***
Suasana di Puskesmas Induk
Pandan Wangi hari itu sangat
ramai. Semua staf puskesmas
berkumpul, baik yang dinas di
Puskesmas Induk maupun yang
tugas di Pustu (Puskesmas
Pembantu), juga seluruh bidan
desa yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Pandan Wangi.
Hari itu sedang berlangsung
acara serah terima jabatan, dari dokter Ary selaku pimpinan
VPuskesmas Pandan Wangi yang
lama, kepada dokter Hilan sebagai
pimpinan uskesmas Pandan
Wangi yang baru.
Dokter Ary akan melanjutkan
pendidikan S2, beliau akan
mengambil spesialis penyakit
dalam (internist specialist) di
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Sejak pukul delapan pagi
acara sudah dimulai dan kami
semua staf Puskesmas Pandan
Wangi sudah berkumpul setengah
jam sebelumnya. Acara demi
acara berlangsung dengan tertib.
Hingga sampai kepada kata
sambutan dari dokter Hilan
sebagai pimpinan Puskesmas
Pandan Wangi yang baru.
"Ganteng banget dokternya,"kata Sri berbisik. Disambut setuju
oleh beberapa teman yang lain.
Mereka duduk di sebelahku,
otomatis aku bisa mendengar apa
yang sedang mereka bicarakan
meskipun dengan berbisik.
"Betah jadi pasien-nya kalau
dokternya ganteng kayak gitu,"
balas Eli, juga dengan berbisik.
Disambut dengan cekikikan
yang lain. Mereka adalah para
bidan desa PTT (Pegawai Tidak
Tetap) yang semuanya masih
gadis.
"Sstt ... jangan ngobrol sendiri,
dengerin tuh apa yang sedang
dikatakan dokter Hilan," kataku,
sembari menempelkan jari
telunjuk di mulut dan memandang
para bidan PTT itu."Ihh... Mbak Dian sirik aja,
nggak boleh ..al orang seneng,"
kata Eli, masih dengan cekikikan.
Dia sepertinya sama sekali tak
menghiraukan ucapanku.
"lya nih Mbak Dian,
memangnya nggak suka apa,
kalau punya kepala puskesmas
ganteng begitu," kata Bibah,
disambut anggukan temannya
yang lain, tanda setuju dengan
ucapan Bibah..
Dia yang tadinya hanya
menjadi pendengar komentar
teman-temannya, jadi ikut-ikutan
bicara. Aku diam saja, hanya bisa
menggelengkan kepala, tak
menanggapi ocehan mereka.
Memang kadang menyebalkan para bidaresa itu. Aku kembali
menyimak kata sambutan dari
dokter Hilan.
"Saya selaku pimpinan
Puskesmas Pandan Wangi yang
baru, sangat mengharapkan
kerjasamanya dari Bapak dan lbu
sekalian. Agar Puskesmas Pandan
Wangi bisa menjadi lebih baik lagi
ke depannya dan mampu
melaksanakan semua program
puskesmas. Terutama dalam
menurunkan AKI (Angka Kematian
Ibu) dan AKB (Angka Kematian
Bayi). Mana bidan koordinator
KIA-nya, silakan maju, saya ingin
tahu," kata dokter Hilan tiba-tiba.
Aku bergeming beberapa saat,
tak menyangka akan dipanggil
oleh dokter Hilan."Mbak Dian, dipanggil tuh
sama dokter Hilan," kata Sri,
seraya nience ianganku. Dia
tersenyum menggodaku.
"'Silakan maju bidan
koordinator KIA," panggil dokter
Hilan sekali lagi, sembari
pandangannya mengitari ke
seluruh staf puskesmas, mungkin
beliau sedang mencari sosok
bidan koordinator KIA.
"Mbak Dian cepat maju, itu
dipanggil dokter Hilan," kata Eli
seraya menepuk tanganku. Dia
pun tersenyum yang tak bisa
kuartikan.
Aku lalu beranjak dari tempat
duduk dan berjalan menuju ke
depan, dimana dokter Hilan
sedang duduk bersama dengan
dokter Ary."Saya bidan koordinator KIA,
Dok. Nama saya Nirma Dian Arini,"
kataku, sete.i berada di depan
dokter Hilan.
"Wah. ternyata Bu Bidan
koordinator KIA-nya cantik," kata
dokter Hilan, disambut dengan
tawa riuh staf Puskesmas Pandan
Wangi. Membuatku tersipu malu.
"Nama yang bagus. Jadi saya
harus panggil siapa?" tanya dokter
Hilan lagi, seraya memandangku,
membuat aku jadi salah tingkah.
"Saya biasa dipanggil dengan
nama Dian saja, Dok, jawabku.
Dokter Hilan
manggut-manggut. Beliau lalu
menanyakan tentang cakupan
program KIA Puskesmas Pandan
Wangi, yang meliputi K1 (kunjungan pertama ibu hamil), K4
(kunjungan ibiamil keempat
kalinya pada saat trimester
ketiga), ibu menyusui, kunjungan
bayi juga balita, dan lain
sebagainya, yang menjadi prograṁ
KIA. Untungnya aku hafal di luar
kepala semua cakupan tersebut,
sebab setiap saat selalu
ditanyakan oleh Ibu Kasi Kesga
(Kepala Seksi Kesehatan
Keluarga) Dinas Kesehatan
Kabupaten. Jadi tidak bingung
ketika dimintai data cakupan
tersebut.
Semua staf pemegang
program di Puskesmas Pandan
Wangi kemudian ditanya satu
demi satu oleh dokter Hilan,
berkaitan dengan masing-masing
program yang mereka pegang.
Dan mereka pun bisa menjelaskan dengan gamblang, karena kami
Smemang sud terbiasa
berdiskusi setiap bulan menjelang
pengumpulan laporan yang akan
dibawa ke Dinas Kesehatan
Kabupaten.
Sekitar pukul dua belas siang
acara serah terima jabatan
selesai. Dan kami pun
diperbolehkan pulang.
"Mbak Dian, pulang naik apa?"
tanya dokter Hilan yang tiba-tiba
sudah berada di depan pintu ruang
KIA.
"Nebeng yang bawa motor,
Dok," jawabku, sambil merapikan
beberapa buku register.
"Ikut saya saja, naik mobil
ambulans. Rumah Mbak Dian dekat dengan perumahan dokter
kan?"
Aku tak gera menjawab.
Merasa heran dalam hati. Dari
mana dokter Hilan tahu kalau
rumahku dekat dengan perumahan
dokter.
"Kok malah ngelamun. Ayo
ikut saya, biar langsung sampai
rumah.
Aku mengangguk. "lya, Dok."
Lalu, aku berjalan mengikuti
dokter Hilan menuju tempat mobil
ambulans terparkir.
Kulihat teman-teman sudah
banyak yang pulang, hanya ada
beberapa staf yang masih tinggal.
Mungkin sedang menunggu
jemputan atau akan salat zuhur
dulu di puskesmas."Mbak Dian sudah
berkeluarga?" tanya dokter Hilan,
setelah beberupa saat mobil
ambulans melaju meninggalkan
halaman puskesmas.
"Belum, Dok."
"Umurnya sekarang berapa?"
tanya dokter Hilan lagi.
Aku tak segera menjawab.
Terus terang aku merasa risih
hanya berdua di dalam mobil
ambulans, meskipun dengan
seorang pimpinan puskesmas,
tempat dimana aku bekerja.
"Maaf, kalau pertanyaan saya
tadi membuat Mbak Dian
tersinggung. Saya bertanya seperti
itu karena beberapa bidan
koordinator KIA di puskesmas
tempat saya bertugas sebelumnya adalah bidan senior. Saya heran
saja, kok Mb Dian bisa jadi
koordinator KIA, padahal masih
muda," jelas dokter Hilan.
Aku tersenyum mendengar
perkataan dokter Hilan. Pimpinan
puskesmas sebelumnya pun
pernah bertanya seperti itu.
Bahkan sampai ada yang mengira
kalau aku punya kerabat dekat
orang Dinas Kesehatan
Kabupaten.
"Nggak apa, Dok. Umur saya
24 tahun," jawabku.
"Masih muda banget. Pasti
karena Mbak Dian pinter ya, bisa
jadi bidan koordinator."
Sepanjang perjalanan kami
mengobrol sekadar basa basi.
Obrolan kami hanya seputar
perkenalan diri masing-masing.Dokter Hin sudah
berkeluarga dan mempunyai
seorang anak laki-laki. Beliau
sebelumnya bertugas sebagai
dokter PTT di daerah transmigrasi.
Dua tahun beliau menjadi dokter
teladan. Oleh karena itu beliau
lantas diangkat menjadi PNS dan
ditempatkan di Puskesmas
Pandan Wangi.
"Besok pagi saya jemput lagi
di sini ya. Jam tujuh tepat, biar
nggak terlambat sampai
puskesmas," kata dokter Hilan,
begitu mobil ambulans yang kami
naiki sampai di depan rumahku.
Aku hanya tersenyum. Gila aja
kali, jam tujuh sudah berangkat,
biasanya juga jam delapan. Lagian
mau apa di puskesmas pagi-pagi,pasien juga belum pada datang,
aku ngedumel dalam hati.
"Terima kasih, Dok. Sudah
mengantarkan saya sampai
rumah."
Aku segera turun dan berjalan
menuju rumah. Sementara dokter
Hilan pulang ke perumahan dokter,
dimana beliau beserta istri dan
anaknya tinggal.
Sekitar pukul setengah
sembilan malam, pesawat telepon
di rumahku berdering, saat kami
bertiga, aku, ayah dan ibu, sedang
menonton acara TV. lbu yang
mengangkat telepon itu, karena
kebetulan jarak duduk beliau yang
paling dekat.
"Nduk, ada telepon untukmu,"
kata ibu, sambil meletakkan
gagang telepon di atas meja TV.
Setelah beberapa saat beliau
menerima panggilan telepon
tersebut. Ibu lantas kembali duduk
di tempat semula.Aku menautkan kedua alis.
Tentu saja aku merasa heran,
sebab tak biasanya ada orang
yang meneleponku pada malam
hari. Apalagi dengan
menggunakan pesawat telepon
rumah. Kalaupun ada teman yang
mempunyai keperluan denganku,
mereka akan mengirim SMS.
"Dari siapa, Bu?" tanyaku.
"Dari dokter Hilan katanya,'
jawab ibu.
Dokter Hilan? Ada apa dia
meneleponku malam hari? Dan
dari mana dia tahu nomor telepon
rumahku? Aku semakin merasa
heran."Ayo itu teleponnya cepat
diangkat,, Nd.,. Kok malah jadi
bengong," kata ayah mengagetkan.
"Eh .. iya, Yah," ucapku
sembari beranjak dari duduk, lalu
menuju ke meja TV.
"Hallo ..,' sapaku, setelah
gagang telepon aku angkat.
"Malam, Mbak Dian. Sedang
apa nih? Tadi yang angkat telepon
ibu-nya ya," kata dokter Hilan di
sambungan telepon.
"lya, Dok. Maaf, ada apa ya
Dokter menelepon saya
malam-malam? Apa ada hal yang
penting," tanyaku kaku, karena ada
ayah dan ibu. Mereka pasti akan
mendengar percakapan kami."Nggak ada apa-apa kok,
Mbak. Saya cuma ingin ngobrol
saja sama Mbak Dian. Atau Mbak
Dian nggak enak ya, ada ibu-nya di
situ?""lya, Dok" jawabku terus
terang. Aku memang merasa tak
enak hati dengan ayah dan ibu.
Terlebih lagi ibu, beliau tak
berkedip memandangku dengan
tatapan penuh tanda tanya.
"Oh ... ya sudah kalau gitu.
Besok saja kita ngobrolnya.
Jangan lupa besok pagi saya
jemput jam tujuh ya."
"lya, Dok," jawabku dengan
malas.
Dokter Hilan lalu menutup
teleponnya. Aku kembali duduk.
"'Siapa Dokter Hilan, Nduk?"
tanya ibu, seperti dugaanku, beliau
pasti akan menanyakan hal itu."Kepala Puskesmas Pandan
Wangi yang baru, Bu. Gantinya
dokter Ary y g mau kuliah lagi
armbil spesialis penyakit dalam di
UGM," jawabku menjelaskan.
"Ohh ... kok cuma sebentar
telepon-nya?" tanya ibu lagi
sembari menatapku. Mungkin
beliau agak curiga, tapi aku
pura-pura acuh dan berusaha
bersikap biasa saja.
"Iya, Bu. Katanya besok saja
karena sudah malam."
Ibu tak bertanya lagi. Kami
kembali asik menonton acara TV
hingga pukul sepuluh malam.
Namaku Nirma Dian Arini.
Aku anak tunggal, yang tentu saja
seluruh asih sayang kedua orang
tua tercurah hanya untukku.Sebetulnya ayah dan ibu
menginginkan aku untuk melanjutkan kuliah di fakultas
ekonomi, aga a melanjutkan
usaha toko keluarga kami. Ayah
dan ibu membuka usaha toko di
lokasi pasar, yang diberi nama
'Toko Langgeng'. Mereka menjual
berbagai macam jenis dan merk
tas, sepatu dan sandal. Baik yang
untuk anak-anak maupun orang
dewasa, semua tersedia di TokO
Langgeng milik ayah. Dari harga
yang murah, sedang hingga yang
mahal, semua ada di sana.
Namun, aku lebih suka
melanjutkan pendidikan di bidang
kesehatan. Sebab aku ingin segera
bisa bekerja. Oleh karena itu,
begitu lulus dari SMP, aku
langsung mendaftar di sebuah
SPK (Sekolah Perawat Kesehatan)
dan setelah lulus, aku pun langsung melanjutkan ke D1
Kebidanan. Meskipun setelah
selesai sekolah bidan, aku tak
membuka praktik. Karena
sepulang dari dinas di puskesmas,
aku segera pergi ke toko milik
keluarga kami. Hingga pukul lima
sore aku baru pulang ke rumah,
saat toko sudah tutup.
Keesokan harinya, pukul tujuh
tepat, mobil ambulans Puskesmas
Pandan Wangi sudah terparkir di
halaman depan rumahku. Aku
mengintip dari balik gorden, saat
klakson mobil itu berbunyi.Ternya, üukter Hilan
membuktikan kata-katanya. Gila
betul, masa sepagi ini aku harus
berangkat ke puskesmas. Belum
juga mandi, aku membatin. Maka
aku tak menghiraukan suara
klakson mobil ambulans tersebut.
Tak lama kemudian, bel pintu
rumahku berbunyi. Itu pasti dokter
Hilan, gerutuku. Terpaksa aku
yang membuka pintu, karena ayah
dan ibu sudah berangkat ke toko.
"Selamat pagi, Dok," sapaku,
begitu pintu terbuka.
Dokter Hilan tak menyahut.
Keningnya berkerut. Beliau
menatapku dari ujung kaki sampai
kepala. Mungkin merasa heran.
Entahlah, aku tak peduli."Gadis jam segini belum
mandi? Terus mau berangkat kerja
jam berapa?" tanya dokter Hilan
dengan nada heran, seraya
menggelengkan kepala.
Aku diam saja. Biasanya juga jam delanaku baru berangkat
kerja. Siapa yang suruh sepagi ini
sudah menjemput, kataku dalam
hati.
"Ya sudah, sekarang Mbak
Dian cepetan mandi, saya tunggu
di sini," titahnya, membuatku kaget
tentu saja. Masa sih sampai
seperti itu.
"Tapi, Dok,.
Belum selesai aku bicara,
dokter Hilan sudah memotongnya.
"Nggak ada tapi-tapian.
Cepetan mandi dan kita berangkat.
Atau akan saya kasih nilai buruk di
DP3 (Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan)," katanya
kemudian.Dengan perasaan sebal aku
berlalu ke belakang. Mandi dan
berpakaian re Setelah itu kami
berangkat. Di sepanjang jalan
kami saling diam hingga sampai di
puskesmas.
Puskesmas tentu saja masih
sepi, karena baru pukul delapan
pagi. Baru ada satu orang yang
datang, yaitu Pak Nuri. Dia penjaga
loket pendaftaran.
Dokter Hilan lalu mengambil
absen, beliau menyuruhku dan Pak
Nuri untuk absen dan tanda
tangan. Setelah itu, beliau menulis
huruf A yang berarti alpa di semua
nama staf Puskesmas Pandan
Wangi yang belum datang.
Ha tersebut tentu saja
membuat heboh saat teman yang
lain datang, dan melihat huruf A di
nama mereka masing-masing."Perhatian ya untuk
semuanya. Mulai besok pagi, jam
tujuh kalian sudah harus ada di
sini. Itu jam kerja. Tak ada alasan
apa pun. Kalau keberatan, silakan
mengajukan pensiun dini atau
pindah dari sini!" kata dokter Hilan
dengan tegas, membuat kami
semua terdiam, karena memang
benar apa yang beliau ucapkan.
"'Silakan sekarang kalian
bekerja sesuai dengan
TUPOKSI-nya (Tugas Pokok dan
Fungsi) masing-masing. Bidan
Koordinator KIA, tolong ke
ruangan saya dan bawa semua
buku laporan bulanan tahun lalu,"
lanjut dokter Hilan.Kami segera menuju ke
ruangan m ngmasing. Aku
lantas mengambil semua buku
laporan tahun lalu dan
menyerahkannya kepada dokter
Hilan. Hingga menjelang waktu
pulang, aku baru keluar dari
ruangan beliau. Menjelaskan
semua hasil cakupan program
tahun lalu dan menjawab semua
pertanyaan seputar pencapaian
tersebut. Betul-betul menyebalkan.
Sangat berbeda dengan dua
pimpinan puskesmas sebelumnya,
yang tak pernah menanyakan
tentang hasil laporan yang aku
buat, dokter Hilan bertanya
dengan sangat detail setiap angka
yang tertulis di dalam laporan.
Mirip seperti sedang mèng
ujian kelulusan saja."Terima kasih, Dian. Kamu
ternyata memang cerdas. Wajar
jika menjadi koordinator KIA di usia kamu yang masih sangat
muda," ujar dokter Hilan di akhir
acara 'perploncoan'ku. Aku hanya
tersenyum datar menanggapi
pujian beliau, meskipun dalam hati
sebetulnya aku merasa senang.
Bersambung...