Chereads / indetitas yang tersembunyi / Chapter 3 - chapter 4 Indetitas Tersembunyi "Tamu Penting di Ruang Melukis"

Chapter 3 - chapter 4 Indetitas Tersembunyi "Tamu Penting di Ruang Melukis"

Wajah Denzel mengetat.

Salah satu tangannya mengepal

hingga buku-buku jarinya

memutih.

"Jangan ikut campur

urusanku! Aku tidak akan

membiarkan Papa merusak

pondasi yang sudah aku bangun

dengan susah payah. Tinggal

selangkah lagi dan aku aku akan

berhasil," sembur Denzel dengan

mata memerah.

Terdengar suara tawa

membahana Tuan X dari seberang

sana.

"Ini yang kusuka,

mendengarmu meluapkan semua Bab 6 Tamu Penting di Kelas

amarahmu. Penerusku harus

garang dan penuh ambisi. Tidak

ada tempat untuk pria lemah

lembut yang mengutamakan

perasaan," ujar Tuan X

bersemangat.

Berikutnya dia sengaja

mencela sepak terjang Denzel.

"Aku kira kamu sudah

melupakan rencana besar kita

karena jatuh cinta pada gadis

ingusan itu."

Denzel mendengus kasar

sebelum memberikan responnya.

"Aku sudah bersumpah di

hadapan Papa, tentu saja aku

tidak akan mengingkarinya. Cinta

tidak masuk dalam prioritasku.

Lihat saja bagaimana aku

menguasai semua yang dimiliki

Louis Brown, terutama putri

tunggalnya.""Hmmmmm, aku tidak sabar

menunggu saat itu, Nak. Baiklah

aku menantikan aksimu

selanjutnya. Selamat istirahat,"

kata Tuan X mengakhiri

provokasinya.

Denzel menghempaskan diri

ke atas kasur. la dibuat pusing

dengan berbagai masalah yang

berputar di kepalanya. Batinnya

mengalami pergulatan antara sisi

terang dan gelap. Ada rasa

menyesal sekaligus kecewa ketika

ia mengingat wajah Rose. Dialah

yang mendidik dan mendampingi

Rose hingga tumbuh menjadi

wanita yang kuat. Namun hampir

tiba waktunya ia harus memetik

mawar yang sedang mekar itu.Dilema macam apa ini? Tidak

seharusnya ia jatuh terlalu dalam

pada hubungannya dengan Rose.

Mungkin kerisauannya adalah efek

dari kebersamaan mereka yang

telah terjalin selama

bertahun-tahun. Sebagai penerus

keluarga Adams, tidak seharusnya

ia bersikap sentimental.

"Maafkan aku, Rose. Aku tidak

punya pilihan karena kamu adalah

satu-satunya keturunan Louis

Brown,

gumam Denzel.

Rose tergesa-gesa masuk ke

kelas melukis. la hampir terlambat

karena bangun kesiangan.

Semalam matanya sulit sekali

terpejam. Pikirannya melayang

dan mengembara tak tentu arah.Sebentar memikirkan hubungan

kedua orang tuanya, sebentar

terpikir tentang konser biola,

kemudian beralih pada Denzel.

Entah kenapa perubahan

sikap Denzel semalam

membuatnya tidak nyaman. la

lebih suka Denzel yang

menunjukkan kepedulian sebagai

kakak tanpa keinginan melakukan

kontak fisik.

Rose membuang pandangan

ke sembarang arah, mencari kursi

yang masih kosong. Di kelas

melukis kali ini kursi para

mahasiswa disusun melingkar.

Bagian tengah atau titik sentral

akan diisi oleh Mr. Zack dan tamu

pentingnya.

Minggu kemarin Mr. Zack,dosen kelas melukis,

mengumumkan bahwa mereka

akan kedatangan tamu spesial.

Seorang pelukis muda yang

karyanya tengah viral dan diminati

kalangan pecinta seni. Bisa jadi

sang pelukis akan menjadi objek

lukisan mereka. Atau dia yang

akan memberikan tantangan

kepada para mahasiswa untuk

menggambar objek tertentu.

Karena sebagian besar kursi

sudah terisi, Rose terpaksa

memilih kursi yang masih kosong.

Kursi itu berada tak jauh dari

tempat Mr. Zack biasa berdiri. Dari

arah berlawanan, terlihat Anneth

sedang memperhatikan

gerak-gerik Rose layaknya detektif

yang mengawasi targetnya.

"Rose, aku kira kamu absen hari ini," ucap Gwen menepuk bahu

Rose dari belakang.

"Gwen, kamu membuat

jantungku hampir copot," sahut

Rose menjatuhkan peralatan

melukisnya.

Gwen terkekeh pelan.

"ltu karena kamu melamun

sejak tadi. Apa kamu sedang jatuh

cinta?" tanya Gwen menggoda

temannya yang polos itu.

"Aku mencari ide tentang

tema lukisanku nanti," sanggah

Rose mengeluarkan kuas dan cat

minyak dari tasnya.

"Mencari ide sampai

melamun. Sepertinya fantasimu

terlalu tinggi, Rose. Padahal hari

ini kita kedatangan tamu

istimewa. Kamu tidak perlu

repot-repot berkhayal."Suara langkah sepatu yang

mendekat ke pintu, membuat

Gwen menghentikan ucapannya.

"Rose, Mr. Zack sudah

datang. Aku kembali ke kursiku

dulu," bisik Gwen beranjak pergi.

"'Selamat pagi semuanya,

terdengar suara melengking Mr.

Zack. Pria berdarah campuran

Afrika itu selalu bersemangat

sehingga membawa aura positif

untuk murid-muridnya.

"Pagi, Pak," jawab para

mahasiswa antusias.

Rose masih sibuk menyiapkan

palet dan peralatannya yang lain.

la hanya mendengarkan suara

dosennya tanpa mengangkat

kepala."Nah, seperti janji saya

kemarin. Hari ini kita kedatangan

tamu. Dia seorang pelukis

sekaligus arsitek muda yang baru

saja tiba dari Michigan. Silakan

masuk Tuan Luke Brown," kata Mr.

Zack bersemangat.

Rose tersentak. Apa dia

sedang berhalusinasi sehingga

mendengar nama Luke

disebut-sebut oleh dosennya.

Karena penasaran, Rose pun

menaikkan tatapannya. Darahnya

berdesir cepat ketika melihat pria

yang tengah berdiri di samping Mr.

Zack. Tak salah lagi pria itu adalah

Luke, orang yang paling in

dihindarinya di muka bumi.Luke tersenyum secerah

mentari kepada para mahasiswa

di dalam kelas. Sikapnya ini

sungguh berbanding terbalik

dengan keangkuhan yang

ditunjukkannya saat berada di

kantor Brown GrOup. Bahkan ia

tampil santai dengan kemeja

hitam yang lengannya digulung

setengah, dipadu celana jeans

berwarna biru tua.

Rose segera

menyembunyikan wajahnya. la

berharap Luke tidak akan

mengenalinya di antara dua puluh

mahasiswa di ruangan tersebut."'Selamat pagi. Suatu

kehormatan tersendiri bagi saya

diundang ke kelas melukis oleh

Mr. Zack. Jujur saya masih

pemula dalam bidang seni lukis.

Saya tidak menyangka akan diberi

kehormatan sebesar ini," ucap

Luke merendah.Rose berdecih di dalam hati.

la menganggap Luke sebagai

manusia munafik yang berakting

rendah hati agar menerima banyak

pujian.

"Anda tidak bisa dikatakan

sebagai pemula. Lukisan Anda

yang bertajuk Woman In The Rain

sangat terkenal. Begitu juga

dengan lukisan kedua Anda The

Snowy Mansion yang menjadi

trend baru di kalangan anak muda.

Lukisan itu adalah perpaduan unik

antara seni lukis dan gaya

arsitektur. Saya sangat

mengaguminya."Mendengar pujian yang

dilontarkan Mr. Zack, lesung pipit

di kedua pipi Luke tercetak.

Membuat hati para gadis di

ruangan ini lumer seperti salju

yang meleleh. Terutama Anneth

yang tak lepas mengagurmi

ketampanan Luke. Tapi hal ini

tidak berlaku untuk Rose. Baginya

karakter dan kepribadian

seseorang jauh lebih penting

daripada paras yang rupawan.

Sebenarnya Rose adalah

salah satu pengagum lukisan

Luke. Kala itu ia sempat mencari

di internet siapakah pelukis

Woman In The Rain .

Tapi sekarang ia menyesal

karena pernah mengagumi orang

yang salah."Anda terlalu memuji saya Mr.

Zack. Melukis adalah hobi saya

sedangkan profesi sehari-hari

saya adalah seorang arsitek. Saya

hanya mencoba memadukan

kedua unsur tersebut. Ternyata hasilnya tidak mengecewakan,"

jelas Luke.

"Tuan Luke, untuk kelas hari

ini silakan Anda yang menentukan

tema lukisan yang harus

dikerjakan para mahasiswa. Atau

barangkali Anda sendiri yang ingin

menjadi objek lukisannya?" tanya

Mr. Zack setengah bercanda. Para

gadis tersenyum simpul seolah

menyetujui usulan Mr. Zack.

"Saya belum pantas untuk itu,

Mr. Zack. Saya akan memberikan

tema yang sesuai dengan bidang

saya, yaitu arsitektur. Setiap kali

saya berkeliling dunia, saya selalu

mengagumi bangunan kuno yang

menjadi ciri khas sebuah negara.

Saya punya keinginan yang kuat

untuk melukisnya. Karena itu saya

memberikan tantangan bagi kalian

melukis satu dari tujuh keajaiban dunia."

Para mahasiswa berbisik satu

sama lain mendengar tema

lukisan yang diberikan Luke.

Menggambar tujuh keajaiban

dunia bukanlah hal yang mudah.

Kemiripan saja tidak cukup.

Diperlukan teknik khusus dan

penjiwaan yang mendalam agar

lukisan tersebut tampak

bernyawa.

"Wah, tema yang diberikan

Tuan Luke sangat bagus. Saya

rasa kalian semua pasti ingin

menghasilkan karya yang terbaik,"

timpal Mr. Zack menyemangati

muridnya.

Mr. Zack melemparkan

pandangannya kepada Luke."Tuan Luke tantangan ini lebih

seru jika Anda bersedia menjadi

juri untuk menentukan Iukisan

mana yang terbaik. Sekaligus

memberikan hadiah bagi

pemenangnya. Kira-kira hadiah

apa yang akan Anda berikan?"

Luke berpikir sebentar

sebelum memberikan jawaban.

Entah perasaan Rose yang

berlebihan atau memang pria itu

melirik ke arahnya.

"Saya dengar dari Anda

bahwa sebagian mahasiswa di

kelas ini akan mengerjakan tugas

akhir. Maka saya akan

memberikan hadiah berupa

bimbingan dan konsultasi untuk

mengerjakan tugas akhir selama

tujuh hari. Khusus untuk satumemperlihatkan deretan gigi

Mr. Zack mengangguk

senang.

"Kalian bisa mulai melukis

sekarang. Pilih saja yang sesuai

dengan passion kalian

masing-masing. Tuan Luke akan

menilai hasil karya kalian Senin

depan."

"Baik, Sir," jawab para

mahasiswa serempak.

Rose kembali menunduk.

Tema itu sebenarnya sangat

sesuai dengan minatnya. Sudah

lama Rose ingin sekali melukis Taj

Mahal, bangunan menakjubkan

yang melambangkan besarnya

cinta seorang suami kepada

istrinya. Namun keinginan itu

orang pemenang," ucap Luke mendadak padam setelah Luke

yang terpilih menjadi jurinya. Rose

tidak mau menjadi pemenang,

apalagi jika harus mengerjakan

tugas di bawah bimbingan Luke.

Sungguh itu akan menjadi

malapetaka besar baginya.

Luke dan Mr. Zack mulai

berkeliling untuk mengecek

pekerjaan para mahasiswa satu

per satu.

"Apa lebih baik aku melukis

asal-asalan saja? Tapi bagaimana

jika Mr. Zack menegurku?" pikir

Rose bingung.

;aku pengen tahu siapa dirimu

Setelah menimbang-nimbang.

Rose memutuskan untuk tetap

melukis Taj Mahal. la tidak peduli

menang atau kalah. Toh di kelas

melukis banyak mahasiswa yang

memiliki bakat luar biasa. Yang

terpenting adalah mengerjakan

tugasnya dengan sepenuh hati.

Seorang seniman sejati harus bisa

mengendalikan emosi, bukan

membiarkan diri terlarut di

Rose mulai mencampur cat

minyak dan menggoreskan

kuasnya di atas kanvas. Tidak ada

gunanya ia terlalu mencemaskan

Luke. Belum tentu juga pria itu

mengenalinya karena mereka baru satu kali bertemu. Itupun dalam

keadaan yang berbeda.

Sementara itu, Mr. Zack dan

Luke sudah sampai pada gadis

yang duduk di samping kiri Rose.

Mereka berhenti untuk

menanyakan apa yang akan dilukis

gadis itu.

"Jean, apa yang akan kamu

lukis?" tanya Mr. Zack.

"Saya akan melukis Machu

Picchu, Sir."

"Pilihan yang bagus. Selamat

bekerja, Jean," puji Mr. Zack.

"'Semoga berhasil," timpal

Luke memberikan semangat. la

berlalu mengikuti Mr. Zack menuju

ke kursi Rose.Sekarang tiba gilirannya untuk ditanya oleh

Mr. Zack dan ia harus bersikap

sewajar mungkin.

"Rose, bagaimana kabarmu?

Bangunan apa yang kamu pilih?"

tanya Mr. Zack. la penasaran

dengan karya Rose karena gadis

ini adalah salah satu murid

terbaiknya.

"Kabar saya baik, Sir. Hari ini

saya akan melukis Taj Mahal,"

jawab Rose menghadapkan

wajahnya kepada Mr. Zack. la

tidak menatap Luke samna sekali

walaupun pria itu berdiri di

samping dosennya.

"Kenapa memilih Taj Mahal?

Apa ada alasan khusus?"

"Saya suka dengan kisah di

balik pembangunan Taj Mahal.

Saya ingin melukisnya sebelum mempunyai kesempatan untuk

berkunjung kesana," jelas Rose.

Mendengar alasan Rose,

mata Mr. Zack berbinar terang.

"'Saya tidak sabar ingin

melihat Taj Mahal dalam versimu,

Rose. Buatlah lukisanmu dengan

penghayatan rasa cinta yang

mendalam. Cinta akan membuat

lukisan Taj Mahal lebih hidup.

Benar kan, Tuan Luke?"

Luke hanya tersenyum tipis

tanpa memberikan komentar. Dari

sikap yang ditunjukkannya, Rose

beranggapan bahwa Luke tidak

mengenalinya dan dia sangat

bersyukur atas hal ini.

"Selamat bekerja, Rose.

Semoga kamu beruntung menjadi

pemenangnya," ucap Mr. Zack.Luke dan Mr. Zack terus

berkeliling hinggà sampai pada

giliran terakhir yaitu Anneth. Gadis

itu kelihatan tidak sabar

memperlihatkan lukisannya yang

setengah jadi kepada Luke.

"Kamu menggambar Petra,

Ann?" tanya Mr. Zack

mengkonfirmasi.

"lya, Sir."

Tanpa malu Anneth

menanyakan pendapat Luke atas

lukisannya.

"Bagaimana menurut Anda

lukisan saya, Tuan Luke?"

"Bagus, Ann. Kamu bisa

menambahkan langit di atasnya

untuk menambah komposisi

warna,' ucap Luke menanggapi

pertanyaan Annneth dengan ramah.

"Terima kasih atas sarannya,

Tuan Luke. Saya juga berpikiran

sama dengan Anda."

Hati Annneth berbunga-bunga

karena mendapat perhatian lebih

dari Luke. la sungguh berharap

akan keluar sebagai pemenang

supaya terus berdekatan dengan

pria tampan ini. Siapa tahu

kedekatan mereka akan berujung

menjadi kisah asmara.

"Baiklah, kalian bisa

melanjutkan lukisannya besok.

Kita berjumpa lagi Senin depan,"

ucap Mr. Zack mengakhiri sesi

kuliahnya.

"'Saya tunggu hasil karya

kalian semua," sahut Luke sebagai

kata penutup.Mr. Zack mengajak Luke

Vkeluar dari ruang kelas. Setelah

mereka pergi, Rose merasa sangat

lega. Kerisauannya tidak terbukti.

Ternyata ia lolos dari pengamatan

Luke dengan mudah tanpa perlu

bersusah payah.

Rose dan para mahasiswa

lain bergegas merapikan peralatan

melukisnya. Melihat Rose

mengemasi barangnya, Gwen

menghampiri Rose sembari

meregangkan kedua lengannya.

"Tanganku pegal sekali.

Seharusnya kita melukis Luke

Brown, bukan melukis bangunan,"

gerutu Gwen.

"Kamu perlu melukis Mr. Zack

supaya lebih semangat," goda

Rose."Rose, mau kemana?"

"Aku mau ke perpustakaan,

Gwen. Aku perlu mencari referensi

tambahan untuk tugas akhir. Apa

kamu mau ikut?"

Gwen menyilangkan

tangannya pertanda menolak

ajakan Rose.

"No, Babe. Aku sedang malas

ke perpustakaan. Aku butuh

mencari inspirasi dengan

mengencani pria tampan. Aku

pulang duluan," ucap Gwen

buru-buru meninggalkan Rose.

Rose menggeleng-gelengkan

kepala melihat tingkah Gwen. la

memungut tasnya lalu berjalan

keluar dari kelas.

Ruang perpustakaan terletak

di basement. Rose memilih menuruni tangga daripada

mengantri di depan lift. la ingin

tiba lebih cepat agar tidak berebut

buku dengan mahasiswa lain.

Saat menyusuri koridor, Rose

merasa ada seseorang yang

mengikutinya dari belakang.

Belum sempat ia menoleh, sebuah

tangan kekar tiba-tiba menariknya.

Secara refleks Rose hendak

melawan dengan memukul lengan

orang itu, namun tangannya lebih

dulu dikunci ke belakang.

"Siapa?" teriak Rose.

"Pura-pura lupa padaku? Aku

bahkan sudah mengenalimu sejak

aku menginjakkan kaki di kelas,

Nona Rose."

Rose menoleh. Sekarang ia

tahu benar siapa orang yang

menahan tangannya."Tuan Luke, Anda mau apa?

Tolong lepaskan saya. Jika saya

berteriak maka orang-orang di

kampus ini akan berdatangan dan

membawa Tuan ke kantor polisi,"

ancam Rose.

Luke terkekeh pelan. la

mengendurkan genggamannya

lalu melepaskan tangan Rose.

"Jangan terlalu percaya diri,

Rose. Aku tidak berminat padamu.

Aku hanya ingin bertanya kenapa

sekretaris Miss Black kuliah di

fakultas seni. Ini tidak masuk

akal,"

Luke menajamkan sorot

matanya seolah ingin menguliti

Rose hidup-hidup.

"Denzel mengatakan kamu adalah mahasiswi semester akhir.

Aku kira latar belakang

pendidikanmu berkaitan dengan

bisnis atau arsitek sehingga kamu

diterima bekerja di perusahaan

ayahku. Tapi aku menemukanmu

di kelas melukis. Lalu siapa yang

konyol disini, Miss Black, Denzel,

atau kamu? Apa kalian bertiga

sedang membuat lelucon?" cecar

Luke.

Saya diterima bekerja di

Brown Group lewat tahap seleksi

dan wawancara. Tidak ada unsur

kekonyolan sama sekali. Anda

bisa menanyakannya langsung

pada Tuan Denzel," tandas Rose

kesal.

"Tetap saja kamu tidak cocok

untuk posisi sekretaris CEO. Dan

tingkahmu sangat mencurigakan.

Tadi kamu berlagak tidak mengenalku di kelas. Apa Miss

Black yang menyuruhmu

melakukan itu?" tanya Luke

menginterogasi Rose.

"Tuan Luke, sudah saya

katakan kalau saya belum pernah

bertemu Miss Black. Maaf,

sekarang saya harus ke

perpustakaan. Jika Anda ingin

mencari tahu tentang Miss Black

tanya saja pada Tuan Denzel."

"Aku butuh jawaban darimu,

bukan dari Denzel," tukas Luke.

Luke berusaha mendesak

Rose agar buka mulut tentang

Miss Black. Tapi kedatangan

Anneth menghentikan aksinya.

Bibir Anneth mengerucut saat

melihat Rose berduaan dengan Luke di koridor.

"Rose, Tuan Luke, kenapa

kalian bisa ada disini?"

"Aku akan ke perpustakaan.

Kebetulan Tuan Luke lewat dan

kami bertegur sapa," jawab Rose.

Luke menaikkan sebelah

alisnya. Rose begitu ahli dalam

merangkai kalimat yang pas untuk

menutupi kebohongannya. Luke

bertambah yakin bila gadis ini

telah dididik oleh Denzel dan Miss

Black untuk memuluskan rencana

mereka menguasai Brown Group.

"Kalau begitu kita pergi

bersama ke perpustakaan, Rose,"

ajak Anneth."Saya permisi, Tuan Luke,"

úcap Anneth menampilkan

senyum termanisnya. Padahal di

dalam hatinya terpantik api

cemburu yang semakin berkobar.

Sempat dari kejauhan,

Amneth melihat Rose berbincang

akrab dengan Luke layaknya orang

yang sudah saling mengenal. Dan

hal ini membuat Anneth sangat

kesal. la tidak mengerti mengapa

Rose selalu selangkah lebih

unggul darinya.

"Aku akan memastikan kamu

kalah dalam kompetisi melukis

kali ini. Luke Brown adalah

milikku,"batin Anneth menggandeng

tangan Rose.

Setelah Rose menghilang dari

hadapannya, Luke berbalik arah

menuju lobi kampus. Dia tidak

ingin menunda lagi. Sekaranglah saatnya ia harus menemui Denzel

lalu memaksanya untuk

mempertemukan dirinya dengan

Miss Black. Bila Denzel mnenolak,

Luke sudah menyiapkan cara

ampuh untuk memancing anak

haram ayahnya itu keluar dari

tempat persembunyiannya.

Tamat...