Tidak lama setelah mendapat nama pria itu, Ruslan, Ibu kepala cabang, Bu Made, muncul. Keduanya saling sapa dan berbicara dengan akrab seperti kawan lama. Indra yang mendengarkan dari samping, merasa aneh berada di antara mereka. Mendengar hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.
"Kalau begitu, saya pinjam KTP-nya, Mas."
Proses selanjutnya lebih kurang sama seperti saat Indra berada di bank bersama Gaska. Sehingga Indra meminta agar dibuatkan rekening baru atas namanya. Setelah selesai, ketiganya memastikan bahwa dana yang ada sudah dipindahkan ke rekening yang baru. Saat itu, Indra sedikit terkejut melihat nilai rupiah yang mendekati lima ratus juta.
"Ini sekalian, Bu Made," Pak Ruslan mengeluarkan buku kecil tipis.
Bu Made yang menerima, memeriksa sebentar, "Ini juga mau di transfer ke rekening yang baru?"
"Iya," jawab Pak Ruslan singkat.
Indra diam, tapi matanya yang mengarah ke Pak Ruslan punya tanda tanya besar.
"Ini tabungan pendidikan. Untuk keperluan sekolah dan penunjang lainnya."
Bu Made kembali menunjukkan bukti setelah proses pemindahan kedua selesai. Indra sangat terkejut saat nilai akhirnya melebihi satu miliar.
"Apa masih ada yang lain yang bisa saya bantu, Pak Ruslan, Pak Indra?"
"Sudah, Bu Made. Terimakasih banyak atas bantuannya, " Pak Ruslan berdiri diikuti Bu Made dan Indra.
"Sama-sama, Pak. Lain kali kalau perlu bantuan, silahkan hubungi saya."
"Mari, Nak. Kita ke tempat lain," Pak Ruslan berjalan pelan menunggu Indra di sebelahnya.
Keluar dari ruangan, mereka berjalan pelan di lorong.
"Nak, ada lagi yang mau ayah bahas. Ini tentang Mirna."
Indra yang masih sedikit kaget dengan jumlah uang yang barusan diterimanya, mendadak diam. Dia mempersiapkan diri, dia tidak tahu apa lagi yang akan Pak Ruslan katakan tentang ibunya.
"Selain untukmu, ayah juga menyisihkan uang buat Mirna. Karena meskipun tidak tinggal bersama, statusnya masih sebagai istriku dan ibumu. Ayah harap kamu mau menerimanya, Nak."
"Tentu saja. Meski ibu tidak mau menerimanya, bukan berarti aku tidak mau." Indra mengangkat bahu, cuek.
Pak Ruslan yang terkejut dengan sikap Indra yang lebih terbuka, sangat senang mendengarnya.
"Benar, benar sekali. Apa kamu mau menemani ayah sebentar lagi? Untuk mengurus surat-surat dan dokumennya kita perlu ke notaris."
Indra menyalakan layar ponselnya, belum satu jam berlalu sejak dia datang ke bank. Meski dia mau menerima uang yang diperuntukkan bagi ibunya, bukan berarti Indra mau berlama-lama bersama dengan pria ini.
"Saya mau siap-siap berangkat kerja dulu. Kalau besok pagi ketemu langsung di notaris bagaimana?"
Pak Ruslan tampak agak kecewa tapi dia tetap tersenyum. "Iya, besok pagi juga bisa."
"Kalau begitu saya pamit dulu," Indra mengangguk sekali sebelum berjalan meninggalkan pria itu.
Awalnya dia melangkah biasa saat menyusuri lobby bank, petugas security memberi salam dan Indra membalas balik salamnya. Indra lalu merasakan jantungnya yang berdetak kuat, seiring dengan langkah kakinya yang bergerak makin cepat. Makin jauh dan Indra berjalan makin cepat hingga akhirnya dia berlari.
Indra tidak peduli akan pandangan orang-orang yang melihatnya dengan aneh. Dia juga tidak peduli saat beberapa orang yang tidak sengaja tersenggol berteriak marah di belakangnya. Indra bahkan tidak peduli saat dia akhirnya menabrak seseorang dan jatuh tersungkur ke trotoar yang panas.
"Hei! Lihat-lihat kalau di jalan!!" Teriak seseorang.
"Pak, Bapak tidak apa-apa?!" Suara orang yang lain lagi berbicara.
"Saya nggak apa-apa," ujar orang yang ditabrak Indra.
Indra tidak peduli dengan keramaian yang disebabkan olehnya, dia tetap membungkuk sebelum mengeluarkan isi perut di dekat celah yang mengarah ke gorong-gorong. Beberapa kali sampai mulutnya terasa pahit dan terbatuk-batuk.
"Ya ampun! Orang ini!" Orang yang berteriak tadi masih tetap protes.
"Indra...? Kamu Indra kan?"
Indra menutup mulutnya sebelum menoleh ke arah orang yang memanggilnya.
"Sedang apa kamu disini?" Tanya orang itu lagi.
Awalnya Indra tidak bisa melihat jelas karena silau. Saat matanya sudah dapat beradaptasi, Indra mengenali sosok dengan kemeja biru muda yang memakai celana jeans itu.
"Gaska?"
Gaska tampak khawatir dan bingung. "Ayo, ikut aku."
Indra yang berusaha berdiri, tersandung saat akan melangkah. Namun tangan Gaska yang sigap menangkap badannya, mencegah Indra jatuh untuk kedua kali.
"Yuli, tolong bilang ke Pak Frans kalau saya ada urusan mendadak jadi akan terlambat sejam. Kita nanti langsung ketemu disana, ya."
"Iya, Pak."
Indra yang masih pusing dan bingung, dituntun masuk ke dalam gedung. Tangan Gaska tidak sedetikpun lepas darinya. Tangan yang entah sejak kapan terasa akrab itu, membantu Indra lebih tenang dan menguasai dirinya lagi. Indra sengaja menutup mata agar tidak perlu melihat pandangan orang-orang terhadapnya.
"Duduk dulu," ujar Gaska.
Indra didudukkan ke sofa yang membelakangi pintu dan lobby. Saat dirinya membuka mata, dia melihat Gaska yang berlutut di depannya, wajahnya cemas. Di atas kepala Gaska, Indra melihat lukisan bunga yang besar tergantung di dinding.
"Kamu nggak apa? Mau minum dulu? Apa masih mual?"
Indra mencoba merasakan tubuhnya. Perutnya sudah tidak mual lagi tapi sekarang mulutnya terasa pahit dan berair.
Menutup mulutnya dengan tangan, Indra mengangguk. "Aku mau ke kamar mandi sebentar."
"Sebelah sini," Gaska lalu menunjukkan jalan ke arah toilet pria.
Indra mengikuti Gaska tanpa banyak tanya. Di dalam toilet, dia langsung berkumur dan membasuh wajah beberapa kali. Tangan dan wajah yang tadinya tidak apa-apa kini terasa sedikit perih. Mungkin karena terjatuh setelah menabrak Gaska tadi. Yang membuat Indra lega, karena dia bertemu Gaska, sosok yang dia kenal. Dadanya sudah tidak sesak seperti tadi.
"Kamu kenapa..." Gaska bertanya lagi sambil mengusap-usap punggung Indra. "Dan jangan bilang kalau nggak ada apa-apa."
Indra memandang ke arah Gaska, kekhawatirannya tampak tulus. Dia tidak mau Gaska mencemaskan dirinya.
"Tadi..." Indra mencoba mengatakan sesuatu yang membuat Gaska tidak bertanya lebih lanjut tanpa mengatakan kebohongan. "..tadi habis ada urusan (dengan ayahnya Surya)... Lalu aku tiba-tiba panik... Setelah ketemu kamu, aku nggak apa-apa."
"Panik? Memangnya urusan apa? Dimana?"
Indra heran melihat Gaska yang gusar.
"Aku mudah panik kalau sedang stress... Dokter bilang aku bisa minum obatnya kalau perlu."
Indra masih tidak tahu kenapa Gaska sangat terkejut sebelum memeluk dirinya erat-erat.
"Hei, Indra, kamu punya aku sekarang. Aku mungkin nggak seperti yang kamu harapkan, tapi sekarang kamu punya aku. Kamu nggak sendirian. Kamu punya aku sama Surya."
"Jadi, kamu harus bertahan demi kami, oke?" Lanjut Gaska. "Surya pasti sedih kalau tahu kakaknya kayak gini. Apa kamu tahu kalau aku sama Surya senang akhirnya bisa makan masakan rumah?"
Indra mendengar kata-kata Gaska yang dibisikkannya lirih di telinga. Dia menutup mata, perasaannya saat ini begitu penuh, Indra tidak dapat berkata-kata, hanya mengangguk pelan.
"Mulai sekarang, kita bertiga selalu bersama. Nggak usah kamu pikir apa-apa lagi tentang orang tua nggak becus itu. Kamu mau apa, bilang ke aku sama Surya. Paham?"
"Paham.." Indra balas berbisik.
"Sekarang, apa kamu mau sesuatu? Mau makan atau aku antar kemana, mungkin? Atau mau nemani aku?"
"Aku mau pulang dulu, istirahat. Nanti sore masih kerja."
Gaska sedikit menjauhkan badan mereka, wajahnya terlihat tidak setuju dan mulutnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu.
Gaska akhirnya menghela nafas panjang sebelum memeluk Indra erat-erat sekali lagi sebelum melepaskannya.
"Nanti kalau ada sesuatu yang nggak enak, langsung telpon aku, ya. Atau ijin ke Pak Hendi."
Indra tersenyum mendengarnya. "Iya. Aku mau langsung pulang."
"Aku antarkan sampai rumah."
"Oh, nggak usah. Kamu masih sibuk," Indra lalu teringat sesuatu. Dia menimbang untuk memberitahu Gaska atau tidak bahwa dia sudah mendapat uang dari Pak Ruslan.
"Aku sudah kaya, sekarang. Aku pengen naek taxi yang argonya sampai ratusan ribu," ujarnya mencoba mencerahkan suasana.
"Ya sudah, aku antar, nanti bayar aku lima ratus ribu. Nanti aku kasih servis plus plus..." Rayu Gaska.
Indra tertawa sekaligus merinding mendengarnya.
Pintu toilet terbuka dan masuk seseorang yang tampak terkejut melihat Gaska.
"Maaf, Pak Bagas, saya tidak tahu Bapak disini."
"Tidak apa, saya sudah selesai."
Cara bicara Gaska yang berbeda kepada pegawai kantor itu, membuat Indra heran. Terlebih saat Gaska menarik lengan Indra melewati pegawai yang usianya jauh lebih senior, pegawai itu sedikit membungkuk hormat. Dia berpikir aneh kalau pegawai kantor sampai membungkuk begitu pada tukang bangunan yang jauh lebih muda.
Indra berjalan mengikuti Gaska yang menuju ke tempat parkir. Tanpa banyak bicara, mereka masuk dan duduk. Ini bukan pertama kalinya Indra naik mobil tapi angkutan umum dan kendaraan pribadi terasa jauh berbeda. Sabuk pengaman tidak sekedar pajangan yang di selempangkan agar tidak kena tilang. AC yang menyala juga membuat udara panas di luar jadi sejuk di dalam.
Suara musik mengalun pelan menutupi suara deru mesin meski tidak cukup keras untuk mendengar liriknya dengan jelas. Trotoar dan jalanan yang terlintas dari balik jendela, bersama dengan orang yang berlalu lalang di antara para pedagang. Kata-kata Gaska tadi masih terngiang.
Tak pernah terpikir oleh Indra dirinya akan mempunyai saudara beda ayah. Sebelumnya dia menganggap kalau keluarga pria itu, Pak Ruslan, sebagai orang lain.
Dirinya kini tidak bisa membenci Surya.
Dan Gaska... Indra masih tidak tahu bagaimana menghadapi Gaska yang sulit ditebak.
. . .
Sore itu Dian memulai shift malam. Dia sudah tidak segrogi sebelumnya saat melayani pelanggan maupun membuatkan minuman. Sebagian besar permintaan bisa di kerjakannya seorang diri. Indra tetap di bagian kasir karena Dian masih sering keliru memasukkan jumlah.
"Mas, es batunya tinggal sedikit," lapornya setelah mengambil dari persediaan di freezer.
"Di belakang masih ada berapa bal?" tanya Indra.
"Masih satu," jawab Dian singkat.
Indra melihat keluar kafe, langit cerah dengan udara cenderung panas. Kalau ramai, persediaan yang sekarang tidak akan cukup sampai nanti malam.
"Ada lagi, yang habis? Biji kopinya lebih dari seperempat semua?" Indra memastikan.
"Biji kopi aman. Kalau cup sekitar dua ratus, kotak kardus satu pak utuh, sendok plastik lima pak.." Dian menyebutkan jumlah stok di belakang.
"Sudah lapor Pak Hendi?"
"Belum, Mas. Nggak tahu lagi kalau Anya sudah apa belum."
"Iya, kita tinggal lapor, nanti urusan pemesanan Pak Hendi sendiri."
"Es-nya juga, mas?"
Indra menelepon Pak Hendi. Dia bisa saja membeli es kristal di luar tapi Indra tidak ingin kalau terjadi sesuatu dan berdampak buruk pada penjualan maupun hubungannya dengan Boss-nya itu.
Indra lalu terpikir kalau dia bisa berdiskusi tentang ide usaha dengan beliau. Seberapa banyak yang dipakai sebagai modal, jenis usaha, maupun garis besar cara menjalankannya. Dengan uang yang dimilikinya sekarang, Indra punya banyak pilihan sekarang.
Perut Indra mendadak mulas saat terpikir tentang uang yang baru masuk ke rekeningnya pagi ini. Itu belum termasuk dengan yang dimiliki oleh ibunya. Besok, dia harus bertemu lagi dengan pria itu, Pak Ruslan...
Apa tadi katanya? Bertemu di notaris?
Selain mual, pandangan mata Indra juga sedikit berputar. Dia melihat ke arah jam dinding, masih jam lima sore. Shift kerjanya masih lima jam lagi.
Karena perutnya terus merasa mual, saat makan malam Indra tidak nafsu makan dan meski memaksa, tidak banyak yang bisa bertahan di perutnya.
"Satu stoberi frappucino ekstra whip cream, satu vanilla latte dan satu americano dibawa pulang semua, ya?" Dian mengkonfirmasi orderan sambil mulai menyiapkan pesanan.
"Iya," sahut Indra menahan geli. Siapa sangka kalau rekan kerjanya itu akan cedal saat mengucapkan stroberi.
"Totalnya lima puluh dua ribu," ujar Indra pada pembeli. "Silahkan duduk dulu sambil menunggu pesanan. Nanti akan kami panggil."