Chapter 25 - 25. Adik

Indra yang sedari tadi diam, berjalan ke arah Gaska. Dia memegang tangan Gaska dan meletakkan ujung rantai yang dipegangnya ke tangan itu.

"Kamu milikmu sendiri. Kau memakai ini untuk meyakinkan dia, aku bisa mengerti. Tapi memiliki seseorang dengan cara seperti ini aku nggak siap.." Suara Indra sedikit bergetar di akhir.

Pundaknya yang dibungkukkan ke depan terlihat kecil. Untuk kesekian kalinya malam itu, Gaska merangkul Indra dalam dekapannya.

"Baik. Aku paham. Terimakasih sudah memberi tahu aku." Bisik Gaska sambil memainkan ujung rambut Indra.

"Besok aku akan bicara pada... papanya Surya." Indra masih sulit menyebut nama orang itu. "Mungkin besok lusa sudah bisa ketemu mama kalian."

Indra menghela nafas sebelum melanjutkan, "Aku masih bingung gimana ngomong ke Surya. Aku nggak kepingin Surya tahu tapi lebih baik kalau dia memutuskan sendiri."

"Apakah Surya harus memutuskan semuanya secepatnya?" Gaska tanya balik, suaranya menenangkan Indra.

"Nggak juga..." Jawab Indra pelan. "Akan lebih baik kalau ada orang yang menasehati.."

Indra yang berhenti bicara lalu tiba-tiba berbalik menghadap Gaska dengan wajah ceria. "Aku ada ide!"

Gaska membalas dengan tersenyum lebar, "Oya?" Dia tidak benar-benar memperhatikan apa yang dikatakan Indra. Melihat Indra dari jarak sedekat ini membuat Gaska sulit fokus pada hal lain.

. . .

Indra mengambil nafas panjang sebelum menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diri. Dia sudah minum obat penenang sebelumnya berharap agar tidak mengulang kejadian setelah di bank waktu itu, dimana kepalanya pusing dan perutnya mual seharian. Dia tidak boleh kehilangan fokusnya atau urusan ini akan semakin memakan waktu.

Segelas teh panas yang dipesannya mengeluarkan wangi yang memberi efek positif pada Indra. Mata Indra melirik ke jam dinding untuk kesekian kalinya, tidak lama lagi mereka akan bertemu. Indra sengaja mengajak bertemu di kafe hotel dekat rumah agar pembicaraan bisa berjalan lancar.

Seorang pria dengan wajah sedikit berkeriput dan rambut yang memutih muncul mengenakan kemeja batik berwarna gelap. Aneh, pikir Indra, baru beberapa hari berlalu sejak mereka terakhir ketemu tapi pria itu tampak jauh lebih tua. Atau, apakah dia memang setua ini?

Pria itu, Pak Ruslan, tersenyum saat berjalan ke arah Indra. "Sudah lama, Nak? Maaf, tadi agak macet."

Indra tidak berkomentar saat Pak Ruslan duduk di single sofa di sebelah Indra.

"Ayah matikan dulu hape-nya," Pak Ruslan mematikan sinyal ponselnya sebelum mencurahkan perhatiannya pada Indra. "Ayah senang kamu menghubungi Ayah lagi. Bagaimana kabarmu? Gaska dan Surya apa baik-baik saja?"

"Saya baik, Pak. Gaska dan Surya juga," Indra otomatis menggunakan bahasa formal seperti saat berbicara dengan Pak Hendi.

"Syukurlah.." Pak Ruslan lalu tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya duduk disana mengamati Indra.

"Saya perlu bicara dengan Mamanya Surya," Indra tidak ingin berlama-lama disana.

Pak Ruslan terlihat kaget tapi menunggu beberapa saat sampai Indra memberi penjelasan. Saat Indra hanya diam, dia bertanya, "Ayah tidak yakin itu ide bagus. Terakhir kali... Ayah tidak mau ada yang mengganggu ketenangan kalian."

"Saya sudah mendiskusikannya dengan Gaska dan Surya. Tapi yang Pak Ruslan katakan benar, jadi kami perlu orang lain untuk membantu kalau ada keadaan darurat."

Pak Ruslan bersandar dengan sedikit menghempaskan punggungnya. Dia mendesah panjang. "Dan kapan kamu mau ketemu Nadia?" Pak Ruslan menutup mata, jarinya memijit pelipis.

"Besok, di rumah." Jawab Indra singkat.

"Nadia nggak akan tinggal diam. Dia... " Pak Ruslan tidak melanjutkan kalimatnya. Kepalanya pusing memikirkan kekacauan berikut berbagai skenario yang akan terjadi.

"Ibu sebenarnya menunggu Pak Ruslan berpisah dengan mamanya Surya. Karena itu sampai akhir dia berpesan untuk tidak menyulitkan Bapak," Indra membuka topik yang lain.

Seperti yang diharapkan, Pak Ruslan membuka mata dan kembali fokus pada kata-kata Indra. Hanya perlu umpan kecil dan pria itu sudah terpancing.

"Apa Mirna yang mengatakannya?" Wajah Pak Ruslan diselimuti kegundahan.

"Tidak. Ibu memang orang yang seperti itu. Meski marah besar dia tetap menunggu kita minta maaf dan memperbaiki kesalahan." Indra lalu menatap lelaki tua di depannya. "Sebenarnya saya juga heran, kenapa Bapak tetap mempertahankan mamanya Surya? Malah sampai punya anak lagi..."

Pak Ruslan membuang muka, senyum di wajahnya pahit. "Setiap orang melakukan kesalahan, Nak. Dan beberapa ingin memperbaikinya. Mungkin waktu itu Ayah bisa mengambil keputusan lain. Tapi yang terjadi adalah seperti yang kamu tahu."

"Bapak benar," Indra lalu menyeruput teh yang kini kehilangan panasnya. Dia melewatkan pandangan mata Pak Ruslan yang penuh tanda tanya.

"Kita hanya bisa berusaha. Hasilnya kita serahkan pada Yang Maha Kuasa. Mamanya Surya, saya hanya perlu bicara sebentar. Lainnya saya minta bantuan Bapak untuk mengurusnya."

Pak Ruslan duduk termenung disana, bahkan lama setelah Indra pergi. Hatinya berat membiarkan Indra, Gaska dan Surya menghadapinya hanya bertiga. Selama ini dia selalu berlari dari kenyataan dan tanggung jawab. Selama ini dirinya memilih menutup mata dan membohongi diri sendiri bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan. Bahwa dirinya tidak berdaya.

Tapi apa yang sudah dia usahakan selama ini? Menumpuk uang?

Bahkan uang itu tidak dapat mempersatukan keluarganya.

Pak Ruslan merogoh ponselnya yang sedari tadi mati. Diaktifkannya kembali sebelum dia menghubungi seseorang yang bisa menolong untuk besok.

. . .

"Aku sedikit takut," ujar Indra saat dia dan Gaska berjalan keluar kafe setelah shift Indra selesai malam itu.

"Kenapa? Besok?"

"Iya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya mamamu nanti kalau dia tahu kita pacaran. Sial! Aku bahkan nggak berani cerita ke temanku."

Gaska yang mendengar itu langsung tertarik. "Kenapa? Kalau kamu pacaran sama laki-laki?"

"Kalau kita masih kemungkinan seayah... Dia, papanya Surya, sepertinya yakin sekali kalau kamu anaknya." Wajah Indra yang sebentar takut, sebentar bingung, sebentar marah terus berubah-ubah membuat Gaska tertawa.

"Anjiiir!! Ngapain waktu itu aku mau aja kena bujuk!! Pake beli rantai segala!!"

"Hmmm, karena aku ganteng?" Tanya Gaska sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Indra. "Karena aku perhatian? Karena kamu mau duitnya? Karena kamu mau balas dendam?"

Indra yang hatinya berkali-kali tertohok langsung melotot ke arah Gaska yang berjalan sambil cengar-cengir.

"Kalau kamu nggak bisa tidur, mau aku temani?" Gaska menawarkan dengan santai, tak sedikitpun terpengaruh dengan laser beam dari mata Indra.

Indra tidak percaya dengan tingkah Gaska yang seolah tidak peduli dengan apa yang akan terjadi besok sementara dirinya tiba-tiba saja nervous. Meski dia sudah berkali-kali mencoba memantapkan hati akhirnya mengambil keputusan ini bukan berarti hal ini mudah bagi Indra. Kalau dia saja seperti ini, entah bagaimana dengan Surya.

"Surya gimana?"

"Hmm, lebih tenang dari dirimu. Karena kamu yang lebih banyak bicara besok, bukan dia." Jawab Gaska enteng sambil mengedipkan satu mata dan bersikap sok imut.

Indra kembali teringat pada percakapan mereka tadi pagi, saat Surya bersiap berangkat ke sekolah dan Indra membuatkan sandwich dan bekal.

"Surya, aku mau bicara sebentar, kamu ada waktu?"

"Iya, Mas?"

"Sebelumnya aku minta maaf karena mendadak, tapi aku berencana menyelesaikan urusan dengan orangtua kita besok."

Surya terdiam sejenak sebelum bertanya, "Mama juga?"

Remaja yang tadinya mau minum itu, meletakkan gelasnya. Tangannya lalu mengusap-usap lengan seolah habis digigit nyamuk.

"Iya, mamamu juga. Aku ingin tahu pendapatmu, Surya."

"Aku nggak bisa melarang Mas Indra karena Mama sudah menyakiti Mas dan Ibuny Mas Indra..." Surya menatap Indra dengan senyum pasrah.

Indra ingin memeluk adiknya semata wayang itu. Dimana lagi Indra bisa menemukan orang yang penuh pengertian dan dewasa seperti Surya. Berbeda dengan Gaska yang ugal-ugalan, Surya sangat tenang, kalem, dan rasional.

"Aku berniat mengajakmu tinggal bersama aku. Aku tahu kalau kamu sudah dewasa dan bisa mengurus dirimu sendiri dengan baik disini, Surya. Dan aku pasti kedengaran nggak masuk akal tapi..." Indra menatap ke mata Surya yang tengah mengamatinya dengan seksama. "Tapi aku nggak rela siapapun menyakitimu. Meski itu mamamu sendiri."

"Aku ingin jadi orang yang bisa kamu andalkan.. Bagaimanapun, kamu sudah jadi adikku." Indra menepuk pundak Surya yang hanya diam dan tidak merespon.

"Pikirkan saja baik-baik. Kamu nggak harus menjawab segera. Lakukan saja apa yang terbaik menurutmu."

Indra berjalan meninggalkan dapur untuk memberi waktu bagi remaja itu memutuskan demi dirinya sendiri.

"Oiya, di kotak obat sudah aku stok salep anti alergi dan minyak untuk gigitan serangga." Teriak Indra yang berbalik saat sudah akan menaiki anak tangga.

Surya yang tercengang mendengar kata-kata Indra lalu melihat ke lengannya. Dia senang dengan perhatian Indra meskipun kakaknya itu salah mengira.

.

.