk meminta bantuannya.
Setelah hampir dua jam
menunggu, nama dan nomor
antrianku akhirnya dipanggil oleh
lelaki yang tadi menyuruhku untuk mendaftar dn mengambil nomor
antrian. Aku lalu masuk ke kamar
hotel yang sudah disulap menjadi
sebuah kamar praktik. Tampak
seorang perempuan setengah
baya, berperawakan sedang,
tersenyum padaku, begitu pintu
terbuka. Dia sedang duduk di
depan sebuah meja yang berisi
bermacam benda.
Ada sebuah tungku berukuran
kecil yang masih mengeluarkan
asap, bau dupa seketika menguar
membuat sesak di dada. Lalu ada
sebuah baskom berisi air dan
bermacam bunga. Dan bermacam
benda klenik lainnya yang ada di
atas meja kerja Jeng Murti.Kamar hotel yang berukuran
sekitar 24 meter persegi, dipenuhi
dengan barang-barang berbau
mistis. Di salah satu sudut kamar,
ada sebuah lemari berukuran
sedang dan ditaruh beberapa buah
tengkorak kepala manusia di
dalamnya. Aku menelan saliva
melihat pemandangan yang ada di
kamar hotel tersebut.
"Silakan duduk, Nona Cantik,"
kata perempuan itu menyambutku
seraya tersenyum. Mungkin dia
tahu kalau aku sedang
memperhatikan seisi ruang
praktiknya.
Aku pun segera duduk di
depan perempuan itu, berbatas
sebuah meja. Entah kenapa,
tiba-tiba aku merinding. Bulu
kuduk di kedua tanganku
meremang. Terlebih saat mata kami saling bersitatap, aku melihat
perempuan yang ada di depanku itu lebih mirip dengan seekor ular.
Aku melihat mukanya bersisik.
Seketika aku bergidik, lalu
cepat-cepat mengalihkan
pandangan dari menatap mata
perempuan itu.
"Apa yang jadi persoalan
kamu, Nona Cantik?" tanya
perempuan itu sambil
menyunggingkan senyum. Terlihat
ada dua buah taring di giginya.
Untuk beberapa saat aku terpaku
sambil kembali menelan ludah
dengan susah payah.
Kerongkonganku tiba-tiba menjadi
kering. Ada rasa takut menyelinap
dalam hati dan menyesal telah
datang ke tempat ini. Padahal
ketika di luar tadi aku begitu yakin."Kamu nggak perlu takut,
Nona Cantik. Santai saja. Coba ceritakan apa persoalanmu. Oh ..
iya, panggil saja aku Jeng Murti,"
katanya kemudian. Rupanya dia
tahu kegelisahanku.
"I... iya, Jeng," jawabku
terbata.
Aku lalu menceritakan semua
yang telah terjadi dan apa yang
aku inginkan. Jeng Murti
mendengarkan ceritaku dengan
saksama. Dia terkekeh setelah aku
selesai bercerita. Membuatku
merasa heran tentu saja, apa yang
dia tertawakan.
"Itu sih perkara gampang,
Nona Cantik. Dijamin laki-laki itu
akan bertekuk lutut padamu," kata
Jeng Murti sambil terkekeh.
Membuat aku merasa senang
sekali mendengarnya."Kamu cukup memakai bedak
Tamuanku, pupur cleopatra
namanya. Harganya 350 ribu satu
kotak. Tapi sebelumnya kamu
harus diruwat dulu, agar aura
sialmu hilang dan cantikmumakin
kelihatan," kata Jeng Murti.
Jeng Murti lalu menyuruhku
melepas semua pakaian dan
berganti dengan memakai kain
jarik yang sudah disediakan. Dia
lalu mengguyur seluruh badanku
dengan air yang ada dalam
gentong tanah liat dengan
bermacam bunga di dalamnya.
Ada mawar, melati, kantil, dan
entah apa lagi. Sambil merapalkan
mantra-mantra yang aku tak tahu Aku bergegas memakai baju
kembali saat acara ritual
Bersambung...