Chereads / Kau Curi Milikku, Milikmu Kucuri (BL) / Chapter 26 - 26. Belatung

Chapter 26 - 26. Belatung

Semalaman, Indra sulit tidur. Pikirannya terus terpaku pada apa yang akan mereka bicarakan besok. Apakah wanita itu akan datang, kalau tidak datang apa yang akan dia lakukan. Apakah wanita itu akan mengamuk ke arah Surya atau tidak.

Sekitar pukul empat pagi, Indra terbangun oleh alarm. Matanya terasa berat, mungkin karena dia hanya tidur kurang dari setengah jam. Indra tetap memaksa berdiri dan melakukan ibadah pagi. Seperti rutinitasnya sehari-hari, selesai ibadah, Indra langsung ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Disana dia berdiri bingung. Apakah Surya akan ke sekolah atau tidak. Lebih baik Surya ke sekolah tapi kalau tidak ke sekolah, dia akan bisa membantu Indra. Tapi Indra tidak terlalu yakin karena sampai sekarang Surya masih belum mengatakan pendapatnya. Indra lalu memutuskan naik lagi ke lantai dua dan mengetuk pintu kamar Surya.

"Surya... Hari ini kamu ke sekolah apa nggak?"

Indra menunggu beberapa saat sebelum pintu terbuka. Surya muncul dengan wajah yang bahkan lebih kusut dibanding rambutnya.

"Kamu nggak tidur?" Indra yang terkejut dengan penampilan Surya bertanya spontan.

"Nggak, aku main game," jawabnya sambil nyengir. "Aku juga ijin nggak masuk hari ini, boleh?"

"Terserah kamu, tapi resikonya kamu tahu sendiri kan? Nilaimu bisa jeblok. Presensimu juga bisa pengaruh." Mulut Indra berkedut menahan senyum.

"Mas Indra pernah lihat nilai raporku belum?"

"Belum, tapi Gaska pernah cerita kalau nilaimu di sekolah di atas rata-rata. Ya sudah, tidur dulu sana. Aku mau siap-siap dulu."

Surya meneriakkan sesuatu tapi Indra tidak mendengarnya dengan jelas dan hanya melambaikan tangan sambil terus berjalan. Di dekat tangga, Indra bingung antara membuat sarapan atau tidak. Dengan suasana rumah yang agak tegang, dia tidak yakin Gaska dan Surya berselera sarapan. Indra pun memutuskan kembali ke kamarnya untuk tidur.

Indra sudah akan menutup pintu kamar ketika terbesit sesuatu dalam hatinya. Dia pun kembali keluar dan langsung membuka pintu kamar Gaska yang tidak terkunci.

Kamar Gaska gelap dan dingin seperti biasa, dengan hanya pendar lemah jam digital di meja sebagai penerang. Indra menutup pintu di belakangnya dan memberi waktu dirinya beradaptasi dengan minimnya cahaya. Hanya tiga puluh detik hingga Indra perlahan bisa melihat sosok yang terbaring di kasur dengan jelas.

Tidak seperti kepribadiannya yang heboh dan suaranya yang lantang, saat tidur Gaska bahkan tidak mendengkur. Suara nafasnya sangat ringan.

Indra duduk di pinggir kasur perlahan, tidak ingin mengusik Gaska sebelum berhati-hati membaringkan tubuhnya. Indra lalu mencoba memejamkan mata untuk sesaat sebelum otot-otot kakinya mulai kesemutan menahan posisi tubuh yang tidak nyaman.

Dengan berat hati, Indra menepuk pelan pundak Gaska.

"Gaska, geser sedikit..nggak cukup.." ujar Indra.

Gaska mengerang pelan sebelum bergeser ke dinding. Indra yang bisa berbaring dengan lebih nyaman, memiringkan badannya membelakangi Gaska sebelum tangan Gaska menyelinap, memeluknya dari belakang. Indra yang malas protes karena ngantuk berat, terbuai dengan kehangatan dan irama jantung di punggungnya. Tanpa disadarinya, dia menumpangkan tangannya di atas tangan Gaska dan bersandar pada sosok di belakangnya itu.

Sebentar saja Indra sudah terlelap dan hanyut dalam nikmatnya tidur di dekat orang yang dia percaya.

. . .

Indra mulai tersadar saat mendengar bunyi-bunyian keras dan merasakan ada yang bergerak-gerak di dekatnya. Terutama saat dirinya seperti dililit oleh kaki cumi-cumi.

"Selamat pagi, sayang...." Bisik suara serak dan berat itu di telinga Indra.

Seketika itu matanya terbuka dan dia teringat tadi pagi dirinya sendiri yang masuk ke kamar Gaska. Dagu Gaska yang mulai ditumbuhi rambut, terasa kasar dan sedikit geli.

"Mmmmhh...." Indra ikutan menggeliat untuk melemaskan otot tubuhnya yang kaku. Matanya masih mengantuk dan badannya agak lemas tapi jam sudah menunjukkan pukul sembilan dua puluh lima. Sedangkan Pak Ruslan akan datang jam sembilan...

!!!

Semua kantuk langsung hilang dari kepala dan badan Indra seketika itu juga. "Gaska! Seharusnya mereka sudah datang!" Teriaknya panik.

"Ya ampun! Aku belum mandi!"

Indra buru-buru melepaskan diri dari belitan Gaska yang masih santai-santai di tempat tidur.

"Ngapain buru-buru. Biar mereka menunggu sebentar kenapa...?" Gaska masih belum rela pagi mereka bangun bersama terganggu. Harusnya ada sedikit 'quality time' bersama.

Indra menjotos lengan Gaska. "Apa maksudmu?! Ini bukan saatnya..."

Kata-kata Indra hilang saat pintu kamar Gaska dibuka dari luar. Disana, berdiri Surya, Pak Ruslan dan mamanya Surya.

"Mereka ada disana.." ujar Surya sambil mengayunkan tangan.

Indra merasa tubuhnya dingin seketika dan tidak bisa bergerak melihat Pak Ruslan yang berwajah pucat dan wanita itu, Nadia, wajahnya semakin merah.

"Ngapain kamu bawa mereka kesini, Surya?" Protes Gaska yang cuek dan malah mau menutupi badan mereka berdua dengan selimut. "Suruh tunggu diluar. Dasar ga sopan, masuk kamar orang ga pake permisi..."

Indra yang kehabisan kata-kata mendorong wajah Gaska menjauh dan berusaha bangun.

"Hah!! Nggak cuma berani ngrampas harta orang! Dasar nggak tahu malu kamu mempengaruhi anakku juga!!" Bentak Nadia.

"Kalian... Ayah tunggu di bawah..." Ujar Pak Ruslan sambil berusaha menarik istri keduanya yang masih histeris.

"Lepaskan, Pa!! Si Kurang Ajar Ini Sudah Merusak Gaska! Entah akal bulus apa lagi yang ada di kepalanya!! Biar aku hajar dia!!"

"Ayo, turun dulu... Biar mereka berpakaian dulu..." Pak Ruslan sudah menjauh tapi suaranya masih bisa terdengar jelas diantara teriakan Bu Nadia.

Saat itu barulah Indra sadar kalau kaos yang dipakainya saat tidur sudah nggak ada dan ada bercak-bercak merah hasil perbuatan Gaska di dadanya.

"Gaska!!!" Indra memukuli tubuh Gaska yang hanya memakai selimut. "Apa yang kamu lakukan!! Dasar sinting!!"

"Apaan, toh mereka juga nantinya tahu sendiri...apa bedanya tahu sekarang atau nanti..." Gaska berusaha menangkap kepalan Indra yang terarah padanya.

"Dan kamu, Bocah! Pergi sana!" Gaska mengusir Surya yang masih berdiri di dekat pintu.

"Ogah, ah. Aku mau nunggu Mas Surya."

Indra yang kehabisan kesabaran dan tenaga menatap Gaska dengan kesal saat tidak ada pukulannya yang kena. "Kamu! Kalau nggak segera siap-siap dan turun, aku cuma akan pergi berdua dengan Surya!"

"Jangan begitu, Sayang!! Ajak aku juga!! Apa kamu ga lihat gimana marahnya mamaku?!" Teriak Gaska yang langsung lompat dari kasur dan akhirnya memakai sesuatu selain selimut.

"Diam!! Jangan Panggil Aku Sayang!!" Balas Indra yang wajahnya masih merah karena malu setengah mati. Setidaknya mereka sudah tidak perlu mencari cara meyakinkan orangtua mereka kalau dia dan Gaska punya hubungan lebih.

Mereka bertiga akhirnya turun setelah beberapa menit kemudian. Indra duduk di sofa ruang tengah, di antara Gaska dan Surya. Sedangkan Pak Ruslan dan Bu Nadia di sofa yang bersebrangan. Bu Nadia sudah siap berteriak dan menyerang Indra saat satu tatapan tajam Pak Ruslan menghentikan wanita itu.

Pak Ruslan menghela nafas panjang sebelum memulai percakapan.

"Indra, Ayah membawa mamanya Surya seperti yang kamu minta. Jadi kalau ada yang mau dikatakan, kita bahas sekarang."

"Apa lagi yang perlu dibahas?! Sudah jelas-jelas!! Papa nggak lihat apa yang dilakukan mereka di kamar Gaska?!" Teriak Bu Nadia.

"Nggak cuma merampas harta orang!! Anak pelacur karena ibunya...!!"

"Nadia..." Suara rendah Pak Ruslan menghentikan wanita itu, sebelum dia menatap tajam ke arah Indra.

"Ahm. Benar. Saya merasa tidak nyaman karena terakhir kali Bu Nadia kemari, saya dibilang anak pelacur dan sekarang dibilang perampas harta orang. Sedangkan Pak Ruslan bilang sendiri kalau itu milik saya..."

"Memang benar kamu perampok! Kamu dan Ibumu..!!"

"NADIA!!" Bentak Pak Ruslan yang membuat wanita itu terdiam. "Pembicaraan ini nggak akan selesai kalau kamu terus menyela! Sejak dulu aku juga sudah menyimpankan hak Indra dan Mirna. Jadi itu memang sudah milik mereka."

"Tapi kenapa kamu nggak bilang, Pa?!"

"Karena kamu pasti akan menentang. Semua yang berhubungan dengan Mirna dan Indra pasti membuatmu marah." Pak Ruslan sudah menurunkan lagi nada suaranya.

"Gara-gara anak ini, Surya dan Gaska berani bertingkah," Bu Nadia mencari kesalahan Indra lainnya.

"Saya tidak setuju, Bu Nadia. Gaska dan Surya, saya tidak mempengaruhi mereka. Lagipula mereka, Gaska sudah dewasa dan Surya juga bukan anak-anak lagi yang bisa dipaksa melakukan semua keinginan Bu Nadia."

"Tentu saja bisa!! Aku ibu mereka! Aku yang melahirkan mereka!"

"Karena Bu Nadia yang melahirkan bukan berarti bisa bertindak sewenang-wenang. Apalagi terakhir kali, Bu Nadia sampai menampar wajah Surya..." Indra mengepalkan tangan, berusaha menahan diri agar tidak melompati meja dan menjotos wanita di depannya itu agar sadar dari kesalahannya.

Dia yang baru dua kali bertemu saja sudah sulit menahan emosi, Indra tidak bisa membayangkan berada di posisi Gaska dan Surya yang harus berurusan dengan wanita ini sejak mereka kecil. Hanya karena mereka lahir dari rahim wanita ini.

"Itu karena Surya melakukan kesalahan!!" Bu Nadia terus menyela.

"Selain tindakan kekerasan fisik, Bu Nadia juga sering melakukan kekerasan verbal. Tidak hanya pada Surya tapi juga pada Gaska. Dan Pak Ruslan..." Indra meneruskan seolah tidak mempedulikan kata-kata Bu Nadia yang terus melempar kesalahan.

Pria berumur itu terlihat pasrah dan menerima dengan apa yang dikatakan Indra sejauh ini.

"Dimana Bapak saat Gaska dan Surya membutuhkan Bapak?" Pertanyaan Indra menghujam tepat di jantung pria tua itu. "Saya paham kalau Pak Ruslan sulit menemui saya karena dilarang Ibuk. Tapi bagaimana dengan Gaska dan Surya?"

"Woi! Indra! Aku bukan anak kecil yang perlu kamu bela!" Kali ini giliran Gaska yang menyela. "Aku bisa berpikir sendiri, makanya aku mengajak Surya keluar dari rumah."

"Bu Nadia dengar sendiri, saya baru tahu Gaska dan Surya dua bulan terakhir.. jadi mereka sendiri yang membuat keputusan."

Bu Nadia berdiri dengan wajah merah padam. "Kamu...."

"Saya memang berniat pergi dari sini.." ujar Indra.

"Aku ikut dia," Gaska turut menegaskan.

"Saya berniat mengambil alih hak asuh Surya, kalau dia mau.." Indra kini menatap ke arah Surya yang membelalakkan mata.

"Aku tahu kalau awalnya aku hanya menawarkan kamu tinggal denganku, tapi kupikir lebih baik kalau hak asuhmu kupegang meski cuma beberapa bulan," Indra ingin menjelaskan lagi tapi nanti saja dia berbicara detilnya dengan Surya.

"Kalau Bu Nadia dan Pak Ruslan keberatan, kita bisa menyelesaikannya di pengadilan. Saya punya bukti-bukti yang menguatkan posisi saya nanti." Indra kembali menatap tajam pasangan yang duduk di depannya.

"Kamu..!! Kurang ajar!! Sialan!! Anjing Kamu!! Beraninya Mengancam Aku!!"

Bu Nadia berdiri dan hendak bergerak menerjang Indra tapi sudah lebih dahulu dicegah oleh Pak Ruslan dan Gaska yang berdiri di antara mereka. Pak Ruslan mendekap erat wanita yang berusaha berontak itu. Saat usahanya tidak ada yang berhasil, dia meraih benda yang terdekat, cangkir berisi teh yang dia lemparkan sekuat tenaga ke arah Indra. Namun bukannya mengenai Indra, cangkir yang keras dan air teh yang masih cukup panas itu mendarat di kepala Surya yang gantian menjadi tameng.

"Sudah Cukup Nadia!! Mau Apalagi Yang Akan Kamu Rusak Dengan Tanganmu?! Apa Tidak Cukup Kamu Melukai Semuanya, Kamu Juga Belum Puas Sampai Ada Anakmu Yang Mati?!? HAH?!"

Bu Nadia yang ketakutan melihat darah mengalir dari pelipis Surya dan cara remaja itu menatapnya dengan dingin membuat wanita itu jatuh lemas dan bersimpuh di tempatnya. Air mata perlahan mengalir dari wajahnya.

"Akhirnya berhenti juga. Ayo, Indra, kita pergi sekarang," Gaska menarik Indra yang khawatir dengan luka baru di wajah Surya.

Indra berdiri. "Surya, kamu jadi ikut?"

Tanpa mengatakan apapun, Surya berdiri dan berjalan mendahului Indra dan Gaska.

"Tidak! Maafkan Mama, Surya! Jangan Pergi!" Bu Nadia berusaha menarik kain celana Surya tapi dikibaskan oleh Surya yang berlalu tanpa menoleh. "Surya! SURYA!! Gaska!! Berhenti! Berhenti!!!"

Pak Ruslan duduk lagi di sofa, berusaha menenangkan diri dan mengatur pikirannya. "Kamu pergilah dengan mereka, biar Ayah urus Nadia dan yang lainnya."

Indra mengangguk. Wanita itu masih tetap tampak cantik dalam kekacauannya. Indra berjalan mendekat dan sedikit membungkuk ke arah wanita yang tenggelam dalam kesedihannya dan tidak mempedulikan kehadiran Indra.

Sempurna, pikir Indra. Dia lalu membisikkan sesuatu di telinga wanita itu.

"Kalau aku dan ibuku yang mendapatkan hak milik kami dianggap pencuri, lalu bagaimana denganmu yang jelas-jelas merebut suami orang dengan mengaku-ngaku anak hasil hubungan bersama orang lain sebagai anak ayahku? Belatung menjijikkan...itulah dirimu."

Indra memperhatikan dengan seksama reaksi Bu Nadia yang matanya melotot dan tubuhnya tiba-tiba menegang. Kepalanya lalu berputar ke arah Indra. Kebencian yang dalam terpampang jelas dimata coklat gelap wanita cantik itu.

"Kau..." Desis Bu Nadia pelan.

"Dan, mungkin Ayah belum tahu, tapi Gaska duluan yang mengajak pacaran." Indra berdiri menjauh, dia tidak mau kena cakar wanita histeris di depannya. Tapi dia juga memperhatikan reaksi Pak Ruslan dengan seksama.

"Ayah ingin tahu semuanya tentang dirimu, Nak. Semoga belum terlambat," pria tua itu tersenyum pasrah. Dia senang Indra akhirnya memanggilnya 'Ayah'.

Indra mengangkat kedua bahunya sebelum berjalan keluar menyusul Gaska dan Surya yang sudah menaiki mobil berwarna merah milik Gaska. Indra baru saja membuka pintu ketika dia mendengar jeritan terakhir Bu Nadia.

"Kamu nggak apa, Surya?" Indra tidak peduli pada wanita itu selama dia tidak lagi mengusik apa yang kini jadi milik Indra.

"Segini saja nggak apa, Mas." Jawab Surya sambil nyengir dengan darah yang memerahkan tissue.

"Kemana kita sekarang?" Tanya Gaska yang mengemudi dengan perlahan, keluar dari Kompleks Perumahan Batara.

"Klinik Terdekat!"

"Dia bilang nggak apa..."

"Klinik!!" Teriak Indra.

. . .

Selesai

. . .