Semakin hari, hubunganku
dengan dokter Hilan semakin
lengket. Kami berdua seakan tak
bisa dipisahkan. Kami sudah tak
menutupi lagi hubungan di antara
kami. Kini bukan hanya staf
Puskesmas Pandan Wangi saja
yang mengetahui soal hubunganku
dengan dokter Hilan. Tapi Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten
beserta beberapa orang staf-nya
juga sudah mengetahui. Aku dan
dokter Hilan sudah tak peduli lagi
tentang gosip yang beredar di
lingkungan tempat tugas kami.Setiap kali ada rapat kepala
puskesmas di mana pun
tempatnya, dokter Hilan selalu
mengajak aku untuk ikut
bersamanya. Begitu juga saat
menghadiri acara rapat kepala
puskesmas yang diadakan di
kabupaten dan provinsi. Aku selalu
ada di samping dokter Hilan.
Hingga suatu hari Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten
memanggil kami berdua secara
terpisah. Aku tak tahu apa yang
beliau bicarakan dengan dokter
Hilan. Tapi saat memanggilku,
Bapak Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten meminta agar aku
menjauhi dokter Hilan. Demi untuk
menjaga keutuhan rumah tangga
dokter Hilan, begitu pesan beliau.
Tentu saja hal tersebut hanya masuk di telinga kiri dan keluar di
telinga ananku, semua pesan dan
nasihat yang beliau berikan
padaku.
Setelah aku dan dokter Hilan
selesai menghadap Bapak Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten, kami
berdua pulang bersama. Di dalam
mobil yang kami kendarai, aku dan
dokter Hilan tertawa bersama,
menertawakan mereka yang
merasa tidak senang dengan
hubungan terlarang kami. Intinya,
kami berdua sudah tak peduli lagi
dengan apa yang dikatakan orang
lain pada kami. Kami hanya
tersenyum mendengar semua
yang mereka ucapkan
***
"Sstt ...itu bidan selingkuhan
suami Bu Mira."
Terdengar suara beberapa
orang ibu sambil berbisik saat aku
lewat di depan mereka, ketika
kami sedang menghadiri acara
rapat PKK (Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga) di
kecamatan, yang rutin diadakan
setiap awal bulan. Meskipun
mengucapkannya dengan berbisik,
tapi aku masih bisa
mendengarnya, sebab jarak kami
tak terlalu jauh.
"Bidannya cantik ternyata.
Pantas saja suami Bu Mira suka
sama dia," bisik seorang ibu yang
lain "Cantik kalau merebut suami
orang ya bukan perempuan
baik-baik namanya," ucap ibu yang
lain lagi. Nada suaranya terde
sinis.Aku hanya tersenyum
mendengar percakapan para ibu
itu, dan segera berlalu dari
hadapan mereka.
Selama ini aku belum pernah
bertemu dengan Bu Mira, istri
dokter Hilan. Aku hanya
mendengar namanya saja. Itu pun
dari mulut Misno yang menyebut
nama itu, ketika suatu hari dia
bertanya pada dokter Hilan,
apakah dia harus menjemput Bu
Mira.
Ketika menghadiri acara rapat
PKK di kecamatan itulah aku
bertemu muka dengan perempuan
yang bernama Bu Mira, istri dokter
Hilan. Dia duduk bersama dengan
para istri dokter yang lain. Saat
aku menatapnya, rupanya dia juga
sedang menatap ke arahku. Untuk
beberapa detik kami saling tatap.Setelah itu, kami berdua
membuang muka masing-masing
ke arah lain.
"Mbak Dian, apa bisa kita
bicara sebentar empat mata?"
tanya Bu Mira, ketika acara rapat
telah usai. Dia datang
menghampiriku.
Sedetik aku memandang Bu
Mira yang berdiri di dekatku,
dengan penuh tanda tanya. Apa
kira-kira yang akan dia bicarakan
denganku, gumamku dalam hati.
"Tentu saja bisa, Bu,' jawabku
sembari mengangguk.
"Sejak tadi saya mendengar
tentang gosip yang beredar, antara
Suami saya dengan Mbak Dian.
Apa Mbak Dian yang sudah menceritakan tentang hal itu pada
mereka?" tanya Bu Mira sambil
menatapku tajam penuh selidik.
Wajahnya terlihat sangat judes,
tak ada senyum sedikit pun di
bibirnya.
Aku mengernyitkan dahi
sembari membalas tatapan Bu
Mira. Dalam hati aku merasa aneh
dengan jalan pikiran perempuan
yang sedang berdiri di depanku ini.
Untuk apa aku mengedarkan gosip
tentang hubungan gelapku dengan
suaminya. Bukankah itu sama saja
artinya dengan aku membuka aib
diri sendiri? Yang ada juga malah
aku akan berusaha untuk
menutupinya, agar dia tidak tahu
tentang perselingkuhan yang
terjadi antara aku dengan
suaminya.agar Mbak Dian nggak
mengulanginya lagi." lanjutnya,
sebelum aku sempat menjawab
pertanyaanna yang pertama dan
hilang rasa heranku pada jalan
pikiran istri dokter Hilan ini.
Dia kemudian berlalu dari
hadapanku. Aku hanya tertegun
sambil melongo melihat kepergian
Bu Mira.
Benar-benar orang yang aneh.
Dia telah menjatuhkan vonis
padaku tanpa mendengar hal yang
sebenarnya terjadi. Atau memang
dia sengaja melakukannya.
Entahlah. Yang jelas, dia terlihat
sangat bodoh menurutku.
Aku mendengkus. Dasar
perempuan bodoh, umpatku dalam
hati. Tak lama kemudian, dokter
Hilan datang menjemputku dan kami pun pergi ke arah kota.
"Yang, L sok hari Sabtu sama
Minggu kamu ikut ke Jakarta ya,"
kata dokter Hilan suatu hari. Dia
memang sedang melanjutkan
kuliah S2 di Universitas Indonesia
dan setiap hari Sabtu dan Minggu
dia berangkat ke Jakarta.
"Aku gimana minta izin-nya
sama orang tuaku?" tanyaku.
"Gampanglah kalau soal itu.
Kamu lupa ya kalau aku ini kepala
puskesmas?" tanya dokter Hilan.
Kami lalu tertawa bersama.
Singkat cerita, aku sudah
mendapatkan izin dari ayah dan
ibu untuk berangkat ke Jakarta.
Dengan memperlihatkan surat tugas untuk mengikuti pelatihan
selama tiga hari di sana. Tentu
saja surat tuas itu palsu, yang
dibuat dan diuandatangani sendiri
oleh dokter Hilan.
Hari Jumat sore aku dan
dokter Hilan sudah berada di
stasiun kereta api, siap berangkat
menuju Jakarta. Di dalam kereta,
kusandarkan kepala di bahu
dokter Hilan, sambil saling
bercerita. Sesekali kami tertawa.
Begitu sampai di Jakarta
pada keesokan harinya, kami lalu
naik taxi menuju ke sebuah hotel
yang sudah dipesan terlebih
dahulu oleh dokter Hilan. Setelah
beristirahat sebentar, dokter Hilan
berangkat kuliah dan aku
menunggu di dalam kamar hotel.
Sore hari sekitar pukul lima dokter Hilan baru kembali. Dia lalu
mandi dan kami bercinta setelah
itu. Sanpa.
puas kami
melakukannya. Tak terasa waktu
telah menunjukkan pukul delapan
malam.
"Keluar yuk, Yang. Kita cari
makan," ajaknya. Kami lalu segera
berpakaian dan keluar hotel untuk
mencari makan.
Tiba-tiba telepon genggam
dokter Hilan berdering, ketika kami
baru beberapa langkah berjalan
meninggalkan halaman hotel.
"Dari polda," katanya padaku.
Dia lalu menerima panggilan itu.
Hanya sebentar, tak sampai
lima menit. Berbeda sekali saat
dia meneleponku, bisa sampai
berjam-jam lamanya, padahal
seharian kami sudah bertemu."Kok cuma sebentar?" tanyaku
basa basi.
Dokter Hilan tak menjawab.
Dia lalu menggandeng tanganku
dan kami berjalan menyusuri
trotoar.
Kami menuju tempat makan
cepat saji, aku yang memintanya
tentu saja. Karena aku khawatir
akan salah makan dan
mengakibatkan pelet pengasihan
yang diberikan Jeng Murti akan
luntur. Bisa bahaya.
"Kamu cantik banget, Yang."
kata dokter Hilan, saat kami
sedang menunggu pesanan kami
datang.
Aku tersenyum manja.
Kupegang tangannya. "Pacarnya siapa dulu," kataku menggodanya.
Kami lalu tertawa bersama.
Sepulang dari makan kami
mengobrol sebentar. Setelah itu
kami kembali bercinta. Entah
berapa kali. Yang pasti kami
sama-sama merasa puas dan
kelelahan. Sampai akhirnya kami
pun tertidur.
Dua bulan berlalu dari aku
datang ke tempat praktik Jeng
Murti. Pelet pengasihan pupur
cleopatra yang aku beli tinggal
sedikit lagi. Membuatku merasa
was-was dan khawatir. Aku segera
menghubungi Jeng Murti, dan
mengatakan kalau akan
menemuinya minggu ini.
Hari Sabtu pagi aku sudah
berangkat untuk menemui Jeng
Murti, sebelum dokter Hilan
datang menjemput. Melalui SMS,
aku bilang padanya ada urusan
mendadak dan aku minta izin
untuk tidak masuk kerja pada hari
itu.[Kenapa nggak bilang tadi
malam, Yang. Kalau bilang kan
bisa aku antar. Minggu ini aku
sengaja nggak berangkat kuliah ke
Jakarta karena ingin berduaan
sama kamu)
Bunyi SMS dari dokter Hilan,
sesaat setelah aku izin tak masuk
kerja. Aku tersenyum
membacanya. Tentu saja aku lebih
mementingkan bertemu dengan
Jeng Murti daripada bertemu
dengannya. Karena ini
menyangkut soal kelangsungan
hubungan terlarangku dengan
dokter Hilan.
Selama dua bulan ini, sudah
banyak yang dokter Hilan berikan
padaku, tanpa aku pernah memintanya. Dari HP, perhiasan
emas dan berlian, tas, sepatu,
baju, yang semuanya adalah
barang branded, harganya tentu
tidak murah, serta sejumlah uang.
Entah sudah berapa puluh juta
dokter Hilan memberikan uangnya
padaku.
Sebetulnya bukan semua itu
yang aku inginkan dari dokter
Hilan, karena aku juga bisa
membelinya dari uang gaji yang
aku terima setiap bulan. Aku
hanya ingin selalu bersamanya,
setiap waktu, kapan dan di mana
saja.
"Mbak sudah sampai"' kata
supir taxi membuyarkan
lamunanku. Ketika taxi yang aku
naiki sudah berada di halaman
hotel dimana Jeng Murti
membuka praktik.Aku segera turun dan
membayar ongkos taxi. Lalu,
bergegas masuk ke dalam hotel.
Dan langsung menuju lift.
Sampai di depan kamar
nomor 13, terlihat sudah banyak
orang yang sedang menunggu,
sama seperti saat aku datang
pertama kali ke tempat ini, dua
bulan yang lalu. Aku kemudian
mendaftar dan mengambil nomor
antrian. Lalu duduk menunggu
giliran bersama dengan beberapa
orang yang lain.
"Mbak mukanya cantik
banget. Pake ramuan Jeng Murti
yang apa?" tanya seorang
perempuan yang duduk di
sebelahku, beberapa saat setelah
aku duduk.Aku tersenyum menanggapi.
Dalam hati aku berkata, kalau aku
cantik memang sudah dari lahir.
Dan ingin aku mengatakan seperti
itu pada perempuan yang duduk di
sebelahku. Tapi aku urungkan,
karena pasti akan menimbulkan
kesan yang tidak baik. Terkesan
sombong.
"Saya pakai pupur cleopatra,"
jawabku singkat.
"Ohh ... sudah sering ya
Mbak-nya datang ke sini?" tanya
perempuan satunya, yang duduk di
sebelah perempuan tadi.
"Baru dua kali ini. Mbak sudah
sering datang ke sini?" Aku
menjawab dan balik bertanya pada
kedua perempuan itu.Belum sempat perempuan itu
menjawab pertanyaanku, nama
dan nomor antrianku sudah
dipanggil. Maka aku segera
beranjak dari duduk dan menuju
ke pintu kamar lalu bergegas
masuk ke ruang dalam.
"Apa kabar, Nona Cantik?"
tanya Jeng Murti sembari
tersenyum, begitu dilihatnya aku
masuk dan berjalan menghampiri
dirinya.
"Kabar baik, Jeng." jawabku
singkat. Aku lalu duduk di kursi
yang ada di depan meja kerjanya.
Entah kenapa, tiba-tiba aku
merinding. Aku mengusap tengkuk
dan kedua tangan yang terasa
dingin.
"Apa yang bisa aku bantu,
Nona Cantik?" tanya Jeng Murti.Untuk beberapa saat aku
tertegun. Memandang wajah Jeng
Murti yang mirip sekali dengan
kepala seekor ular. Dua buah gigi
taringnya terlihat sangat jelas
ketika dia sedang tersenyum.
Beberapa waktu aku
mengucek-ucek kedua mata,
berusaha untuk melihat lebih jelas
lagi. Kali ini yang terlihat adalah
seorang perempuan cantik
setengah baya yang sedang duduk
di depanku, berbatas sebuah meja
tulis.
"Gimana, Nona Cantik? Apa
yang bisa aku bantu untukmu?"
tanya Jeng Murti lagi,
membuyarkan lamunanku."Eh ... anu, Jeng. Pupur
cleopatra-nya yang kemarin sudah
hampir habis. Saya mau beli lagi,"
jawabku sambil terbata, tak berani
menatap wajah Jeng Murti,
meskipun tadi aku melihat dia
sudah berubah menjadi seorang
perempuan cantik, dari yang
sebelumnya aku melihat seperti
kepala seekor ular besar.
"Apa kamu puas dengan hasil
kerjaku?" tanya Jeng Murti seraya
tersenyum.
Aku mengangguk. "Iya, saya
sangat puas, Jeng."
Tiba-tiba Jeng Murti tertawa,
membuatku sangat terkejut dan
merasa takut. Aku tak berani
menatap wajahnya. Dan tawa itu ...
aku mendengarnya lebih mirip
sebuah desis-an. Aku bergidik."Sekarang kita lakukan ritual
untuk yang kedua kali, agar laki-laki itu makin tergila-gila
padamu, Nona Cantik," kata Jeng
Murti.
Tanpa menunggu lebih lama,
aku lalu berganti pakaian dengan
sehelai kain jarik yang diberikan
oleh Jeng Murti dan acara ritual
buang sial dan membuka aura pun
segera dimulai. Sama seperti saat
pertama datang, ritual itu
berlangsung hampir sekitar dua
jam lamanya.
"Ini pupur cleopatra-nya.
Jangan sampai habis. Kamu harus
segera datang ke sini sebelum
pupur ini benar-benar habis," pesan
Jeng Murti.
Aku mengangguk tanda
mengerti. Setelah membayar
mahar yang dia minta, aku segera
keluar dari kamar hotel itu dan
bergegas pulang.[Yang bisa jemput aku nggak?]
Aku mengirim SMS pada
dokter Hilan. Lama tak ada
jawaban. Aku lalu menelepon, tak
juga diangkat. Nekat aku
menelepon nomor rumahnya.
Yang mengangkat ternyata Bu
Mira.
[Hallo]
[Hallo. Apa dokter Hilan ada?]
[Dian]
Klik. Tut... tut .. tut ...
Telepon terputus. Aku
mendengkus. Aku lalu mencoba
mengulangi. Beberapa kali. Tapi
tetap tak diangkat.Yang maaf baru baca
SMS-nya. Sekarang kamu ada di
mana?]
Pesan SMS balasan dari
dokter Hilan. Aku lalu
menyebutkan sebuah tempat
dimana aku sedang menunggu.
Dua puluh menit kemudian,
mobil dokter Hilan datang. Dan
aku segera naik.
"Lama ya nunggunya," kata
dokter Hilan seraya
memandangku.
Aku tersenyum. "Lumayan."
Tanpa bertanya padaku,
dokter Hilan membawa mobilnya
menuju ke sebuah hotel dan kami
cek in di hotel itu.Setelah berbincang sebentar,
kami lalu bercinta sepuasnya.
Melepas semua kangen, seperti
yang sudah beberapa bulan
lamanya tidak bertemu.
"Tadi aku telepon ke rumah.
Yang angkat lbu," kataku
memberitahu, ketika kami baru
selesai bercinta.
"Ngapain telepon ke rumah?"
tanya dokter Hilan.
"Habisnya, aku SMS, aku
telepon ke HP nggak diangkat."
Dokter Hilan tertawa. Dia lalu
memelukku. "Dikira aku sudah
bosan ya?" ucapnya di telingaku.
Aku mengangguk."lya,"
kataku manja.
Dokter Hilan semakin erat
memelukku. "Aku nggak akan
pernah bosan sama kamu,sayang.Saat seperti ini, aku tak ingin
berpisah dengan dokter Hilan. Aku
ingin selalu bersamanya. Tapi saat
dia mengajakku untuk menikah,
entah kenapa aku selalu saja
mencari alasan.
Kadang aku bingung dengan
diriku sendiri. Dalam hati aku ingin
mengangguk mengiyakan
ajakannya, tapi mulutku malah
berkata lain.
Ada apa sebenarnya? Apakah
ada kaitannya dengan pupur
cleopatra dari Jeng Murti?
Bersambung...