Chereads / Kau Curi Milikku, Milikmu Kucuri (BL) / Chapter 23 - 23. Kamar Gaska

Chapter 23 - 23. Kamar Gaska

(Di bab ini terdapat adegan yang dapat memicu ketidaknyamanan bagi pembaca. Disarankan kebijakan dalam membaca.)

Saat Gaska masuk, dia menahan nafas melihat Indra yang sedang berada di bawah pancuran membelakanginya. Garis cekung yang membentuk tulang punggungnya, memisah sempurna antara kiri dan kanan, mulai pangkal leher sampai ke antara kedua kaki.

"Sebentar lagi aku selesai," ujar Indra tanpa menoleh.

"Tidak. Kita mulai sekarang," Suara Gaska berubah tanpa disadarinya.

Indra hanya mengangguk dan masih tetap menghadap dinding ketika mendengar suara kain jatuh ke lantai. Tidak lama, kedua lengan Gaska memperangkapnya sedangkan wajah Gaska ada di sebelah wajahnya.

"Kau yakin, Indra?" Bisik Gaska, nafasnya terdengar berat.

Bibir Indra tersenyum walau matanya tidak. "Kau yakin mau dengar jawabannya?" Dia balik bertanya.

Gaska tidak menjawab. Tangannya menyentuh punggung Indra sebelum turun perlahan-lahan dan berhenti di pantatnya. Gaska ingin berlama-lama, tapi sekarang bukan saat yang tepat.

Dengan kucuran air shower yang masih hangat, Gaska memulai persiapannya.

"Kalau terasa sakit, katakan. Jangan ditahan." Bisik Gaska sebelum menyelipkan jarinya ke antara dua gundukan. Dia meraba-raba ke tepi lubang yang masih tertutup untuk sesaat. Mencoba apakah jarinya bisa masuk hanya dengan bantuan air.

"Lemaskan badanmu, jangan tegang." Instruksi Gaska.

Dia lalu mengambil sedikit sabun untuk melumuri jarinya. Kali ini satu jarinya bisa masuk dengan mudah.

"Kakimu coba lebarkan." Perintah Gaska lagi yang dituruti Indra dengan tidak mudah.

Gaska berusaha hingga satu jarinya bisa bergerak dengan leluasa sebelum memasukkan satu lagi.

Indra tampak tidak nyaman dengan langkah kedua, sehingga Gaska menyelesaikan proses dengan cepat. Dia mematikan shower dan menyelimuti tubuh Indra dengan bathrobe.

"Tunggu di dalam. Aku segera menyusul."

Indra keluar tanpa menoleh sekalipun ke arah Gaska. Setelah mandi air hangat, udara dalam kamar terasa dingin. Indra yang merasa kikuk, memilih duduk di kasur.

Tubuh dan pikirannya yang lelah tidak banyak merespon saat Gaska muncul hanya dengan handuk di pinggang. Mata Gaska yang tertuju padanya, membuat Indra merasakan kebanggaan yang aneh. Ketika Gaska berjalan mendekat lalu memeluk tubuhnya dan mencium bibirnya, Indra merasa tubuhnya memanas. Sepanas darah yang melalui pembuluh nadinya ketika Gaska perlahan-lahan merebahkan tubuhnya dan melepas apa yang dia kenakan.

"Indra... " Panggil Gaska yang sibuk menciumi lehernya.

"Indra... " Tangan kanan Gaska menyentuh bahu Indra, lengannya, ujung jemarinya. Tangan kirinya menyentuh dada Indra, perutnya, pinggangnya, pinggulnya.

Indra merasakan sensasi yang sama seperti setiap kali Gaska menyentuhnya dengan mesra. Getaran halus yang muncul dimana kulit mereka bersinggungan menjalar ke bagian lain bagai riak air. Kedekatan mereka saat ini serasa tidak cukup tapi dia malu untuk meminta lebih. Dia bahkan malu menatap mata yang tertuju hanya padanya.

"Indra, lihat aku."

Indra yang tanpa sadar menutup mata, membuka kelopak matanya. Gaska menjaga jarak di antara mereka, Indra bisa melihat setiap lekukan otot dan tubuh yang liat. Dada bidang Gaska dengan sepasang puting sebesar kacang hijau berwarna coklat kehitaman. Perut Gaska juga datar, meski tidak sampai berkotak-kotak seperti iklan di televisi. Dan di pusatnya ada pusar dengan rambut halus yang membentuk garis kebawah.

Indra ingat pernah melihat penis Gaska dari dekat saat pria itu mengocok tepat di depan wajahnya. Tapi saat itu Indra tengah larut dalam..dia sedang tidak terlalu sadar. Tidak seperti saat ini. Bersebelahan begini, milik Gaska terlihat besar jika dibandingkan dengannya.

Seolah mengerti jalan pikiran Indra, anggota tubuh Gaska itu bergerak-gerak senang.

"Aku disini, Indra," Gaska tertawa kecil melihat Indra yang tidak menunjukkan tanda penolakan. Dengan berat, mata Indra berpindah dari kemaluannya ke mata Gaska.

"Aku akan melakukan lagi seperti di kamar mandi barusan. Kalau memungkinkan, kita lanjut. Kalau nggak, kita lanjutkan besok."

"Huh? Nggak bisa langsung?" Indra tidak tahu kenapa Gaska yang biasanya langsung terjang tanpa pikir panjang malah berhati-hati sekarang.

"Tergantung, kalau aku rasa tubuhmu siap, kita bisa lanjut. Aku nggak mau maksa dan malah membuat kamu sakit." Gaska senang melihat orang terkasihnya kini begitu dekat dan memasrahkan diri padanya. Jadi meski sulit, dia berusaha menahan diri.

Indra malah bingung dengan sikap Gaska. Dari yang dia dengar, berhubungan badan sangat menyenangkan hingga bisa membuat orang ketagihan. Jika ada rasa sakit, hanya saat memasukkan pertama kali. Saat melihat Gaska, dia memang lebih besar dibanding Indra tapi pastinya ada yang lebih besar dari Gaska 'kan? Dan Indra rasa, perbedaan yang tidak terlalu banyak tidak akan terasa terlalu berbeda.

"Sekarang, tengkurap, biar aku bisa melihat lebih jelas." Gaska membalik badan Indra hingga punggungnya menghadap atas.

"Naikkan pinggangmu," Indra mengikuti kata Gaska saat tiba-tiba wajahnya terasa panas.

Indra terlambat menyadari bahwa dengan posisinya saat ini, dan Gaska berada di belakangnya, maka semua bagian dirinya yang selama ini tertutup rapat, tampak jelas bagi Gaska. Yang membuat Indra lebih malu lagi adalah karena Gaska mengelus-elus pantat dan pangkal pahanya seolah menemukan benda berharga.

"Kamu imut sekali disini," Gaska yang membuka pantat Indra kesamping, mengekspose celah disana.

Setelah mengucurkan lubrikan, Gaska mulai bermain di sekitar lubang. "Tenang, rileks saja."

Jari Gaska masuk satu dengan mudah. Namun jari keduanya agak sulit, sehingga dia kembali mengelus-elus paha dan punggung Indra agar tetap rileks. Setelah beberapa kali Gaska mencoba, jari keduanya tetap sulit masuk dan Indra malah semakin tegang. Gaska kini ganti menelusuri garis mulai dari lubang, lalu turun menuju kedua zakar hingga ke pangkal organ yang kembali bergerak-gerak.

Bergerak maju hingga menutupi sebagian tubuh Indra, Gaska berbisik, "Kalau kamu bisa melihatnya, Indra... Tubuhmu yang selalu menggodaku."

"Atau kamu sengaja sambil pura-pura tidak tahu." Bisik Gaska, menyebabkan bulu kuduk Indra berdiri. "Bahwa sebenarnya kamu suka saat aku menyentuhmu.. menggerayangi semuanya sampai bagian terdalam.."

Gaska memasukkan jari keduanya dengan sukses. "Lihat, ini bukti bahwa tubuhmu menantikan aku. Kamu nggak sabar sampai aku memasukimu."

"Diam, Gaska.." Ujar Indra dengan susah payah. Seluruh tubuhnya terasa terbakar dengan sensasi yang memabukkan. Gaska tidak perlu mengatakan semua hal memalukan itu.

"Kenapa? Kamu malu karena dirimu sesungguhnya ketahuan?" Tangan kiri Gaska kini mengocok organ Indra, membuat Indra semakin larut dalam kenikmatan. "Sampai kaku dan basah begini. Aku tidak tahu kalau tubuhmu sangat nakal."

Gaska terus memancing Indra tanpa ampun. Jari-jarinya mencoba mencari titik prostat sambil terus keluar masuk lubang yang telah semakin elastis.

"Aaahhh," Indra tiba-tiba mengerang dengan suara yang berbeda.

Gaska dengan sigap, berkali-kali menyentuh titik yang membuat tubuh Indra semakin sensitif.

"Berhenti, Gaska... Aku...rasanya aneh..." Pinta Indra, tangannya menggenggam erat kain seprai seolah mencari pegangan.

"Kenapa? Lihat, makin banyak cairan yang keluar dari sini," tangan kiri Gaska meremas bagian ujung Indra, membuatnya mengejang dan mengeluarkan lebih banyak cairan.

Tubuh Indra yang lemas membuat Gaska mudah memasukkan jari ketiga.

"Tunggu, aku masih agak sensitif.." rintih Indra yang menggerakkan pinggangnya menjauhi Gaska.

Gaska mengecup pipi dan bibir Indra, "Aku rasa persiapannya sudah cukup. Kesempatan terakhir kalau kamu mau mundur."

Nafas Gaska yang berat dan hangat di wajah Indra, serta tongkat milik Gaska yang kaku dan bergerak tidak sabaran di belahan pantat Indra, membuat Indra terhenti sejenak.

Kepalanya yang seperti disumpal kapas membuatnya sulit berpikir rasional. Dia tidak ingin lagi berpikir rasional. Dia ingin egois dan melakukan apa yang dia mau.

Seandainya ada penyesalan pun, biar dia pikirkan nanti. Karena Indra juga tidak ingin menyesal tidak mengambil kesempatan ini.

"Lanjutkan, Gaska..." Bisiknya sambil menatap mata Gaska yang tengah memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. "Kau boleh memiliki aku."

Tanpa menunggu lebih lama, Gaska memeluk tubuh Indra sambil memasukkan miliknya.

. . .

Mereka baru berhenti pada dini hari.

Mata Gaska sudah sangat berat dan badannya serasa terbuat dari jelly tapi saat melihat sosok Indra yang tengah tertidur pulas di atas kasurnya, semuanya sebanding dengan yang dia dapatkan. Indra bahkan hanya bergumam pelan saat Gaska menyeka tubuh itu dengan air hangat.

Gaska lalu turun ke dapur dan membuat notes untuk ditempel di pintu lemari es. Sekembalinya Gaska ke kamar, dia berbaring di sebelah Indra. Tidak lama, kesadarannya pun hilang ditelan lelap.

. . .

Sore itu Indra masuk kerja dengan pikiran kacau. Sebagian otaknya masih mengulang-ulang kejadian semalam antara dirinya dengan Gaska. Sementara separuh otaknya yang lain memintanya fokus pada pekerjaan dan ekstra hati-hati saat bekerja. Jangan sampai membuat khawatir orang lain dan jangan memberi alasan agar mereka curiga.

Indra menghela nafas panjang. Dian libur hari itu jadi dia bekerja sendirian sejak shift Anya selesai hingga tutup nanti. Terlebih Pak Hendi ada urusan yang tidak bisa ditunda. Dia berharap hari ini tidak terlalu banyak pembeli yang datang.

Tentu saja saat Indra berharap untuk kepentingannya pribadi dan bukan bersama, dia mendapat kebalikannya. Pembeli datang bergantian hingga hampir tidak ada waktu untuk duduk sejak shiftnya dimulai hingga mendekati jam makan malam. Saat Indra menghubungi Pak Hendi, beliau menginstruksi untuk menyimpan benda berharga di brankas dan mengunci ruang loker jika Indra perlu meninggalkan counter. Tidak lupa memasang tanda 'istirahat sejenak' agar pembeli tidak gelisah.

Beruntung selepas jam delapan, pengunjung kafe mulai berkurang intensitasnya dan Indra bisa mengistirahatkan kakinya.

"Harusnya kamu dapat bayaran lebih kalau kerja sendirian, " komentar Gaska yang sedang berdiri di dekat meja kasir.

Indra tidak menjawab dan hanya mengibas-ngibaskan tangan untuk menyuruh Gaska diam. Sejak tadi siang, perutnya terasa kaku, sehingga menambah penyebab dirinya kehabisan tenaga dan bad mood.

"Bukan urusanmu!! Aku mau bersih-bersih di belakang dulu." Indra berjalan masuk tanpa menunggu jawaban Gaska.

Kafe Javajaya awalnya menggunakan peralatan keramik untuk makan atau minum di tempat. Setelah Dian bergabung, sebagian besar keramik diganti melamin namun bukan berarti cucian jadi lebih sedikit. Indra lanjut merapikan stok kopi dan bahan lain yang sempat amburadul karena mengambil barang terburu-buru.

Menjelang jam sembilan, turun hujan disertai angin kencang. Tidak lama kemudian, listrik kafe dan sekitar padam. Beberapa pembeli yang masih bertahan karena terjebak hujan, akhirnya nekad pulang. Hingga hanya ada dia dan Gaska disana.

Indra menghubungi Pak Hendi, mengabari tentang keadaan terbaru. Dia tidak tahu berapa lama listrik akan padam dan khawatir berpengaruh pada beberapa bahan yang perlu pendinginan khusus.

Gaska hanya memperhatikan saat Indra menjelaskan pada atasannya. Sesekali membuka tutup pintu lemari es dan kotak freezer sebelum lanjut berbicara. Wajahnya yang fokus pada pekerjaan, membuat Gaska membandingkannya dengan wajah Indra saat bersamanya kemarin malam.

Gaska tersenyum.

"Apaan, senyum-senyum ga jelas, " Ujar Indra kesal sambil menggebrak meja di depan Gaska.

Sejak tadi pagi, sejak Indra bangun, wajahnya masam dan dia terus uring-uringan pada Gaska. Dan semakin judes dibanding biasanya hanya pada Gaska.

"Apa kata Pak Hendi?" Gaska mengalihkan perhatian.

"Disuruh tutup saja kalau selesai bersih, " Jawab Indra datar sebelum kembali melotot ke arah Gaska.

"Apa?!" Bentaknya.

"Nanti sampai rumah aku pijitin." Ujar Gaska berusaha meredakan emosi Indra.

.

.