Chereads / indetitas yang tersembunyi / Chapter 4 - Pelet Pengasih

Chapter 4 - Pelet Pengasih

***

Suasana di Puskesmas Induk

Pandan Wangi hari itu sangat

ramai. Semua staf puskesmas

berkumpul, baik yang dinas di

Puskesmas Induk maupun yang

tugas di Pustu (Puskesmas

Pembantu), juga seluruh bidan

desa yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Pandan Wangi.

Hari itu sedang berlangsung

acara serah terima jabatan, dari dokter Ary selaku pimpinan

VPuskesmas Pandan Wangi yang

lama, kepada dokter Hilan sebagai

pimpinan uskesmas Pandan

Wangi yang baru.

Dokter Ary akan melanjutkan

pendidikan S2, beliau akan

mengambil spesialis penyakit

dalam (internist specialist) di

Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Sejak pukul delapan pagi

acara sudah dimulai dan kami

semua staf Puskesmas Pandan

Wangi sudah berkumpul setengah

jam sebelumnya. Acara demi

acara berlangsung dengan tertib.

Hingga sampai kepada kata

sambutan dari dokter Hilan

sebagai pimpinan Puskesmas

Pandan Wangi yang baru.

"Ganteng banget dokternya,"kata Sri berbisik. Disambut setuju

oleh beberapa teman yang lain.

Mereka duduk di sebelahku,

otomatis aku bisa mendengar apa

yang sedang mereka bicarakan

meskipun dengan berbisik.

"Betah jadi pasien-nya kalau

dokternya ganteng kayak gitu,"

balas Eli, juga dengan berbisik.

Disambut dengan cekikikan

yang lain. Mereka adalah para

bidan desa PTT (Pegawai Tidak

Tetap) yang semuanya masih

gadis.

"Sstt ... jangan ngobrol sendiri,

dengerin tuh apa yang sedang

dikatakan dokter Hilan," kataku,

sembari menempelkan jari

telunjuk di mulut dan memandang

para bidan PTT itu."Ihh... Mbak Dian sirik aja,

nggak boleh ..al orang seneng,"

kata Eli, masih dengan cekikikan.

Dia sepertinya sama sekali tak

menghiraukan ucapanku.

"lya nih Mbak Dian,

memangnya nggak suka apa,

kalau punya kepala puskesmas

ganteng begitu," kata Bibah,

disambut anggukan temannya

yang lain, tanda setuju dengan

ucapan Bibah..

Dia yang tadinya hanya

menjadi pendengar komentar

teman-temannya, jadi ikut-ikutan

bicara. Aku diam saja, hanya bisa

menggelengkan kepala, tak

menanggapi ocehan mereka.

Memang kadang menyebalkan para bidaresa itu. Aku kembali

menyimak kata sambutan dari

dokter Hilan.

"Saya selaku pimpinan

Puskesmas Pandan Wangi yang

baru, sangat mengharapkan

kerjasamanya dari Bapak dan lbu

sekalian. Agar Puskesmas Pandan

Wangi bisa menjadi lebih baik lagi

ke depannya dan mampu

melaksanakan semua program

puskesmas. Terutama dalam

menurunkan AKI (Angka Kematian

Ibu) dan AKB (Angka Kematian

Bayi). Mana bidan koordinator

KIA-nya, silakan maju, saya ingin

tahu," kata dokter Hilan tiba-tiba.

Aku bergeming beberapa saat,

tak menyangka akan dipanggil

oleh dokter Hilan."Mbak Dian, dipanggil tuh

sama dokter Hilan," kata Sri,

seraya nience ianganku. Dia

tersenyum menggodaku.

"'Silakan maju bidan

koordinator KIA," panggil dokter

Hilan sekali lagi, sembari

pandangannya mengitari ke

seluruh staf puskesmas, mungkin

beliau sedang mencari sosok

bidan koordinator KIA.

"Mbak Dian cepat maju, itu

dipanggil dokter Hilan," kata Eli

seraya menepuk tanganku. Dia

pun tersenyum yang tak bisa

kuartikan.

Aku lalu beranjak dari tempat

duduk dan berjalan menuju ke

depan, dimana dokter Hilan

sedang duduk bersama dengan

dokter Ary."Saya bidan koordinator KIA,

Dok. Nama saya Nirma Dian Arini,"

kataku, sete.i berada di depan

dokter Hilan.

"Wah. ternyata Bu Bidan

koordinator KIA-nya cantik," kata

dokter Hilan, disambut dengan

tawa riuh staf Puskesmas Pandan

Wangi. Membuatku tersipu malu.

"Nama yang bagus. Jadi saya

harus panggil siapa?" tanya dokter

Hilan lagi, seraya memandangku,

membuat aku jadi salah tingkah.

"Saya biasa dipanggil dengan

nama Dian saja, Dok, jawabku.

Dokter Hilan

manggut-manggut. Beliau lalu

menanyakan tentang cakupan

program KIA Puskesmas Pandan

Wangi, yang meliputi K1 (kunjungan pertama ibu hamil), K4

(kunjungan ibiamil keempat

kalinya pada saat trimester

ketiga), ibu menyusui, kunjungan

bayi juga balita, dan lain

sebagainya, yang menjadi prograṁ

KIA. Untungnya aku hafal di luar

kepala semua cakupan tersebut,

sebab setiap saat selalu

ditanyakan oleh Ibu Kasi Kesga

(Kepala Seksi Kesehatan

Keluarga) Dinas Kesehatan

Kabupaten. Jadi tidak bingung

ketika dimintai data cakupan

tersebut.

Semua staf pemegang

program di Puskesmas Pandan

Wangi kemudian ditanya satu

demi satu oleh dokter Hilan,

berkaitan dengan masing-masing

program yang mereka pegang.

Dan mereka pun bisa menjelaskan dengan gamblang, karena kami

Smemang sud terbiasa

berdiskusi setiap bulan menjelang

pengumpulan laporan yang akan

dibawa ke Dinas Kesehatan

Kabupaten.

Sekitar pukul dua belas siang

acara serah terima jabatan

selesai. Dan kami pun

diperbolehkan pulang.

"Mbak Dian, pulang naik apa?"

tanya dokter Hilan yang tiba-tiba

sudah berada di depan pintu ruang

KIA.

"Nebeng yang bawa motor,

Dok," jawabku, sambil merapikan

beberapa buku register.

"Ikut saya saja, naik mobil

ambulans. Rumah Mbak Dian dekat dengan perumahan dokter

kan?"

Aku tak gera menjawab.

Merasa heran dalam hati. Dari

mana dokter Hilan tahu kalau

rumahku dekat dengan perumahan

dokter.

"Kok malah ngelamun. Ayo

ikut saya, biar langsung sampai

rumah.

Aku mengangguk. "lya, Dok."

Lalu, aku berjalan mengikuti

dokter Hilan menuju tempat mobil

ambulans terparkir.

Kulihat teman-teman sudah

banyak yang pulang, hanya ada

beberapa staf yang masih tinggal.

Mungkin sedang menunggu

jemputan atau akan salat zuhur

dulu di puskesmas."Mbak Dian sudah

berkeluarga?" tanya dokter Hilan,

setelah beberupa saat mobil

ambulans melaju meninggalkan

halaman puskesmas.

"Belum, Dok."

"Umurnya sekarang berapa?"

tanya dokter Hilan lagi.

Aku tak segera menjawab.

Terus terang aku merasa risih

hanya berdua di dalam mobil

ambulans, meskipun dengan

seorang pimpinan puskesmas,

tempat dimana aku bekerja.

"Maaf, kalau pertanyaan saya

tadi membuat Mbak Dian

tersinggung. Saya bertanya seperti

itu karena beberapa bidan

koordinator KIA di puskesmas

tempat saya bertugas sebelumnya adalah bidan senior. Saya heran

saja, kok Mb Dian bisa jadi

koordinator KIA, padahal masih

muda," jelas dokter Hilan.

Aku tersenyum mendengar

perkataan dokter Hilan. Pimpinan

puskesmas sebelumnya pun

pernah bertanya seperti itu.

Bahkan sampai ada yang mengira

kalau aku punya kerabat dekat

orang Dinas Kesehatan

Kabupaten.

"Nggak apa, Dok. Umur saya

24 tahun," jawabku.

"Masih muda banget. Pasti

karena Mbak Dian pinter ya, bisa

jadi bidan koordinator."

Sepanjang perjalanan kami

mengobrol sekadar basa basi.

Obrolan kami hanya seputar

perkenalan diri masing-masing.Dokter Hin sudah

berkeluarga dan mempunyai

seorang anak laki-laki. Beliau

sebelumnya bertugas sebagai

dokter PTT di daerah transmigrasi.

Dua tahun beliau menjadi dokter

teladan. Oleh karena itu beliau

lantas diangkat menjadi PNS dan

ditempatkan di Puskesmas

Pandan Wangi.

"Besok pagi saya jemput lagi

di sini ya. Jam tujuh tepat, biar

nggak terlambat sampai

puskesmas," kata dokter Hilan,

begitu mobil ambulans yang kami

naiki sampai di depan rumahku.

Aku hanya tersenyum. Gila aja

kali, jam tujuh sudah berangkat,

biasanya juga jam delapan. Lagian

mau apa di puskesmas pagi-pagi,pasien juga belum pada datang,

aku ngedumel dalam hati.

"Terima kasih, Dok. Sudah

mengantarkan saya sampai

rumah."

Aku segera turun dan berjalan

menuju rumah. Sementara dokter

Hilan pulang ke perumahan dokter,

dimana beliau beserta istri dan

anaknya tinggal.

  Sekitar pukul setengah

sembilan malam, pesawat telepon

di rumahku berdering, saat kami

bertiga, aku, ayah dan ibu, sedang

menonton acara TV. lbu yang

mengangkat telepon itu, karena

kebetulan jarak duduk beliau yang

paling dekat.

"Nduk, ada telepon untukmu,"

kata ibu, sambil meletakkan

gagang telepon di atas meja TV.

Setelah beberapa saat beliau

menerima panggilan telepon

tersebut. Ibu lantas kembali duduk

di tempat semula.Aku menautkan kedua alis.

Tentu saja aku merasa heran,

sebab tak biasanya ada orang

yang meneleponku pada malam

hari. Apalagi dengan

menggunakan pesawat telepon

rumah. Kalaupun ada teman yang

mempunyai keperluan denganku,

mereka akan mengirim SMS.

"Dari siapa, Bu?" tanyaku.

"Dari dokter Hilan katanya,'

jawab ibu.

Dokter Hilan? Ada apa dia

meneleponku malam hari? Dan

dari mana dia tahu nomor telepon

rumahku? Aku semakin merasa

heran."Ayo itu teleponnya cepat

diangkat,, Nd.,. Kok malah jadi

bengong," kata ayah mengagetkan.

"Eh .. iya, Yah," ucapku

sembari beranjak dari duduk, lalu

menuju ke meja TV.

"Hallo ..,' sapaku, setelah

gagang telepon aku angkat.

"Malam, Mbak Dian. Sedang

apa nih? Tadi yang angkat telepon

ibu-nya ya," kata dokter Hilan di

sambungan telepon.

"lya, Dok. Maaf, ada apa ya

Dokter menelepon saya

malam-malam? Apa ada hal yang

penting," tanyaku kaku, karena ada

ayah dan ibu. Mereka pasti akan

mendengar percakapan kami."Nggak ada apa-apa kok,

Mbak. Saya cuma ingin ngobrol

saja sama Mbak Dian. Atau Mbak

Dian nggak enak ya, ada ibu-nya di

situ?""lya, Dok" jawabku terus

terang. Aku memang merasa tak

enak hati dengan ayah dan ibu.

Terlebih lagi ibu, beliau tak

berkedip memandangku dengan

tatapan penuh tanda tanya.

"Oh ... ya sudah kalau gitu.

Besok saja kita ngobrolnya.

Jangan lupa besok pagi saya

jemput jam tujuh ya."

"lya, Dok," jawabku dengan

malas.

Dokter Hilan lalu menutup

teleponnya. Aku kembali duduk.

"'Siapa Dokter Hilan, Nduk?"

tanya ibu, seperti dugaanku, beliau

pasti akan menanyakan hal itu."Kepala Puskesmas Pandan

Wangi yang baru, Bu. Gantinya

dokter Ary y g mau kuliah lagi

armbil spesialis penyakit dalam di

UGM," jawabku menjelaskan.

"Ohh ... kok cuma sebentar

telepon-nya?" tanya ibu lagi

sembari menatapku. Mungkin

beliau agak curiga, tapi aku

pura-pura acuh dan berusaha

bersikap biasa saja.

"Iya, Bu. Katanya besok saja

karena sudah malam."

Ibu tak bertanya lagi. Kami

kembali asik menonton acara TV

hingga pukul sepuluh malam.

Namaku Nirma Dian Arini.

Aku anak tunggal, yang tentu saja

seluruh asih sayang kedua orang

tua tercurah hanya untukku.Sebetulnya ayah dan ibu

menginginkan aku untuk melanjutkan kuliah di fakultas

ekonomi, aga a melanjutkan

usaha toko keluarga kami. Ayah

dan ibu membuka usaha toko di

lokasi pasar, yang diberi nama

'Toko Langgeng'. Mereka menjual

berbagai macam jenis dan merk

tas, sepatu dan sandal. Baik yang

untuk anak-anak maupun orang

dewasa, semua tersedia di TokO

Langgeng milik ayah. Dari harga

yang murah, sedang hingga yang

mahal, semua ada di sana.

Namun, aku lebih suka

melanjutkan pendidikan di bidang

kesehatan. Sebab aku ingin segera

bisa bekerja. Oleh karena itu,

begitu lulus dari SMP, aku

langsung mendaftar di sebuah

SPK (Sekolah Perawat Kesehatan)

dan setelah lulus, aku pun langsung melanjutkan ke D1

Kebidanan. Meskipun setelah

selesai sekolah bidan, aku tak

membuka praktik. Karena

sepulang dari dinas di puskesmas,

aku segera pergi ke toko milik

keluarga kami. Hingga pukul lima

sore aku baru pulang ke rumah,

saat toko sudah tutup.

Keesokan harinya, pukul tujuh

tepat, mobil ambulans Puskesmas

Pandan Wangi sudah terparkir di

halaman depan rumahku. Aku

mengintip dari balik gorden, saat

klakson mobil itu berbunyi.Ternya, üukter Hilan

membuktikan kata-katanya. Gila

betul, masa sepagi ini aku harus

berangkat ke puskesmas. Belum

juga mandi, aku membatin. Maka

aku tak menghiraukan suara

klakson mobil ambulans tersebut.

Tak lama kemudian, bel pintu

rumahku berbunyi. Itu pasti dokter

Hilan, gerutuku. Terpaksa aku

yang membuka pintu, karena ayah

dan ibu sudah berangkat ke toko.

"Selamat pagi, Dok," sapaku,

begitu pintu terbuka.

Dokter Hilan tak menyahut.

Keningnya berkerut. Beliau

menatapku dari ujung kaki sampai

kepala. Mungkin merasa heran.

Entahlah, aku tak peduli."Gadis jam segini belum

mandi? Terus mau berangkat kerja

jam berapa?" tanya dokter Hilan

dengan nada heran, seraya

menggelengkan kepala.

Aku diam saja. Biasanya juga jam delanaku baru berangkat

kerja. Siapa yang suruh sepagi ini

sudah menjemput, kataku dalam

hati.

"Ya sudah, sekarang Mbak

Dian cepetan mandi, saya tunggu

di sini," titahnya, membuatku kaget

tentu saja. Masa sih sampai

seperti itu.

"Tapi, Dok,.

Belum selesai aku bicara,

dokter Hilan sudah memotongnya.

"Nggak ada tapi-tapian.

Cepetan mandi dan kita berangkat.

Atau akan saya kasih nilai buruk di

DP3 (Daftar Penilaian

Pelaksanaan Pekerjaan)," katanya

kemudian.Dengan perasaan sebal aku

berlalu ke belakang. Mandi dan

berpakaian re Setelah itu kami

berangkat. Di sepanjang jalan

kami saling diam hingga sampai di

puskesmas.

Puskesmas tentu saja masih

sepi, karena baru pukul delapan

pagi. Baru ada satu orang yang

datang, yaitu Pak Nuri. Dia penjaga

loket pendaftaran.

Dokter Hilan lalu mengambil

absen, beliau menyuruhku dan Pak

Nuri untuk absen dan tanda

tangan. Setelah itu, beliau menulis

huruf A yang berarti alpa di semua

nama staf Puskesmas Pandan

Wangi yang belum datang.

Ha tersebut tentu saja

membuat heboh saat teman yang

lain datang, dan melihat huruf A di

nama mereka masing-masing."Perhatian ya untuk

semuanya. Mulai besok pagi, jam

tujuh kalian sudah harus ada di

sini. Itu jam kerja. Tak ada alasan

apa pun. Kalau keberatan, silakan

mengajukan pensiun dini atau

pindah dari sini!" kata dokter Hilan

dengan tegas, membuat kami

semua terdiam, karena memang

benar apa yang beliau ucapkan.

"'Silakan sekarang kalian

bekerja sesuai dengan

TUPOKSI-nya (Tugas Pokok dan

Fungsi) masing-masing. Bidan

Koordinator KIA, tolong ke

ruangan saya dan bawa semua

buku laporan bulanan tahun lalu,"

lanjut dokter Hilan.Kami segera menuju ke

ruangan m ngmasing. Aku

lantas mengambil semua buku

laporan tahun lalu dan

menyerahkannya kepada dokter

Hilan. Hingga menjelang waktu

pulang, aku baru keluar dari

ruangan beliau. Menjelaskan

semua hasil cakupan program

tahun lalu dan menjawab semua

pertanyaan seputar pencapaian

tersebut. Betul-betul menyebalkan.

Sangat berbeda dengan dua

pimpinan puskesmas sebelumnya,

yang tak pernah menanyakan

tentang hasil laporan yang aku

buat, dokter Hilan bertanya

dengan sangat detail setiap angka

yang tertulis di dalam laporan.

Mirip seperti sedang mèng

ujian kelulusan saja."Terima kasih, Dian. Kamu

ternyata memang cerdas. Wajar

jika menjadi koordinator KIA di usia kamu yang masih sangat

muda," ujar dokter Hilan di akhir

acara 'perploncoan'ku. Aku hanya

tersenyum datar menanggapi

pujian beliau, meskipun dalam hati

sebetulnya aku merasa senang.

Bersambung...