"Jadi, apa yang sebenarnya kamu rencanakan ?" Tanya Gaska. Tangannya menekan-nekan punggung Indra.
"Pacaran denganmu. Apa lagi?" Indra tanya balik seolah yang ada dipikirannya sudah jelas buat semua orang. Sesekali dia mendesah saat tangan Gaska mengenai lokasi yang pas.
Tapi Gaska tidak bisa membaca pikiran Indra. Dia tidak punya kekuatan super.
"Bagaimana bisa pacaran denganku menjadi balas dendam? Itu namanya membalas perasaanku, " Gaska menebar rayuan gombal yang membuat alis Indra berkedut menahan diri tidak menjotos Gaska.
"Mamamu benci aku, jadi lihat kamu pacaran dengan aku mana bisa dia bahagia."
Gaska berpikir apakah rencana Indra akan berhasil karena selama ini Mamanya tidak menunjukkan tanda-tanda kasih sayang baik terhadap dirinya maupun Surya. Tapi dia tidak menyuarakan pendapat, karena bila pacaran dengan Indra tidak berhasil memancing Mamanya, Gaska tidak mau Indra langsung minta putus. Setelah susah payah mendapatkan Indra di bawahnya...
"Jadi kamu tetap tinggal disini, kan?" Gaska beralih ke hal lain. Matanya difokuskan ke punggung, Gaska tidak mau terus-terusan dipanggil 'mesum'.
"Nggak. Setelah Mamamu tahu, dia pasti akan marah besar, jadi aku akan langsung kabur." Selesai berbicara, Indra berbalik menghadap Gaska yang tengah duduk di samping.
"Sejauh mana kamu bisa menunjukkan ke Mamamu kalau kita pacaran?" Indra menatap Gaska dengan mata coklat gelap yang menunjukkan keseriusannya.
Gaska menimbang kata-kata yang akan diucapkan agar Indra tidak salah paham.
"Di satu sisi aku ingin menunjukkan pada semua kalau kita pacaran sedangkan di sisi lain aku tidak mau karena keinginanku, kau ikut menerima komentar miring dan antipati orang. Tidak semua orang siap. Terlebih karena Mamaku orang yang sulit mengendalikan emosinya."
"Yang kamu katakan benar. Tapi kalau hanya gandengan tangan, pelukan, atau ciuman dia tidak akan percaya." Keluh Indra sambil rebahan dan memejamkan mata. Kedua tangannya menutup wajah dari cahaya lampu yang menyilaukan.
"Apa kita bikin video mesum? Orang nggak akan meragukan ada ketertarikan antara kita meski hanya dari segi fisik."
Indra menurunkan tangan, wajahnya langsung berubah antara malah, malu, kaget, kesal. "Jangan berani-beraninya kamu melakukan hal itu."
"Aku pernah lihat video orang yang seolah berhubungan tapi di komentar banyak yang ragu kalau mereka sungguhan melakukannya. Yang diperlihatkan hanya sampai perut, jadi tidak jelas ada penetrasi atau nggak, " Gaska mengangkat bahu. Dia masih tetap pada anggapan kalau sex mengalahkan segalanya.
"Dasar mesum, " ujar Indra sambil membuang muka. Namun pipi dan telinganya yang kemerahan tidak dapat dia sembunyikan begitu saja.
Gaska tersenyum dan rebahan di samping Indra. Sedekat ini, dia bisa mencium aroma khasnya, aroma yang sangat lembut dan hampir tidak berbau tapi tetap membuat perasaannya tenang dan nyaman.
"Malam ini kamu tidur disini?" Tanya Gaska, berbisik di kepala Indra yang masih membelakanginya. Tangannya perlahan merangkul tubuh di depannya itu.
"Nggak, habis ini aku balik ke kamar." Indra balas berbisik.
Karena Indra tidak menyingkirkan tangannya, kaki Gaska ikutan merangkul kaki Indra.
"Hmm... Oke..." Sahut Gaska singkat.
Indra menghela nafas. Kemarin, mereka 'melakukannya' dan saat dirinya berpikir akan lebih mudah menaklukkan Gaska, Indra malah mentolerir hampir semua kelakuan cowok ganteng itu. Dia tahu kalau dirinya bukan seseorang yang pintar tapi Indra tidak menyangka bakal sebodoh ini.
Apakah dia benar ingin menggunakan Gaska hanya sebagai alat balas dendamnya?
Apakah dia hanya mencari alasan, pembenaran agar bisa bebas dalam membalas perasaan Gaska?
Indra tidak mengerti. Baginya, cinta seperti yang dibaca atau dia lihat di televisi adalah sesuatu yang menggetarkan hati dan membuatnya tergila-gila, dan... Selalu ingin bersama setiap saat.
Jadi, yang dirasakannya bukanlah cinta.
Dan Indra memikirkan kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan rencananya. Dia tidak mau berhadapan lagi dengan wanita itu meskipun semakin cepat dilakukan, semakin baik. Mengulur-ulur balas dendam bisa membuatnya gila sungguhan.
. . .
"Indra, kamu punya pacar?" Anya tiba-tiba bertanya saat shift mereka saling silang.
Indra yang tengah mengatur cup plastik berhenti sebentar sebelum melanjutkan. "Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Iya... Beberapa hari ini tampak beda. Kayak orang yang baru nglunasin hutang setelah sekian lama."
Indra spontan tertawa. "Perumpamaan macam apa itu! Tapi iya, baru-baru ini ada yg nglunasin utang ke aku." Lanjut Indra sambil nyengir sebelum ekspresinya menjadi mellow.
"Asiiik, habis ini aku pinjam, ya!"
"Nggak bisa, aku butuh duitnya buat pindah," Indra berkelit.
"Eh?! tapi nggak ada niat buat berhenti kerja kan?" Anya yang terkejut, memekik sebelum menurunkan suaranya sambil berbisik keras.
Indra belum terpikir untuk berhenti kerja. Setelah begitu lama bekerja rasanya aneh jika dirinya tidak melakukan sesuatu, meski jumlah nol di tabungannya meningkat pesat. Sampai saat ini dirinya juga belum berkonsultasi dengan Pak Hendi tentang membuka usaha.
"Sekarang belum, nggak tahu lagi nanti." Jawab Indra.
Anya ikut mengangguk. "Aku juga nggak akan selamanya bekerja disini, tapi sampai saatnya tiba, aku akan tetap disini. Dimana lagi aku bisa kerja bareng cowok-cowok ganteng..hehehe.."
Menjelang jam sembilan malam, Indra sesekali melihat ponselnya. Setelah lebih dari jam sembilan, Indra semakin sering mengecek ponselnya yang hening.
"Ada janji sama orang 'kah, Mas Indra? " Tanya Dian yang ikut gelisah terpengaruh rekan kerjanya.
"Nggak," Jawab Indra spontan meletakkan ponselnya. Namun, belum semenit, dia kembali melihat ke layar ponsel yang tetap hitam.
Dian cuma tersenyum kecil melihat tingkah seniornya yang jelas-jelas menunggu seseorang. Mungkin cowok yang biasanya selalu datang menjemput sebelum mereka pulang bareng.
Sampai akhirnya tutup dan cowok itu belum juga datang. Mood Indra yang jelek terlihat jelas diwajahnya. Terlebih malam itu mereka tutup lebih lambat dibanding biasanya.
"Mau aku anterin, Mas?" Dian menawarkan diri. Dia tahu kalau tempat tinggal Indra dekat jadi tidak masalah memutar sedikit.
"Nggak usah, Dian. Terimakasih. Aku mau sekalian cari angin segar."
Indra berjalan pulang dengan hati yang panas. Seharian ini dia tidak sekalipun mendapat pesan dari Gaska, pria yang mengaku hanya ada Indra dihatinya.
Sebelum berangkat dia tidak berpamitan, tidak seperti hari lain. Awalnya Indra pikir karena sedang ada masalah dengan pekerjaannya. Indra tidak terlalu memikirkannya hingga waktu shift malamnya hampir berakhir.
Gaska yang biasanya selalu mengabari kalau akan datang, atau langsung datang jauh sebelum shiftnya berakhir, masih belum datang juga. Indra yang khawatir terjadi sesuatu padanya, mengirim pesan singkat tapi tidak dibalas. Saat dia mengirim pesan pada Surya, menanyakan apakah kakaknya sudah dirumah, dia hanya membalas dengan satu huruf 'y'.
Rasa capek, khawatir, stress karena harus menyelesaikan urusannya dengan orang tua Surya membuat Indra naik darah.
"Dasar si mulut manis, apanya yang akan melakukan apapun buat aku. Tukang gombal. Tukang rayu!" Indra terus menggerutu sepanjang perjalanan.
Berkali-kali kakinya menendang batu tak bersalah yang kebetulan berdiam disana.
Berjalan selama lima belas menit sedikit meredakan panas di hatinya. Indra berpikir kalau tidak ada gunanya marah kepada Gaska karena dirinya sendirilah yang membiarkan Gaska masuk dan menempati salah satu ruang di hatinya.
Sambil menutup pagar, Indra mulai merencanakan apa yang dia lakukan kalau ketemu Gaska nanti. Pura-pura cuek atau langsung mendamprat pria itu.
Indra membuka pintu ke arah dapur dan terkejut saat rumah yang tadinya gelap tiba-tiba terang benderang, disertai bunyi ledakan kecil dan semburan bunga api.
"KEJUTAN!!! Selamat Ulang Tahun!!!" teriak Surya dan Gaska bebarengan.
Surya membawa kotak yang dibungkus kertas kado sedangkan Gaska membawa kue tart. Ketika Indra berjalan mendekat dengan wajah masam dan mata berkaca-kaca, Gaska dan Surya yang gelisah jadi saling berpandangan, bertanya apa yang salah.
"Jangan.. jangan gini caranya kalau mau bikin kejutan..." Suara Indra yang serak makin membuat Surya dan Gaska khawatir.
"Maaf, Mas Indra. Kami nggak bermaksud bikin Mas Indra sedih." Ujar Surya yang langsung memeluk Indra dan menepuk punggungnya.
"Maaf, Indra, aku nggak tahu kamu bakal nangis," Gaska yang berjalan mendekat dipelototi oleh Indra.
Perasaan Indra yang masih campur aduk, membuat hatinya sakit tapi juga lega. Ternyata mereka tidak benar-benar membenci dirinya.
"Sudah, Mas Indra, jangan sedih lagi... Nih, aku nyiapin kado buat Mas Indra," Surya mencoba mengalihkan perhatian.
"Iya, dibuka kadonya," Gaska ikut menimpali. "Atau kamu mau makan kue dulu?"
Indra memegang kado yang diberikan Surya. Kotak persegi panjang yang tidak berbunyi saat dia mengocak isinya. Surya hanya menjawab dengan senyum saat Indra bertanya lewat pandangan matanya. Penasaran, Indra membuka perlahan kertas pembungkus yang paling luar.
Indra sedikit terkejut melihat kotak sarung di tangannya. Dari yang dia tahu, sarung dengan merek ini punya harga yang fantastis, hingga jutaan rupiah...
"Terimakasih, Surya. Aku suka hadiahnya!"
"Hahaha, untunglah. Aku sempat bingung mau kasih apa."
"Tapi ini kan mahal, beneran nih?!" Indra bertanya masih tidak percaya. Motif dan kombinasi warna yang indah membuat mata Indra sulit lepas dari karya seni yang ada di tangannya itu.
"Yang penting Mas Indra suka hadiahnya. Lagian harganya nggak seberapa dibanding kehadiran Mas Indra disini," Ujar Surya yang membuat Indra tersipu malu.
"Sekali lagi, selamat ulang tahun, Mas Indra. Semoga panjang umur." Surya sekali lagi memeluk Indra sebelum berjalan menjauh. "Maaf aku nggak bisa nemani merayakan. Besok masih sekolah."
"Makasih, Surya." Indra menepuk lengan Surya sebagai rasa terima kasihnya.
Baru setelah Surya berjalan ke lantai dua, Gaska berjalan mendekat.
"Apa?" Tanya Indra, nadanya langsung tinggi dan tidak bersahabat.
"Kenapa kamu cuma marah ke aku? Padahal aku kan berusaha keras..." Protes Gaska yang suaranya makin lama makin mengecil. "Maaf, Indra. Kamu jangan marah lagi, ya..."
Indra memukul pundak Gaska.
"Kamu nggak tahu seberapa kuatirnya aku! Kalau terjadi apa-apa sama kalian bagaimana?! Apa kamu lupa kalau sekarang aku cuma punya kalian?!" Bentak Indra, dia berusaha agar suaranya tetap tidak sampai mengganggu Surya.
Gaska terkejut, untuk sesaat dia lupa keadaan yang dijalani Indra sebelum akhirnya tinggal bersama mereka. Hanya untuk memenuhi keinginannya membuat kejutan bagi Indra, dia malah melupakan hal yang penting. Dia langsung mendekap Indra.
"Maafkan aku, aku...aku tidak berpikir panjang..." Gaska menciumi ubun-ubun Indra yang masih memukul-mukul dadanya dengan pelan. "Aku nggak akan mengulangi ini lagi, oke?"
Emosi Indra yang akhirnya reda, membiarkan dirinya merasakan hangatnya berada dalam pelukan Gaska. Di depannya, dada bidang Gaska yang lebar memberi tempat untuknya bersandar. Tangan yang menopang punggungnya, menjanjikan Indra tempat berlindung yang aman.
"Aku tadinya mau memberikan kado dariku setelah makan kue tapi mungkin sekarang lebih baik." Gaska menangkup wajah Indra di antara kedua telapaknya.
Wajah Indra yang masih ada sisa-sisa kesedihan kini berisi tanda tanya.
"Ada di kamarku. Aku nggak keberatan kalau orang lain tahu tapi aku nggak tahu apa yang akan kamu pikirkan."
Gaska menggenggam jemari tangan Indra lalu menariknya pelan. Indra yang mengikuti di belakang, tidak tahu hadiah apa yang sudah disiapkan Gaska. Gaska yang sulit ditebak dan selalu serius dalam candanya. Indra jadi sedikit merasa takut.
Di dalam kamar, Gaska menunjukkan hadiahnya yang berada di atas meja. Sebuah kotak berwarna biru gelap yang berukuran cukup besar dan berat saat diangkat. Berbeda dari hadiah Surya yang dibungkus kado, kotak ini memiliki lubang kunci.
"Bukalah, aku harap kamu suka isinya." Ujar Gaska sambil memeluk Indra dari belakang.
Indra mengambil anak kunci yang terletak di meja, memasukkan lalu memutar sampai terdengar bunyi cklik. Perlahan dan dengan ketar ketir, Indra mengangkat tutupnya.
Di dalam kotak itu terdapat sesuatu semacam sabuk dari kulit. Indra mengangkat benda berwarna hitam itu. Lebarnya tidak lebih dari lima senti dan panjangnya hanya sekitar empat puluh senti, yang pasti tidak cukup untuk pinggangnya. Dan lagi, ada rantai berwarna senada yang membuat Indra enggan menyentuhnya.
"Apa ini?" Indra memiringkan kepalanya ke arah Gaska.
"Ini hadiah buat kamu, tapi aku yang pakai." Pernyataan Gaska tidak membuat Indra lebih mengerti maksud pria yang lebih tinggi darinya itu. "Kemarikan."
Indra menyerahkan sabuk kulit itu pada Gaska. Gaska memasang sabuk tadi di lehernya sebelum menyambungkan rantai tepat di tengah. Dia lalu memberikan ujung rantai yang bebas ke tangan Indra yang berdiri bengong.
"Di kalangan tertentu, rantai ini menunjukkan bukti kepemilikan. Dan kamu, Indra, kamu memiliki aku." Gaska menatap mata Indra yang tidak berkedip memandangnya.
"Aku pikir ini bisa dipakai untuk meyakinkan Mama."