membuang sial dan membuka
aura itu selesai. Jeng Murti lalu
menyuruhku duduk kembali di
tempat semula.
"Kamu harus selalu datang ke
sini sebelum bedak ini habis,"
katanya sambil menunjukkan
sebuah kotak kecil. Dia lalu
memberitahu cara memakainya,
cukup dipakai setiap pagi sebelum
aku bertemu dengan dokter Hilan.
"Kamu paham kan, dengan
semua yang aku bilang tadi?"
tanya Jeng Murti setelah selesai.
"Iya, Jeng. Saya sudah
paham. Jadi berapa mahar yang
harus saya bayar?" tanyaku.
"Bedak ini 350 ribu, konsultasi
dan pendaftaran 200 ribu, ramuan
ruwatan 300 ribu. Jadi šemua 850
ribu," kata Jeng Murti.Aku tak merasa kaget, karena
memang sudah memperkirakan
sebelumnya. Aku membawa uang
tiga juta rupiah dari rumah. Uang
gajiku selama beberapa bulan.
Aku lalu memberikan uang
sejumlah 850 ribu rupiah kepada
Jeng Murti. Setelah itu aku pamit
pulang. Di pintu luar, masih banyak
orang yang menunggu giliran.
Sepanjang perjalanan pulang,
aku merasa sangat bahagia.
Senyum terus tersungging di bibir.
Membayangkan besok dokter
Hilan akan semakin menyayangi
dan mencintaiku.
Begitu sampai di rumah, pada
keesokan harinya, saat akan
berangkat kerja, aku segera
memoles wajahku terlebih dahulu
dengan pupur cleopatra
pemberian dari Jeng Murti.
Aku lalu berdiri dan mematut
diri di depan cermin, dan aku
merasa sangat puas melihat
wajahku di cermin. Aku merasa
wajahku terlihat menjadi semakin
cantik setelah memakai pupur
cleopatra pemberian dari Jeng
Murti itu. Senyuman tersungging
di bibirku. Dokter Hilan pasti akan semakin tergila-gila padaku, aku
membatin, seraya mengusap
kedua pipiku.
Tak berselang lama, terdengar
suara klakson mobil di depan
rumah. Itu pasti dokter Hilan yang
datang untuk menjemputku. Aku
tersenyum dalam hati, tak sabar
rasanya aku ingin melihat
reaksinya.
Namun, aku begitu terkejut
saat membuka pintu depan mobil
itu. Ada Misno, supir pribadi
dokter Hilan duduk di belakang
kemudi. Aku lalu melihat ke jok
belakang, ada dokter Hilan sedang
duduk di sana.Ayo naik, Yang. Kok malah
bengong, kata dokter Hilan sambil
membuka pintu belakang.
Aku lalu naik dan duduk di
samping dokter Hilan. Tak jadi di
depan karena ada Misno.
Dalam perjalanan menuju ke
puskesmas, aku tak banyak bicara.
Aku hanya mendengarkan obrolan
antara dokter Hilan dan Misno.
Begitu sampai di puskesmas,
aku langsung menuju ke ruang
KIA. Ada rasa sebal dalam hati.
Batal deh aku membuat dokter
Hilan terpesona padaku, aku
menggerutu dalam hati.
"Yang, kenapa mukanya judes
banget gitu?" tanya dokter Hilan
yang tiba-tiba sudah berdiri di
depan pintu ruangan KIA, saat
sudah tak ada lagi kunjungan pasien. Jam di dinding telah
menunjukkan pukul setengah dua
belas siang. Sebentar lagi waktu jam pulang kerja selesai.
Aku diam saja, sambil
memandang dokter Hilan sekilas.
Aku masih sibuk merapikan
beberapa buah buku kohort yang
ada di atas meja. Dokter Hilan
tersenyum, dia lalu duduk di
depanku, dengan berbatas meja
tulis.
"Aku memang sengaja ngajak
Misno hari ini. Nggak bawa mobil
ambulans. Biar ibunya Evan nggak
tahu, kalau hari ini kita pergi
berdua, katanya sambil mencolek
hidungku.
Aku memandangnya, tak
begitu paham dengan apa yang
dia katakan. Lagi-lagi dokter Hilan
tersenyum melihat aku tampak
bingung."Nanti pulang kerja, aku mau
ajak kamu cek in ke hotel.
Makanya hari ini aku bawa Misno.
Nanti aku akan suruh dia untuk
ngantar kita sampai ke hotel, terus
pulang," kata dokter Hilan
menjelaskan.
Terus Misno nanti di mana?"
tanyaku masih bingung.
"Ya terserah dia aja mau ke
mana. Nanti kalau kita sudah mau
pulang, baru aku suruh dia untuk
jemput kita lagi."
"Apa nanti dia nggak akan
laporan ke lbu?" tanyaku khawatir.
"Kalau itu sih beres. Dia kan
sudah lama jadi supirku. Dia
orangnya setia kok. Jadi kamu
nggak usah khawatir ya."
Aku manggut-manggut sembari tersenyum mendengar
penjelasan dokter Hilan. Rupanya
seperti itu cara dokter Hilan
membohongi istrinya, aku
membatin. Sesaat aku merasa
kasihan pada Bu Mira. Namun,
perasaan itu segera kutepiskan.
Masa bodo-lah, yang penting aku
bisa selalu bersama dengan
dokter Hilan.
Begitu jam kantor selesai,
kami, aku, dokter Hilan dan Misno,
segera menuju ke arah luar kota.
Lalu kami berdua cek in di sebuah
hotel. Sementara Misno langsung
pergi begitu selesai mengantarkan
aku dan dokter Hilan.
Kami lalu mengulangi apa
yang pernah kami lakukan
sebelumnya, melakukan hubungan
suami istri. Berulang kali. Hingga
malam hari."Aku sedih kalau harus pisah
sama kamu, Yang," kata dokter
Hilan sambil memeluk tubuhku
dengan erat, begitu kami akan
pulang.
"Kita kan bisa selalu ketemu
kapan saja," kataku sambil
menatap wajahnya. Dalam hati
aku tersenyum, dan merasa
sangat puas dengan hasil kerja
Jeng Murti. Semua itu pasti
karena pengaruh pupur cleopatra,
batinku.
Untuk beberapa saat aku dan
dokter Hilan larut dalam diam.
Sambil masih saling berpelukan.
Sampai akhirnya pintu kamar
diketuk oleh seseorang. Perlahan
Dokter Hilan melepaskan
pelukannya dan berjalan menuju ke arah pintu. Ada Misno sedang
Vberdiri di sana, begitu pintu
terbuka.
Kami lalu menuju mobil yang
diparkir Misno di depan pintu
kamar hotel yang kami tempati.
"Kita cari makan dulu, Mis,"
titah dokter Hilan pada Misno,
sesaat setelah mobil berjalan
meninggalkan halaman hotel.
"Di mana, Pak?" tanya Misno.
"Kamu mau makan apa,
Yang?" tanya dokter Hilan padaku.
Sejenak aku berpikir. Ada
beberapa jenis makanan yang tak
boleh aku makan, pesan Jeng
Murti kemarin. Jika aku melanggar
pantangan tersebut, maka pelet
pengasihan yang melekat pada
tubuhku akan luntur, bahkan mungkin akan hilang sama sekali.
Agar aman makan di restoran siap
saji saja, pikirku. Daripada ribet
pilih-pilih menu.
"Aku ingin makan di KFC saja,
Yang," jawabku seraya tersenyum.
Maka, Misno pun
mengendarai mobil menuju ke
sebuah gerai KFC dan kami makan
di sana.
Tiba-tiba telepon genggam
dokter Hilan berdering, ketika kami
sedang asik makan. Dia lalu
mengangkatnya, setelah
memberitahu agar aku diam
dengan menaruh jari telunjuknya
di mulut.. Dari 'POLDA' katanya.Aku tersenyum sembari
mengangguk. Dia selalu memakai
istilah itu untuk memanggil Bu
Mira, istrinya. Awalnya aku
bingung, kenapa sering sekali
dokter Hilan bilang ada telepon
dari POLDA tapi setelah aku
dengarkan percakapannya
ternyata dia sedang berbicara
dengan istrinya. Karena merasa
penasaran, aku lalu bertanya,
siapa POLDA. Rupanya itu istilah
yang dokter Hilan pakai untuk
memanggil istrinya, singkatan dari
polisi dapur.Dalam percakapan dengan Bu
Mira, aku mendengar dokter Hilan
bilang kalau dia masih ada di
jalan, jika Bu Mira mau tidur, tidur
duluan saja, tak perlu menunggu.
Karena entah pukul berapa dia
akan sampai di rumah. Aku melirik
ke arah Misno. Lelaki itu diambiasa saja. Mungkin dia sudah
sering melihat hal seperti itu,
ketika Dokter Hilan sedang
berbohong pada Bu Mira.
Entahlah.
"Memangnya kamu mau ke
mana setelah ini, kok nggak
langsung pulang, Yang?" tanyaku,
setelah dokter Hilan selesai
menelepon.
"Aku mau jalan-jalan dulu.
Suntuk di rumah. Toh masih jam
sembilan, belum malam banget,"
jawab dokter Hilan santai.
saja, wajahnya datar dan tampak biasa saja. Mungkin dia sudah
sering melihat hal seperti itu,
ketika Dokter Hilan sedang
berbohong pada Bu Mira.
Entahlah.
"Memangnya kamu mau ke
mana setelah ini, kok nggak
langsung pulang, Yang?" tanyaku,
setelah dokter Hilan selesai
menelepon.
"Aku mau jalan-jalan dulu.
Suntuk di rumah. Toh masih jam
sembilan, belum malam banget,"
jawab dokter Hilan santai.Benar saja, selesai kami
makan, dokter Hilan tak langsung
mengantar aku pulang. Kami
jalan-jalan tak tentu arah tujuan.
Ketika melewati sebuah pasar
malam, dokter Hilan menyuruh
Misno untuk menghentikan
mobilnya. Seperti anak kecil, aku
dan dokter Hilan lalu naik
bermacam mainan yang ada di
pasar malam tersebut. Orang yang
tak mengenal kami, pasti mengira
kalau kami adalah sepasang
kekasih yang sedang dimabuk
cinta. Mereka pasti tak akan
mengira, kalau dokter Hilan adalah
pimpinan puskesmas dan aku
perempuan selingkuhannya.
Bersambung...