Gaska datang tiga puluh menit sebelum shift Indra berakhir. Keberadaan Dian juga sangat membantu dalam persiapan tutup karena pusing dan mual Indra semakin menjadi. Sehingga Indra memberi instruksi pada karyawan baru itu sambil duduk.
Indra sangat lega saat waktunya tutup telah tiba.
"Mau periksa ke dokter?" Tanya Gaska yang menyetir motor.
Indra yang duduk di belakang menggeleng sebelum menjawab, "Nggak. Aku mau langsung tidur."
Setelah memarkir motor dan menutup gerbang, Gaska mengawasi dari samping saat Indra berjalan sempoyongan.
"Kamu mau tidur di bawah?"
Indra yang tidak terlalu paham, balik bertanya "Hah?"
"Ada kamar kosong di bawah kalau kamu mau pakai," Gaska menunjukkan pintu kamar yang dimaksud dan membukanya.
Indra berjalan pelan kesana. Saat Gaska menyalakan lampu dan AC, Indra memperhatikan bahwa meski tidak dipakai tapi kamar ini cukup rapi dan tidak berdebu seperti bayangannya. Seingat Indra, dia tidak pernah membersihkan kamar ini sebelumnya. Dia mengira kalau itu semacam gudang, namun kamar ini seperti sering dibersihkan.
Kasur yang besar, jauh lebih lebar dibanding milik Gaska dan Surya sekalipun, memanggil kesadaran Indra untuk mendekat dan berbaring di atasnya. Kasur, oh, kasur, godaanmuntiada terkira...
"Matikan saja lampunya," ujar Indra sambil menutupi wajahnya dengan bantal.
"Tadi kamu sudah minum obat, belum?" Gaska duduk di sebelah Indra yang berbaring tanpa berganti baju.
"Nggak."
"Sudah makan? Mau aku buatkan sesuatu?"
"Nggak, terimakasih. Aku masih mual."
"Ya sudah. Ganti baju dulu, ya."
Gaska keluar untuk beberapa saat sebelum kembali membawa baju ganti.
"Mau ganti sendiri atau aku gantiin?"
Indra memandang Gaska dengan sebal. Kepalanya sudah pusing, perutnya mual, kenapa dia masih terus saja cerewet. Pakai mengancam segala. Sambil menggerutu, Indra melepas kaosnya dan memakai kaos yang diberikan Gaska. Saat akan melepas celananya, Indra melorok ke arah Gaska yang duduk sambil tersenyum.
"Silahkan lanjutkan, nggak usah sungkan. Anggap aku nggak ada," Gaska berusaha meyakinkan. "Toh aku sudah lihat semuanya, nggak usah malu."
Pada akhirnya Gaska keluar sampai Indra selesai. Karena Indra tidak protes waktu Gaska duduk di sebelahnya sebelum keluar kamar, Gaska kembali ke tempat yang sama di samping Indra yang berbaring menutup mata. Dia sudah mengganti lampu dengan yang redup agar tidak gelap gulita.
Gaska lalu mencoba berbaring, dan karena Indra masih tidak keberatan, dia mencari posisi yang senyaman mungkin. Dalam hati, Gaska senang bisa sedekat ini dengan Indra meski dia menyayangkan keadaan Indra yang sedang sakit. Jika dibanding sebelumnya saat Indra sampai demam tinggi dan terus tidur sehari semalam, ini masih lebih baik.
Gaska memutuskan tidak akan terlalu banyak mengambil kesempatan. Dia ingin Indra berpikir yang baik-baik tentangnya. Dan dia yakin bisa menahan diri sampai Indra sudah baikan lagi nanti. Agar lebih aman, Gaska menutupi tubuh Indra dengan selimut, sehingga dia tidak perlu tergoda waktu tanpa sengaja melihat paha putih Indra.
. . .
Alarm ponsel Indra berbunyi, dan pemiliknya yang terbangun sedikit terkejut sebelum ingat kalau semalam dia tidak kembali ke kamarnya. Tasnya ada di dekat kasur, jadi Indra dengan mudah mematikan alarm yang disettingnya sebelum tidur.
Perhatian Indra lalu tertuju pada sosok yang tengah lelap di sebelahnya. Gaska yang hanya selisih umur sebulan dan sering bertindak semaunya sendiri tapi dapat diandalkan waktu Indra kesulitan. Mendengar kata-kata Pak Ruslan kemarin, tidak ada tanda yang menunjukkan bagaimana hubungannya dengan Gaska. Dan mungkin Indra salah mengira pekerjaannya selama ini sebagai tukang bangunan.
Ada begitu banyak kesalah pahaman diantara mereka semua. Mungkin seiring berjalannya waktu, semua dapat diluruskan dan kembali pada hakekatnya masing-masing. Indra berharap, untuk selanjutnya tidak sampai perlu waktu bertahun-tahun untuk mencari titik temu antara mereka. Seperti yang terjadi dengan ibunya.
Merasa jauh lebih baik, Indra keluar kamar dan mengambil air minum. Dia juga menyucikan diri sebelum menyelesaikan ibadah malam yang tertunda kemarin. Selesai beribadah, Indra sempat terpikir untuk kembali ke kamarnya di atas.
Beralasan kalau dirinya masih sedikit pusing, Indra kembali ke kamar di lantai dasar dan meletakkan tubuhnya di sebelah Gaska yang sudah bergeser sejak terakhir Indra melihatnya. Tanpa berkata-kata, Indra menutup mata dan berharap bisa segera tidur dengan pulas.
. . .
Saat Indra kembali pada kesadarannya, dia sedikit terkejut karena merasa mendengar sesuatu bersuara keras. Saat membuka matanya, cahaya matahari remang-remang menembus korden kamar tempat Indra berbaring sendirian. Hari sudah cukup terang dan Gaska sudah tidak disana lagi.
Ketika itu, Indra lalu mulai mendengar keributan yang tidak biasa. Karena pintu tertutup, Indra tidak mendengar dengan jelas apa yang menjadi perdebatan. Indra lalu membuka pintu kayu dan suara-suara teriakan itu kini semakin jelas.
"..sudah bilang! Jaga Gaska baik-baik! Tapi kamu ngurus diri sendiri aja nggak becus!"
Suara hinaan yang asing dan menyeret nama Gaska membuat Indra bingung dan penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Suara itu berasal dekat pintu gerbang, jadi Indra melangkah kesana.
"Sudah berapa kali aku bilang, turuti kata-kataku!"
"Bukan begitu, Ma! Mama yang nggak pernah mau dengar!" Kali ini giliran Surya yang berteriak.
Indra yang semakin khawatir, berjalan makin cepat dan saat membuka pintu, dia melihat seorang wanita cantik bertubuh mungil, wanita seperti dalam foto berbingkai yang diletakkan di langit-langit gudang, menjulurkan tangannya ke arah Surya.
PLAK!
Suara keras itu mengagetkan Indra, bersamaan dengan wajah Surya yang menoleh ke samping. Saat itulah dia melihat tangan Surya yang tergegam, bergetar gemetaran.
"Ma! Hentikan! Mama apa nggak malu bikin keributan pagi-pagi?!" Kali ini giliran Gaska yang berteriak.
"Diam kamu, Gaska! Mama sudah suruh anak ini buat jagain kamu! Buat memastikan kamu menuruti semua perintah Mama!! Makanya Mama ijinkan dia tinggal disini! Tapi lihat nilainya pada jeblok gini! Dan Surya sama sekali nggak mau cerita tentang keadaanmu!! Mama sudah sering menghubungi Surya dan kamu tapi kalian nggak pernah angkat! Dan dia sama kamu makin berani nentang Mama!" Wanita itu terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk Surya yang terdiam.
"Apanya yang jeblok! Surya masih rangking lima besar sesekolah!"
Indra sangat terkejut melihat hubungan Gaska dan Surya dengan wanita itu, Nadia.. hubungan mereka begitu buruk sampai Surya belum juga mengangkat kepalanya.
Indra yang merasa kasihan dengan Surya lalu teringat kata-kata Gaska beberapa waktu lalu.
-Tanpa kamu melakukan apapun juga keluarga ini sudah hancur-
Tanpa pikir panjang, Indra berjalan keluar dan menarik Surya ke pelukannya. Bahu dan punggung yang lebih lebar itu, masih bergetar di bawah telapak Indra.
"Nggak apa, Surya. Sudah, nggak apa-apa. Ada Mas Indra disini," bisik Indra sambil menuntun Surya menjauh dari konflik yang sedang terjadi.
"Hei! Kamu siapa?! Berani-beraninya!" Tangan yang kecil itu punya genggaman dan cengkraman yang kuat saat mencegah Indra pergi. "Mau kamu bawa kemana anakku?! Lepaskan anakku!!"
Wanita yang dari tadi berteriak-teriak tidak karuan itu terhentak saat melihat Indra. Wajah, mulut, matanya memancarkan kebencian yang dalam yang tidak dimengerti Indra.
"Ho!! Kamu berani muncul disini!! Gara-gara kamu semua berantakan!! Pergi dari sini!!" Wanita itu mulai lagi berteriak nyaring. "Kenapa dia ada disini!! Dan nggak seorangpun yang bilang! Gara-gara anak pelacur ini.."
Sebelum wanita itu selesai berbicara, giliran Indra yang menamparnya.
Tangannya telah bergerak tanpa dia sadari, Indra terkejut atas tindakannya tapi dia merasa itu masih belum sebanding dengan rasa sakit yang diberikan wanita ini kepada ibunya.
Wanita itu diam sesaat sebelum menyerang Indra. Matanya berkilat aneh bagai binatang buas yang siap menerkam apa saja di depannya.
"Gara-gara kamu anakku melawan aku! Ini semua pasti ulahmu 'kan?! Kamu sudah mempengaruhi mereka!! Beraninya kamu dekat-dekat anakku!!
"Indra?!" Teriak Gaska yang pasang badan antara Indra dan wanita itu.
"Ma! Hentikan! Indra, bawa Surya pergi!!" Teriak Gaska yang berusaha menghalangi wanita itu.
"Lepaskan, Gaska! Lepaskan Mama! Biar Mama habisi dia! Mama nggak akan puas sampai dia mati!! Lepaskan! Surya! Jauhi orang itu! Surya!!"
Indra yang ketakutan, berlari sebelum mengunci pintu rumah lalu membawa Surya ke lantai dua ke kamarnya. Sekali lagi dia mengunci pintu kamar. Teriakan penuh kebencian di bawah kini terdengar seperti latar belakang, ada di sana tapi tidak lagi ada artinya.
Saat Indra melihat ke arah Surya, remaja malang itu punya cap tangan merah di pipinya. Matanya masih menatap ke lantai dan wajahnya sangat tegang.
Indra kembali merangkul remaja yang tampak kecil itu sambil mengusap punggungnya, sambil terus berharap agar teriakan di bawah tidak sampai pindah ke atas.
"Sudah, tenang, ya... Kamu sudah aman sekarang..."
Indra menghela nafas, bertanya pada Tuhan apa yang telah terjadi dalam waktu sesingkat ini.
Indra lalu merasakan tarikan pelan pada lengannya.
"Tenang.. sudah nggak apa-apa.. " Indra mengulang-ulang kata-kata itu untuk meyakinkan Surya dan dirinya sendiri.
. . .
Indra baru membuka pintu saat sudah tidak lagi terdengar keributan untuk waktu yang lama. Setelah meyakinkan Surya kalau wanita itu sudah pergi dan dia tetap bisa duduk disana, Indra beranjak mencari Gaska.
Indra berhati-hati berjalan menuruni tangga, berkali-kali memastikan tidak ada suara atau gerakan mencurigakan. Tidak tertutup kemungkinan wanita itu bersembunyi di dalam rumah. Setelah berjalan sampai dekat pintu dapur, Indra lega karena pintu masih terkunci. Perlahan-lahan Indra membuka kunci disusul pintu dapur.
Hanya ada Gaska seorang diri, berdiri membelakangi Indra.
"Gaska..." Panggil Indra pelan.
Gaska berbalik, wajahnya ada bekas tamparan dan cakaran. Dia terlihat marah dan kecewa, dan sedih dan putus asa.
"Kenalkan, Mamaku," ujarnya mencemooh sambil mengayunkan tangan ke arah dimana wanita itu tadi berdiri.
"Aku pikir dia tinggal di Surabaya..." komentar Indra setelah berdiri di dekatnya.
Gaska mengeluarkan nafas sangat panjang dan beberapa kali menggosok kepalanya, caranya menenangkan diri. "Aku pikir juga gitu. Kenapa dia tiba-tiba ada disini."
"Surya gimana?" Tanya Gaska setelah emosinya mereda.
"Di kamarku, sudah lebih tenang," jawab Indra.
Dia lalu meraih tangan Gaska, "Kamu sendiri gimana?"
Gaska membuang wajah, tidak ingin membahas tentang perasaannya.
"Aku bantu bersihkan lukanya, ya," bujuk Indra pelan.
Gaska mengangguk.
"Dia sudah pergi. Aku panggil orang buat membawa dia pergi," Gaska menjelaskan tanpa diminta.
.
.