Chereads / indetitas yang tersembunyi / Chapter 8 - Bab 5 Pelet Pengasih "Kami Ke Jakarta"

Chapter 8 - Bab 5 Pelet Pengasih "Kami Ke Jakarta"

  Semakin hari, hubunganku

dengan dokter Hilan semakin

lengket. Kami berdua seakan tak

bisa dipisahkan. Kami sudah tak

menutupi lagi hubungan di antara

kami. Kini bukan hanya staf

Puskesmas Pandan Wangi saja

yang mengetahui soal hubunganku

dengan dokter Hilan. Tapi Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten

beserta beberapa orang staf-nya

juga sudah mengetahui. Aku dan

dokter Hilan sudah tak peduli lagi

tentang gosip yang beredar di

lingkungan tempat tugas kami.Setiap kali ada rapat kepala

puskesmas di mana pun

tempatnya, dokter Hilan selalu

mengajak aku untuk ikut

bersamanya. Begitu juga saat

menghadiri acara rapat kepala

puskesmas yang diadakan di

kabupaten dan provinsi. Aku selalu

ada di samping dokter Hilan.

Hingga suatu hari Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten

memanggil kami berdua secara

terpisah. Aku tak tahu apa yang

beliau bicarakan dengan dokter

Hilan. Tapi saat memanggilku,

Bapak Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten meminta agar aku

menjauhi dokter Hilan. Demi untuk

menjaga keutuhan rumah tangga

dokter Hilan, begitu pesan beliau.

Tentu saja hal tersebut hanya masuk di telinga kiri dan keluar di

telinga ananku, semua pesan dan

nasihat yang beliau berikan

padaku.

Setelah aku dan dokter Hilan

selesai menghadap Bapak Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten, kami

berdua pulang bersama. Di dalam

mobil yang kami kendarai, aku dan

dokter Hilan tertawa bersama,

menertawakan mereka yang

merasa tidak senang dengan

hubungan terlarang kami. Intinya,

kami berdua sudah tak peduli lagi

dengan apa yang dikatakan orang

lain pada kami. Kami hanya

tersenyum mendengar semua

yang mereka ucapkan

***

"Sstt ...itu bidan selingkuhan

suami Bu Mira."

Terdengar suara beberapa

orang ibu sambil berbisik saat aku

lewat di depan mereka, ketika

kami sedang menghadiri acara

rapat PKK (Pembinaan

Kesejahteraan Keluarga) di

kecamatan, yang rutin diadakan

setiap awal bulan. Meskipun

mengucapkannya dengan berbisik,

tapi aku masih bisa

mendengarnya, sebab jarak kami

tak terlalu jauh.

"Bidannya cantik ternyata.

Pantas saja suami Bu Mira suka

sama dia," bisik seorang ibu yang

lain "Cantik kalau merebut suami

orang ya bukan perempuan

baik-baik namanya," ucap ibu yang

lain lagi. Nada suaranya terde

sinis.Aku hanya tersenyum

mendengar percakapan para ibu

itu, dan segera berlalu dari

hadapan mereka.

Selama ini aku belum pernah

bertemu dengan Bu Mira, istri

dokter Hilan. Aku hanya

mendengar namanya saja. Itu pun

dari mulut Misno yang menyebut

nama itu, ketika suatu hari dia

bertanya pada dokter Hilan,

apakah dia harus menjemput Bu

Mira.

Ketika menghadiri acara rapat

PKK di kecamatan itulah aku

bertemu muka dengan perempuan

yang bernama Bu Mira, istri dokter

Hilan. Dia duduk bersama dengan

para istri dokter yang lain. Saat

aku menatapnya, rupanya dia juga

sedang menatap ke arahku. Untuk

beberapa detik kami saling tatap.Setelah itu, kami berdua

membuang muka masing-masing

ke arah lain.

"Mbak Dian, apa bisa kita

bicara sebentar empat mata?"

tanya Bu Mira, ketika acara rapat

telah usai. Dia datang

menghampiriku.

Sedetik aku memandang Bu

Mira yang berdiri di dekatku,

dengan penuh tanda tanya. Apa

kira-kira yang akan dia bicarakan

denganku, gumamku dalam hati.

"Tentu saja bisa, Bu,' jawabku

sembari mengangguk.

"Sejak tadi saya mendengar

tentang gosip yang beredar, antara

Suami saya dengan Mbak Dian.

Apa Mbak Dian yang sudah menceritakan tentang hal itu pada

mereka?" tanya Bu Mira sambil

menatapku tajam penuh selidik.

Wajahnya terlihat sangat judes,

tak ada senyum sedikit pun di

bibirnya.

Aku mengernyitkan dahi

sembari membalas tatapan Bu

Mira. Dalam hati aku merasa aneh

dengan jalan pikiran perempuan

yang sedang berdiri di depanku ini.

Untuk apa aku mengedarkan gosip

tentang hubungan gelapku dengan

suaminya. Bukankah itu sama saja

artinya dengan aku membuka aib

diri sendiri? Yang ada juga malah

aku akan berusaha untuk

menutupinya, agar dia tidak tahu

tentang perselingkuhan yang

terjadi antara aku dengan

suaminya.agar Mbak Dian nggak

mengulanginya lagi." lanjutnya,

sebelum aku sempat menjawab

pertanyaanna yang pertama dan

hilang rasa heranku pada jalan

pikiran istri dokter Hilan ini.

Dia kemudian berlalu dari

hadapanku. Aku hanya tertegun

sambil melongo melihat kepergian

Bu Mira.

Benar-benar orang yang aneh.

Dia telah menjatuhkan vonis

padaku tanpa mendengar hal yang

sebenarnya terjadi. Atau memang

dia sengaja melakukannya.

Entahlah. Yang jelas, dia terlihat

sangat bodoh menurutku.

Aku mendengkus. Dasar

perempuan bodoh, umpatku dalam

hati. Tak lama kemudian, dokter

Hilan datang menjemputku dan kami pun pergi ke arah kota.

"Yang, L sok hari Sabtu sama

Minggu kamu ikut ke Jakarta ya,"

kata dokter Hilan suatu hari. Dia

memang sedang melanjutkan

kuliah S2 di Universitas Indonesia

dan setiap hari Sabtu dan Minggu

dia berangkat ke Jakarta.

"Aku gimana minta izin-nya

sama orang tuaku?" tanyaku.

"Gampanglah kalau soal itu.

Kamu lupa ya kalau aku ini kepala

puskesmas?" tanya dokter Hilan.

Kami lalu tertawa bersama.

Singkat cerita, aku sudah

mendapatkan izin dari ayah dan

ibu untuk berangkat ke Jakarta.

Dengan memperlihatkan surat tugas untuk mengikuti pelatihan

selama tiga hari di sana. Tentu

saja surat tuas itu palsu, yang

dibuat dan diuandatangani sendiri

oleh dokter Hilan.

Hari Jumat sore aku dan

dokter Hilan sudah berada di

stasiun kereta api, siap berangkat

menuju Jakarta. Di dalam kereta,

kusandarkan kepala di bahu

dokter Hilan, sambil saling

bercerita. Sesekali kami tertawa.

Begitu sampai di Jakarta

pada keesokan harinya, kami lalu

naik taxi menuju ke sebuah hotel

yang sudah dipesan terlebih

dahulu oleh dokter Hilan. Setelah

beristirahat sebentar, dokter Hilan

berangkat kuliah dan aku

menunggu di dalam kamar hotel.

Sore hari sekitar pukul lima dokter Hilan baru kembali. Dia lalu

mandi dan kami bercinta setelah

itu. Sanpa.

puas kami

melakukannya. Tak terasa waktu

telah menunjukkan pukul delapan

malam.

"Keluar yuk, Yang. Kita cari

makan," ajaknya. Kami lalu segera

berpakaian dan keluar hotel untuk

mencari makan.

Tiba-tiba telepon genggam

dokter Hilan berdering, ketika kami

baru beberapa langkah berjalan

meninggalkan halaman hotel.

"Dari polda," katanya padaku.

Dia lalu menerima panggilan itu.

Hanya sebentar, tak sampai

lima menit. Berbeda sekali saat

dia meneleponku, bisa sampai

berjam-jam lamanya, padahal

seharian kami sudah bertemu."Kok cuma sebentar?" tanyaku

basa basi.

Dokter Hilan tak menjawab.

Dia lalu menggandeng tanganku

dan kami berjalan menyusuri

trotoar.

Kami menuju tempat makan

cepat saji, aku yang memintanya

tentu saja. Karena aku khawatir

akan salah makan dan

mengakibatkan pelet pengasihan

yang diberikan Jeng Murti akan

luntur. Bisa bahaya.

"Kamu cantik banget, Yang."

kata dokter Hilan, saat kami

sedang menunggu pesanan kami

datang.

Aku tersenyum manja.

Kupegang tangannya. "Pacarnya siapa dulu," kataku menggodanya.

Kami lalu tertawa bersama.

Sepulang dari makan kami

mengobrol sebentar. Setelah itu

kami kembali bercinta. Entah

berapa kali. Yang pasti kami

sama-sama merasa puas dan

kelelahan. Sampai akhirnya kami

pun tertidur.

  Dua bulan berlalu dari aku

datang ke tempat praktik Jeng

Murti. Pelet pengasihan pupur

cleopatra yang aku beli tinggal

sedikit lagi. Membuatku merasa

was-was dan khawatir. Aku segera

menghubungi Jeng Murti, dan

mengatakan kalau akan

menemuinya minggu ini.

Hari Sabtu pagi aku sudah

berangkat untuk menemui Jeng

Murti, sebelum dokter Hilan

datang menjemput. Melalui SMS,

aku bilang padanya ada urusan

mendadak dan aku minta izin

untuk tidak masuk kerja pada hari

itu.[Kenapa nggak bilang tadi

malam, Yang. Kalau bilang kan

bisa aku antar. Minggu ini aku

sengaja nggak berangkat kuliah ke

Jakarta karena ingin berduaan

sama kamu)

Bunyi SMS dari dokter Hilan,

sesaat setelah aku izin tak masuk

kerja. Aku tersenyum

membacanya. Tentu saja aku lebih

mementingkan bertemu dengan

Jeng Murti daripada bertemu

dengannya. Karena ini

menyangkut soal kelangsungan

hubungan terlarangku dengan

dokter Hilan.

Selama dua bulan ini, sudah

banyak yang dokter Hilan berikan

padaku, tanpa aku pernah memintanya. Dari HP, perhiasan

emas dan berlian, tas, sepatu,

baju, yang semuanya adalah

barang branded, harganya tentu

tidak murah, serta sejumlah uang.

Entah sudah berapa puluh juta

dokter Hilan memberikan uangnya

padaku.

Sebetulnya bukan semua itu

yang aku inginkan dari dokter

Hilan, karena aku juga bisa

membelinya dari uang gaji yang

aku terima setiap bulan. Aku

hanya ingin selalu bersamanya,

setiap waktu, kapan dan di mana

saja.

"Mbak sudah sampai"' kata

supir taxi membuyarkan

lamunanku. Ketika taxi yang aku

naiki sudah berada di halaman

hotel dimana Jeng Murti

membuka praktik.Aku segera turun dan

membayar ongkos taxi. Lalu,

bergegas masuk ke dalam hotel.

Dan langsung menuju lift.

Sampai di depan kamar

nomor 13, terlihat sudah banyak

orang yang sedang menunggu,

sama seperti saat aku datang

pertama kali ke tempat ini, dua

bulan yang lalu. Aku kemudian

mendaftar dan mengambil nomor

antrian. Lalu duduk menunggu

giliran bersama dengan beberapa

orang yang lain.

"Mbak mukanya cantik

banget. Pake ramuan Jeng Murti

yang apa?" tanya seorang

perempuan yang duduk di

sebelahku, beberapa saat setelah

aku duduk.Aku tersenyum menanggapi.

Dalam hati aku berkata, kalau aku

cantik memang sudah dari lahir.

Dan ingin aku mengatakan seperti

itu pada perempuan yang duduk di

sebelahku. Tapi aku urungkan,

karena pasti akan menimbulkan

kesan yang tidak baik. Terkesan

sombong.

"Saya pakai pupur cleopatra,"

jawabku singkat.

"Ohh ... sudah sering ya

Mbak-nya datang ke sini?" tanya

perempuan satunya, yang duduk di

sebelah perempuan tadi.

"Baru dua kali ini. Mbak sudah

sering datang ke sini?" Aku

menjawab dan balik bertanya pada

kedua perempuan itu.Belum sempat perempuan itu

menjawab pertanyaanku, nama

dan nomor antrianku sudah

dipanggil. Maka aku segera

beranjak dari duduk dan menuju

ke pintu kamar lalu bergegas

masuk ke ruang dalam.

"Apa kabar, Nona Cantik?"

tanya Jeng Murti sembari

tersenyum, begitu dilihatnya aku

masuk dan berjalan menghampiri

dirinya.

"Kabar baik, Jeng." jawabku

singkat. Aku lalu duduk di kursi

yang ada di depan meja kerjanya.

Entah kenapa, tiba-tiba aku

merinding. Aku mengusap tengkuk

dan kedua tangan yang terasa

dingin.

"Apa yang bisa aku bantu,

Nona Cantik?" tanya Jeng Murti.Untuk beberapa saat aku

tertegun. Memandang wajah Jeng

Murti yang mirip sekali dengan

kepala seekor ular. Dua buah gigi

taringnya terlihat sangat jelas

ketika dia sedang tersenyum.

Beberapa waktu aku

mengucek-ucek kedua mata,

berusaha untuk melihat lebih jelas

lagi. Kali ini yang terlihat adalah

seorang perempuan cantik

setengah baya yang sedang duduk

di depanku, berbatas sebuah meja

tulis.

"Gimana, Nona Cantik? Apa

yang bisa aku bantu untukmu?"

tanya Jeng Murti lagi,

membuyarkan lamunanku."Eh ... anu, Jeng. Pupur

cleopatra-nya yang kemarin sudah

hampir habis. Saya mau beli lagi,"

jawabku sambil terbata, tak berani

menatap wajah Jeng Murti,

meskipun tadi aku melihat dia

sudah berubah menjadi seorang

perempuan cantik, dari yang

sebelumnya aku melihat seperti

kepala seekor ular besar.

"Apa kamu puas dengan hasil

kerjaku?" tanya Jeng Murti seraya

tersenyum.

Aku mengangguk. "Iya, saya

sangat puas, Jeng."

Tiba-tiba Jeng Murti tertawa,

membuatku sangat terkejut dan

merasa takut. Aku tak berani

menatap wajahnya. Dan tawa itu ...

aku mendengarnya lebih mirip

sebuah desis-an. Aku bergidik."Sekarang kita lakukan ritual

untuk yang kedua kali, agar laki-laki itu makin tergila-gila

padamu, Nona Cantik," kata Jeng

Murti.

Tanpa menunggu lebih lama,

aku lalu berganti pakaian dengan

sehelai kain jarik yang diberikan

oleh Jeng Murti dan acara ritual

buang sial dan membuka aura pun

segera dimulai. Sama seperti saat

pertama datang, ritual itu

berlangsung hampir sekitar dua

jam lamanya.

"Ini pupur cleopatra-nya.

Jangan sampai habis. Kamu harus

segera datang ke sini sebelum

pupur ini benar-benar habis," pesan

Jeng Murti.

Aku mengangguk tanda

mengerti. Setelah membayar

mahar yang dia minta, aku segera

keluar dari kamar hotel itu dan

bergegas pulang.[Yang bisa jemput aku nggak?]

Aku mengirim SMS pada

dokter Hilan. Lama tak ada

jawaban. Aku lalu menelepon, tak

juga diangkat. Nekat aku

menelepon nomor rumahnya.

Yang mengangkat ternyata Bu

Mira.

[Hallo]

[Hallo. Apa dokter Hilan ada?]

[Dian]

Klik. Tut... tut .. tut ...

Telepon terputus. Aku

mendengkus. Aku lalu mencoba

mengulangi. Beberapa kali. Tapi

tetap tak diangkat.Yang maaf baru baca

SMS-nya. Sekarang kamu ada di

mana?]

Pesan SMS balasan dari

dokter Hilan. Aku lalu

menyebutkan sebuah tempat

dimana aku sedang menunggu.

Dua puluh menit kemudian,

mobil dokter Hilan datang. Dan

aku segera naik.

"Lama ya nunggunya," kata

dokter Hilan seraya

memandangku.

Aku tersenyum. "Lumayan."

Tanpa bertanya padaku,

dokter Hilan membawa mobilnya

menuju ke sebuah hotel dan kami

cek in di hotel itu.Setelah berbincang sebentar,

kami lalu bercinta sepuasnya.

Melepas semua kangen, seperti

yang sudah beberapa bulan

lamanya tidak bertemu.

"Tadi aku telepon ke rumah.

Yang angkat lbu," kataku

memberitahu, ketika kami baru

selesai bercinta.

"Ngapain telepon ke rumah?"

tanya dokter Hilan.

"Habisnya, aku SMS, aku

telepon ke HP nggak diangkat."

Dokter Hilan tertawa. Dia lalu

memelukku. "Dikira aku sudah

bosan ya?" ucapnya di telingaku.

Aku mengangguk."lya,"

kataku manja.

Dokter Hilan semakin erat

memelukku. "Aku nggak akan

pernah bosan sama kamu,sayang.Saat seperti ini, aku tak ingin

berpisah dengan dokter Hilan. Aku

ingin selalu bersamanya. Tapi saat

dia mengajakku untuk menikah,

entah kenapa aku selalu saja

mencari alasan.

Kadang aku bingung dengan

diriku sendiri. Dalam hati aku ingin

mengangguk mengiyakan

ajakannya, tapi mulutku malah

berkata lain.

Ada apa sebenarnya? Apakah

ada kaitannya dengan pupur

cleopatra dari Jeng Murti?

Bersambung...