Chereads / Kau Curi Milikku, Milikmu Kucuri (BL) / Chapter 21 - 21. Label Harga

Chapter 21 - 21. Label Harga

Gaska berangkat kerja setelah dibujuk oleh Indra, berharap agar pergantian suasana akan membuat hatinya membaik. Sedangkan Surya, Indra menghubungi pihak sekolah kalau keadaannya tidak memungkinkan untuk ke sekolah.

Membawa kompres air dingin, Indra mengetuk pintu kamar Surya sebelum masuk.

"Didalam mulut gimana? Ada yang sobek apa nggak?" Tanya Indra yang duduk di depan Surya.

"Kayaknya nggak ada," jawab Surya setelah beberapa saat.

"Aku nggak tahu kalau depresi mamamu sampai melukai kamu." Komentar Indra sambil menempelkan kain dingin ke pipi Surya yang mulai berubah merah gelap.

"Akhir-akhir ini aku jarang berkomunikasi dengan Mama, mungkin karena itu dia marah.." Surya tersenyum pahit.

"Tetap saja, itu nggak bisa dijadikan alasan buat menyakiti kamu sampai begini."

"Maaf, ya, Mas Indra... Mama jadi tahu kalau Mas Indra tinggal disini dan ikut kena marah."

Permintaan maaf Surya mengagetkan Indra.

"Mamamu memang sakit, tapi bukan berarti kamu salah, Surya," Indra memegang wajah Surya agar fokus padanya. "Yang terjadi bukan salahmu. Dalam hidup ada banyak hal yang nggak bisa kita kendalikan."

"Jadi nggak ada yang perlu dimaafkan, oke?" Indra memastikan remaja yang duduk di depannya itu paham.

Surya mengangguk pelan.

Surya masih tenggelam dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Mungkin penyebab beberapa hari ini dia bertingkah aneh ada hubungannya dengan wanita itu. Indra sedikit ragu untuk memulai, tapi akhirnya dia duduk di sebelah Surya.

"Waktu Ibuk sakit, aku... Aku pikir waktu itu keadaan sangat sulit. Yang ada di pikiranku cuma kerja, kerja, kerja, uangnya buat pengobatan Ibuk. Kerja sambil mengurus orang sakit itu nggak gampang.."

Indra mengeluarkan nafas panjang. Dia tidak suka mengenang masa-masa sulit itu karena hatinya kembali terasa berat.

"Aku.. pikir itu sudah sulit, tapi waktu Ibuk nggak ada.." suara Indra tercekat dan dia tidak bisa berbicara lagi.

Surya yang tadinya duduk mendengarkan, kini ganti menggenggam tangan Indra.

"Haha... Padahal aku mau menghibur kamu," Indra berusaha tertawa tapi air matanya malah menetes.

Spontan Indra mengusap pipinya. Dia kembali berusaha mengatakan hal yang masih terasa pahit baginya.

"Setelah Ibuk nggak ada, rasanya seperti nggak percaya... Aku.. Aku seperti orang linglung. Waktu itu sempat ada pikiran yang nggak-nggak, jadi... Aku nggak berani pulang. Aku kuatir kalau sendirian di rumah nanti aku akan melakukan hal nggak baik..."

"Berhari-hari aku di rumah ibadah sampai seseorang menyarankan untuk berkonsultasi dengan psikiater..." Indra bersyukur saat itu dia melakukan apa yang disarankan oleh orang itu.

"Masalahku memang nggak langsung selesai. Ibuk tetap meninggal dan aku masih disini... Aku belajar untuk menghadapi semua satu per satu... Jadi intinya, Surya.." Indra mengalihkan dari dirinya. "Kamu nggak harus menghadapi semuanya sendiri sekarang juga.. Dan meski gagal, kamu sudah berusaha."

"Kamu punya aku dan Gaska... Dan Papamu.. Meski kita baru ketemu, aku nggak suka lihat kamu sedih. Aku yakin yang lain juga..."

Surya tidak mengatakan apa-apa. Tapi dari bibirnya yang bergetar dan matanya yang berkaca-kaca saat menatap Indra, Indra yakin maksudnya telah tersampaikan dengan baik.

Ditepuknya pelan pundak remaja itu, untuk memberinya semangat.

. . .

Indra kembali ke kamarnya dengan hati yang lebih lega. Dia hendak menghubungi Pak Ruslan saat dia melihat ada pesan masuk dari pria itu.

-Nak, bagaimana keadaan kalian?-

Indra ingin bertanya balik, menurut dia bagaimana? Bukankah dia lebih mengenal mereka bertiga dibanding Indra. Tapi Indra menahan diri. Tidak perlu memancing perkara saat suasana sudah keruh begini.

-Surya dan Gaska sudah baikan-

Setelah mengirim pesan itu, Indra baru terpikir bahwa Gaska mau berangkat ke kantor bukan berarti dia sudah lebih tenang. Bisa jadi dia seperti dirinya dahulu, menahan perasaannya sampai dia tidak bisa menahan lagi hingga akhirnya berbalik membahayakan diri sendiri.

Rrrr...

Indra langsung menelepon Gaska tanpa pikir panjang.

-Iya, Indra- sahut suara di seberang, Gaska masih belum terdengar baik.

-Hei, Gaska... Surya sudah baikan sekarang-

-Hmmm, syukurlah...- Gaska lalu mengeluarkan nafas panjang. -Kasihan anak itu. Dia masih nggak bisa ketemu Mama-

-Iya, pipinya juga nggak separah kelihatannya-

-Mmmm..- balas Gaska singkat sebelum keduanya kehabisan topik untuk di bahas. Namun tidak ada yang ingin segera memutus telepon yang tengah tersambung.

-Kamu juga...- Indra memulai lagi. Dia tidak ingin yang akan dikatakannya terdengar membual.

-.. Kamujugapunyaaku.- Indra mengatakannya dengan cepat.

-Huh? Kamu bilang apa?- tanya Gaska tidak paham.

Indra menutup mata. Dia kembali meyakinkan diri kalau yang dilakukannya adalah demi Gaska, jadi tidak perlu malu.

-Kamu bilang kalau aku punya kamu dan Surya 'kan?- Indra memulai lagi.

-Sama, kamu juga punya Surya dan aku!- Indra tidak tahu kenapa suaranya semakin tinggi hingga berteriak di akhir.

Gaska tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada yang bisa Indra dengar dari ujung sambungan di seberang.

-Gaska? Halo, Gaska?- panggil Indra tidak yakin.

-Hei, Indra?- panggil Gaska lirih.

-Iya? Ada apa?-

-Aku nggak bisa fokus di kantor jadi aku akan pulang. Segera.-

Indra tidak bisa memaksa Gaska tetap di kantor kalau dia memang tidak mau tapi... -Kalau keseringan bolos nanti kamu bisa dipecat loh-

-Nggak apa, kamu kan sudah kaya. Nanti aku akan menggantungkan diri padamu.- ujar Gaska dengan nada bercanda lalu menutup sambungan.

Indra menjauhkan ponsel dari telinganya. Matanya tertuju pada layar yang telah menghitam. Gaska terdengar sudah lebih baik dibanding saat mereka mulai berbicara. Tapi pembicaraan mereka berbelok ke arah yang membuat hati Indra berdebar dan perutnya terasa ringan. Padahal yang dikatakannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakannya pada Surya.

Dan untuk suatu alasan yang tidak diketahuinya kenapa, Indra merasa malu mengatakan hal itu pada Gaska. Rasa malu yang datang terlambat ini, dan dirinya yang menantikan kedatangan Gaska... Indra tidak ingin memberi label nama pada perasaannya.

. . .

Bel rumah berbunyi untuk pertama kalinya.

Awalnya Indra mengira itu suara bel rumah tetangga karena terdengar jauh. Sesaat kemudian ponselnya berdering. Indra tidak ingin mengangkat karena dari orang itu, Pak Ruslan.

-Halo- jawabnya malas.

-Nak, ini Ayah ada di depan. Tolong bukakan pintu.-

Indra heran karena pemilik rumah malah minta dibukakan pintu. Barulah saat itu Indra ingat kalau dia memasang pengaman tambahan di gerbang dan pintu lain. Dia tidak ingin wanita itu menyelinap masuk rumah dan membuat keributan lagi.

-Iya, aku turun-

Karena ukuran rumah yang besar, perlu waktu bagi Indra berjalan sampai ke depan. Dia bukannya sengaja ingin mengulur waktu karena tidak ingin bertemu pria itu sekarang.

Di samping Pak Ruslan, berdiri seorang wanita berhijab yang membawa tas lebar.

"Indra, ini Bu Yuli. Bu Yuli, ini anak saya."

Bu Yuli mengulurkan tangan sambil tersenyum, Indra membalas jabat tangannya. "Selamat pagi, Mas."

"Selamat pagi."

"Hari ini kita ada janji di tempat notaris, Bu Yuli. Tapi setelah tadi pagi, Bu Yuli bersedia datang," Pak Ruslan menjelaskan singkat.

Indra lalu mempersilahkan mereka masuk. Karena sudah biasa lewat pintu dapur, Indra spontan menyuruh mereka lewat dapur sebelum ke ruang tamu. Setelah meminta mereka duduk, Indra kembali ke dapur untuk membuatkan minuman.

"Silahkan," ujar Indra sambil meletakkan dua cangkir teh hangat di depan mereka.

"Terimakasih, Mas."

"Bu Yuli, sekali lagi terima kasih banyak, bersedia datang. Ini surat tanah atas nama mendiang istri saya mau saya berikan pada anak saya. Terserah nanti mau dibalik nama pakai namanya atau tidak.." Pak Ruslan menjelaskan sebagian permasalahan.

"Kalau yang ini sudah atas namamu, Nak," Pak Ruslan menyodorkan map berwarna putih, di dalamnya terdapat dokumen dengan warna hijau muda.

Indra melihat keterangan di dalamnya yang menyebutkan pemilik, lokasi, luas dan bentuk tanah yang dimaksud. Dia berusaha untuk tidak terkejut setelah mendapat uang ratusan juta rupiah kemarin. Namun, ukuran tanah tetap membuat dada Indra berdebar kencang. Tanah miliknya berukuran tidak kurang dari seribu meter persegi, sedangkan atas nama ibunya berukuran jauh lebih besar lagi.

"Bu, saya nanti tolong dibantu membuat surat keterangan kalau memang Indra ini anak Bu Mirna. Kemarin Bu Made dari bank xXx bilang kalau..."

Bu Yuli dan Pak Ruslan bercakap-cakap tapi perkataan mereka tidak sampai pada Indra. Matanya tertuju pada angka yang tercatat disana.

Pikirannya lalu melayang, bertanya-tanya apa yang menyebabkan Ibu menolak semua pemberian Pak Ruslan?

Kalau Ibu mau menerima sebagian saja, Indra yakin beliau tidak akan sakit karena kelelahan dan bekerja terlalu keras. Bahkan bisa saja hidup mereka tidak jauh beda dengan Gaska dan Surya.

Lebih dari itu, ada bagian dari dirinya yang terasa aneh. Pada keadaan biasa, seseorang akan senang mendapat kekayaan tak terduga. Jumlahnya pun tidak main-main, uang di rekening dan aset-aset sudah tembus satu miliar.

Tapi Indra tidak merasa senang sama sekali.

Dadanya yang berdegup kencang, mengingatkannya lagi akan kebencian yang mendalam.

Kenapa dia merasa benci, tanya Indra dalam hati.

"Apa ini?!" Suara yang tiba-tiba menggelegar di ruang tamu itu membuyarkan pikiran Indra.

Indra dan yang lain, terkejut, memandang ke arah dapur dimana Gaska berdiri dengan wajah marah dan tangan mengepal.

.

.