Wajah Denzel mengetat.
Salah satu tangannya mengepal
hingga buku-buku jarinya
memutih.
"Jangan ikut campur
urusanku! Aku tidak akan
membiarkan Papa merusak
pondasi yang sudah aku bangun
dengan susah payah. Tinggal
selangkah lagi dan aku aku akan
berhasil," sembur Denzel dengan
mata memerah.
Terdengar suara tawa
membahana Tuan X dari seberang
sana.
"Ini yang kusuka,
mendengarmu meluapkan semua Bab 6 Tamu Penting di Kelas
amarahmu. Penerusku harus
garang dan penuh ambisi. Tidak
ada tempat untuk pria lemah
lembut yang mengutamakan
perasaan," ujar Tuan X
bersemangat.
Berikutnya dia sengaja
mencela sepak terjang Denzel.
"Aku kira kamu sudah
melupakan rencana besar kita
karena jatuh cinta pada gadis
ingusan itu."
Denzel mendengus kasar
sebelum memberikan responnya.
"Aku sudah bersumpah di
hadapan Papa, tentu saja aku
tidak akan mengingkarinya. Cinta
tidak masuk dalam prioritasku.
Lihat saja bagaimana aku
menguasai semua yang dimiliki
Louis Brown, terutama putri
tunggalnya.""Hmmmmm, aku tidak sabar
menunggu saat itu, Nak. Baiklah
aku menantikan aksimu
selanjutnya. Selamat istirahat,"
kata Tuan X mengakhiri
provokasinya.
Denzel menghempaskan diri
ke atas kasur. la dibuat pusing
dengan berbagai masalah yang
berputar di kepalanya. Batinnya
mengalami pergulatan antara sisi
terang dan gelap. Ada rasa
menyesal sekaligus kecewa ketika
ia mengingat wajah Rose. Dialah
yang mendidik dan mendampingi
Rose hingga tumbuh menjadi
wanita yang kuat. Namun hampir
tiba waktunya ia harus memetik
mawar yang sedang mekar itu.Dilema macam apa ini? Tidak
seharusnya ia jatuh terlalu dalam
pada hubungannya dengan Rose.
Mungkin kerisauannya adalah efek
dari kebersamaan mereka yang
telah terjalin selama
bertahun-tahun. Sebagai penerus
keluarga Adams, tidak seharusnya
ia bersikap sentimental.
"Maafkan aku, Rose. Aku tidak
punya pilihan karena kamu adalah
satu-satunya keturunan Louis
Brown,
gumam Denzel.
Rose tergesa-gesa masuk ke
kelas melukis. la hampir terlambat
karena bangun kesiangan.
Semalam matanya sulit sekali
terpejam. Pikirannya melayang
dan mengembara tak tentu arah.Sebentar memikirkan hubungan
kedua orang tuanya, sebentar
terpikir tentang konser biola,
kemudian beralih pada Denzel.
Entah kenapa perubahan
sikap Denzel semalam
membuatnya tidak nyaman. la
lebih suka Denzel yang
menunjukkan kepedulian sebagai
kakak tanpa keinginan melakukan
kontak fisik.
Rose membuang pandangan
ke sembarang arah, mencari kursi
yang masih kosong. Di kelas
melukis kali ini kursi para
mahasiswa disusun melingkar.
Bagian tengah atau titik sentral
akan diisi oleh Mr. Zack dan tamu
pentingnya.
Minggu kemarin Mr. Zack,dosen kelas melukis,
mengumumkan bahwa mereka
akan kedatangan tamu spesial.
Seorang pelukis muda yang
karyanya tengah viral dan diminati
kalangan pecinta seni. Bisa jadi
sang pelukis akan menjadi objek
lukisan mereka. Atau dia yang
akan memberikan tantangan
kepada para mahasiswa untuk
menggambar objek tertentu.
Karena sebagian besar kursi
sudah terisi, Rose terpaksa
memilih kursi yang masih kosong.
Kursi itu berada tak jauh dari
tempat Mr. Zack biasa berdiri. Dari
arah berlawanan, terlihat Anneth
sedang memperhatikan
gerak-gerik Rose layaknya detektif
yang mengawasi targetnya.
"Rose, aku kira kamu absen hari ini," ucap Gwen menepuk bahu
Rose dari belakang.
"Gwen, kamu membuat
jantungku hampir copot," sahut
Rose menjatuhkan peralatan
melukisnya.
Gwen terkekeh pelan.
"ltu karena kamu melamun
sejak tadi. Apa kamu sedang jatuh
cinta?" tanya Gwen menggoda
temannya yang polos itu.
"Aku mencari ide tentang
tema lukisanku nanti," sanggah
Rose mengeluarkan kuas dan cat
minyak dari tasnya.
"Mencari ide sampai
melamun. Sepertinya fantasimu
terlalu tinggi, Rose. Padahal hari
ini kita kedatangan tamu
istimewa. Kamu tidak perlu
repot-repot berkhayal."Suara langkah sepatu yang
mendekat ke pintu, membuat
Gwen menghentikan ucapannya.
"Rose, Mr. Zack sudah
datang. Aku kembali ke kursiku
dulu," bisik Gwen beranjak pergi.
"'Selamat pagi semuanya,
terdengar suara melengking Mr.
Zack. Pria berdarah campuran
Afrika itu selalu bersemangat
sehingga membawa aura positif
untuk murid-muridnya.
"Pagi, Pak," jawab para
mahasiswa antusias.
Rose masih sibuk menyiapkan
palet dan peralatannya yang lain.
la hanya mendengarkan suara
dosennya tanpa mengangkat
kepala."Nah, seperti janji saya
kemarin. Hari ini kita kedatangan
tamu. Dia seorang pelukis
sekaligus arsitek muda yang baru
saja tiba dari Michigan. Silakan
masuk Tuan Luke Brown," kata Mr.
Zack bersemangat.
Rose tersentak. Apa dia
sedang berhalusinasi sehingga
mendengar nama Luke
disebut-sebut oleh dosennya.
Karena penasaran, Rose pun
menaikkan tatapannya. Darahnya
berdesir cepat ketika melihat pria
yang tengah berdiri di samping Mr.
Zack. Tak salah lagi pria itu adalah
Luke, orang yang paling in
dihindarinya di muka bumi.Luke tersenyum secerah
mentari kepada para mahasiswa
di dalam kelas. Sikapnya ini
sungguh berbanding terbalik
dengan keangkuhan yang
ditunjukkannya saat berada di
kantor Brown GrOup. Bahkan ia
tampil santai dengan kemeja
hitam yang lengannya digulung
setengah, dipadu celana jeans
berwarna biru tua.
Rose segera
menyembunyikan wajahnya. la
berharap Luke tidak akan
mengenalinya di antara dua puluh
mahasiswa di ruangan tersebut."'Selamat pagi. Suatu
kehormatan tersendiri bagi saya
diundang ke kelas melukis oleh
Mr. Zack. Jujur saya masih
pemula dalam bidang seni lukis.
Saya tidak menyangka akan diberi
kehormatan sebesar ini," ucap
Luke merendah.Rose berdecih di dalam hati.
la menganggap Luke sebagai
manusia munafik yang berakting
rendah hati agar menerima banyak
pujian.
"Anda tidak bisa dikatakan
sebagai pemula. Lukisan Anda
yang bertajuk Woman In The Rain
sangat terkenal. Begitu juga
dengan lukisan kedua Anda The
Snowy Mansion yang menjadi
trend baru di kalangan anak muda.
Lukisan itu adalah perpaduan unik
antara seni lukis dan gaya
arsitektur. Saya sangat
mengaguminya."Mendengar pujian yang
dilontarkan Mr. Zack, lesung pipit
di kedua pipi Luke tercetak.
Membuat hati para gadis di
ruangan ini lumer seperti salju
yang meleleh. Terutama Anneth
yang tak lepas mengagurmi
ketampanan Luke. Tapi hal ini
tidak berlaku untuk Rose. Baginya
karakter dan kepribadian
seseorang jauh lebih penting
daripada paras yang rupawan.
Sebenarnya Rose adalah
salah satu pengagum lukisan
Luke. Kala itu ia sempat mencari
di internet siapakah pelukis
Woman In The Rain .
Tapi sekarang ia menyesal
karena pernah mengagumi orang
yang salah."Anda terlalu memuji saya Mr.
Zack. Melukis adalah hobi saya
sedangkan profesi sehari-hari
saya adalah seorang arsitek. Saya
hanya mencoba memadukan
kedua unsur tersebut. Ternyata hasilnya tidak mengecewakan,"
jelas Luke.
"Tuan Luke, untuk kelas hari
ini silakan Anda yang menentukan
tema lukisan yang harus
dikerjakan para mahasiswa. Atau
barangkali Anda sendiri yang ingin
menjadi objek lukisannya?" tanya
Mr. Zack setengah bercanda. Para
gadis tersenyum simpul seolah
menyetujui usulan Mr. Zack.
"Saya belum pantas untuk itu,
Mr. Zack. Saya akan memberikan
tema yang sesuai dengan bidang
saya, yaitu arsitektur. Setiap kali
saya berkeliling dunia, saya selalu
mengagumi bangunan kuno yang
menjadi ciri khas sebuah negara.
Saya punya keinginan yang kuat
untuk melukisnya. Karena itu saya
memberikan tantangan bagi kalian
melukis satu dari tujuh keajaiban dunia."
Para mahasiswa berbisik satu
sama lain mendengar tema
lukisan yang diberikan Luke.
Menggambar tujuh keajaiban
dunia bukanlah hal yang mudah.
Kemiripan saja tidak cukup.
Diperlukan teknik khusus dan
penjiwaan yang mendalam agar
lukisan tersebut tampak
bernyawa.
"Wah, tema yang diberikan
Tuan Luke sangat bagus. Saya
rasa kalian semua pasti ingin
menghasilkan karya yang terbaik,"
timpal Mr. Zack menyemangati
muridnya.
Mr. Zack melemparkan
pandangannya kepada Luke."Tuan Luke tantangan ini lebih
seru jika Anda bersedia menjadi
juri untuk menentukan Iukisan
mana yang terbaik. Sekaligus
memberikan hadiah bagi
pemenangnya. Kira-kira hadiah
apa yang akan Anda berikan?"
Luke berpikir sebentar
sebelum memberikan jawaban.
Entah perasaan Rose yang
berlebihan atau memang pria itu
melirik ke arahnya.
"Saya dengar dari Anda
bahwa sebagian mahasiswa di
kelas ini akan mengerjakan tugas
akhir. Maka saya akan
memberikan hadiah berupa
bimbingan dan konsultasi untuk
mengerjakan tugas akhir selama
tujuh hari. Khusus untuk satumemperlihatkan deretan gigi
Mr. Zack mengangguk
senang.
"Kalian bisa mulai melukis
sekarang. Pilih saja yang sesuai
dengan passion kalian
masing-masing. Tuan Luke akan
menilai hasil karya kalian Senin
depan."
"Baik, Sir," jawab para
mahasiswa serempak.
Rose kembali menunduk.
Tema itu sebenarnya sangat
sesuai dengan minatnya. Sudah
lama Rose ingin sekali melukis Taj
Mahal, bangunan menakjubkan
yang melambangkan besarnya
cinta seorang suami kepada
istrinya. Namun keinginan itu
orang pemenang," ucap Luke mendadak padam setelah Luke
yang terpilih menjadi jurinya. Rose
tidak mau menjadi pemenang,
apalagi jika harus mengerjakan
tugas di bawah bimbingan Luke.
Sungguh itu akan menjadi
malapetaka besar baginya.
Luke dan Mr. Zack mulai
berkeliling untuk mengecek
pekerjaan para mahasiswa satu
per satu.
"Apa lebih baik aku melukis
asal-asalan saja? Tapi bagaimana
jika Mr. Zack menegurku?" pikir
Rose bingung.
;aku pengen tahu siapa dirimu
Setelah menimbang-nimbang.
Rose memutuskan untuk tetap
melukis Taj Mahal. la tidak peduli
menang atau kalah. Toh di kelas
melukis banyak mahasiswa yang
memiliki bakat luar biasa. Yang
terpenting adalah mengerjakan
tugasnya dengan sepenuh hati.
Seorang seniman sejati harus bisa
mengendalikan emosi, bukan
membiarkan diri terlarut di
Rose mulai mencampur cat
minyak dan menggoreskan
kuasnya di atas kanvas. Tidak ada
gunanya ia terlalu mencemaskan
Luke. Belum tentu juga pria itu
mengenalinya karena mereka baru satu kali bertemu. Itupun dalam
keadaan yang berbeda.
Sementara itu, Mr. Zack dan
Luke sudah sampai pada gadis
yang duduk di samping kiri Rose.
Mereka berhenti untuk
menanyakan apa yang akan dilukis
gadis itu.
"Jean, apa yang akan kamu
lukis?" tanya Mr. Zack.
"Saya akan melukis Machu
Picchu, Sir."
"Pilihan yang bagus. Selamat
bekerja, Jean," puji Mr. Zack.
"'Semoga berhasil," timpal
Luke memberikan semangat. la
berlalu mengikuti Mr. Zack menuju
ke kursi Rose.Sekarang tiba gilirannya untuk ditanya oleh
Mr. Zack dan ia harus bersikap
sewajar mungkin.
"Rose, bagaimana kabarmu?
Bangunan apa yang kamu pilih?"
tanya Mr. Zack. la penasaran
dengan karya Rose karena gadis
ini adalah salah satu murid
terbaiknya.
"Kabar saya baik, Sir. Hari ini
saya akan melukis Taj Mahal,"
jawab Rose menghadapkan
wajahnya kepada Mr. Zack. la
tidak menatap Luke samna sekali
walaupun pria itu berdiri di
samping dosennya.
"Kenapa memilih Taj Mahal?
Apa ada alasan khusus?"
"Saya suka dengan kisah di
balik pembangunan Taj Mahal.
Saya ingin melukisnya sebelum mempunyai kesempatan untuk
berkunjung kesana," jelas Rose.
Mendengar alasan Rose,
mata Mr. Zack berbinar terang.
"'Saya tidak sabar ingin
melihat Taj Mahal dalam versimu,
Rose. Buatlah lukisanmu dengan
penghayatan rasa cinta yang
mendalam. Cinta akan membuat
lukisan Taj Mahal lebih hidup.
Benar kan, Tuan Luke?"
Luke hanya tersenyum tipis
tanpa memberikan komentar. Dari
sikap yang ditunjukkannya, Rose
beranggapan bahwa Luke tidak
mengenalinya dan dia sangat
bersyukur atas hal ini.
"Selamat bekerja, Rose.
Semoga kamu beruntung menjadi
pemenangnya," ucap Mr. Zack.Luke dan Mr. Zack terus
berkeliling hinggà sampai pada
giliran terakhir yaitu Anneth. Gadis
itu kelihatan tidak sabar
memperlihatkan lukisannya yang
setengah jadi kepada Luke.
"Kamu menggambar Petra,
Ann?" tanya Mr. Zack
mengkonfirmasi.
"lya, Sir."
Tanpa malu Anneth
menanyakan pendapat Luke atas
lukisannya.
"Bagaimana menurut Anda
lukisan saya, Tuan Luke?"
"Bagus, Ann. Kamu bisa
menambahkan langit di atasnya
untuk menambah komposisi
warna,' ucap Luke menanggapi
pertanyaan Annneth dengan ramah.
"Terima kasih atas sarannya,
Tuan Luke. Saya juga berpikiran
sama dengan Anda."
Hati Annneth berbunga-bunga
karena mendapat perhatian lebih
dari Luke. la sungguh berharap
akan keluar sebagai pemenang
supaya terus berdekatan dengan
pria tampan ini. Siapa tahu
kedekatan mereka akan berujung
menjadi kisah asmara.
"Baiklah, kalian bisa
melanjutkan lukisannya besok.
Kita berjumpa lagi Senin depan,"
ucap Mr. Zack mengakhiri sesi
kuliahnya.
"'Saya tunggu hasil karya
kalian semua," sahut Luke sebagai
kata penutup.Mr. Zack mengajak Luke
Vkeluar dari ruang kelas. Setelah
mereka pergi, Rose merasa sangat
lega. Kerisauannya tidak terbukti.
Ternyata ia lolos dari pengamatan
Luke dengan mudah tanpa perlu
bersusah payah.
Rose dan para mahasiswa
lain bergegas merapikan peralatan
melukisnya. Melihat Rose
mengemasi barangnya, Gwen
menghampiri Rose sembari
meregangkan kedua lengannya.
"Tanganku pegal sekali.
Seharusnya kita melukis Luke
Brown, bukan melukis bangunan,"
gerutu Gwen.
"Kamu perlu melukis Mr. Zack
supaya lebih semangat," goda
Rose."Rose, mau kemana?"
"Aku mau ke perpustakaan,
Gwen. Aku perlu mencari referensi
tambahan untuk tugas akhir. Apa
kamu mau ikut?"
Gwen menyilangkan
tangannya pertanda menolak
ajakan Rose.
"No, Babe. Aku sedang malas
ke perpustakaan. Aku butuh
mencari inspirasi dengan
mengencani pria tampan. Aku
pulang duluan," ucap Gwen
buru-buru meninggalkan Rose.
Rose menggeleng-gelengkan
kepala melihat tingkah Gwen. la
memungut tasnya lalu berjalan
keluar dari kelas.
Ruang perpustakaan terletak
di basement. Rose memilih menuruni tangga daripada
mengantri di depan lift. la ingin
tiba lebih cepat agar tidak berebut
buku dengan mahasiswa lain.
Saat menyusuri koridor, Rose
merasa ada seseorang yang
mengikutinya dari belakang.
Belum sempat ia menoleh, sebuah
tangan kekar tiba-tiba menariknya.
Secara refleks Rose hendak
melawan dengan memukul lengan
orang itu, namun tangannya lebih
dulu dikunci ke belakang.
"Siapa?" teriak Rose.
"Pura-pura lupa padaku? Aku
bahkan sudah mengenalimu sejak
aku menginjakkan kaki di kelas,
Nona Rose."
Rose menoleh. Sekarang ia
tahu benar siapa orang yang
menahan tangannya."Tuan Luke, Anda mau apa?
Tolong lepaskan saya. Jika saya
berteriak maka orang-orang di
kampus ini akan berdatangan dan
membawa Tuan ke kantor polisi,"
ancam Rose.
Luke terkekeh pelan. la
mengendurkan genggamannya
lalu melepaskan tangan Rose.
"Jangan terlalu percaya diri,
Rose. Aku tidak berminat padamu.
Aku hanya ingin bertanya kenapa
sekretaris Miss Black kuliah di
fakultas seni. Ini tidak masuk
akal,"
Luke menajamkan sorot
matanya seolah ingin menguliti
Rose hidup-hidup.
"Denzel mengatakan kamu adalah mahasiswi semester akhir.
Aku kira latar belakang
pendidikanmu berkaitan dengan
bisnis atau arsitek sehingga kamu
diterima bekerja di perusahaan
ayahku. Tapi aku menemukanmu
di kelas melukis. Lalu siapa yang
konyol disini, Miss Black, Denzel,
atau kamu? Apa kalian bertiga
sedang membuat lelucon?" cecar
Luke.
Saya diterima bekerja di
Brown Group lewat tahap seleksi
dan wawancara. Tidak ada unsur
kekonyolan sama sekali. Anda
bisa menanyakannya langsung
pada Tuan Denzel," tandas Rose
kesal.
"Tetap saja kamu tidak cocok
untuk posisi sekretaris CEO. Dan
tingkahmu sangat mencurigakan.
Tadi kamu berlagak tidak mengenalku di kelas. Apa Miss
Black yang menyuruhmu
melakukan itu?" tanya Luke
menginterogasi Rose.
"Tuan Luke, sudah saya
katakan kalau saya belum pernah
bertemu Miss Black. Maaf,
sekarang saya harus ke
perpustakaan. Jika Anda ingin
mencari tahu tentang Miss Black
tanya saja pada Tuan Denzel."
"Aku butuh jawaban darimu,
bukan dari Denzel," tukas Luke.
Luke berusaha mendesak
Rose agar buka mulut tentang
Miss Black. Tapi kedatangan
Anneth menghentikan aksinya.
Bibir Anneth mengerucut saat
melihat Rose berduaan dengan Luke di koridor.
"Rose, Tuan Luke, kenapa
kalian bisa ada disini?"
"Aku akan ke perpustakaan.
Kebetulan Tuan Luke lewat dan
kami bertegur sapa," jawab Rose.
Luke menaikkan sebelah
alisnya. Rose begitu ahli dalam
merangkai kalimat yang pas untuk
menutupi kebohongannya. Luke
bertambah yakin bila gadis ini
telah dididik oleh Denzel dan Miss
Black untuk memuluskan rencana
mereka menguasai Brown Group.
"Kalau begitu kita pergi
bersama ke perpustakaan, Rose,"
ajak Anneth."Saya permisi, Tuan Luke,"
úcap Anneth menampilkan
senyum termanisnya. Padahal di
dalam hatinya terpantik api
cemburu yang semakin berkobar.
Sempat dari kejauhan,
Amneth melihat Rose berbincang
akrab dengan Luke layaknya orang
yang sudah saling mengenal. Dan
hal ini membuat Anneth sangat
kesal. la tidak mengerti mengapa
Rose selalu selangkah lebih
unggul darinya.
"Aku akan memastikan kamu
kalah dalam kompetisi melukis
kali ini. Luke Brown adalah
milikku,"batin Anneth menggandeng
tangan Rose.
Setelah Rose menghilang dari
hadapannya, Luke berbalik arah
menuju lobi kampus. Dia tidak
ingin menunda lagi. Sekaranglah saatnya ia harus menemui Denzel
lalu memaksanya untuk
mempertemukan dirinya dengan
Miss Black. Bila Denzel mnenolak,
Luke sudah menyiapkan cara
ampuh untuk memancing anak
haram ayahnya itu keluar dari
tempat persembunyiannya.
Tamat...