Sampai di rumah, ayah dan
ibu sudah menungguku. Mereka
berdua sedang duduk di ruang
tamu. Nyaliku merasa ciut tentu
saja.
"Duduk dulu, Nduk. Ada yang
ingin Ayah dan Ibumu bicarakan,"
titah ayah, begitu aku membuka
pintu dan masuk. Lembut, tapi
mampu membuatku merasa
sangat takut. Mungkin karena aku
merasa mempunyai sebuah
kesalahan.
Tanpa banyak bicara, aku lalu
duduk di sebelah ibu. Aku melihat ayah menarik napas dalam,
seakan ada sebuah beban yang
menghimpit dadanya.
"Belakangan ini, Ayah dan
Ibumu perhatikan, kamu jadi
sering pulang malam. Memangnya
kamu main ke mana, Nduk? Kamu
pergi sama siapa?" tanya ayah,
setelah beberapa saat. Matanya
tajam menatapku.
Aku diam saja. Perasaan
takut menyelimuti. Aku
menundukan muka, tak berani
untuk membalas tatapan ayah
yang terasa begitu menghujam
sampai ke jantung."Jawab saja pertanyaan Ayah
kamu itu, Nduk. Kamu nggak usah
takut. Ayah sama lbu cuma ingin
tahu, kamu pergi ke mana dan
sama siapa. Sebab selama ini,
kami nggak pernah lihat kamu
pergi malam hari, apalagi sampai
larut. Sebagai orang tua, tentu
Ayah sama lbu punya rasa
khawatir, Nduk. Kamu adalah anak
kami satu-satunya. Gimana kalau
terjadi sesuatu sama kamu," kata
ibu dengan suara lembut, sambil
memegang tanganku.
Lama aku bergeming. Ingin
sekali aku berbohong pada kedua
orang tuaku, dengan mengatakan
kalau aku pergi bersama teman
kerja. Tapi tentu saja ayah dan ibu
tak akan percaya begitu saja pada
ucapanku. Karena selama ini aku
memang anak 'rumahan' yang tak pernah keluar malam, seperti kata
ribu barusan.
"Ayo, Nduk. Bilang terus
terang saja pada kami. Kamu tadi baru pergi sama siapa?" tanya
ayah untuk kali yang kedua.
"Dian tadi pergi sama dokter
Hilan, Yah," jawabku akhirnya
dengan terbata dan suara lirih.
Aku semakin menunduk, tak berani
menatap wajah ayah ataupun ibu.
Aku betul-betul merasa sangat
takut. Aku sudah membayangkan
ayah dan ibu akan memarahiku.
Ibu menghela napas dalam.
"Memangnya kalian berdua
pergi ke mana, dari siang sampai
malam begini baru pulang?" tanya
ibu mulai menyelidik. Nada
bicaranya agak curiga.
"Apa kamu cuma berdua saja
dengan dokter Hilan?" tanya ibu
lagi, sebelum aku sempat
menjawab pertanyaan beliau yang
pertama."Nggak kok, Bu. Kami pergi
Vbertiga, sama Misno, supirnya
dokter Hilan. Kami pergi cuma
jalan-jalan saja," jawabku sambil
memandang wajah ibu.
Untunglah saat ayah dan ibu
bertanya, kami memang pergi
bertiga dengan Misno, jadi aku tak
berbohong. Namun, untuk
mengatakan hal sebenarnya yang
telah aku dan dokter Hilan lakukan
di dalam kamar hotel, tentu saja
aku tak punya keberanian.
"Jangan kamu ulangi lagi,
Nduk. Nggak baik anak gadis pergi
malam hari. Apalagi sama suami
orang. Walaupun kamu pergi
nggak cuma berdua dengan dokter
Hilan, tapi tetap saja kurang baik
dilihat orang," kata ibu seraya menepuk-nepuk tanganku.
Aku mengangguk. "lya, Bu.
Dian nggak akan mengulanginya
lagi."
"Ya sudah, sekarang kamu
pergi tidur sana, sudah malam,"
titah ayah.
Tanpa banyak bicara lagi, aku
bergegas masuk ke dalam kamar
dan langsung mengunci pintunya.
Lega sekali rasanya, ayah dan ibu
tak mencecarku dengan
bermacam pertanyaan. Aku pasti
tak akan bisa berbohong kalau
mereka berdua terus bertanya
sampai detail tentang kepergianku
bersama dokter Hilan.
***
"Yang, aku nggak bisa pergi
malam lagi. Tadi malam ayah
sama ibu udah tanya
macam-macam karena aku sudah
sering pergi dan pulang malam
hari." Aku memberitahu saat
dokter Hilan datang menjemput
pada keesokan harinya.
Dia memegang tanganku. "lya,
Yang. No problem," katanya santai
seraya tersenyum.
Mobil pun melaju
meninggalkan halaman depan
rumahku. Ketika sampai di depan
puskesmas, dokter Hilan tak
menghentikan mobilnya. Tentu
saja aku merasa heran. Mobil
terus melaju ke arah kota.
"Kok nggak berhenti, Yang?"
tanyaku sembari menatap dokter
Hilan.
"Kan katanya kamu nggak boleh pulang malam lagi
sekarang. Jadi kita cek in ke
hotelnya siang hari saja," jawabnya
sambil terkekeh.
Tentu saja aku mnerasa sangat
senang mendengarnya. Hari itu
hari Sabtu, jadi kami memang
tidak memakai pakaian seragam
dinas. Sesampainya di kota, kami
lalu menuju ke sebuah hotel dan
cek ini di sana.
Lagi dan lagi, aku dan dokter
Hilan mengulangi perbuatan itu.
Perbuatan yang seharusnya hanya
boleh dilakukan oleh pasangan
yang sudah sah sebagai suami
istri. Beberapa kali kami
melakukannya."Yang, ini HP untuk kamu, biar
kamu gampang dihubungi," kata
dokter Hilan, setelah kami selesai
bercinta. Dia memberikan sebuah
kotak HP Nokia 3650 dari dalam
tasnya. HP yang sangat aku
inginkan. Meskipun aku sudah
mempunyai telepon genggam, tapi
aku memang sengaja tak pernah
memberitahu nomor HP-ku pada
dokter Hilan. Aku tak mau ketika
berada di rumah dia menghubungi
aku, sebab ada ayah dan ibu.
Mereka berdua pasti akan merasa
curiga jika aku sering menerima
telepon dari dokter Hilan.
Dengan tersenyum manis aku
menerima HP Nokia tersebut.
Kucium pipi dokter Hilan.
"Makasih ya, Yang," kataku manja
seraya memberikan pel
mesra padanya.Aku tertawa dalam hati.
Ternyata tak perlu bersusah payah.untuk meminta sesuatu yang aku
inginkan pada dokter Hilan. Pupur
cleopatra dari Jeng Murti telah
bekerja sendiri dengan sangat
sempurna.
Pukul setengah empat sore
aku dan dokter Hilan cek out dari
hotel, agar sebelum ayah dan ibu
pulang dari toko, aku sudah
sampai rumah lebih dulu.
"Gimana, Yang. Apa sudah
kamu pikirkan soal pernikahan
kita?" tanya dokter Hilan, ketika
mobil sedang melaju ke arah jalan
pulang.Seharusnya aku menyambut
ajakan dokter Hilan itu dengan
penuh suka cita. Bukankah selama
ini aku ingin selalu bersamanya.
Namun entah kenapa, mulutku tak
mengatakan 'iya' setiap kali dia
bertanya tentang hal itu.
"Kamu kenapa sih, Yang.
Setiap kali aku singgung soal
pernikahan kita, selalu saja kamu
menghindar. Ada saja alasan yang
kamu buat," tanya dokter Hilan. Dia
terlihat mulai kesal.
Aku diam saja, karena
memang sedang tak ingin
berdebat. Jangankan dokter Hilan,
aku sendiri juga tak tahu kenapa,
selalu mencari alasan untuk
menjawab permintaannya agar
kami segera menikah."Yang, apa sih sebenernya
yang bikin kamu ragu nikah sama
aku?" tanya dokter Hilan. Dia
lantas menghentikan mobilnya di
pinggir jalan.
Aku menarik napas panjang.Kami saling bertatapan. Mulutku
sebetulnya ingin sekali
mengatakan 'iya' tapi entahlah.
Dokter Hilan memelukku
dengan erat. "Aku nggak ingin
kehilangan kamu, Yang." bisiknya
di telingaku. Membuatku seakan
terbang melayang.
Beberapa saat kami
berpelukan. Sudah hilang rasa
malu kami. Kami berdua
betul-betul telah dimabuk cinta.
Cinta yang terlarang.
Bersambungg....