Chapter 22 - 22. 'Love'

Indra senang melihat Gaska berdiri disana. Sosok yang familiar di tengah orang asing yang tidak dikenalnya dalam urusan yang sama asingnya bagi Indra.

"Ngapain Papa ada disini?" Tanya Gaska sengit sambil berjalan ke arah Indra. "Siapa yang tanggung jawab kalau Mama hilang kontrol lagi?"

"Kamu nggak apa?" Bisik Gaska sambil duduk di sebelah Indra.

"Iya, aku nggak apa," Indra balas berbisik.

Pak Ruslan menghela nafas panjang. Bu Yuli di sebelahnya diam mengamati keadaan.

"Gaska, tolong yang sopan. Ada tamu. Maaf, Bu Yuli, kata-katanya kasar tapi Gaska anak yang baik." Pak Ruslan berusaha menengahi.

"Iya, santai saja, Pak. Saya Yuliati, notaris yang mengurus surat tanah atas nama Mas Indra."

Mendapat informasi penting itu, Gaska kembali menoleh ke arah Indra. "Punya Ibumu sudah dikasihkan juga?"

"Sudah," jawab Indra singkat.

"Nggak sekalian ganti nama? Minta Papa yang bayarin pajaknya sekalian."

Pak Ruslan mengiyakan sementara Indra tidak banyak menanggapi.

"Apa ada yang lain?" Tanya Gaska lagi ke Pak Ruslan. Matanya masih setengah melotot.

Wajah Pak Ruslan berubah cerah. "Iya, masih ada aset-aset lain yang menggunakan nama Indra. Selain serah terima secara hukum, Ayah rasa perlu juga bagi Indra untuk datang ke lokasi agar dia tahu langsung."

Gaska melirik ke arah Indra yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tangannya masih memegang nampan yang dia letakkan di pangkuannya.

"Kalau begitu aku rasa hari ini cukup disini dulu," potong Gaska. "Indra bisa melihat lokasi dan mengurus surat-surat lainnya saat dia siap."

Pak Ruslan yang bingung karena Gaska tiba-tiba menyela waktu berharganya dengan Indra, membuka mulut. "Tapi kami baru saja sampai. Kemarin juga Ayah hanya bisa bertemu sebentar dengan Indra."

"Kemarin?" Gaska bergumam sebelum dia teringat kejadian sehari yang lalu.

"Iya, kemarin Ayah bertemu Indra di bank. Indra meminta agar uangnya diberikan," Pak Ruslan menjelaskan dengan gembira. Karena itu dia tidak mengerti kenapa wajah Gaska semakin garang.

"Apa Papa tahu kalau keadaan Indra tidak baik setelah bertemu Papa?" Gaska berusaha berbicara dengan nada terkontrol. Dia tidak ingin Indra melihatnya sebagai pria tempramen dan ugal-ugalan.

"Belum lagi tadi pagi Mama datang dan marah-marah nggak jelas," Gaska melanjutkan tapi saat Indra memegang tangannya, Gaska langsung berhenti.

Pak Ruslan terlihat sedih dan terkejut. "Ayah... Ayah tidak tahu... "

"Maaf, mungkin karena terlalu senang akhirnya bisa ketemu Indra." Pak Ruslan melanjutkan dengan suara yang lebih pelan.

Duduk di antara keluarga yang sedang berselisih dan saat suasana buruk, Bu Yuli mengambil cangkir teh dan menyeruput isinya. Dia tidak ingin salah bicara dan memicu hal yang tidak perlu.

Kembali menguasai diri, Pak Ruslan lalu berdiri. "Baiklah, Bu Yuli, Indra.. Nanti saya hubungi Ibu lagi."

Bu Yuli tersenyum, "Baik, Pak. Silahkan. Kapan saja Pak Ruslan dan Mas Indra perlu, silahkan hubungi saya."

Pak Ruslan mengantar Bu Yuli keluar dengan Gaska berjalan di belakang mereka.

"Kamu disini dulu? Aku pastikan mereka semua pergi." Tanya Gaska.

Indra yang tidak ingin berurusan dengan siapa-siapa, mengangguk.

Hatinya lebih lapang setelah kedua orang yang asing baginya itu pergi. Siapa yang menyangka menerima kekayaan akan membuatnya stress seperti ini..

Seolah-olah..

Seolah-olah..

Seolah-olah dia menukar semua penderitaannya selama ini dengan sejumlah uang. Perjuangan yang Indra dan Ibunya lakukan dalam menjalani hari-hari mereka seperti dijual dan dihapus dengan harta yang didapatkannya.

Indra berpikir apakah Pak Ruslan seperti yang disangkanya. Bahwa orang itu beranggapan dengan Indra meminta uangnya berarti dia telah membuka hati untuk menerima kehadiran seorang ayah.

Kini Indra memahami bahwa masih sulit baginya menerima keberadaan orang itu dan pemberiannya. Apa yang dipikirkannya selama ini ternyata keliru. Dengan mendapat banyak uang dia tidak semerta-merta bahagia. Rasanya berbeda dibanding saat Indra mendapat uang itu dari Gaska.

*Benar..*

*Dirinya yang sejak kecil selalu merindukan sosok ayah telah hilang semenjak Ibu sakit.*

Gaska masuk beberapa saat kemudian. Wajahnya yang tampak kesal berusaha dihilangkannya saat melihat Indra.

*Kebingungannya mencari sandaran telah membuatnya hilang akal.*

Gaska mendekat lalu kembali duduk di sebelah Indra. Di sentuhnya wajah bulat dengan mata lebar yang tengah berbalik menatapnya. Ada sesuatu yang berbeda di mata coklat gelap itu.

*Dan kebencian yang tumbuh, berkali-kali mendorongnya ke tepi untuk membalas dendam.*

"Kamu bagaimana? Benar sudah baikan atau perlu istirahat lagi?" Tanya Gaska cemas.

*Indra tersenyum kecil. Dia tidak akan ragu lagi. Target sudah terkunci dan Indra sudah menemukan cara.*

"Gaska, kamu pernah bilang akan bantu aku balas dendam."

Gaska mengangguk. "Iya, Mama dan Papa nggak cuma berlaku nggak adil padamu. Mereka juga nggak adil pada aku dan Surya."

"Aku mau dengar pendapatmu." Ujar Indra serius.

Gaska memusatkan perhatiannya pada Indra. Sejak mereka saling mengenal, baru kali ini Indra meminta bantuannya. Dan bukan untuk hal yang sepele. Dia tidak akan menolak meski Indra memintanya untuk memindah perawatan mamanya ke tempat terpencil.

. . .

Mata Gaska bergerak ke sosok yang tengah berdiri di belakang meja kasir. Indra memakai seragamnya yang biasa, kemeja putih lengan panjang dan celana panjang hitam dengan celemek kecil berwarna hitam yang menggantung di pinggangnya.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh malam dan kafe masih cukup ramai. Waktu tidak mau cepat berlalu hanya karena Gaska menginginkannya. Setelah berhari-hari berjalan di atas duri, Gaska bisa memahami keputusan yang diambil Indra. Dirinya juga sering melampiaskan kepenatannya setelah menyelesaikan proyek besar.

Walau Gaska mengakui bahwa cara yang diambil Indra cukup mengejutkannya. Bahkan sampai saat ini Gaska tidak yakin telah mendengar permintaan Indra dengan benar. Gaska juga tidak akan terlalu menyalahkan seandainya Indra berubah pikiran nanti.

Gaska hanya perlu mempersiapkan apa saja yang sekiranya nanti mereka butuhkan. Dirinya sudah mencari referensi dan mencari info dari sumber yang terpercaya dalam waktu singkat sejak Indra mengutarakan pemikirannya tadi.

Menghela nafas panjang, Gaska menatap jengkel ke arah gelas minumannya yang masih separuh. Dia mengulang lagi dalam benaknya, jangan sampai ada persiapan yang terlewat.

Hanya tinggal Indra.

Tinggal kesiapan diri Indra.

. . .

Shift malam itu cukup sibuk bahkan dengan bantuan Pak Hendi dan Dian. Para pengunjung masih ada yang datang meski sudah mendekati jam sepuluh dan duduk ngobrol di dalam ruangan. Indra baru bergerak membersihkan setelah Pak Hendi memberi komando, sementara Bossnya itu meminta pembeli pindah ke tempat duduk di luar.

Di antara mereka yang keluar termasuk Gaska, yang langsung menuju mobil di parkiran.

"Indra, kemarin kata Dian kamu sakit." Kata Pak Hendi yang membantu membersihkan counter.

"Hari ini sudah baikan, Pak," sahut Indra.

"Hmm, setelah buang sampah nanti langsung pulang saja. Sisanya biar aku dan Dian yang bereskan."

Terkejut tapi senang, Indra tersenyum. "Nggak apa, Pak. Tinggal sedikit lagi selesai. Nanggung kalau pulang duluan."

"Kasihan temanmu, sudah nunggu dari tadi." Pak Hendi menunjuk ke arah mobil Gaska. "Dia pasti kuatir. Nanti kalau kamu sudah sehat, mau buka sampai tengah malam juga boleh."

"Baik, Pak. Terimakasih, Pak."

Indra tidak membantah lagi kata-kata atasannya.

Setelah menyelesaikan tugas, berganti baju dan pamit, Indra berjalan ke arah mobil yang langsung menyala. Didalam Gaska sudah siap mengemudi dengan sabuk terpasang dan tangan di kedua kemudi.

"Nggak naik motor?" Tanya Indra sambil duduk di sebelah Gaska.

"Aku nggak mau kamu sakit," ujar Gaska sambil menyerahkan kantong plastik ke arah Indra.

Indra melihat isi kantong. Barang-barang di dalamnya asing buat Indra. Dia hanya pernah melihat sekilas saat berbelanja di mini market atau apotek. Dari berbagai macam barang, Indra mengenali strip obat anti nyeri.

Sebentar saja mereka sudah sampai di rumah. Indra masuk selagi Gaska memasukkan kendaraan dan mengunci gerbang.

Saat naik ke lantai dua, Indra berhenti sesaat. Kamarnya dan Gaska berada di sayap kanan sedangkan kamar Surya di sisi kiri. Ada ruang keluarga di tengah tapi Indra tidak tahu apakah Surya akan bangun di tengah malam atau berjalan-jalan berkeliling rumah.

Indra ingin ada untuk Surya saat remaja itu membutuhkannya. Namun saat ini dia tidak dalam kondisi yang baik dan membutuhkan Gaska untuk itu.

Semakin cepat urusan ini selesai, Indra berharap ketenangan akan segera datang dalam kehidupan mereka.

Setelah banyak pertimbangan, Indra membuka pintu kamar Gaska dan menyalakan lampu. Tidak mau banyak berpikir, Indra meletakkan kantong plastik yang diterimanya tadi di atas tempat tidur agar mudah terlihat sebelum melanjutkan langkahnya memasuki kamar mandi.

Gaska menaiki anak tangga ke lantai dua dengan perlahan. Dia tidak suka dengan tangannya yang tiba-tiba terasa dingin dan kaku. Dia sudah dewasa, bukan lagi anak kemarin sore yang tidak tahu tentang dunia.

Meski begitu, dia tetap gelisah dan masih menunduk sampai Gaska melihat pintu kamarnya yang terbuka. Menghela nafas yang tanpa sadar ditahannya sejak tadi, Gaska menggerakkan jari dan telapak tangan untuk mengurangi rasa tegang dalam dirinya.

Setelah yakin, Gaska membuka pintu dan melangkah masuk. Matanya sekilas tertuju pada kantong yang beberapa isinya tercecer di atas kasur. Salah satunya adalah kotak persegi kecil dengan gambar hati berwarna merah darah bertuliskan 'love'.

Love...

Gaska memutar matanya ke atas, menurut pendapatnya, kata yang tepat adalah 'passion'. Karena itu, tanpa ragu dia mendorong pintu kamar mandi yang tidak terkunci dan berjalan masuk. Ke tempat dimana Indra sudah menunggunya.

.

.