"Rose, cepat ganti bajumu lalu
memasak makan siang. Aku
sudah kelaparan," seru Chloe.
Gadis manja itu bertumpu
pada satu tangan sambil
menyandarkan kepalanya di sofa.
la meraih bungkus potato chips
dari meja lalu merobeknya
sembarangan.
"'Sebentar lagi, Chloe. Aku
mau ganti baju," jawab Rose
hendak berlalu ke kemarnya.
Siang itu hujan turun dengan
deras di luar. Rose yang selalu
pulang sekolah dengan berjalan
kaki terpaksa menerobos hujan.
Payung usang yang dibawanya
tidak dapat menahan terjangan air,
sehingga seragam sekolahnya basah kuyup.
Lily yang baru keluar dari
dapur langsung mencengkeram
tangan Rose.
"Jangan membantah. Lakukan
apa yang Chloe perintahkan. Jika
tidak aku tidak akan memberimu
makan hari ini" kata Lily melotot.
"Tapi, aku basah, Auntie. Aku
perlu menjemur sepatu dan
mengganti baju sebelum
memasak. Jika tidak, aku akan
mengotori dapur."
Lily memandangi kondisi
keponakan suaminya yang tampak
menyedihkan itu. Tidak ada rasa
kasihan sama sekali, tetapi ia
justru merasa jijik.
"Benar juga. Cepat sana
mandi, baumu membuatku ingin
muntah. Tapi ingat, aku hanya memberimu waktu lima belas
menit. Setelah itu cepat ke dapur!"
"Baik, Auntie," jawab Rose
buru-buru menyingkir. la takut
bibinya akan berubah pikiran.
Lily memutar tubuhnya. la berjalan menghampiri Chloe, putri
semata wayangnya yang bertubuh
tambun.
"Mom, kenapa membiarkan
Rose mandi? Apa sekarang
Mommy mulai menyayangi Rose
lebih daripada aku?" tanya Chloe
sambil mengunyah chips di dalam
mulutnya.
"Tidak mungkin, Honey.Sampai kapan pun Mommy tetap membenci Rose. Dia adalah
benalu di keluarga kita. Jika bukan
karena ayahmu bersikeras mengajaknya tinggal disini,Mommy tidak akan ldentitas
mengizinkannya," ucap Lily
berapi-api.
"Rose terkena air hujan. Kalau
dia tidak membersihkan badan,
nanti kita akan sakit perut saat
memakan masakannya," sambung
Lily mengemukakan alasannya.
"Oh, begitu. Tapi Mom, ada
gunanya juga Rose berada di
rumah ita. Paling tidak kita
memiliki pembantu yang bisa
disuruh-suruh. Nanti malam aku
juga akan memaksa Rose
mengerjakan tugas Sains dari Mr.
Taylor."
Setengah berlari, Rose menuju ke belakang rumah lalu menjemur
sepatunya yang basah. Itu adalah
sepatu satu-satunya yang ia miliki.
Bila besok pagi belum kering,
mungkin ia tidak dapat berangkat
ke sekolah.
Rose mandi dengan cepat lalu
merendam seragam sekolahnya
dengan air sabun. la masih punya
banyak pekerjaan rumah tangga
yang harus diselesaikan. Pertama
memasak makan siang, kedua
mencuci seragam, dan ketiga
membersihkan kamar tidur bibinya
dan Chloe. Setiap menit yang
berlalu akan sangat berharga bagi
Rose.
Tangan terampil Rose sudah
terbiasa meracik bumbu dan
bahan. Karenanya tidak butuh
waktu lama, Rose berhasil
menyelesaikan masakannya.
"Auntie, Gwen, makan
siangnya sudah siap," kata Rose
menghidangkan sup jamur dan
ikan tuna di atas meja.
Lily dan Gwen bergerak
dengan malas dari ruang tengah.
Rose menarik dua buah kursi
untuk ibu dan anak itu. Dengan
santainya, Lily dan Gwen duduk di
meja makan sambil menikmati
hidangan yang menggugah selera.
Sungguh mereka bagaikan Nyonya
dan Nona Besar yang memiliki
pelayan setia. Mereka tidak
mempedulikan Rose yang berdiri
di pojokan sambul menelan
salivanya.
Perut ROse sudah
keroncongan minta diisi. Namun
seperti biasa ia harus menunggu sampai bibi dan sepupunya
selesai makan. la hanya
diperbolehkan menyentuh
makanan sisa, kecuali saat
pamannya ada di rumah.
"Hmmmm, aku kenyang. Aku
mau ke kamar untuk istirahat,"
kata Chloe beranjak pergi.
Lily menghabiskan
minumannya lalu menatap Rose
dengan tajam.
"Kamu boleh makan. Jangan
lupa cuci piring dan bersihkan
meja makan."
Rose mengangguk. Dengan
patuh, gadis itu melakukan titah
bibinya. Ila tidak keberatan
diperlakukan sebagai penbantu
karena ia memang hidup
menumpang di rumah pamannya.
Barangkali hanya dengan cara ini,ia bisa membalas budi baik
mereka.
Perlahan Rose duduk di kursi,
mengambil sendok untuk
mencicipi sup jamur buatannya.
Rasanya sungguh gurih dan lezat,
mirip dengan sup jamur buatan
mendiang ibunya.
Yah, Rose sangat merindukan
ibunya yang telah tiada. Dahulu ia
menghatbiskan hari demi hari yang
bahagia bersama sang ibu
meskipun kehidupan mereka
sederhana. Sehari-hari ibunya
bekerja sebagai juru masak di
restoran kecil demi membiayai
kehidupan mereka. Sedangkan
untuk ayah kandungnya, Rose
tidak pernah mengetahui
identitasnya. Toh itu tidak terlalu penting. Bagi Rose memiliki
seorang ibu saja sudah lebih dari
cukup. Bahkan ia tidak ambil
pusing dengan ejekan
teman-teman sekolahnya yang
menyebutnya sebagai anak haram.
Sayang sekali
kebahagiaannya terenggut pada
hari ulang tahunnya yang
kesembilan. Ketika itu wajah
ibunya mendadak pucat dan
mengeluh sakit di bagian dada.
Tak lama kemudian, ibunya jatuh
pingsan sehingga harus dilarikan
ke rumah sakit. Karena peristiwa
pahit itu, Rose tidak mau
merayakan hari ulang tahunnya
lagi.
Tak terasa bulir air mata jatuh
ke pipi Rose. Mengingat kenangan
lama membuat hati Rose berdesir
hebat. la menghabiskan supnya lalu membereskan meja makan.
Menyibukkan diri adalah jalan
terbaik untuk bisa melupakan
kesedihannya.
Selesai dengan pekerjaan
rumah tangga, Rose membuka
pintu kamarnya. Ruangan
berbentuk bujur sangkar itu lebih
mirip bilik seorang pelayan
daripada kamar anak gadis. Tapi
tidak mengapa. Yang terpenting ia
masih memiliki tempat untuk
bermalam.
Rose berjalan menuju laci
meja. Tangannya meraba-raba
untuk mencari sesuatu. Sebuah
benda berwarna keperakan
diambil oleh Rose dari dalam laci.
Dengan hati-hati, Rose menir
benda itu di telapak tangannya.Seuntai kalung perak dengan
liontin mawar hitam yang unik.
Kalung itu adalah pemberian
ibunya sesaat sebelum
menghembuskan nafas
terakhirnya.
Rose masih ingat bagaimana
sang ibu meminta padanya untuk
menyimpan kalung tersebut.
"Kalung apa ini, Mom?" tanya
Rose kecil terkejut.
"Ini adalah kalung black rose
pemberian ayahmu. Namamu
diambil dari nama kalung ini.
Mommy tidak pernah
memberitahumu mengenai siapa
ayah kandungmu. Tapi kalung
inilah yang akan membawamu
Rose kecil menggeleng,
pertanda tidak mengerti apa yang
dimaksud oleh ibunya."Nanti pada saatnya kamu
Vakan mengerti, Rose. Simpan
kalung ini baik-baik."
Semenjak itulah, Rose selalu
menyimpan kalung peninggalan
ibunya. Tidak ada seorang pun
yang pernah melihat kalung
tersebut termasuk pamannya.
"Rose, buka!" teriak Chloe
menggedor pintu.
"Tunggu sebentar."
Rose segera mengembalikan
kalungnya di dalam laci kemudian
membuka pintu.
"Kenapa lama sekali? Aku kira
kamu sedang enak-enakan tidur,"
sembur Chloe menunjukkan
ekspresi marah.Chloe membawa setumpuk
kertas dan tiga buah buku di
tangannya. Dengan kasar, ia
meletakkan barang bawaannya di
atas kasur Rose hingga
menimbulkan bunyi gedebuk.
"Kerjakan tugas sains dan
matematika ini sampai selesai.
Jika belum selesai, kamu tidak
boleh makan malam. Mengerti?"
"Iya, Chloe, akan kukerjakan."
"Bagus. Antar ke kamarku
nanti."
Begitu urusannya beres, Chloe
meninggalkan kamar Rose. Chloe
paling malas jika harus belajar
apalagi mengerjakan tugas
sekolah. Beruntung sekarang dia
memiliki Rose yang berotak
cerdas tapi mudah ditindas.Rose memungut buku milik
Chloe dan memindahkannya ke
atas meja. Tanpa mengeluh, ia
mengerjakan tugas itu bersamaan
dengan tugasnya sendiri.
Entah berapa lama Rose
berkutat dengan pelajarannya
hingga terdengar suara yang
sangat dikenalnya dari balik pintu.
"Rose, kenapa tidak makan?
Ini sudah jam tujuh."
"Itu Uncle Josh," gumam Rose
senang.
Gadis itu bangkit berdiri dan
membuka pintu untuk pamannya.
"Uncle sudah pulang dari
kantor?"
"lya, Rose. Uncle membeli
pizza kesukaanmu. Ayo kita
makan."Aku akan menyusul, Uncle,
Vtapi aku harus menyelesaikan
tugas sekolah dulu."
Josh mengerutkan dahinya.
"Apa Chloe memaksamu lagi
untuk mengerjakan tugasnya?
Anak itu benar-benar pemalas."
"Tidak apa-apa, Uncle. Aku
senang bisa membantu Chloe."
"Uncle melarangmu untuk
menuruti kemauan Chloe. Dia
harus belajar bertanggung jawab.
Ayo ikut Uncle."
Josh menggandeng tangan
Rose melewati ruang tengah.
Disitu Lily dan Chloe sedang asyik
menonton siaran gosip di televisi.
"Chloe, mulai sekarang
kerjakan sendiri tugasmu. Jangan
menyuruh Rose melakukannya.
Apalagi melarangnya untuk makan malam," hardik Josh kepada
putrinya.
Chloe mengalihkan
pandangan dari layar televisi
kepada Rose. Matanya melotot,
menunjukkan kekesalan teramat
besar pada sepupunya itu. Pasti
Rose baru saja mengadu sehingga
sang ayah membentaknya.
"Kenapa kamu memarahi putri
kita? Tidak masalah jika Rose
sesekali membantu Chloe. Itu
adalah bentuk rasa terima
kasihnya karena kita sudah
membiayai sekolahnya. Lagipula
anak kita butuh banyak istirahat,
Josh," jawab Lily membela Chloe.
"Apa kamu lupa kalau Rose
mendapatkan beasiswa penuh?
Aku perhatikan setiap hari Chloe bermalas-malasan, tidak mau
belajar. Mau jadi apa dia jika kamu
terus memanjakannya?"
"Kenapa kamu terus menerus
membela anak haram ini daripada
putrimu sendiri?"
"Jangan merendahkan Rose.
Dia adalah keponakanku, anak dari
adik perempuanku."
"Bukankah perkataanku tidak
salah? Buktinya tidak ada yang
mengetahui siapa ayah biologis
Rose," cela Lily.
Perdebatan Josh dan Lily
terhenti karena melihat breaking
news kasus pembunuhan seorang
milyader ternama.
"Polisi masih terus
memeriksa delapan orang saksi
yang diduga menghadiri meeting
bersama Tuan Louis Brown di hotel Mozia," ucap sang pembawa
berita.
Hampir dua bulan kasus
kematian Louis Brown ditangani
oleh pihak kepolisian. Namun,
hingga kini belum ditemukan siapå
pelaku yang meracuni CEO Brown
Group tersebut. Misteri
pembunuhan ini telah menjadi
perbincangan hangat di tengah
warga kota.
"Kalau menurutku
pembunuhnya adalah kerabatnya
sendiri. Mereka mengincar harta
kekayaan Tuan Louis, karena dia
sudah bercerai dari istrinya dan
tidak memiliki anak kandung,"
ucap Lily sok tahu.
"Belum tentu. Bisa juga salah
satu karyawan atau relasi bisnisnya,' sahut Josh
menebak-nebak.
Stasiun televisi yang
menyiarkan berita tentang Louis
Brown kemudian menampilkan
foto-foto pria itu. Rose ikut
menyaksikannya. Louis Brown
terlihat seumuran dengan
pamannya, Josh, tapi parasnya
jauh lebih tampan.
Rose tertarik mengamati foto
pria itu. Entah mengapa ia merasa
mata dan bibir pria itu mirip
dengan dirinya.
"Apa ini khayalanku saja?
Tidak mungkin aku memiliki
kemiripan dengan seorang CE0,"
batin Rose menepis.
Chapter 2 :indentitas tersembunyi
Jam pelajaran sudah selesai.
Rose menyilangkan tas
sekolahnya yang kumal lalu
meninggalkan ruang kelas. la
berjalan lurus melintasi
pekarangan sekolah. Seperti biasa
tidak ada yang menghiraukan
keberadaannya. Teman-teman
sekelasnya juga bersikap sama.
Mereka menjauhi Rose karena
enggan berteman dengan gadis
yatim piatu yang miskin.
Rose pun melanjutkan
langkah kakinya menuju gerbang
sekolah. Sambil menundukkan
kepala, ia meneruskan perjalanan
pulang. Angin berhembus begitu
kencang. Rose memeluk dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa
dingin, tapi tetap saja tubuhnya
gemetaran. Awan kelabu yang
berarak menutupi sang surya,
menandakan bahwa hujan akan
segera turun mengguyur bumi.
Rose gelisah. Pagi ini ia
bangun dalam keadaan kurang
sehat. Jika hari ini kehujanan,
mungkin ia akan benar-benar jatuh
sakit.
Rose berhenti sejenak. la
melihat sekumpulan remaja yang
mengantri di depan food truck
untuk membeli burger dan kopi.
Rose baru menyadari jika perutnya
berbunyi sejak tadi. Ingin sekali ia
membeli makanan untuk
mengganjal perut. Sayangnya, ia
tidak punya uang sama sekali.
Dengan kecewa, Rose memalingkan wajahnya. la
menyeberang jalan lalu berbelok
ke kanan. Rose memilih jalan
pintas yang kerapkali dilaluinya
setiap pulang sekolah. Jalan kecil
itu akan membawanya tiba di
rumah lebih cepat.
Entah karena pusing atau
terlalu lama menahan lapar,
pandangan Rose menjadi
berkunang-kunang. Tubuhnya
terhuyung dan hampir roboh ke
bawah bila saja tidak ada tangan
yang menahannya.
"Nona, Anda tidak apa-apa?"
Terdengar suara bariton seorang
pria di telinga Rose.
Rose mengerjapkan mata
beberapa kali untuk menormalkan
penglihatannya. Di hadapannya
sedang berdiri seorang pria muda.
Pria itu tengah nya.dengan seksama.
"Nona," tanya pria itu sekali
lagi.
Rose berusaha memfokuskan
titik pandangnya, memastikan
bahwa ia tidak berhalusinasi. Pria
yang menyapanya sungguh nyata,
bukan hantu atau sosok khayalan.
Pria ini mengenakan setelan jas
kerja yang elegan dengan dasi
menghiasi lehernya.
Penampilannya terlihat seperti
seorang eksekutif muda.
Profil wajah pria ini terbilang
sempurna dengan alis tebal,
rahang tegas dan manik mata
berwarna biru laut. Bisa dikatakan
ia adalah gambaran sempurna
dari sosok dewa dalam mitologi
Yunani."Maaf, saya harus pulang ke
rúmah, Tuan," kata Rose
menghindar. Berbicara terlalu
lama dengan orang asing
membuat Rose tidak nyaman. Bisa
saja pria ini berlagak baik tapi
sebenarnya menyimpan niat yang
buruk.
"Tunggu Nona. Benarkah
Nona bernama Rose Black?" tanya
pria itu penuh selidik. Black adalah
nama keluarga dari ibu kandung
Rose.
Pertanyaan pria itu membuat
Rose terhenyak. Dari mana pria ini
bisa mengetahui nama lengkapnya
padahal mereka baru pertama kali
bertemu.
"I...iya saya Rose."
Seolah bisa menebak isi
pikiran Rose, pria itu berusaha
bersikap lebih ramah."Jangan takut, Nona.
Perkenalkan saya Denzel, wali
Nona. Saya perlu bicara empat
mata dengan Nona. Mari ikut saya
ke mobil."
"Wali? Yang menjadi wali saya
adalah paman saya, Josh Black.
Saya tidak mengenal Anda jadi
tolong biarkan saya pergi," tolak
Rose.
"Saya tidak bermaksud jahat,
Nona Rose. Kita harus bicara di
dalam mobil karena jalanan ini
tidak aman."
"Tapi saya tidak mau."
Tanpa merespon penolakan
Rose, Denzel menarik tangan
gadis remaja itu. Rose meronta-ronta minta dilepaskan,
namun kekuatannya kalah jauh
dibandingkan Denzel yang
bertubuh kekar. Terlebih jalan kecil
itu tampak lengang, sehingga tidak
ada orang yang bisa menolong
Rose.
Denzel memasukkan ROse ke
dalam mobilnya lalu mengunci
pintu. Melihat tindakan Denzel,
dahi Rose dipenuhi keringat
dingin. la khawatir bila pria muda
ini akan berbuat macam-macam
kepadanya.
"Maafkan saya karena harus
bertindak kasar. Saya terpaksa
melakukannya demi keselamatan
Nona. Jangan sampai ada yang
mendengarkan percakapan kita,"
jelas Denzel melenmbutkan "A...apa yang Tuan inginkan?"
Vtanya Rose gugup.
Denzel mengambil sebuah
map dari tasnya lalu menyodorkan
kepada Rose.
"Baca dokumen ini baik-baik,
Nona."
Dengan tangan gemetar, ROse
menerima map yang disodorkan
Denzel. la harus menuruti perintah
laki-laki ini supaya tidak
memancing amarahnya.
Ketika Rose mulai membaca
judul dokumen itu, ia menjadi
bingung.
"Surat wasiat Louis Brown?
Apa hubungannya dengan saya?"
Seingat Rose, Louis Brown
adalah pengusaha kaya raya yang
diberitakan meninggal karena
diracun. Semalam ia melihat berita tentang kematian pria itu di
televisi. Benarkah Louis Brown
yang ini sama dengan yang ada di
berita? Ataukah namanya saja
yang sama?
"Saya adalah pengacara
merangkap asisten pribadi Tuan
Louis. Bolehkah saya bertanya
sesuatu? Apakah alung mawar
hitam yang Nona pakai itu
pemberian dari lbu Nona?" tanya
Denzel menunjuk ke leher Rose.
Rose terkejut mendengar
pertanyaan Denzel. la tidak
menyangka pria asing ini
mengetahui dari mana kalungnya
berasal.
"Iya, Tuan. Ibu saya
memberikannya sebelum
meninggal dunia." "Kalung itu adalah pemberian
dari ayah kandung Anda, Louis
Brown. Yang Anda pegang
sekarang merupakan surat wasiat
dari Beliau. Tuan Louis Brown
telah mewariskan sebagian besar
dari kekayaannya kepada Anda
sebagai putri tunggalnya.
Sedangkan sisanya ia wariskan
kepada putra angkatnya," terang
Denzel meyakinkan Rose.
Bahu Rose bergetar pelan. la
hampir menangis ketika melihat
namanya tercantum dalam surat
wasiat tersebut.
"Tuan, apa Anda tidak salah
orang? Kalau saya putri dari Tuan
Brown, kenapa dia tidak pernah
mencari saya selama ini?""Nona, saya belum bisa
menceritakannya sekarang. Yang
jelas Tuan Brown ingin melindungi
Nona dari segala bentuk
marabahaya. Dia sangat
menyayangi Nona. Mulai sekarang
hidup Nona tidak akan menderita
lagi."
Rose membuka halaman
kedua dari dokumen itu yang
berisi tentang hak perwalian. Tuan
Brown menyatakan bahwa Denzel
Adams adalah wali sah yang
bertanggung jawab atas ahli
warisnya sebelum berusia dua
puluh tahun.
Pernyataan ini membuat Rose
cemas. la tidak mau hidup
bersama dengan pria asing yang
tidak dikenalnya.
"Tuan, saya tidak bisa
menerima warisan ini. Apalagi jika menerima warisan ini. Apalagi jika
saya harus berpisah dari paman Saya."
"Apa yang diberikan Tuan
Brown adalah hak Nona sebagai
anaknya. Nona tetap bisa tinggal
di rumah keluarga Black karena
identitas asli Nona harus
dirahasiakan. Pembunuh Tuan
Louis belum tertangkap. Di luaran
sana masih berkeliaran musuh
keluarga Brown dan mereka akan
mengincar Nona sebagai
pewarisnya.
"Lalu saya harus bagaimana,
Tuan?"
"Sekarang saya akan
mengantarkan Nona pulang ke
rumah," kata Denzel menenangkan
Rose.
Rose menarik nafas lega.
Pikiran negatifnya terhadap Denzel
ternyata tidak terbukti. Ayahnya
juga pasti memiliki pertimbangan khusus mengapa memilih pria ini
sebagai walinya. Namun
sejujurnya Rose masih belum
percaya dengan kenyataan yang
dihadapinya saat ini.
Josh izin pulang lebih cepat
dari kantor karena ditelpon oleh
istrinya. Entah apa yang terjadi di
rumah sehingga suara Lily
terdengar panik. Wanita itu hanya
mengatakan bahwa ada seorang
pria tak dikenal yang datang ke
rumah mereka bersama Rose.
Dengan tergesa-gesa, Josh
memarkirkan mobilnya.
Perasaannya makin cemas ketika
melihat sebuah mobil porsche
terparkir di halaman rumahnya yang sederhana.
Ketika masuk di ruang tamu,
Josh mendapati seorang pria
muda duduk bersama Rose dan
Lily. Pria itu langsung berdiri saat
mendengar langkah Josh yang
mendekatinya.
"Siapa Anda?" tanya Josh
tanpa basa basi.
"'Saya Denzel. Ada hal penting
yang ingin saya sampaikan kepada
Anda, Tuan Josh. Bisa kita bicara
bertiga saja? Saya, Tuan, dan
Nona Rose."
Lily merasa tersinggung
mendengar permintaan Denzel.
Namun karena mendapat isyarat
dari suaminya, Lily terpaksa
menyingkir.Setelah Lily pergi, Denzel
membuka pembicaraan
memperkenalkan diri. la juga
menunjukkan surat wasiat Louis
Brown dan penunjukan Rose
sebagai ahli warisnya. Antara
percaya dan tidak, Josh
mendengarkan setiap penjelasan
yang diucapkan Denzel. la sendiri
tidak menduga jika adik
perempuannya, Karen, menjalin
hubungan dengan pria sekaya
Louis BrOwn. Josh hanya
mengetahui bahwa Karen pernah
bekerja sebagai staf di
perusahaan properti itu.
Josh memandang Denzel
sejenak, mencari kejujuran dari
netra pria tampan itu. Keraguan
timbul di benak Josh. Pasalnya
usia pria itu masih muda. Menurut
perkiraan Josh, Denzel berumur sekitar dua puluh tujuh sampai
dua puluh delapan tahun.
"Tuan Denzel, apa Anda yakin
bisa menjadi wali untuk
keponakan saya?"
"Saya akan mengusahakan
yang terbaik untuk Nona Rose.
Terutamna dalam mengelola
perusahaan dan aset yang
diwariskan kepadanya."
Denzel mencodongkan
tubuhnya ke depan.
"Terkait dengan kehidupan
sehari-hari Nona Rose, saya tetap
menyerahkannya dalam
pengasuhan Anda. Untuk seluruh
biaya kehidupan Nona Rose dan
keluarga Black, saya akan
mentransfernya setiap bulan. Saya
juga akan membelikan rumah baru
untuk keluarga kalian. Tapi tolong mintalah anggota keluarga Black
Vuntuk memperlakukan Nona Rose
dengan baik. Saya tidak mentolerir
perlakuan buruk dalam bentuk
apapun.
"Satu lagi, Tuan. Jangan
membocorkan siapa ayah
kandung Nona Rose kepada istri
dan anak Anda. Rahasia ini cukup
kita bertiga yang tahu. Dan mulai
sekarang saya akan mengubah
nama belakang Nona Rose demi
keamanannya," tandas Denzel.
"Iya, saya mengerti, Tuan
Denzel. Terima kasih karena Anda
telah menjalankan wasiat dari
ayahnya Rose," jawab Josh
bahagia.
***
Tujuh Tahun Kemudian...
"Saya berharap bisa melihat
karya yarng mengagumkan di tugas
akhir kalian. Sebuah masterpiece,
karya yang diciptakan dengan hati.
Memiliki jiwa sehingga akan
menarik setiap mata untuk
memandangnya," ucap Mrs.
Marion bersemangat.
"Hari ini kalian bisa mulai
pengerjaan tahap awal di galeri.
Saya ucapkan selamat bekerja."
Mrs. Marion mematikan
laptopnya lalu mengakhiri sesi
kuliah hari itu.
Gwen menggeleng pelan. la
menyenggol lengan Rose yang
duduk bersebelahan dengannya.
"Rose, apa kamu sudah tahu
tema apa yang akan kamu ambil
untuk pameran? Aku belum terpikir sama sekali," ucap Gwen.
"Hmmmm, aku ingin
mengangkat kehidupan anak-anak
panti asuhan sebagai tema
lukisan. Selain itu aku akan
membuat sebuah patung wanita,
tapi aku perlu melakukan riset."
"Cepat sekali kamu berpikir.
Pantas saja kamu selalu menjadi
mahasiswa terbaik di jurusan kita.
"Cobalah merenung di kamar,
kamu pasti akan mendapatkan ide
cemerlang," saran Rose sambil
tersenyum.
"Aku heran kenapa kamu tidak
menerima tawaran pertukaran
mahasiswa di Italia. Padahal
banyak yang menginginkannya,
terutama Anneth," ujar Gwen melirik ke arah bangku di
seberangnya. Anneth balas
menatap tajam ke arah Gwen.
"Sudahlah, Gwen, jangan
membicarakan itu lagi. Ayo kita ke
galeri."
Rose melepas kacamatanya
lalu menggandeng tangan Gwen
keluar dari ruang kuliah. la tidak
ingin memancing pertengkaran
dengan Anneth.
Sebelum tiba di galeri, Anneth
mendadak muncul dan
menghalangi mereka.
"Tunggu, Rose. Buru-buru
sekali. Sepertinya kamu sangat
percaya diri dengan tugas
akhirmu."
"Aku rasa kita semua harus
optimis dalam mengerjakan tugas
akhir," jawab Rose diplomatis."Kamu benar. Aku tidak
menyangka gadis sepertimu pintar
bicara juga."
Anneth mengambil sesuatu
dari tasnya lalu memberikannya
kepada Rose.
"Aku cuma ingin
memberitahumu bahwa besok jam
lima ada audisi untuk konser
Valentine. Mr. Robert menyuruhku
memberikan formulir ini. Kamu
harus datang tepat waktu."
Rose menerima lembaran
form dan jadwal audisi itu. la
memang mengikuti kursus biola di
luar jam kuliah dan kebetulan
sekelas dengan Anneth.
"'Aku tidak berminat mengikuti
audisi. Aku belum bisa melakukan pertunjukan tunggal."
"Mr. Robert selalu memuji
perkembanganmu. Karena itu aku
berinisiatif mendaftarkanmu
sebagai peserta audisi."
"Kenapa kamu tidak
menanyakan pendapatku dulu?"
tanya Rose keheranan.
"Dengar, Rose, aku bermaksud
baik. Tapi semuanya terserah
padamu. Jika kamu tidak hadir
saat audisi, Mr. Robert pasti
kecewa. Nama sekolah biola kita
juga akan tercenmar. Jadi saranku
datanglah ke audisi itu."
Anneth mencibir di dalam
hatinya.
"Rasakan kamu Rose, kamu
akan mati kutu disana,' gumam
Anneth senang.Sambil mengulum senyum,
Anneth berjalan santai
meninggalkan Rose. Anneth
sengaja melakukan ini untuk
mempermalukan Rose. la tahu
bahwa para peserta audisi adalah
murid senior dari berbagai sekolah
biola ternama. Kemampuan Rose
tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan mereka.
Swmentara itu Gwen melihat
kecemasan di raut wajah Rose. la
mencoba menghibur sahabatnya
dengan menunjukkan sebuah
video.
"Rose, aku yakin kamu bisa
lolos di audisi itu. Tontonlah video
yang sedang viral ini. Ada violinis
bernama Miss Black. Dia
membuat dua video yang
semuanya trending di media
sosial. Permainan biolanya sangat indah. Kamu bisa mempelajari
teknik yang dipakainya."
"Terima kasih, Gwen," ucap
Rose menghargai ketulusan
sahabatnya.
***
Bersambung...